Loading...
Logo TinLit
Read Story - AVATAR
MENU
About Us  

 

“Lima, empat, tiga, dua, satu. Buka” Ucapku dalam hati. Memandang pintu ruang operasi benar-benar membuatku amat khawatir. Bagaimana tidak, setelah 4 jam menunggu, pintu ruang operasi masih saja belum terbuka. Kabar gadis kecil kemarin dengan kondisinya yang semakin memburuk membuat Papa terburu-buru menuju rumah sakit sebelum memutuskan untuk menjalani operasi ini. Papa mengajakku agar aku tidak sendirian di rumah, terlebih luka di lenganku pun perlu ditangani di rumah sakit ini. Meski begitu, keadaan ini membuat Papaku berani untuk melakukan pekerjaan lamanya sebagai dokter bedah. Pihak rumah sakit mempercayai Papaku untuk memegang alih sepenuhnya terhadap dua orang korban kecelakaan kemarin. Lorong rumah sakit terlihat amat lengang. Di depan ruang operasi ini aku menunggu, meski aku tak mengenal anak kecil itu, namun rasa khawatir ini semakin menyentuh hatiku, aku ingin ia segera sadar. 


Pukul 8, pintu ruang operasi terbuka. Pasien itu dibawa keluar, aku menatap kosong, tak tahu apa yang sedang terjadi apakah operasi berjalan lancar ataukah tidak. Dan beberapa saat Papaku keluar dari ruang operasi. Ia menatapku dengan matanya yang berlinang. Aku membalas tatapannya seolah bertanya 'Ada apa? apa yang terjadi?'. Papa hanya menggelengkan kepala. Aku menutup mulutku tak percaya. Secepat itukah? 


***


“Maafkan Papa, Jel. Luka di lenganmu baru Papa tangani” Ucap Papaku sendu. 


Aku menggeleng “Tak apa, Pah. Gadis kecil tadi jauh lebih membutuhkan Papa” jawabku, air mataku lolos begitu saja. 


“Ijel bangga memiliki Papa seperti Papa” Lanjutku. 


“Papa gagal, Jel”


“Hidup atau mati sudah Tuhan yang mengaturnya. Papa sudah melakukan yang terbaik, Pah. Bukankah Papa selalu mengingatkan Ijel akan hal itu, tentang kepergian Mama yang sangat berat bagi Ijel. Tapi ini sudah kehendak Tuhan”
Papa tersenyum, meski matanya tak dapat menutupi gurat kesedihan di wajahnya. Jahitan di lenganku selesai. Papa menambahkan perban di lenganku. Meski aku sangat ingin mengenal gadis kecil itu, mungkin aku memang tak ditakdirkan untuk mengenalnya. Bukankah hidup harus bisa merelakan? Mereka kepergian walau pun sulit.

 
“Namanya Aina. Usianya 6 tahun, Jel” Aku mengangguk pelan. 


“Ijel sudah menganggapnya sebagai adik Ijel, Pah” Jawabku sendu. 


“Lalu bagaimana dengan Ayahnya Aina? Apakah ia akan menyesal atas perbuatannya yang telah menewaskan putrinya?” Ucapku menahan gusar kepada lelaki tua itu. 


“Namanya Pak Reno, ia belum sadarkan diri, Jel. Kita doakan saja, agar ia menyadari kesalahannya” Jawab Papaku. Aku mengangguk. 
Papa memintaku untuk menunggu di ruangannya. Sedangkan Papa masih sibuk menangani pak Reno dengan kondisinya yang semakin memburuk. Aku meminjam ponsel Papa untuk mengabari Jenny karena aku tidak sekolah hari ini. Ini kebiasaanku, selalu lupa membawa ponsel sendiri

.
“Jenny”


“Iya Om, ada apa Om? Ijel kemana? Om rindu Jenny”


Cepat sekali Jenny membalas pesanku. Gadis itu selalu saja memainkan ponselnya saat jam pelajaran. Entah kapan ia fokus menyimak pelajaran. Tapi entahlah, itulah keunikan Jenny. Dan.. Hei, kalimat terakhir Jenny, kalimat macam apa itu. Sungguh ia amat berani mengucapkannya. 


