38. Halusinasi
38 // Halusinasi
Jantung Ara berdegup kencang. Apakah kedua orangtuanya tahu kalau Ervin berada di sini? Sesuai indera penciuman Ara, ada wangi parfum Ervin yang tertinggal. Tidak begitu tajam tapi tercium samar-samar. Mama berjalan ke arah Ara. Ara yang kebingungan tidak tahu harus berbuat apa.
Tak
Mama menjitak kepala Ara dengan keras. "Bella menangis terus dari tadi. Kamu buat dia putus sama pacarnya, ya?!"
Ara menggeleng.
Mama menampar Ara dengan keras. "Kamu nggak kasihan sama Bella? Dasar anak tidak tahu diri. Kenapa kamu mengambil orang yang Bella sayangi?!" Mata mama mengkilat marah. Ara tidak tahu harus berbuat apa dan hanya bisa terdiam. Matanya memandang lantai, bukan karena merasa bersalah melainkan mengalah.
"Jika mama dalam keadaan seperti ini, lebih baik diam dan menurut saja," pikir Ara.
"Dengarkan ucapan saya. Jangan dekati cowok Bella lagi. Bella punya hak untuk mencintai laki-laki itu. Jangan mengganggu hubungannya." Mama melayangkan tamparan terakhir di pipi kiri Ara dan pergi meninggalkannya.
Ara menyentuh pipi kirinya sambil meringis menahan perih.
"Apa yang membuat mama emosi hingga menamparku dengan begitu pedasnya?" pikir Ara sambil menutup pintu kamarnya. Dia berbaring menghadap langit-langit kamar. Sudah lama tidak rebah seperti ini. Biasa yang ia lihat tiap berbaring adalah kegelapan. Saat melihat lampu yang bersinar di tengah kamar, ada sesuatu yang aneh di hati Ara.
Ara mengambil telepon genggamnya dan menghubungi Ervin. Perasaan cemas meliputinya. Apakah Ervin tergores dahan pohon yang runcing? Apakah dia berhasil sampai di mobil dengan selamat? Apakah dia sudah sampai di rumah?
"Halo," telepon Ara.
"Hai, Ra. Aku sudah sampai di rumah. Tidak usah mencemaskanku," kata Ervin seakan mengetahui maksud Ara menelpon.
"Siapa yang cemas?" bohong Ara. Jelas sekali dia sedang cemas. "Maaf, ya."
"Loh, ngapain minta maaf? Tadi itu pengalaman yang seru dan mendebarkan. Tidak perlu minta maaf. Kamu tidak salah apa-apa," hibur Ervin.
Ara tersenyum kecil mendengar respon Ervin. "Terima kasih sudah mau mendengar ceritaku."
"Kalau ada masalah, jangan sungkan cerita padaku, ya. Lalu jangan lupa balas perasaanku." Ervin mengatakan hal itu sambil tersenyum di seberang telepon.
Tut
Ara memutuskan sambungan. Bagaimana bisa Ervin mengatakan itu dengan gampangnya? Dan pertanyaan yang lebih penting, mengapa jantung Ara terus berdebar dengan kencang?
????????????
"Loh, di mana aku? Bukannya aku tadi sedang mengobrol dengan Ervin?" tanya Ara pada dirinya sendiri. "Oh, ya. Aku memutuskan sambungan. Tapi di mana ini?"
Ara menengadah, melihat sebuah pohon yang rindang dengan beberapa daun yang menguning. Perasaan apa ini? Pohon ini menimbulkan damai dalam hatinya. Tenang rasanya. Ara memejamkan mata sambil menyentuh batang pohon itu.
"Mama, mau es krim!" pinta seorang anak pada mamanya yang duduk tak jauh dari tempat Ara berada. Dilihatnya dua orang anak perempuan kembar yang tersenyum berharap mamanya membelikan es krim yang dijajakan sang tukang es krim.
Ara mendekati mereka. Anak kembar itu kira-kira berusia tiga atau empat tahun. Sang mama memberikannya dua es krim pada mereka. Mereka menyambutnya dengan gembira. Ara tersenyum melihat keduanya.
"Lucu sekali dua anak itu," gumam Ara. Tiba-tiba seorang dari dua anak itu menatap Ara. Bagai petir yang menyambar di siang bolong, Ara terkejut. Anak itu adalah dirinya sewaktu kecil.
"Berarti anak di sebelahnya adalah Bella? Ah, tidak mungkin. Ini hanyalah khayalanku semata. Tidak mungkin aku berada di waktu yang sama dengan diriku sewaktu kecil. Dan tidak mungkin hal ini nyata." Ara bergumam sendiri. "Berarti ini mimpi."
????????????
Ara terbangun dengan napas tersengal-sengal. Benar, itu hanya mimpi. "Apa yang kamu harapkan, Ara? Bahkan mendapat mimpi seperti itu saja kamu harus bersyukur. Apalagi kalau mengalami hal ini."
"Tapi, kalau ini bukan mimpi, kenapa mama yang manis berubah menjadi kejam?" pikir Ara, "ini hanya mimpi. Ya, hanya sebuah mimpi."
????????????
Clara berjalan-jalan bersama kakak perempuannya. Karia sudah tidak sabar bertemu dengan pacarnya yang pulang ke Indonesia. Sampai-sampai dia mengajak Clara untuk menemaninya belanja.
"Ini bagus? Atau yang ini?" tanya Karia sangat bersemangat.
Clara memutar bola matanya dan menjawab, "Hm."
"Jawab yang benar, dong. Aku benar-benar butuh bantuanmu. Ini bagus, kan-kan?" Karia masih sibuk berceloteh dan bertanya. Clara menatap ke luar toko.
Deg
"Gerald?" tanyanya dalam hati. Tanpa memberitahu Karia, Clara langsung menembus keramaian dan mengejar Gerald yang dilihatnya. "Gerald!"
Clara masih bisa melihat punggung Gerald. Dikerahkannya segenap kekuatannya untuk mengejar Gerald. Clara semakin mendekati orang itu. Tangannya hendak menepuk bahu orang itu.
Beberapa saat kemudian, Clara membelalakkan matanya. Orang itu tidak ada. "Apa aku berhalusinasi lagi?" tanyanya dalam hati.
????????????
@silviagina makasih sudah mampir dan baca ceritaku ini :)
Comment on chapter 1. Ara & Bella