Pukul 6. Matahari mulai bersinar, udara terasa hangat. Bunga-bunga bermekaran dengan indahnya. Sesekali kicauan burung turut meramaikan suasana pagi. Aku tersenyum tipis, pagi baru dimulai. Keramaian menyelimuti taman. Aku kembali menggerakan tanganku, berusaha menulis cerita ini hingga usai. Di pagi ini aku kembali teringat. 3 tahun lalu saat pagi, aku mengetahui nama orang itu. Dan aku sangat merindukannya saat ini, hari esok dan seterusnya. Aku tak ingin melupakannya.
***
Gerimis kembali turun. Malam ini udara terasa amat dingin. Pukul 9. Aku menatap keluar jendela, Papa belum pulang. Langit semakin gelap, gerimis seketika menjadi hujan lebat. Aku menutup tirai jendela. Kembali berbaring dibalik selimut tanpa memejamkan mata. Aku tak bisa tidur begitu saja, jika Papaku tak kunjung pulang. Terlebih ia tak mengangkat teleponku.
Jalan diluar sana memang sedikit rusak dan tergenang air. Mungkin karena itu Papa terlambat pulang. Jika pun tidak, mungkin sedang banyak pasien di rumah sakit. Aku mengembuskan nafas pelan, lebih baik aku melanjutkan membaca buku biru itu.
30 menit berlalu. Papa masih belum pulang. Langit semakin menggelap dengan kilatan petir yang amat menakutkan. Aku berusaha tenang, berpikir positif meski aku amat mengkhawatirkan Papaku di luar sana. Puluhan halaman buku sudah selesai ku baca, sesekali aku mencatat bagian-bagian penting dari buku itu. Barangkali akan dibutuhkan saat mengetik makalah. Aku menguap berkali-kali, hampir pukul 10. Rasa kantuk mulai menyerang. Namun Papa masih belum pulang.
"Papa!" Teriakku. Suara guntur amat menggelegar. Seketika sekelilingku gelap. Aku amat takut terlebih aku hanya sendirian di rumah. Semua benar-benar gelap. Sesekali kilatan petir menerangi jalan di luar sana. Ku raih ponselku, berusaha mencari cahaya dari benda persegi panjang itu. Tak ada cahaya, ponselku kehabisan baterai 30 menit yang lalu. Tak ada jalan lain. Aku meraba-raba kamarku, berjalan perlahan menuju tirai jendela. Mungkin jika aku membuka tirai, akan ada cahaya walau sedikit.
Nihil. Kilatan petir menyambar-nyambar di luar sana. Aku menutup mata. Angin kencang menerobos masuk jendelaku. Mengobrak-abrik barang-barang dalam kamarku. Aku berlari dengan sedikit cahaya yang terlihat. Ku buka pintu kamarku, tak ada Papa, tak ada siapapun di rumah ini. Air mataku menetes deras, aku takut.
"Papa dimana? Ijel takut"
***
Pukul 2. Cahaya lampu menyilaukan mata. Ku rasakan perih pada pergelangan kakiku yang kini berbalut perban. Papa tertidgur di meja belajarku. Aku mengembuskan nafas lega. Setidaknya aku masih bisa melihat Papaku. Hujan di luar mulai mereda. Tak ada suara guntur atau kilatan petir yang terlihat lewat jendela kamarku. ku tatap wajah papaku yang sedang tertidur pulas di kursi meja belajarku dengan kepala yang menyandar pada meja belajarku. Aku tak ingin kehilangan Papa. Air mataku menetes lagi, tak terbayang jika Papa pergi
meninggalkanku. Setelah Mama yang lebih dulu meninggalkanku. Aku tak ingin kehilangan Papa. Aku amat mengkhawatirkannya.
"Ijel, kamu nangis? Apa masih sakit kakinya?"
Aku menoleh ke arah Papa. Rupanya isakan tangisku membuat Papa terbangun. Aku segera menghapus sisa air mata di pipiku.
"Maafkan Papa, Jel" Papa menghampiriku. Ia menatap wajahku lamat-lamat. Aku dapat melihat kesedihan pada raut wajah Papa.
