Loading...
Logo TinLit
Read Story - AVATAR
MENU
About Us  

"Arinzell, cepatlah hari semakin terang!"


"Iya, Pah. Tunggu!"


Aku menuruni anak tangga dengan cepat. Di bawah sana Papa sudah menungguku dengan handuk biru yang melingkar di lehernya. Hari ini hari minggu. Sudah rutinitas aku dan Papa untuk lari pagi di hari libur. Pukul 5, kami segera keluar rumah menyambut udara sejuk di luar, menyambut bunga yang bermekaran dengan embun yang menetes di daun, serta menyambut pagi yang indah, selamat datang, Pagi. 


Aku dan Papa berlari menuju taman kompleks yang tak jauh dari rumahku. Tak hanya aku dan Papa yang hobi lari pagi di hari libur, buktinya jalanan sekitar kompleks sudah ramai oleh para pecinta lari pagi. Banyak orang yang menyapa aku dan Papa, begitupun dengan Papa yang selalu menyapa orang yang ia temui. Papa memang ramah, ia bilang beberapa penghuni kompleks adalah pasiennya dulu dan sekarang Papa lebih terfokus menjadi dokter anak.


Matahari perlahan naik ke atas, menghangatkan taman yang perlahan menguapkan embun, burung berkicau meramaikan pagi yang cerah. Papa dan aku duduk di kursi taman, bersama teman-teman Papa yang sekaligus adalah tetangga kami. Aku membuka ranselku, mengambil sebotol minuman yang sudah aku siapkan dari rumah dan membuka ponselku. 


Drrtdrtt


"Arinzell"


Hampir saja air di mulutku keluar dan membasahi ponsel ditanganku. Axel, ada apa dia sepagi ini mengirim pesan chat kepadaku.


"Ada apa, Ax.... 


Brukkkk!!! 
Sebuah mobil menerobos masuk taman. Seisi taman panik berlari dan berteriak, termasuk aku yang secara spontan berlari menjauh dari kursi taman. Mobil berwarna putih itu berhenti tepat setelah menabrak pohon besar. Kondisinya mengenaskan dengan pintu mobil terbuka dan memperlihatkan seorang laki-laki separuh baya dan seorang gadis kecil di dalamnya yang tak sadarkan diri. 


Dengan cepat Papa dan warga lainnya membantu mereka. Sebagian membantu mengeluarkan mereka dari dalam mobil. Dan ada pula yang segera melapor pihak berwajib dan ambulans. Sedangkan Papaku sibuk memberikan pertolongan pertama. Papa amat cekatan menangani luka yang parah di sekujur tubuh lelaki tua dan gadis kecil itu. Darah di kepala gadis kecil itu mengalir semakin deras. Papa membalutnya dengan handuknya. Kondisi lelaki tua itu pun tak begitu baik. Kakinya cidera parah memperlihatkan sebagian daging yang menyelimuti tulang. Aku bergidik ngeri melihat aksi Papa yang dengan berani menolong dua orang yang sedang bertarung nyawa. 


Kepanikan masih menyelimuti taman. Papa memintaku untuk segera pulang ke rumah setelah ambulans tiba. Kakiku gemetar, keringat membasahi wajah. Ini pertama kalinya aku melihat kecelakaan seperti ini. Aku memutuskan pulang menuruti permintaan Papa agar aku beristirahat di rumah. 


Pagi yang indah kini berubah menjadi amat menegangkan. 


***


Pukul 2, aku membuka mataku perlahan. Kamarku masih sama seperti biasa. Aku tertidur cukup lama setelah kejadian tadi pagi. Sulit bagiku untuk melupakan kejadian itu terlebih Papaku masih belum pulang. Aku menghela nafas berat, mengusap keringat yang membasahi wajah. Kecelakaan tadi benar-benar membuatku lemas. Dan, ada satu hal yang aku lupa, ranselku. Dimana benda itu? 


