“Nggak, Monika,” kata seorang wanita tegas dari bangku depan sebuah mobil yang sedang melaju. Wajahnya yang keras dipertegas dengan tatanan rambut sanggul kecil yang terkesan kaku.
“Tapi Monika?,” balas anak perempuan berusia delapan tahun dari bangku belakang.
“Nggak, Monika. Mama sudah berulang kali bilang, pokoknya kita pindah ke sini. Titik,” kata ibunya, semakin tegas.
“Pa!” Monika ganti protes pada ayahnya yang sedang menyetir.
“Sudahlah Monika,” kata ayahnya pendek. Dia tidak mau berargumen lebih jauh. Keinginan Hana Hadiwijaya, istrinya mutlak dan dia tahu tak ada gunanya memprotes. Sebenarnya dia juga tidak tidak mau pindah, karena itu berarti dia harus menempuh perjalanan pulang lebih jauh dari tempatnya bekerja. Dan rumah yang dipilih istrinya termasuk terpencil.
Rumah yang sedang mereka tuju memang terpencil. Letaknya di sebuah tebing di pinggir laut. Jauh, jauh di bawahnya ada kota pantai kecil. Rumah itu sangat murah, makanya Hana tertarik membeli rumah itu, padahal menurut iklan di website rumah itu sangat besar.
Setengah jam kemudian mereka sudah mulai memasuki kota pantai kecil sebelum memasuki daerah tebing. Di sana mereka menemukan rumah makan aneka makanan laut dan memutuskan untuk makan siang terlebih dahulu.
“Liburan?” tanya ibu pemilik rumah makan, sambil membawa nampan berisi pesanan-pesanan mereka.
“Ah enggak kok Bu, kami pindah ke rumah di atas tebing itu,” jawab Hana sambil tersenyum datar.
Piring-piring di atas nampan langsung berkelotakan saat nampan yang dipegang ibu itu bergetar. Buku-buku jari si ibu memutih saat dia mencengkeram pinggiran nampan.
“Jangan!” serunya tiba-tiba.
Keluarga Hana langsung terkejut. Hana memandang kaget ke arah si ibu, yang matanya membelalak saat dia melanjutkan kata-katanya.
“Jangan ke sana! Rumah itu berbahaya!”
***
“Omong kosong,” kata Hana setelah mereka kembali ke mobil dan meneruskan perjalanan. Suaminya tak menanggapi, juga tidak memprotes kata-kata kasar istrinya, yang bisa didengar oleh Monika.
“Mereka cuma nakut-nakutin kita aja,” lanjutnya agak kesal. Kejadian tadi masih membuatnya terkejut.
“Tapi apa maksudnya bilang gitu? Lagipula mereka yang lebih tahu soal daerah ini daripada kita, termasuk soal rumah itu juga kan?” Suaminya akhirnya buka suara tanpa disadarinya.
Hana berdecak.
“Mas Bram, yang logis aja. Mungkin maksudnya berbahaya itu karena udah lama nggak ditempatin, jadi mungkin kondisi bangunannya udah rapuh atau atapnya ada yang rusak. Yang kayak gitu lah,” sanggahnya.
Suaminya, Bram, diam, tak ingin menanggapi lagi. Dia malas berdebat.
Mereka akhirnya sampai muka tebing, dan mulai mendaki. Sepuluh menit kemudian mereka sampai di gerbang depan rumah. Gerbang besi itu sangat besar dan kokoh, namun sudah berkarat. Warna kecokelatan menyebar di mana-mana.
Hana mengeluarkan kunci gembok gerbang dan membuka gerbang lebar-lebar. Mobil melaju masuk ke halaman rumah yang sangat luas. Monika memperhatikan rumah di depannya dengan seksama.
Rumah itu kelihatan sangat tua, namun sangat besar dan luas, terdiri dari dua tingkat. Dinding berwarna putih seluruhnya, dengan dua pilar di depan pintu depan. Halaman rumah terlihat kotor karena dedaunan kering yang jatuh dari dua pohon besar di samping kanan dan kiri rumah.
Hana mengeluarkan kunci rumah.
“Nggak buruk-buruk banget kan?” katanya cerah setelah mereka masuk ke dalam rumah.
Ruang dalam rumah sudah dibersihkan. Beberapa perabotan-perabotan di dalamnya nyata masih peninggalan dari pemilik sebelumnya, yang rupanya tidak ingin ikut dibawa pindah seperti vas bunga besar, karpet, dan beberapa dekorasi dinding.
Beberapa saat kemudian terdengar deru mobil pengangkut barang dan proses kepindahan keluarga Hadiwijaya pun resmi dimulai.
***
Malamnya, Hana sudah tertidur dengan cepat. Bram masih di kamar mandi, menyikat gigi. Sambil diam dipandanginya cermin.
Tiba-tiba didengarnya suara aneh di belakangnya, seperti seseorang sedang berjalan pelan di dalam kamarnya.
Dia segera berbalik dan berlari kembali ke kamar, dan mendapati sosok aneh sedang memandangnya. Lampu kamar sudah mati sehingga dia hanya bisa melihat samar-samar sosok itu.