"Papa janji tidak akan membuatmu ketakutan lagi, Jel" Lanjut Papa. Aku kembali terisak oleh tangisku.
"Papa tidak akan memaafkan diri Papa jika terjadi apa-apa denganmu. Kamu putri Papa satu-satunya. Tadi Papa temukan kamu tergeletak pingsan di bawah tangga. Kamu pasti sangat ketakutan ya, Jel" Ucap Papa lagi. Aku baru ingat luka di kakiku ternyata karena aku jatuh dari tangga. Kejadian beberapa jam lalu memang sangat menakutkan. Aku tak biasa sendirian di rumah, meski setiap pulang sekolah aku selalu sendirian, namun Papa selalu ada untukku di pagi dan malam hari.
"Papa jangan tinggalin, Ijel" Ucapku terisak. Papa memelukku lembut.
"Papa kenapa gak angkat telepon Ijel, Pah. Ijel khawatir" Lanjutku.
"Mobil Papa mogok, Jel. Ponsel Papa juga mati. Maafkan Papa ya, Jel"
"Papa tidak akan meninggalkan kamu, Jel" Lanjut Papaku. Aku mengangguk percaya.
"Kamu istirahat ya, Jel. Kakimu masih belum pulih" Aku mengangguk mengiyakan.
Papa meninggalkan kamarku, ia mematikan lampu kamarku agar aku bisa tertidur pulas. Kejadian ini menyadarkanku bahwa sosok Papa adalah segalanya bagiku. Papa adalah alasan utama agar aku tetap tegar menjalani hidup walau tanpa Mama. Aku sudah kehilangan Mama, dan aku tidak mau kehilangan Papa.
"Ijel janji akan jaga Papa untuk Mama"
***
Aku membuka mataku. Sinar matahari mengintip di sela-sela jendela. Pukul 6, belum terlambat jika aku segera bersiap berangkat sekolah. Buku pelajaran sudah aku siapkan sedari malam di dalam tasku. Adalah 15 menit waktuku mandi dan bersiap memakai rapi seragam sekolahku. Masih banyak waktu yang tersisa, aku menuruni anak tangga dengan kaki yang masih terasa sedikit perih.
Seperti biasa, Papa memasakan sarapan untukku. Dengan kemeja biru muda yang berbalut celemek yang ia kenakan, Papa amat lincah memainkan 2 wajan sekaligus. Aku tersenyum berjalan perlahan menuju meja makan.
"Ijel, kamu sudah rapi? Papa kira kamu tidak sekolah, Jel?" Ucap Papaku. Aku menggeleng.
"Cuma kaki Ijel yang sakit, Pah. Ijel masih sehat kok untuk sekolah"
"Wah, kalau begitu tunggu sebentar ya, masakan Papa sedikit lagi matang. Setelah itu Papa akan ganti perban di kaki kamu" Lanjut Papaku. Aku mengangguk sembari menatap Papa yang amat sibuk memasak. Aroma masakan tercium jelas memenuhi dapur. Tampak enak.
Tak lama, meja makan kini sudah dipenuhi salad, nasi goreng, dan cumi goreng tepung buatan Papa. Tak lupa Papa juga membuatkan jus mangga kesukaanku. Aku memakan masakan Papa dengan menahan sedikit rasa perih pada kakiku saat Papa mengganti perban di kakiku. Meski begitu aku selalu suka masakan Papa.
"Nah, sudah selesai. Silakan dilanjut makannya" Papa tersenyum segera duduk di kursi meja makan. Aku membalas senyum Papa.
"Oh iya kamu masih membaca buku biru itu, Jel?" Lanjut Papa. Papa selalu menemukan topik pembicaraan seolah tak ada sedikit pun waktu lengang di antara kami. Papa duduk di kursinya, menyendok beberapa cumi goreng dan menaruhnya di piringku.
"Iya Pah, memangnya kenapa?"
"Kemarin setelah mengantar kamu, Papa sempat mampir ke toko buku dekat sekolah kamu"
"Lalu gimana Pah?"