Terakhir aku letakan di atas kursi taman. Tak salah lagi, benda itu pasti masih di sana. Aku harus mengambilnya terlebih ponselku ada di dalamnya. Bagaimana aku bisa mengabari Papa jika ponselku ada di ransel yang aku tinggalkan di taman. Begitu pun dengan, Axel. Oh tidak, aku belum sempat membalas pesan chat dari dia. Barangkali ia ingin mengabarkan sesuatu yang penting. Aku harus kembali ke taman, mengambil ranselku yang aku harap masih berada di sana. 
Adalah 10 menit bagiku untuk berlari menuju taman. Kondisi taman masih dalam pengawasan polisi, meski begitu banyak warga yang berdatangan untuk memberi kesaksian. Tubuhku kembali bergetar saat melihat bercak darah masih terlihat di sekitar mobil itu. Jika hanya melihat darah manusia saja tubuhku selalu bergidik ngeri, bagaimana dengan Papa yang selalu membedah tubuh manusia saat ia masih menjadi dokter bedah. Papa memang hebat, lain denganku yang tidak memiliki bakat apapun. 
Kursi taman yang ku tuju masih berada dalam garis pengawasan polisi, aku tak bisa melintasinya begitu saja, bahkan untuk sekadar melirik ranselku pun sulit. 


"Permisi" Ucap seorang perempuan. Perawakan tinggi, wajah masih muda, dengan mikrofon di tangannya. Serta seorang teman yang membawa kamera di belakangnya. 


"Dengan mbak siapa?" Tanyanya. Aku membalas uluran tangannya.


"Arinzell"


"Baik. Mbak Arinzell, bisa tolong anda jelaskan bagaimana kronologi kecelakaan tadi pagi?" Mataku membelalak sempurna. Bagaimana bisa perempuan yang nyatanya adalah seorang reporter itu mewawancaraiku seolah hanya aku saksi mata yang melihat kecelakaan tadi pagi. 


"Mbak Arinzell? Dengan bercak darah di lengan baju anda, anda pasti berada di TKP saat kecelakaan berlangsung, bukan?" Tanyanya lagi. Aku semakin bingung tak mengerti. Hei, tak bisakah kalian melihat wajahku yang mulai memucat karena pertanyaan yang bertubi-tubi. Bagaimana bisa aku menjawab sedangkan aku sedang berusaha melupakan kejadian yang selalu membuatku bergidik ngeri jika mengingatnya. 


"Bisa tolong dijelaskan Mbak Arinzell?" Kali ini pertanyaan itu benar-benar memecah lamunanku. 


"Saya baru tiba. Dan, bercak darah ini mungkin sisa darah kucing saya yang mati tadi. Permisi" Jawabku sesopan mungkin lalu berlalu meninggalkan reporter itu yang sedang menatapku heran. Dan satu lagi, bagaimana bisa ada bercak darah di lenganku? Sedangkan aku tak merasakan sakit ataupun menyentuh korban pun tidak. 


Lupakan ransel. Aku tidak bisa melewati garis yang masih dalam pengawasan polisi. Lebih baik aku pulang sebelum reporter itu kembali memanggilku. 

***

Gerimis membasahi halaman rumah. Aku berdiri di depan jendela kamarku, menatap gerimis yang perlahan menderas. Hari mulai sore, Papa masih belum pulang. Mungkin masih sibuk dengan urusan rumah sakit. Aku melirik lenganku sekilas, baru terasa perih menyengat. Lengan yang hanya aku balut perban seadanya. Bukan bercak darah korban ataupun darah kucing, ini adalah darahku. Darah yang perlahan keluar dari luka di lenganku. Terasa menyengat saat luka itu ku lihat. 