“Jenny, ini aku Ijel. aku tidak sekolah hari ini. lenganku terluka, Papa mengobatiku di rumah sakit. Tapi kondisiku tak apa kok. Tolong beritahu aku ya jika ada tugas sekolah”


Drrtdrtt


“Lenganmu? Ada apa? Apa yang tejadi dengan lenganmu, Jel? Semoga lenganmu cepat membaik ya, Jel. Aku sedih kamu tidak sekolah hari ini dan salam untuk Papamu”


“Besok aku jelaskan, Jen” balasku singkat, Jenny tak membalas, barangkali ia ketahuan memainkan ponselnya atau mungkin ia sedang fokus menyimak pelajaran. Semoga saja. 


Sambil menunggu, sesekali aku berkeliling di ruangan Papa. Ruangan ini masih sama seperti dahulu. Rupanya pihak rumah sakit tidak memberikan ruangan ini kepada dokter lain. Walau bagaimana pun, Papa adalah dokter terbaik di rumah sakit ini. Dan amat disayangkan keputusan Papa untuk keluar dari rumah sakit membuatnya meninggalkan reputasinya sebagai dokter terbaik. 


Di ruangan yang cukup luas ini, puluhan buku terpajang pada etalase, serta foto aku dan Papa masih tertata rapi di ruangan ini. Tidak hanya itu beberapa sertifikat penghargaan Papa pun masih terpanjang indah di dinding. 


“Ijel, Ayo kita pulang” Ucap Papaku mengagetkan. 


“Pah, apa Papa tak ingin kembali menjadi bagian dari rumah sakit ini?” Tanyaku pelan. Papa menatapku. 


“Tidak, Ijel. Bekerja di sini membuat Papa tidak memiliki banyak waktu luang untukmu”


“Ijel sudah besar, Pah. Ijel bisa menjaga diri Ijel sendiri”


“Arinzell, kamu tetaplah gadis kecil Papa yang harus selalu Papa lindungi” Aku terharu mendengar ucapan Papa. Walau begitu, aku tahu menjadi dokter bedah adalah cita-cita Papa dahulu.


“Ijel mohon Pah” Bujukku. 


Papa tersenyum tipis, ia seperti tak tega melihatku memohon. 


“Nanti Papa pertimbangkan, ayo kita pulang”

***

Seperti biasa, hujan turun di kala sore. Aku kembali membaca novelku, membiarkan suara derasnya hujan menjadi irama musik bagiku. Pemakaman Aina berjalan lancar walau aku hanya menjenguk pemakamannya sesaat namun air mataku masih saja ingin mengalir, sungguh malang gadis kecil itu. Sedangkan Pak Reno sudah menunjukan tanda-tanda kepulihan, sejak tadi Papa kembali ke rumah sakit untuk memeriksanya. Semoga hal buruk seperti ini tidak akan terulang lagi, tentang gadis kecil yang kehilangan nyawa karena kesalahan ayahnya. 
Hujan semakin deras, aku menutup novelku, menatap kosong hujan di luar sana. Mengenang rindu yang tak pernah ku gapai. Mama, aku merindukannya. Walau aku tak pernah melihat wajahnya. Tapi rindu ini masih belum bisa terobati. Andai saja Mama masih ada, Papa akan bisa meraih semua mimpinya tanpa perlu terhalang waktu untuk menjagaku. Andai saja Mama masih ada, aku tak akan kesepian seperti ini walau masih ada Papa. Aku rindu Mama, tidak bisakah aku memiliki kenangan dengan Mama walau hanya satu menit? Aina, mungkin nasibnya sama denganku, Mamanya tak ada dan kini ia telah menyusul Mamanya karena Ayahnya. Kenapa, kenapa hidup seperti ini? Tidak bisakah hidup menjadi lebih adil, setidaknya kenapa Aina yang harus menerima hal seperti ini. Mama, jika Mama bertemu Aina, tolong jaga dia, Mah. 
Tanpa sadar air mataku menetes deras, aku membaringkan tubuhku di kasurku. Aku harus kuat walau menyakitkan. Aku percaya bahwa akan ada hikmah dibalik kesedihan dan akan ada kebaikan dibalik kejadian buruk. 


Drrttdrrttt.. 