"Papa menemukan buku yang sama. Tapi kalah cepat. Seorang anak lelaki mengambilnya lebih dulu. Mau tak mau Papa mengalah. Yah mau gimana lagi Jel, stok bukunya tinggal 1"
"Siapa Pah anak lelaki itu?" Tanyaku penasaran. Aku jadi teringat ucapan Jenny kemarin. Bahwa si Jaket Merah memiliki buku yang sama. Mungkinkah? Tapi kenapa?
Papa menggeleng pelan. "Papa tidak mengenalnya, tapi sepertinya ia masih satu sekolah denganmu"
"Ya sudah cepat habiskan makannya. Setelah itu Papa antar kamu ke sekolah. Kalau sempat Papa akan mencari buku itu di toko buku lain" Lanjut Papa. Aku mengangguk segera menghabiskan sarapanku.
Waktu berjalan cepat, mobil Papa sudah melaju menuju sekolahku. Beberapa kendaraan berlalu lalang di sekolahku, murid-murid sudah berdatangan dengan diantar orangtuanya ada pula yang membawa kendaraan sendiri. Seperti Kak Zearon, tepat setelah mobil Papa berhenti di dekat gerbang sekolah, Kak Zearon melewatinya. Aku melihat jelas kakak kelas dengan puluhan fans itu datang menggunakan sepeda motor besar yang dikendarainya sendiri. Tak lama, aku juga melihat Jenny. Ia turun dari taksi yang ia tumpangi.
"Papa antar ke kelas saja ya, Jel. Kaki kamu kan masih sakit" Tawar Papaku. Aku menggeleng pelan.
"Tidak perlu, Pah. Itu ada teman Ijel. Ijel bisa bareng dia ke kelas" Lanjutku. Aku segera memanggil Jenny yang sedang berjalan masuk ke gerbang sekolah. Jenny akhirnya mendengar suaraku. Ia melambai dan menghampiriku.
Papa keluar dari mobil. Ia sedikit bercengkrama dengan Jenny. Entahlah mereka membicarakan apa. Tak lama, Papa kembali membuka pintu mobil dan membantuku keluar mobil. Duduk di mobil terlalu lama rupanya membuat kakiku sedikit keram. Mungkin karena masih belum pulih.
"Jenny, Om titip Ijel ya" Ucap Papa. Jenny segera menggandengku.
"Siap Om" Jawab Jenny singkat. Senyumnya amat mengembang. Jenny menuntunku perlahan berjalan memasuki gerbang sekolah. Papa melambai ke arah kami. Setelah itu mobil Papa dengan cepat menjauh.
"Ijel, kamu kenapa bisa sakit begini?" Jenny bertanya padaku. Ia tampak khawatir.
"Aku jatuh dari tangga, Jen" Ucapku singkat. Jenny mengangguk wajahnya terlihat sedih.
"Kalau begitu, lain kali hati-hati ya, Jel" Ucap Jenny. Kali ini aku yang mengangguk. Jenny adalah teman yang baik. Ia menuntunku perlahan untuk sampai ke kelas. Dari wajahnya aku tahu bahwa rasa sedih Jenny adalah tulus tanpa dibuat-buat. Meski aku sering merasa kesal kepadanya. Ia tetaplah sahabat terbaikku.
"Untung kelas kita di bawah, Jel. Coba kalau di lantai 2. Kamu akan lebih kesulitan berjalan" Jenny menatapku cengengesan. Aku mendecak pelan. Baru saja ku puji kalau dia teman terbaikku. Kini muncul lagi sikap menyebalkannya.
"Aku bercanda, Jel. Lagi pula aku akan tetap menemani kamu, Jel. Kamu tenang aja, aku akan selalu ada untuk kamu, dimanapun dan kapanpun itu" Jenny tersenyum lebar. Wajahnya ceria dan berbinar-binar.
"Terimakasih, Jen. Tapi karena kakiku sedang sakit, kamu tidak akan memaksaku menemanimu berbolos ke kantin atau ke gudang sekolah kan?" Ucapku bercanda. Kali ini Jenny yang mendecak.