Pukul 7. Gerimis seketika berubah menjadi hujan deras. Aku menonton televisi yang mengabarkan berita tadi pagi. Tidak dapat dipercaya, lelaki tua yang tak berdaya itu adalah perampok. Ia membawa anaknya yang masih kecil untuk ikut bersamanya di dalam mobil. Sungguh miris, aku hanya dapat menggelengkan kepala. 
Samar-samar cahaya lampu mobil terlihat dari dalam rumah. Aku segera menghampiri pintu, melihat sebuah taksi berhenti tepat di depan rumahku. Papa keluar dari taksi, dengan pakaian yang sejak pagi ia kenakan. Warnanya sudah tak karuan, banyak sisa darah mengering di sana. 
"Hai Arinzell. Maaf Papa pulang terlalu lama. Oh iya, ini ranselmu. Kau meninggalkannya di bangku taman. Syukur-syukur Papa kembali ke taman sebelum hujan menderas, jadi tasmu tak basah sedikit pun" Aku mengangguk mengambil ranselku. Papa berlalu masuk ke dalam rumah. Aku kembali ke ruang televisi, mengecek ponselku di sana. 


"Arinzell. Kau sibuk?"


Hampir saja aku lupa bahwa tadi pagi Axel mengirim pesan chat kepadaku. Dan kini ia mengirimkannya lagi, maksudku tadi siang. Mungkin ada hal penting yang ingin ia sampaikan atau barangkali ia ingin mengambil buku miliknya. 


"Ada apa Axel?" Balasku.


Hujan di luar semakin menderas, aku meningkatkan volume televisi agar lebih terdengar. 


"Maaf Papa meninggalkanmu terlalu lama. Oh iya hari ini kamu makan apa, Jel?" Tanya Papa yang seketika melompat menuju sofa dan tanpa sengaja tangan Papa mengenai luka di lenganku. Terasa perih sekali. 


"Ijel pesan makanan online, Pah. Papa bagaimana? Apa Papa sudah makan? Lalu keadaan 2 orang korban tadi bagaimana, Pah?"


"Papa sehat, Ijel. Coba lihat Papa, Papa tidak terluka sedikit pun. Untuk gadis kecil tadi ia masih dalam keadaan koma. Sedangkan Ayahnya, mungkin tak lama lagi ia akan sadarkan diri"


"Apakah Ayahnya itu seorang-" Tanyaku terbata, tak enak menanyakan hal ini, namun berita si televisi tadi benar-benar membuatku geram jika hal itu sungguhan. 


"Perampok" Potong Papa. Aku mengangguk pelan. 


"Iya Jel, ia habis merampok bank. Dan naas ia membawa anaknya saat kejadian itu" Aku menunduk sedih mendengarkan ucapan Papa. 


"Tak apa, Jel. Hidup adalah pilihan. Menjadi buruk atau pun baik adalah kehendak setiap orang. Kita doakan saja semoga gadis kecil tadi cepat sadarkan diri" Lanjut Papa. Aku meringis pelan. Lukaku kini terasa semakin sakit. 


"Ijel? Kamu sakit?" Tanya Papa, aku menggeleng pelan. Tak ingin membuat Papa khawatir. 


"Jangan bohongi Papa, Jel. Mana yang sakit. Tunjukan kepada Papa, Jel!"
Papa benar, mau bagaimana pun aku menyembunyikan sesuatu kepadanya, tetap tak akan berhasil. Ikatan batin kami kuat. Papa amat khawatir saat ini. 


"Lengan Ijel, Pah. Tapi tak apa, Pah. Tadi sudah Ijel obati"


"Kenapa kamu baru bilang, Ijel. Biar Papa yang obati kamu"
Mau berapa kali aku menolak, Papa akan tetap memaksa mengobatiku. Entah, aku benar-benar tak enak mengatakannya kepada Papa. 


Hujan di luar sana perlahan berhenti. Suara guntur tak lagi terdengar dan udara dingin perlahan menghangat. Lenganku diperban. Kata Papa lukaku sudah infeksi dan besok aku harus ikut Papa ke rumah sakit untuk menjalani pengobatan lebih lanjut. Mataku hampir terpejam, namun ponselku masih menyala. Tak ada balasan pesan dari Axel. Kemana dia, apa dia marah kepadaku? 

How do you feel about this chapter?