“Ijel, hari ini tidak ada tugas. Kalau besok kamu masih belum pulih, sebaiknya kamu istirahat saja, Jel”


“Iya, Jen. Terima kasih, ya” 
Pesan dari Jenny menunjukan pukul 3 sore, dan saat ini pukul 6 sore. Hujan membuat jaringan telepon sulit diterima. Beberapa pesan baru aku terima, pesan dari Papa, dan grup kelas dan... 


“Selamat pagi, Arinzell. Semoga harimu menyenangkan”


Pukul 6 sore. Ia mengirim pesan itu pukul 6 pagi. Oh tidak.


“Iya, Selamat sore, Axel”
Aku menepuk dahi. Bagaimana bisa aku membalas seperti itu? Terkesan amat konyol sekali. Arinzell.. kau bodoh! 


“Sore juga, Arinzell” 


Deghhhh


Cepat sekali ia membalasnya? Bagaimana ini? Aku harus mengetik apa. Tapi kenapa aku harus sepanik ini? Tenang Arinzell.. Tenang.. Axel gak gigit kok. 


“Tadi kamu tidak sekolah?” balasnya lagi. 


“Iya, kau tahu dari siapa?”


“Aku lihat temanmu sendirian”


“Siapa? Jenny?”


“Sepertinya, Jenny namanya”


“Iya”


Percakapan macam apa ini. Kenapa, kenapa aku segugup ini hanya karena membalas pesannya? 


“Kau sibuk?” 


“Tidak”


“Kau sakit?”


“Tidak”


“Lalu?”


“Lalu apa?”


“Kenapa kau tidak sekolah?”


“Lenganku luka. Tapi tak begitu parah”


“Kau bilang, kau tidak sakit. Ya sudah, jaga kesehatanmu”


“Iya, Terima kasih”


“hmmm”
5 menit, kenapa segugup ini? Dan kenapa pula ia menanyakan hal itu? Udara dingin seketika menjadi panas, Tuhan tolong aku. 
Aku menggenggam erat ponselku sembari tetap menyalakan layarnya. Namun, dia tak membalas lagi. 


“Arinzell, bagaimana lenganmu? Apa masih sakit?”


“Eh? Papa? Papa sudah pulang? Sejak kapan?”


“5 menit yang lalu, kamu tidak mendengar suara mobil Papa?”


“Hujan Pah, Ijel tidak mendengarnya. Oh iya lengan Ijel gak sakit, kok”


“Hujan sudah berhenti, Ijel”


“Berhenti? Sejak kapan” tanyaku heran. 


“Baru saja. Ya sudah mungkin kamu perlu istirahat. Nanti pukul 7 malam turun ke bawah ya, kita makan malam”


“Iya, Pah” Ucapku terbata. 


Kenapa semua membingungkan? Dan kenapa aku merasa aneh, bahkan hujan berhenti pun aku tak menyadarinya. Axel, kenapa kau tak membalas lagi? 

***


“Ijel, kau melamun?” Tanya Papa memecah lamunku. 


“Tidak, Pah. Oh iya, bagaimana keadaan Pak Reno?” Tanyaku membuka topik pembicaraan. 


“Ia sudah sadar, Jel. Hanya saja ia masih terlalu lemah”


“Apa polisi akan menahannya?” Tanyaku lagi sembari menyuap nasi goreng buatan Papa. 


“Iya, mungkin 5-7 hari lagi, sampai kondisi Pak Reno membaik” Jawab Papa. Aku mengangguk. 


“Tidak biasanya kamu membawa ponsel ke ruang makan, Jel” 


“Tidak, Pah. Aku hanya menunggu pesan dari Jenny” Ucapku sedikit terbata. Papa mengangguk percaya. Biarlah, biarlah keadaan ini semakin aneh. Begitu pun sikapku yang aku tak tahu kenapa dan mengapa aku seperti ini. 


Seusai makan malam, aku kembali ke kamarku. Merapikan buku-buku untuk persiapan pelajaran esok. Dan lagi-lagi ponselku masih tetap menyala. 


“Matematika, Sejarah, Geografi..” dan hei, kenapa buku seni budaya ada di ranselku? Aku menepuk dahiku, aku salah memasukan buku. Apakah kalian merasa aneh denganku? Aku tak ingin merasa gugup seperti ini lagi, ku lempar ponselku ke kasurku. Dan aku, memilih menatap rembulan yang tertutup awan melalui kaca jendela. Begitu indah walau hanya sebagian yang terlihat. Langit tanpa bintang dengan awan gelap yang menyelimuti cahaya putih rembulan. Axel, apakah kau menatap rembulan yang sama? 