"Tenang saja, Jel. Aku tahu kalau kamu pasti membawakan aku makanan lagi kan? Aku dapat mencium aromanya, Jel. Masakan Papa kamu yang ganteng itu lho"
"Jenny.. Jenny.. Kenapa hidungmu begitu tajam" Aku menepuk dahi. Jenny tertawa.
"Oh iya. Aku gak mau punya Mama tiri seperti kamu, Jen" Lanjutku. Jenny menekuk wajahnya.
"Menjadi sahabatmu saja aku sudah bahagia, Jel. Apalagi menjadi Mama tirimu" Jenny berkata dengan santainya. Benar-benar keterlaluan. Lihatlah, sekarang ia malah tertawa melihat ekspresi kesalku.
"Jel, itu bukannya si buku biru?" Jenny menunjuk ke arah mading. Seketika rasa kesalku hilang. Aku tahu si buku biru yang dimaksud Jenny adalah si Jaket Merah. Kami segera menghampiri mading. Melihat fotonya terpampang jelas di mading, kami semakin penasaran.
"Axel. Juara 1 karya ilmiah tingkat nasional. Wow! Jel, ini benar-benar kejutan" Ucap Jenny semringah. Jenny amat terkejut begitupun denganku. Aku benar-benar tak percaya. Si Jaket Merah yang misterius itu, benar-benar mengagumkan.
"Sudah, Jel. Ayo kita ke kelas" Lanjut Jenny. Ingin sekali aku menolak, karena masih ingin melihat wajah si Jaket Merah yang ternyata bernama Axel di mading. Pun jika aku menolak, Jenny pasti akan mengejekku. Aku mengangguk, Jenny kembali membantuku berjalan.
Jenny menuntunku sampai kelas. Ia mendorong kursiku dan mempersilakan aku duduk. Ruang kelas mulai ramai, beberapa sempat menanyakan mengenai luka di kakiku. Perban di pergelangan kakiku memang terlihat jelas, karena mau tak mau aku harus memakai flat shoes untuk memudahkan aku berjalan. Jenny duduk di kursinya, ia mengeluarkan buku yang kemarin ia pinjam di perpustakaan. Jenny tersenyum ke arahku, menunjukan sudah sejauh mana ia membaca buku itu. Aku cukup tertawa melihatnya. Tak lama, Johan menghampiri kami. Ia membawa buku yang sama, ingin membaca bersama Jenny. Aku terharu melihat mereka. Mereka begitu bersemangat mengerjakan tugas dari Bu Vera.
"Jel, gimana kalau pulang sekolah kita ke rumah kamu. Kita buat makalah bersama" Ucap Johan semringah. Begitu pun dengan Jenny.
"Iya Jel, sekalian kita antar kamu pulang. Gimana? Lagi pula beberapa hari lagi tugas ini akan dikumpulkan. Meski hanya diminta 10 halaman, tapi itu cukup berat bagiku. Kita harus segera memulainya" Seru Jenny. Aku mengangguk setuju. Tugas ini memang harus segera diselesaikan. Mungkin jika ada Axel, tugas ini pasti akan lebih mudah dikerjakan. Bagaimana tidak, kalau guru-guru saja amat percaya kepadanya. Begitu mengagumkan.
***
Pukul 9. Jam pelajaran olahraga akan dimulai. Semua bersiap berganti pakaian olahraga. Hanya aku yang tidak. Mau tak mau aku tidak bisa mengikuti pelajaran olahraga kali ini. Bu Tania, guru olahraga sekolahku mengizinkanku untuk tidak mengikuti kegiatan olahraga kali ini. Meski disarankan untuk tetap di kelas, rasanya aku enggan untuk berdiam diri di kelas, terlebih sendirian. Aku memilih ikut ke lapangan, melihat teman-temanku bermain kasti di sana. Jenny dengan sabar menuntunku. Ia memintaku duduk di pinggir lapangan olahraga. Aku mengikuti sarannya, setidaknya bersama teman-teman sekelas membuatku tak begitu bosan dibanding harus sendirian di kelas.
Dua tim sudah dibentuk. Semua sudah siap dengan posisinya masing-masing. Jenny memukul bola paling pertama. Aku menyemangatinya. Ia pun sangat bersemangat. Sangat menyedihkan memang hanya aku yang tak ikut bermain.