Belum sempat dia bereaksi lebih jauh tiba-tiba sosok itu menyerangnya. Reflek dia mengambil alat pertahanan diri pertama yang dilihatnya, lampu tidur di sebelah ranjang. Sekuat tenaga dihantamkannya lampu itu.
Tiba-tiba terdengar jeritan istrinya.
“Nggak apa-apa, Hana! Jangan mendekat!” serunya segera. Dia kembali memukul. Beberapa saat kemudian dia berhenti, terengah-engah. Sosok itu tersungkur di depannya, bersimbah darah.
Dia harus menelepon polisi, pikirnya. Siapa tahu pencuri itu punya rekan. Dia menjangkau sakelar dan menyalakan lampu.
Dan segera menjerit. Hana ada di depannya, matanya membelalak, dari kepalanya mengucur banyak darah yang membasahi hampir seluruh lantai.
“Tidak!” jerit Bram ngeri. Bagaimana ini bisa terjadi? Pikirnya. Tadi... tadi dia...
BRAK!
Suara pintu didobrak terdengar bertalu-talu dari kejauhan. Bram menoleh dengan kaget, dari sudut matanya dia melihat sekelebatan sosok lewat depan kamar. Matanya membelalak.
“Aku akan menangkapmu!” serunya marah. Dia segera berlari keluar.
Tiba-tiba terdengar jeritan Monika. Dia kaget setengah mati.
“Monika!”
“Sebentar, Papa datang!” serunya. Dia segera berlari menuju kamar Monika yang hanya berjarak dua kamar.
Monika sedang berjongkok di lantai dan menangis. Dia tiba-tiba menjerit ketika melihat Bram.
“Papa! Tadi di kamar Monika ada orang aneh! Dia...dia...” Dia tak sanggup meneruskan. Bram segera memeluk dan menggendongnya.
“Nggak apa-apa, kita keluar, Monika!”
Dia lalu membawa Monika keluar kamar, ketika sudah sampai di lantai bawah, dia melihat sekelebat bayangan yang sama melesat dari salah satu ruangan. Kemarahannya entah kenapa tiba-tiba bangkit tanpa dia tahu sebabnya. Dia segera menurunkan Monika di depan dapur.
“Kamu di sini dulu, Monika!” katanya segera.
Mata Monika langsung membelalak. Dia memandang dapur yang terang benderang. Bukan oleh sinar lampu, tapi oleh api. Ruangan itu telah terbakar.
“Papa!” jeritnya ketakutan.
“Masuk sini! Di sini aman!” jerit Bram. Entah bagaimana, dia tidak melihat bahwa dapur sudah diselubungi api yang menyala hingga ke langit-langit.
“Papa! Papa jangan!” jerit Monika sejadi-jadinya. Dia berusaha berontak, tapi tangan Bram memeganginya dengan keras.
“Masuk!” Dia mendorong Monika sekuat tenaga hingga Monika tersungkur ke dalam kamar yang terbakar. Dia lalu menutup pintu dan menguncinya. Sebelum pergi dia sempat mengambil pisau yang ada di atas meja.
“Papa! Panas! Panas, Pa!” Monika memukul-mukul pintu. Tapi Bram tidak mendengarnya. Matanya tiba-tiba menangkap sekelebatan sosok itu naik tangga menuju lantai dua. Dia menggeram.
“Kutangkap kau!” jeritnya. Dia segera berlari menaiki tangga. Dilihatnya sosok itu masuk ke salah satu kamar. Dia menyusulnya.
Di dalam kamar dilihatnya sosok itu sedang berdiri di dekat balkon. Bram tiba-tiba tertawa puas saat melihatnya.
“Kau sudah tidak bisa kabur, hah?” Dia segera mendekati sosok itu sambil terus tertawa. Diangkatnya tangannya yang membawa pisau dan berlari mendekati sosok itu.
Namun saat dia sudah sampai di dekat sosok itu, tawanya langsung berhenti. Matanya membelalak.
Sosok di depannya bukanlah manusia. Dia hanya sempat melihat seringai makhluk itu, juga matanya yang tiba-tiba bersinar merah terang, sebelum tubuhnya menabrak balkon dan kehilangan keseimbangan.
Dia terjatuh ke bawah dengan kepala terlebih dahulu. Tubuhnya menghantam tanah dengan cepat. Tulang-tulangnya patah dengan bunyi yang mengerikan.
Dan rumah itu mulai diselubungi oleh api, yang lama kelamaan menyebar. Menyelubungi keseluruhan bangunan dengan cepat.
***
“Terjadi lagi,” kata seorang lelaki tua.
“Rumah itu selalu meminta korban,” kata istrinya, tahu-tahu sudah ada di sebelahnya. Mereka memandang rumah itu dari kejauhan, dari rumah makan yang dulu disinggahi Hana dan keluarganya.
Mereka membiarkan saja rumah itu terbakar. Warga lainnya yang melihat api kebakaran dari kejauhan, begitu tahu dari mana sumber kebakaran itu, juga membiarkan saja dalam diam.
Karena keesokan harinya, secara misterius rumah itu terlihat kembali ke kondisinya semula, lusuh, besar dan tua. Seperti tidak terjadi apa-apa malam sebelumnya.
Dan rumah itu siap menerima korban selanjutnya.
serem euy hehe good job thor
Comment on chapter Prolog