Drrtttdrrttt


Ku raih ponselku dengan cepat begitu suara getaran memecah lamunku bersama rembulan. Dan benar saja. Axel kembali mengirim pesan kepadaku. 


“Arinzell, besok kau sekolah?”


“Iya”


“Baiklah”


“Tidak, kau sedang apa?”


Deghhh.. 


Axel menanyakan aku sedang apa? Oh tidak haruskah aku menjawab bahwa aku sedang menunggu pesan darinya dan tersenyum-senyum sendiri saat membaca pesan darinya? 


“Aku sedang menatap langit” Setidaknya aku tak salah ketik. 


“Tak ada bintang”


“Iya. Hanya bulan yang redup. Tapi indah”


“Iya, langit selalu indah walau ribuan awan gelap membungkusnya, langit akan tetap terlihat menawan”


“Benar sekali. Tapi aku suka bulan”


“Aku suka bintang”


“Baiklah


Beberapa menit lengang.. 
Dan ia tak membalas lagi.. 


“Selamat tidur, Axel” balasku. Tak apa aku menjadi sebodoh ini. Ini sungguh memalukan, seakan pikiranku memerintah jemariku untuk mengetik seperti itu. Biarlah.. Biar bulan yang perlahan meredup menjadi saksi bisu kebodohanku dan menjadi saksi bisu atas perasaanku yang tak karuan ini. 

***

Pagi yang indah, langit yang tertutup awan gelap kini berubah menjadi langit biru tanpa awan. Hanya ada seutas sinar mentari yang baru mengintip. Aku suka pagi, aku suka bulan, dan aku suka bintang. 


Seusai sarapan Papa mengantarku ke sekolah, ini masih pukul 05.30. Terlalu pagi aku untuk tiba di sekolah. Tapi berhubung Papa harus segera ke rumah sakit, aku menurut untuk datang ke sekolah sepagi ini. Tak masalah, mungkin aku bisa membaca beberapa buku di perpustakaan. Itu pun jika perpustakaan sudah buka. 


“Ijel. Ini ponselmu. Jika ada apa-apa, tolong kabarkan Papa”


“Siap, Pah” Ucapku sebelum keluar dari pintu mobil. Papa melambaikan tangan ke arahku. Aku pun membalas.


Mobil Papa semakin menjauh. Aku menyalakan ponselku. Tak ada balasan. Sungguh memalukan. Dengan cepat aku masuk ke sekolah yang masih amat sepi. 
Jalan masih basah oleh air hujan semalam. Begitu pun dengan pohon serta tanaman di taman yang masih basah oleh air embun. Pagi ini cukup dingin, aku memutuskan untuk segera ke kelas setelah melihat pintu perpustakaan masih tertutup rapat. 
Sama. Ruang kelas pun masih sepi. Jenny masih belum tiba. Begitu pun yang lainnya. Aku menatap kosong langit yang perlahan semakin cerah melalui jendela kelas. Cukup indah terlebih suasana sekolah masih amat sepi.
Seorang lelaki berjaket merah berjalan cepat ke arah tangga di samping kelasku. Dialah Axel. Orang yang ku tunggu. 


“Selamat pagi, Arinzell”


Deghhh.. 


Apa? Apa dia bilang barusan? Dia melihatku? Sungguh? Belum sempat aku menjawab ia sudah berjalan menaiki tangga. Benar kata Johan, kelas Axel ada di atas kelasku. 


Tak apa, setidaknya aku bisa mengisi waktuku dengan membaca bukuku. Meski hanya buku pengantar tidur yang ku bawa selain buku pelajaran. Barangkali, aku akan membaik setelah membaca. 