Aku menatap ruang perpustakaan yang terletak tak jauh dari lapangan olahraga. Dan, Axel. Aku melihatnya di sana. Ia juga tampak melihatku, aku tersenyum kepadanya. Ia tetap berjalan begitu saja tanpa membalas senyumku. Tak apa, mungkin ia tak melihatku. Ini hanya kebetulan. Setidaknya tak ada yang mengejekku karena tersenyum seorang diri. Jenny sedang bermain kasti, ia tidak melihat hal memalukan ini.
"Hei. Kenapa gak ikut olahraga? Malah senyum-senyum sendiri"
"Eh?" Ucapku kaget. Aku segera menunjuk kakiku yang berbalut perban. Orang itu mengangguk. Dialah Kak Zearon. Ia menghampiriku dan duduk di sebelahku.
"Ada apa kak?" Dengan cepat aku mengganti topik pembicaraan. Malu rasanya jika tetap membahas senyum yang tak berbalas.
"Nggak. Aneh aja lihat kamu senyum-senyum sendiri tadi" Seketika wajahku memerah. Kak Zearon ini, masih saja membahasnya.
"Oh iya. Nama kamu siapa?" Lanjutnya. Aku menghela nafas pelan. Merasa lega. Setidaknya pipiku tak memerah lagi.
"Arinzell, kak. Panggil aja Ijel" Jawabku singkat. Kak Zearon mengangguk. Aku merasa aneh dengannya, entahlah aku seperti mengingat sesuatu. Bukan masalah sendok dan gulungan tisu tapi ada hal lain. Sesuatu yang ia bawa. Aku mengenalnya. Buku biru. Ya, orang yang dimaksud Papa adalah Kak Zearon bukan Axel. Lagipula kenapa aku harus mengira bahwa Axel membeli buku yang sama. Pun ia sudah selesai membaca bukunya dan meminjamkannya kepadaku. Entahlah, sebaiknya aku tak memikirkan Axel.
"Oh iya. Ijel, kamu sudah pilih program ekskul? Ekskul sangat diwajibkan lho. Minimal satu" Tanya Kak Zearon. Aku menggeleng.
"Masih bingung, Kak"
"Kakak sarankan kamu ikut KIR aja. Gak terlalu capek kok. Lagipula kaki kamu kan masih sakit"
"KIR? nanti aku coba ya, Kak. Terimakasih sarannya"
"Kalau gitu, Kakak ke kelas dulu ya"
"Iya kak" Ucapku mengangguk. Kak Zearon berjalan menjauh, membawa buku biru yang sama dengan milik Axel. Lagi-lagi aku menghela nafas berat. Dugaanku salah.
Satu jam berlalu, jam istirahat pun tiba. Pertandingan kasti kali ini dimenangkan oleh tim Johan. Jenny tampak kesal. Ia menghampiriku dengan keringat yang bercucuran di wajahnya.
"Tak apa, Jen. Ini cuma permainan" Ucapku menasehati.
"Jika bukan karena Johan. Aku pasti menang, Jel" Seru Jenny kesal.
"Daripada kesal, lebih baik kita makan yuk. Aku bawakan makanan untukmu, masakan Papaku yang ganteng itu lho"
"Ah, Ijel. Kamu bisa aja menghibur aku. Ayo" Jenny menuntunku ke kelas. Soal makanan, Jenny memang tak pernah menolak. Aku menahan tawa kali ini.
Lagi-lagi aku melihat Axel. Ia tak melihatku. Aku merasa tak enak meminjam bukunya terlalu lama. Ia memang mengizinkannya, tapi rasanya meminjam barang orang lain terlalu lama juga tak baik. Jika tugasku selesai, aku akan segera mengembalikan buku itu.
"Jel, tadi aku lihat kamu berbincang sama Kak Zearon"
"Iya Jen, tadi Kak Zearon hanya bertanya sedikit"
"Apa! Bukan soal sendok dan gulungan tisu itu kan? Jel, kamu harus waspada" Jenny mencengkram bahuku kuat. Ia menatapku dengan serius.