1 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
NI-NA-NO
1417      655     1     
Romance
Semua orang pasti punya cinta pertama yang susah dilupakan. Pun Gunawan Wibisono alias Nano, yang merasakan kerumitan hati pada Nina yang susah dia lupakan di akhir masa sekolah dasar. Akankah cinta pertama itu ikut tumbuh dewasa? Bisakah Nano menghentikan perasaan yang rumit itu?
Berawal dari Hujan (the story of Arumi)
1073      579     1     
Inspirational
Kisah seorang gadis bernama Arumi Paradista, menurutnya hujan itu musibah bukan anugerah. Why? Karena berawal dari hujan dia kehilangan orang yang dia sayang. Namun siapa sangka, jika berawal dari hujan dia akan menemukan pendamping hidup serta kebahagiaan dalam proses memperbaiki diri. Semua ini adalah skenario Allah yang sudah tertulis. Semua sudah diatur, kita hanya perlu mengikuti alur. ...
Sisi Lain Tentang Cinta
759      421     5     
Mystery
Jika, bagian terindah dari tidur adalah mimpi, maka bagian terindah dari hidup adalah mati.
Black World
1576      745     3     
Horror
Tahukah kalian? Atau ... ingatkah kalian ... bahwa kalian tak pernah sendirian? *** "Jangan deketin anak itu ..., anaknya aneh." -guru sekolah "Idih, jangan temenan sama dia. Bocah gabut!" -temen sekolah "Cilor, Neng?" -tukang jual cilor depan sekolah "Sendirian aja, Neng?" -badboy kuliahan yang ...
Lentera
822      575     0     
Romance
Renata mengenal Dimas karena ketidaksengajaan. Kesepian yang dirasakan Renata akibat perceraian kedua orang tuanya membuat ia merasa nyaman dengan kehadiran lelaki itu. Dimas memberikan sebuah perasaan hangat dan mengisi tempat kosong dihatinya yang telah hilang akibat permasalahan kedua orang tuanya. Kedekatan yang terjalin diantara mereka lambat laun tanpa disadari telah membawa perasaan me...
Just a Cosmological Things
886      496     2     
Romance
Tentang mereka yang bersahabat, tentang dia yang jatuh hati pada sahabatnya sendiri, dan tentang dia yang patah hati karena sahabatnya. "Karena jatuh cinta tidak hanya butuh aku dan kamu. Semesta harus ikut mendukung"- Caramello tyra. "But, it just a cosmological things" - Reno Dhimas White.
It Takes Two to Tango
448      326     1     
Romance
Bertahun-tahun Dalmar sama sekali tidak pernah menginjakkan kaki di kota kelahirannya. Kini, ia hanya punya waktu dua minggu untuk bebas sejenak dari tanggung jawab-khas-lelaki-yang-beranjak-dewasa di Balikpapan, dan kenangan masa kecilnya mengatakan bahwa ia harus mencari anak perempuan penyuka binatang yang dulu menyelamatkan kucing kakeknya dari gilasan roda sepeda. Zura tidak merasa sese...
Warisan Kekasih
872      597     0     
Romance
Tiga hari sebelum pertunangannya berlangsung, kekasih Aurora memutuskan membatalkan karena tidak bisa mengikuti keyakinan Aurora. Naufal kekasih sahabat Aurora mewariskan kekasihnya kepadanya karena hubungan mereka tidak direstui sebab Naufal bukan seorang Abdinegara atau PNS. Apakah pertunangan Aurora dan Naufal berakhir pada pernikahan atau seperti banyak dicerita fiksi berakhir menjadi pertu...
love like you
436      308     1     
Short Story
Sekotor itukah Aku
382      288     4     
Romance
Dia Zahra Affianisha, Mereka memanggil nya dengan panggilan Zahra. Tak seperti namanya yang memiliki arti yang indah dan sebuah pengharapan, Zahra justru menjadi sebaliknya. Ia adalah gadis yang cantik, dengan tubuh sempurna dan kulit tubuh yang lembut menjadi perpaduan yang selalu membuat iri orang. Bahkan dengan keadaan fisik yang sempurna dan di tambah terlahir dari keluarga yang kaya sert...