“Lalat,kupu-kupu dan Kunang-kunang”
Pada sore hari yang begitu panjang, lalat kembali membawa kelopak bunga mawar yang selalu ia kumpulkan di bawah pohon. 
Ia tak pernah merasa lelah akan hal itu. Semua itu ia lakukan sebagai hadiah untuk kunang-kunang yang selalu menyinari malamnya yang gelap. 
Sedikit demi sedikit ia kumpulkan kelopak bunga mawar merah yang ia bawa dengan susah payah dari tempat yang sangat jauh. Andai tubuhnya lebih besar, harapan ia untuk membawa setiap tangkai bunga akan dengan mudah terwujud. Tapi meski tubuhnya kecil, ia sadar hanya kelopak bungalah yang mampu ia bawa. Hari-harinya ia sibukan dengan mencari kelopak mawar. 
Baginya akan sangat indah jika kunang-kunang bersedia bersinar di antara kelopak mawar merah yang ia kumpulkan dan ia susun bagai taman mawar sesungguhnya. Cahaya merah akan terlihat lebih indah dibalik harumnya bunga mawar pada malam yang sunyi. Hari melelahkannya usai. Ia telah berhasil membangun taman mawar bak istana di bawah pohon linden nan rimbun. Hanya satu kelopak mawar lagi yang tertinggal. Dengan sisa tenaganya ia terbang mengambil kelopak mawar itu. Sampai di tengah jalan, ia melihat seekor kupu-kupu dengan sayap yang sangat indah tergeletak lemas di antara ranting pohon yang tajam. Lalat menghampiri kupu-kupu, bersiap memberi pertolongan. Apa pun ia lakukan untuk menolong kupu-kupu. Dengan lemas, kupu-kupu membuka mata. Lalat tahu ia tak akan membiarkan kupu-kupu tergeletak lemas di antara ranting pohon yang perlahan merusak keindahan sayap kupu-kupu. Maka lalat segera merangkul kupu-kupu malang itu untuk beristirahat di taman bunganya. 
Keadaan kupu-kupu perlahan membaik, lalat memutuskan untuk kembali mengambil kelopak mawarnya. Meski tenaganya terkuras habis, walau hari semakin menggelap. Dan meski harus terbang ratusan meter, ia tak peduli. Baginya melihat kunang-kunang bahagia adalah hal utama dalam hidupnya. Terlebih berada di taman mawar adalah impian kunang-kunang sejak dahulu. Maka, inilah kesempatan lalat untuk mewujudkan hal itu.
Gelap. Lalat tak dapat melihat dengan jelas. Bahkan cahaya rembulan tak dapat menembus dedaunan hutan yang rimbun. Hanya satu yang ia lihat dalam bayangnya, kunang-kunang. Ia harus segera sampai taman bunganya. Dan harus segera memberikan kejutan ini sebelum mawar menjadi layu. 
Ranting pohon, gerimis, angin kencang, lalat hadapi dengan teguh tanpa melepas kelopak mawar yang dibawanya. 
Ratusan meter berhasil ia lewati. Dan di depan sana, cahaya merah perlahan terlihat jelas.
Entah apa yang ia rasakan. Bagai petir menyambar tanpa sebab, bagai rembulan yang tak lagi bersinar, dan bagai harapan yang sirna begitu saja. 
Kelopak mawar terjatuh, begitupun dengan sayap lalat yang rusak dan patah perlahan. 
Lalat berusaha untuk tetap bertahan, menahan tubuhnya agar tidak terjatuh.
Tepat di depan sana. Kupu-kupu dan kunang-kunang sedang menari di antara harumnya mawar dengan indahnya taman mawar yang Lalat buat. Mereka tertawa bersama. Bernyanyi dan saling bahagia bersama. 
Dengan sisa tenaganya, lalat berusaha terbang dengan sayap yang patah.
“Hei, Lalat. Lihatlah taman mawar yang kupu-kupu buat. Begitu indah,bukan? Cahayaku begitu indah di antara kelopak mawar ini”
Begitu menyesakan pengakuan yang kupu-kupu buat. Apa daya, lalat hanya dapat mengangguk terjatuh. Sayapnya telah hancur. Ia tak dapat terbang kembali. Pengorbanan mungkin tak selalu indah dengan pengakuan. Lalat memilih bungkam. Menikam hatinya yang ingin mengungkapkan fakta. Tapi sia-sia. Walau lalat bicara, tak akan ada yang percaya bahwa lalat yang membuat taman mawar itu untuk kunang-kunang. Seberapa besar pengorbanan lalat tentu akan kalah dengan pengakuan kupu-kupu dengan sayap besar nan indah itu. 
Lalat memang terkenal kotor, bau dan segala keburukan ada pada lalat. Tapi tidak bisakah Lalat dihargai? 
Malam itu, peri hutan tak lagi bersenandung, langit seketika melontarkan petirnya, dan hujan turun dengan derasnya. Kupu-kupu dan kunang-kunang tetap bersama, mereka berlindung di antara kelopak mawar yang kokoh.
Dan lalat. Ia telah berlalu terbawa derasnya air hujan. Dengan rasa sakit yang terus menikam hatinya. Ia memilih ikhlas untuk melakukan hal itu demi kebahagiaan kunang-kunang. 