"Jenn" Aku melepaskan tangan Jenny di bahuku. Sungguh aku tak bisa menahan tawa melihat ekspresi Jenny seperti itu.
"Kak Zearon cuma nanya tentang ekskul aja kok. Bukan masalah sendok dan gulungan tisu" Lanjutku. Jenny menyeka peluh di dahi. Merasa lega.
"Wahh.. Kalau gitu kita aman, Jel. Kak Zearon sudah tidak marah. Buktinya ia tidak membahasnya" Wajah Jenny amat berbinar. Aku mengangguk tertawa.
Ruang kelas sudah di hadapan kami, Jenny membantuku duduk di kursi menunggunya yang akan berganti pakaian di toilet. Tak banyak yang bisa aku lakukan. Ku keluarkan dua kotak makan siang dengan 2 botol jus buatan Papa. Tak lama, Jenny segera kembali, ia melambai ke arahku dan berlari kecil melihat makanan di mejanya. Ruang kelas hanya menyisakan aku dan Jenny. Sisanya mungkin ke kantin. Jenny makan dengan lahap, mungkin efek kelelahan sehabis olahraga. Kami makan dalam hening. Tak banyak yang kami bicarakan.
***
Pulang sekolah. Jenny kembali menuntunku ke arah taksi yang dipesan Johan. Jenny dan Johan akan berkunjung ke rumahku untuk mengerjakan tugas bersama. Aku merasa aneh karena sepanjang perjalanan tak ada pembicaraan apapun di antara kami. Jenny sibuk menatap jalan. Begitupun dengan Johan yang memandang kosong ke depan. Dua orang temanku ini mungkin masih merasa kesal atas pertandingan kasti tadi. Walau bagaimanapun aku tak bisa membela salah satu dari mereka. Toh pertandingan tadi hanya permainan, tak baik jika diambil hati.
Beberapa menit berlalu lengang. Sedikit lagi kami tiba di rumahku. Sungguh, keadaan ini membuatku semakin gemas dengan mereka. Aku memberhentikan taksi tepat di depan gerbang rumahku. Jenny membantuku berjalan, dan Johan yang membayar tagihan taksi. Pukul 3, masih beberapa jam lagi Papa pulang. Kami masuk ke dalam rumah, Johan segera bersandar di sofa dan Jenny ikut denganku ke kamar untuk mengambil laptop.
Kami mengerjakan tugas bersama di ruang tamu, kakiku sedikit membaik setidaknya aku tak merepotkan Jenny lagi untuk membantuku berjalan. Aku mengambil beberapa potongan kue dan jus untuk menemani kami mengerjakan tugas. Jenny dan Johan masih pada sikap awal, diam tanpa suara.
"Jen, coba kamu baca bagian ini. Apa pendapatku sudah benar?" Ucapku memecah keheningan. Jenny mengangguk, membaca buku tulisku. Johan tetap sibuk membaca bukunya. Kali ini mereka saling tolak belakang. Aku menggeleng.
"Hei! Kalian ini mau berdiskusi atau apa!" Ucapku kesal. Serentak Jenny dan Johan menoleh ke arahku. Jenny tak berani menatapku, ia menunduk. Begitupun dengan Johan yang menatap kosong ke arah Jenny.
"Cepat saling minta maaf" Ucapku ketus. Aku benar-benar tak tahan dengan sikap konyol mereka. Hei, hanya karena permainan saja mereka sampai seperti itu.
"Johan yang salah, Jel. Ia menangkap bolanya saat aku sudah berla-"
"Aku gak salah Jel, memang begitu permainannya. Jenny saja yang tak mengerti" Potong Johan.
"Tapi setidaknya ia mengalah untuk aku, Jel. Aku susah payah berlari" Ucap Jenny membela diri.
"Sudah cukup! Kalau tak ada yang mengalah bagaimana bisa kalian saling memaafkan. Cobalah untuk saling mengoreksi diri sendiri. Kalian teman baikku, kita tidak akan bisa berdiskusi dalam keadaan seperti ini. Atau kita tunda saja besok" Ucapku panjang lebar. Jenny dan Johan menatapku sendu.
