46. Alasan
46 // Alasan
Semilir angin memasuki rumah Ara. Diambilnya posisi duduk sambil bertanya-tanya dalam hati. Di mana orangtuanya serta Bella? Apa yang ingin dibicarakan Clara dan Fabian?
"Ra, setelah kamu pergi meninggalkan kota ini, kami menemukan beberapa hal. Kami pikir kamu harus tahu hal ini," mulai Clara. Wajahnya terlihat serius, begitupula Fabian dan Ervin.
Kedua anak Ara duduk di dekat Ervin sambil memperhatikan percakapan itu.
Fabian menarik napas dalam dan membuka album foto milik mama Ara. "Ra, kamu ingat ini siapa?"
Ara memperhatikan orang di dalam foto. Dahinya terlipat saat berpikir. "Kalau tidak salah, seorang laki-laki dalam mimpiku yang menyuruhku ke Bern mengaku ini dirinya. Kenapa?"
Clara dan Fabian berpandangan. Clara bersuara, "begini, Ra. Orang ini adalah teman kami. Temanku, Fabian, dan Ervin. Namanya Gerald dan dia tuna rungu."
"Seingatku, di dalam diari mamaku ada catatan tentang anaknya yang cacat. Apa itu dia?" tanya Ara. Clara mengangguk.
Tangan Clara membolak-balikkan halaman demi halaman album foto itu. "Kamu lihat, di sini ada foto Gerald yang baru lahir hingga berumur lima tahun. Tetapi di mana dirinya dari enam tahun hingga sekarang?"
"Dia mati tertabrak truk saat kami sedang bermain bola di taman. Sampai sekarang, kami masih merasa itu kesalahan kami," tambah Fabian. Hening sejenak hingga Clara kembali melanjutkan penjelasannya.
"Mamamu memaafkan kami dan mengundang kami ke upacara pemakaman Gerald. Keadaan berlangsung dengan normal sampai si supir truk yang menabrak Gerald datang. Orang itu merasa keberatan datang ke pemakaman Gerald dan meminta maaf atas perbuatannya. Dia berpikir itu salah Gerald."
"Di saat itu, aku melihat mamamu mengeluarkan senyum yang mengerikan. Aku tidak melakukan apa-apa karena menduga dia menahan amarahnya dalam senyuman," jelas Ervin.
Fabian memberikan Ara sebuah kliping koran. "Aku mencari kabar tentang kejadian puluhan tahun lalu dan menemukan ini."
KEBAKARAN DI KEDIAMAN PURNAMA
Polisi menduga ini perbuatan seseorang. Tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan adanya korsleting, gas meledak, dan sebagainya. Berdasarkan ciri-ciri yang disampaikan saksi, pelaku adalah seorang wanita.
Terdapat sebuah foto yang kabur dari mama Ara.
"Anak dari supir truk ini, panggil saja A, tahu siapa pelakunya. Karena dulu, setelah mama dan papamu menikah, ada kasus pencurian yang dilakukan mereka," kata Clara.
"Papa dan mama melakukan pencurian?" Ara terkesiap.
Clara dan Fabian mengangguk. "A dendam pada orangtuamu karena mereka berkhianat. Sayangnya yang dia ketahui tentang orangtuamu hanyalah nama sandi mereka, Mirza dan Tiffany."
Ara mengangguk mengerti. Dia pernah mendapati nama Mirza di diari mamanya.
"Orangtuamu merasa aman hingga suatu hari kamu membongkar semuanya," lanjut Clara.
"Hah?!"
"Begini. Saat itu, kamu tahu nama sandi papa mamamu karena nama itulah yang mereka pakai sehari-hari. Suatu hari, kamu menggambar orangtuamu dan kamu di selembar kertas. Sayangnya, kamu menuliskan nama sandi orangtuamu di sana," kata Fabian.
Ara menutup mulutnya.
"Untungnya, A telat menyadarinya. Papamu yang tahu postur tubuh orang itu menarik pergi kamu darinya. Beberapa detik kemudian, A sadar. Namun kamu sudah menghilang." Ucapan Clara membuat Ara merasa bersalah.
"Sesuai dugaan kami, malamnya kamu dihajar hingga hilang ingatan."
Ara memegang kepalanya. Memorinya mulai kembali. "Dari mana kalian mengetahui semua ini?"