_The End_

Sad ending. Aku menekuk wajah. Beberapa murid berdatangan. Termasuk Jenny dan Johan yang kedatangannya begitu ramai dengan tawa canda mereka. Tapi, hei, mereka terlihat lebih akrab setelah beberapa hari lalu tampak ada perselisihan di antara mereka. Hidup memang tak bisa ditebak. 


“Ijellll.. Bagaimana lenganmu? Apa sudah membaik?” Tanya Jenny, aku mengangguk. 


“Hah, Ijel? Kau sakit? Sejak kapan? Bukankah kemarin kau sehat-sehat saja?” Tanya Johan sok panik. Aku menahan tawa. Jenny mencubit lengan Johan. 


“Kau ini, Ijel kemarin tidak sekolah. Bagaimana bisa kau mengatakan bahwa Ijel sehat-sehat saja kemarin”


“Mana aku tahu, aku duduk paling belakang, Jen” Ucap Johan dengan wajah yang begitu melas. Kali ini aku benar-benar tertawa. 


“Ijel. Kau tidak marah kan? Kau tertawa? Baiklah aku akan membuatmu semakin tertawa. Kau tahu tidak, Jenny sedang galau lho.. Dia membuat puisi...”


“Tutup mulutmu, Johan!” Potong Jenny. Aku mulai bingung sekarang. 


Johan berlari, ia membuka selembar kertae merah jambu di tangannya. Jenny mengejar Johan yang perlahan mulai membacakan isi kertas itu. Suasana kelas tak begitu ramai, namun Jenny dan Johan membuat suasana kelas begitu heboh. 

'“Isyarat Cinta”


Indah cinta bertaburkan kasih
Melangkah cepat berirama
Melantunkan detak penuh arti
Dengan tatapan berbalut cahaya

Senyum indah terlukis abadi
Dengan hati yang tak tentu arah
Berbinar indah tatapan wajahmu
Meluluhkan hati yang kian mengeras

Jemariku menggelitik
Mengukir indah namamu pada selembar kertas
Memberi warna dengan ketulusan
Mengabadikannya dengan pelukan

Tahukah kau.. 
Hatiku terkesipu saat kau lewat di hadapanku
Kakiku membeku seakan tak mau menjauh darimu
Jantungku berdetak cepat tanpa kepastian
Memberikan isyarat yang tak kau ketahui

“Jenny jatuh cinta Jelll” Ucap Johan tertawa puas. Wajah Jenny memerah kembali berusaha merebut kertas merah muda itu Dari tangan Johan yang mulutnya bagaikan ember bocor kalau kata Jenny. 


Melalui lamunan tak berujung aku melihatmu dalam perjalanan kembali di sana aku menemanimu berjalan dengan menggandeng tanganmu
Melalui kegelapan yang kabur yang mana menyelimuti senja kita telah jauh dari ketakutan
Di suatu tempat aku akan menemuimu hari-hari kita akan seperti bunga mekar mekar begitu cerah di sekitarmu
Waktu demi waktu aku akan merindukanmu dan tawamu seperti sinar matahari lenyap di dalam bayangan air mata
Di sekitarku adalah cahayamu denganmu semuanya begitu bersinar bagaimana bisa kita akan meninggalkan semua ini di belakang. karena cintamu telah jatuh di hatiku. dan aku jatuh (cinta) kepadamu, jatuh dengan sayap yang patah lagi
Tenanglah sekarang malaikatku, aku akan selalu bersamamu. Dalam senyum manismu, dalam cahaya air mata di luar di malam yang beku, aku akan ada di sana bersamamu
Mungkin suatu hari kamu akan terbangun sendirian tanpaku Tapi jangan menangis lagi, aku akan menunggu di sini dimana bulan terbit seperti waktu dahulu
Aku bisa saja pergi denganmu di antara waktu kita dimana mereka tidak dapat menemukan kita. Kamu bisa saja datang kepadaku di luar sana. dimana kita bisa bermimpi sepanjang hari.
Tenanglah sekarang malaikatku, aku akan selalu bersamamu. Dalam senyum manismu, dalam cahaya air mata di luar di malam yang beku, aku akan ada di sana bersamamu
Mungkin kamu akan selalu bernafas di dalam diriku, selalu di hatiku.
Semua potongan kecil tentangmu terlihat bersinar di atas Datanglah pergi denganku nanti malam, kita akan bermimpi di sana
Mungkin kamu akan selalu bernafas di dalam diriku, selalu di hatiku
Semua potongan kecil tentangmu terlihat bersinar di atas Datanglah pergi denganku nanti malam, kita akan bermimpi di sana selalu.