"Jangan, Jel. Kita harus segera menyelesaikannya" Seru Jenny. Jenny lalu melirik ke arah Johan.
"Maafkan aku, Jen" Johan mengulurkan tangan ke Jenny. Jenny menjabat tangan Johan.
"Aku yang salah, Johan. Maafkan aku" Jawab Jenny. Mereka saling memaafkan, aku tersenyum, akhirnya masalah sepele ini bisa selesai.
Kami melanjutkan berdiskusi, Johan mengetik sedangkan aku dan Jenny saling berargumen. Sesekali Johan ikut mengutarakan pendapatnya. Kami cukup kompak kali ini. 5 lembar sudah terlampaui, tinggal 5 lembar lagi sisanya. Tugas Bu Vera memang aneh, ia meminta membuat makalah sebanyak 10 halaman, tak kurang dan tak lebih. Cukup sulit mengaturnya, bagaimana tidak, semua buku yang kami baca jumlahnya ratusan halaman dan kini harus dirangkum dalam 10 lembar makalah dalam waktu 7 hari.
"Wahhh.. Ada tamu rupanya. Ijel kenapa kamu gak bilang Papa. Kan Papa bisa belikan makanan dulu untuk temanmu"
Aku menoleh, Papa berdiri tepat dihadapan aku, Johan dan Jenny. Jenny dan Johan berdiri, memberi salam kepada Papaku.
"Maaf, Pah. Ijel lupa kabarin Papa. Lagi pula gak biasanya Papa pulang cepat"
"Iya Jel, mulai hari ini dan seterusnya Papa akan pulang lebih awal karena sudah ada dokter baru yang akan membantu Papa" Jawab Papaku, aku mengangguk tersenyum. Aku senang sekali, Papa bisa lebih sering berada di rumah.
"Oh iya, kalian mau makan apa? Nanti om masakan atau kalian mau pizza di seberang jalan sana? Nanti om pesankan" Lanjut Papaku menawarkan.
"Tidak per-"
"Masakan Om jauh lebih enak dari restoran manapun" Jenny memotong ucapanku. Aku melirik ke arahnya. Wajahnya amat berbinar-binar saat menatap Papaku. Oh Tuhan, bagaimana bisa Jenny menyukai Papaku.
"Kamu bisa saja-"
"Jenny. sama aku Jenny, Om" Potong Jenny lagi. Papaku tertawa.
"Oh iya Jenny, maaf Om lupa. Padahal baru tadi pagi Om tahu namamu. Kalau gitu, kalian lanjutkan belajarnya. Nanti Om masakan. Oh ya, Jenny, kamu suka makanan apa?"
"Semua jenis makanan Jenny suka, Pah. Bahkan sosis bayi landak pun Jenny menyukainya" Celetukku. Jenny melirikku sinis.
"Kamu bisa saja, Jel. Kalau gitu, nanti Om buatkan sandwich saja ya" Ucap Papaku lagi. Jenny mengangguk semangat. Sedangkan Johan hanya bisa tercengang melihat tingkah ajaib Jenny. Aku menepuk dahi.
Pukul 5. Makalah kami selesai. Johan berseru senang, aku pun demikian. Kami selesai mengerjakan tugas ini tepat sebelum deadline. Akhirnya aku bisa segera mengembalikan buku biru ini. Tepat di dapur sana, Papa selesai membuatkan makan sore. Dan satu lagi yang malas ku sebutkan, Jenny. Ia ikut membantu Papaku memasak dan mengabaikan tugasnya begitu saja. Setidaknya aku dan Johan masih bisa menyelesaikannya. Kami menghampiri meja makan. Tak hanya sandwich, Papa dan Jenny juga membuat ayam bakar dan salad. Tak lupa jus mangga yang selalu Papa buatkan. Lihatlah, Jenny begitu modus mendekati Papaku.
"Taraaaa.. Makanan sudah siap. Ala Jenny dan Om Chef" Ucap Jenny semringah. Papaku tertawa.
"Papaku namanya Shuwan. Bukan Chef" Ucapku ketus.