Clara menatap Fabian dan memutuskan untuk menjawabnya. "Kami merasa aneh dengan perilaki orangtuamu yang menyiksamu tanpa alasan. Jadi kami menyelidiki hal ini. Boleh kami lanjutkan?"
Ara mengangguk.
"Ada sebuah surat yang dituliskan orangtuamu," kata Clara sambil memberikan secarik kertas yang menguning pada Ara.
Untuk Ara, anak yang kami sayangi
Maafkan kami sudah menjadi orangtua yang buruk. Maaf sudah menyiksamu setiap harinya. Kami tidak bisa berhenti. Benar-benar tidak bisa. Menyiksamu merupakan candu bagi kami. Ini tampak sebagai alasan namun, tidak. Ini yang benar-benar terjadi.
Namun, di lubuk hati kami yang terdalam, kami ingin kamu pergi dan menemukan keluarga yang lebih baik. Kami sempat berdiskusi untuk memberikanmu pada orang yang ingin mengadopsimu. Tapi, menjualmu adalah pilihan yang paling tepat. Kami tidak punya uang lagi.
Kami pun tidak bisa bekerja lagi. Orang itu sudah tahu di mana kami bekerja. Dia memiliki dendam pada kami. Dia dikenal sebagai orang berdarah dingin dengan pakaian serba hitam serta masker hitamnya.
Maaf, sekali lagi maaf.
Dari papa mamamu.
Ara terkejut. "Sepertinya surat ini akan diberikan saat aku dijual ke orang lain. Sayangnya aku sudah pergi lebih dahulu. Dan orang berpakaian serba hitam itu, aku sering bertemu dengannya. Dia pernah menodongkan pistol padaku."
"Ya, itu dia. Ingat saat aku dan Fabian menyelamatkanmu? Itu kali pertama kami melihatnya," timpal Ervin.
"Kamu juga beruntung saat berhasil mengambil album foto serta diari ini dari rumahmu. Saat itu jam lima sore, bukan? A membunuh orangtuamu pukul enamnya," kata Clara, "aku benar-benar meminta maaf. Saat itu aku hampir membahayakanmu."
"Orangtuaku dibunuh?! Bagaimana dengan Bella?" tanyanya panik.
"Orang itu tidak tahu apapun tentang Bella. Dia hanya tahu kamu anak dari Mirza, orang yang mengkhianatinya. Dia pergi ke sekolahmu dan menunggumu keluar," jelas Clara.
"Tapi aku sudah pergi."
Clara mengangguk. "Dia yang tidak tahu kamu punya adik kembar pun membunuh Bella. Dia menyangka itu kamu. Dia menembaknya di sekolah dan Bella pun mati. Kami bertiga ada di sana waktu itu."
Ara menahan tangisnya. Benarkah Bella sudah mati?
"Untungnya, A tertangkap polisi dan dihukum mati. Tapi kamu telah kehilangan orangtuamu serta Bella." Clara turut bersimpati.
Fabian memberikan Ara sebuah kertas berwarna merah muda. "Ini dari Bella. Kami temukan di laci meja belajarnya."
Ara membuka dan membacanya.
Kak, aku tidak pernah membenci kakak. Aku selalu sayang kakak. Ingatanku sudah kembali. Maaf untuk perbuatanku selama ini. Aku harap aku tidak terlambat meminta maaf.
Ara menutup mulutnya sambil menahan tangis. Mungkin Bella menjadi seperti ini karena mengikuti kedua orangtuaku. Mungkin dia juga sempat dihajar hingga hilang ingatan.
Fabian memberikan Ara kertas berikutnya. "Kali ini aku menemukannya dari dalam diari mamamu. Sepertinya dia sudah menaruh kertas ini lama di dalam diari ini."
Ara meraihnya.
Kamu anak yang kuat. Kami bangga padamu.
Kata-kata itu menggetarkan hatinya. Tangisnya pecah dan tak bisa ditahan lagi. "Aku sudah memaafkan kalian sejak dulu. Aku tidak pernah membenci kalian," jeritnya dalam hati. Air matanya tumpah.
????????????
@silviagina makasih sudah mampir dan baca ceritaku ini :)
Comment on chapter 1. Ara & Bella