“HAHAHA, Jenny galau, Jelll” Tawa Johan. Kali ini aku menggelengkan kepala. 


“Johan, yang kau baca itu bukannya lirik lagu 'Hush' soundtrack drama korea 'Goblin' ya?” Ucapku membuka suara. Johan tercengang. Kali ini Jenny tertawa puas. 

***

Waktu begitu cepat berlalu. Papa kembali menjemputku. Aku, Jenny dan Johan berpisah di gerbang sekolah. Jenny dan Johan melambaikan tangan ke arahku. Aku membalas. Berteman bersama mereka begitu menyenangkan. Papa pun turut tertawa melihat tingkah Jenny dan Johan yang selalu aneh setiap saat. Terkadang mereka akrab dan terkadang mereka musuhan dengan berbagai alasan. Begitulah persahabatan, ada-ada saja tantangannya. 


Mobil Papa melaju perlahan. Mengingat Johan menganggap lirik lagu sebagai puisi karya Jenny. Aku jadi ingin membuat puisi, walau tak bisa, barangkali bisa menjadi hobi baru jika aku melatihnya. 


Aku membuka buku catatanku, ku rangkai tiap kata yang terlintas dalam pikiranku. Walau tak indah dan tak terlihat menarik, setidaknya hanya aku yang membacanya. 


Kemarin ku lihat pelangi
Dan kini hari berganti
Banyak hal yang ku ingini
Namun belum bisa ku penuhi

Indah rasanya merasakan angin
Berjalan bebas tanpa rintangan
Melewati bunga yang bermekaran
Yang memancarkan keharuman

Ribuan langkah yang telah lewat
Berjalan jauh menggapai langit
Mendaki gunung dan bukit
Tanpa ada rasa sakit.. 

Dunia yang banyak pilihan
Hanya aku yang tak bisa memilih
Aku hanya diam sendirian
Menanti orang yang akan memilih

Di tempat ini aku berdiri
Mengharapkan sesuatu yang tidak pasti
Menatap langit yang indah
Mengikuti air yang mengalir

Namun aku tak sebebas air
Tak sebebas udara
Tak sebebas yang lain
Aku hanya bisa diam di tempatku

Akankah hari itu tiba? 
Hari dimana aku bahagia
Dan memancarkan wajah ceria
Serta menghilangkan ribuan trauma

Aku takut, ya aku takut! 
Apa aku akan seperti ini terus? 
Aku tak berani berkata apa-apa
Terkurung dalam keheningan

Siapa peduli? 
Siapa yang mengerti? 
Tak ada! 
Pasti tak ada! 

Aku hanya diam sendiri
Tanpa ada yang mengerti
Aku tak bisa cerita
Namun hanya menjatuhkan air mata

Ku dengar melodi yang indah
Yang membuatku terhibur
Tanpa memikirkan keluh kesah
Berharap kesedihanku akan terkubur.. 