"Tak apa, Jel. Biarkan Jenny memanggil Papa sesukanya" Ucap Papaku. Aku melotot tak percaya. Apa? Sesukanya! Lihatlah, wajah Jenny semakin berbinar-binar.
"Ayo sekarang kita makan bersama. Setelah itu, Om akan mengantar Johan dan Jenny pulang. Tak baik jika mengerjakan tugas hingga larut malam. Kalian butuh istirahat" Lanjut Papaku. Jenny semakin semringah. Kami segera makan dalam hening. Johan yang sedaritadi tak banyak bicara ia makan dengan lahapnya. Aku dan Jenny tercengang melihatnya. Lihatlah, Johan makan lebih cepat dibanding Jenny. Aku tak tahan menahan tawa.
Waktu makan selesai. Papa bersiap mengantar Jenny dan Johan pulang. Tak lupa aku pun ikut mengantarnya. Takut Jenny mengeluarkan ribuan trik modusnya. Aku harus tetap di samping Papaku. Tak ingin Jenny mendapatkan kesempatan mendekati Papaku.
Jenny dan Johan merapikan buku yang mereka bawa. Kami masuk ke dalam mobil. Papa yang menyetir. Aku duduk di samping Papa, Jenny dan Johan di belakang.
"Oh iya, Jel. Tadi Papa ke toko buku dekat rumah sakit, Papa tidak menemukan buku yang sama, Jel. Maafkan Papa ya" Ucap Papaku memecah keheningan.
"Tidak perlu, Pah. Tugas Ijel sudah selesai kok. Ijel tidak memerlukan buku itu lagi. Besok Ijel bisa mengembalikan buku itu ke pemiliknya" Jawabku menjelaskan.
"Buku biru itu, Jel? Bukankah Axel punya 2 buku yan sama?" Seru Jenny tiba-tiba. Aku menggeleng.
"Tidak, Jen. Buku yang kamu lihat itu milik Kak Zearon. Tadi aku melihatnya" Jenny mengangguk pelan. Ia telah salah menduga rupanya. Seperti aku yang juga salah menduga. Si pemilik buku yang sama adalah Kak Zearon. Bukan Axel. Lagipula untuk apa Axel membeli buku yang sama.
"Kalau gitu, anak lelaki yang Papa lihat itu adalah Kak Zearon ya, Jel" Tanya Papaku. Aku mengangguk.
"Oh iya, Jel. Axel itu kakak kelas kita atau bukan ya? Daritadi kita hanya memanggil namanya saja" Jenny bertanya kepadaku. Aku menggeleng. Benar apa kata Jenny, aku pun turut memikirkan hal yang sama. Siapa Axel, kakak kelas atau seumuran. Ah entahlah.
"Axel anak kelas 10 IPS 6?" Tanya Johan. Aku dan Jenny saling tatap.
"Kamu mengenalnya, Johan?" Jenny bertanya, Johan mengangguk. Jelas Johan mengenalnya, kemarin ia sudah cukup dekat dengan Axel.
"Kalau gitu, aku dan Ijel bisa memanggilnya Axel tak lebih" Jenny tersenyum, aku pun begitu. Jika satu angkatan, kami pasti akan lulus bersama. Pasti menyenangkan.
Hari mulai menggelap, mobil Papa terus melaju menuju rumah Jenny dan Johan. Cukup hening. Aku memikirkan kata-kata yang akan aku katakan untuk mengembalikan buku itu besok. Apakah aku hanya harus mengucapkan terimakasih atau memberikan ia sepotong coklat atau bahkan memberikan bekal makan siang.
"Oh tidak Arinzell! Itu hanyalah sebuah buku. Kau tak harus berlebihan! Bahkan Axel pun belum tentu bisa menerima pemberianmu. Kalian hanya teman, teman yang sama sekali tak dekat. Hanya sebatas peminjam dan pemberi pinjaman. Tak lebih"
Aku tersadar dari lamunku. Hari semakin menggelap. Hanya aku dan Papa yang berada di dalam mobil. Aku tak ingat kapan Jenny dan Johan tiba di rumah mereka, bahkan mereka turun dari mobil pun aku tak tahu.