“Mama, Ijel rindu Mama” gumamku sembari menatap wajah Papa yang terlihat semakin menua. Papa tetap melajukan mobilnya dengan kecepatan normal. Setidaknya aku bersyukur memiliki Papa sebaik Papa, dan memiliki teman sebaik Jenny dan Johan. Serta memiliki teman misterius seperti Axel. 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 1 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Princess Harzel
16138      2393     12     
Romance
Revandira Papinka, lelaki sarkastis campuran Indonesia-Inggris memutuskan untuk pergi dari rumah karena terlampau membenci Ibunya, yang baginya adalah biang masalah. Di kehidupan barunya, ia menemukan Princess Harzel, gadis manis dan periang, yang telah membuat hatinya berdebar untuk pertama kali. Teror demi teror murahan yang menimpa gadis itu membuat intensitas kedekatan mereka semakin bertamba...
Love Dribble
10186      1931     7     
Romance
"Ketika cinta bersemi di kala ketidakmungkinan". by. @Mella3710 "Jangan tinggalin gue lagi... gue capek ditinggalin terus. Ah, tapi, sama aja ya? Lo juga ninggalin gue ternyata..." -Clairetta. "Maaf, gue gak bisa jaga janji gue. Tapi, lo jangan tinggalin gue ya? Gue butuh lo..." -Gio. Ini kisah tentang cinta yang bertumbuh di tengah kemustahilan untuk mewuj...
TRIANGLE
325      209     1     
Romance
Semua berawal dari rasa dendam yang menyebabkan cella ingin menjadi pacarnya. Rasa muak dengan semua kata-katanya. Rasa penasaran dengan seseorang yang bernama Jordan Alexandria. "Apakah sesuatu yang berawal karena paksaan akan berakhir dengan sebuah kekecewaan? Bisakah sella membuatnya menjadi sebuah kebahagiaan?" - Marcella Lintang Aureliantika T R I A N G L E a s t o r ...
Surat untuk Tahun 2001
4257      1937     2     
Romance
Seorang anak perempuan pertama bernama Salli, bermaksud ingin mengubah masa depan yang terjadi pada keluarganya. Untuk itu ia berupaya mengirimkan surat-surat menembus waktu menuju masa lalu melalui sebuah kotak pos merah. Sesuai rumor yang ia dengar surat-surat itu akan menuju tahun yang diinginkan pengirim surat. Isi surat berisi tentang perjalanan hidup dan harapannya. Salli tak meng...
Anything For You
3145      1270     4     
Humor
Pacar boleh cantik! Tapi kalau nyebelin, suka bikin susah, terus seenaknya! Mana betah coba? Tapi, semua ini Gue lakukan demi dia. Demi gadis yang sangat manis. Gue tahu bersamanya sulit dan mengesalkan, tapi akan lebih menderita lagi jika tidak bersamanya. "Edgar!!! Beliin susu." "Susu apa?' "Susu beruang!" "Tapi, kan kamu alergi susu sayang." &...
Happiness Is Real
291      246     0     
Short Story
Kumpulan cerita, yang akan memberitahu kalian bahwa kebahagiaan itu nyata.
Cute Monster
656      374     5     
Short Story
Kang In, pria tampan yang terlihat sangat normal ini sebenarnya adalah monster yang selalu memohon makanan dari Park Im zii, pekerja paruh waktu di minimarket yang selalu sepi pengunjung. Zii yang sudah mencoba berbagai cara menyingkirkan Kang In namun selalu gagal. "Apa aku harus terbiasa hidup dengan monster ini ?"
Redup.
555      343     0     
Romance
Lewat setiap canda yang kita tertawakan dan seulas senyum yang kerap dijadikan pahatan. Ada sebuah cerita yang saya pikir perlu kamu dengarkan. Karena barangkali saja, sebuah kehilangan cukup untuk membuat kita sadar untuk tidak menyia-nyiakan si kesayangan.
PALETTE
514      278     3     
Fantasy
Sinting, gila, gesrek adalah definisi yang tepat untuk kelas 11 IPA A. Rasa-rasanya mereka emang cuma punya satu brain-cell yang dipake bareng-bareng. Gak masalah, toh Moana juga cuek dan ga pedulian orangnya. Lantas bagaimana kalau sebenarnya mereka adalah sekumpulan penyihir yang hobinya ikutan misi bunuh diri? Gak masalah, toh Moana ga akan terlibat dalam setiap misi bodoh itu. Iya...
ATHALEA
1323      584     1     
Romance
Ini cerita tentang bagaimana Tuhan masih menyayangiku. Tentang pertahanan hidupku yang akan kubagikan denganmu. Tepatnya, tentang masa laluku.