Nina menarik-narik lengan bajuku di balik tiang koridor sekolah. Sikapnya yang menyebalkan itu tentu membuatku risih. Amat risih. Lihat saja, konsentrasiku jadi terganggu ketika sedang semangat-semangatnya meneropong Nazriel yang sedang dikerumuni cewek-cewek centil namun dia masih saja melayani mereka dengan ramah. Jika aku jadi dia, bukan tidak mungkin semua dedemit-dedemit (cewek-cewek centil) itu sudah habis ku basmi dengan tongkat ajaib. Ya, begitulah tepatnya. Sayangnya, aku bukan dia yang begitu digandrungi dan menyenangkan. Dengan kondisi dan situasi seperti saat ini, siapapun yang melihatnya bahkan segan untuk sekedar menyapa Nazriel.
“Biel, nggak usah sekarang deh bilang terima kasihnya. Kalo loe maksa tetap mau bilang sekarang, nggak ada bedanya sama dedemit-dedemit itu. “Saran Nina yang pikirannya hanya nol koma satu milimeter bedanya denganku.
“Iya juga, sih Nin, tapi loe kan juga pengen kenalan sama dia. Kapan lagi, coba? Empat bulanan lagi juga kita bakal ninggalin sekolah ini. Nah, terus mikir deh, kapan bisa ketemu dia lagi?” Jawabku enteng.
Nina bergumam.
“Iya juga, sih Biel. Tapi gimana caranya mau kenal? Buat nyapa dia aja susah,”
“Kita tunggu bentar lagi aja deh, Nin. Ya, ya?” Aku meyakinkan Nina.
Nina mengangguk pelan dua kali. Jika bukan karena kebaikannya menolongku tadi pagi, mungkin aku juga tidak sesabar ini menunggu laki-laki itu.
Selang beberapa menit, aku seperti mencium sesuatu. Sesuatu wangi parfum yang sangat dikenal baik oleh hidungku. Benar saja, dua sejoli itu lewat tepat di depan mata kami. Tubuh mereka bahkan menghalangi teropongku untuk mengintai Nazriel.
Yofanna dan Peter.
Kedengarannya seperti pasangan Raja dan Ratu Inggris. Cocok. Tapi aku tidak suka. Peter seharusnya bersamaku, bukan dengan si Borbie itu. Setiap kali berpapasan, Peter bahkan sempat menatapku walaupun tatapan mata itu sangat sinis. Mungkin maksudnya agar aku mengatakan terima kasih karena telah ia telah melempar sapu tangan lebar itu tepat di hidungku beberapa detik sebelum pingsan sambil memasang fake smile. Hmm, boleh saja, asalkan cewek Borbie itu sedang tidak bersamanya saat itu.
Mereka melangkah semakin jauh. Aku tak lagi peduli. Tanpa perintah, jemari lentik Yofanna seketika meraih benda optik bermata dua itu dari genggamanku. Aku menoleh, dan lagi-lagi Yofanna menganggap semua yang kami lakukan tidak lebih dari sekedar lelucon.
“What a stupid thing, hahaha” Ejeknya ambil menjatuhkan teropong itu ke lantai kemudian berlalu pergi dan menggandeng tangan Peter.
Aku dan Nina bertatapan. Secepat kilat kugerakkan tanganku ingin melempar teropong itu tepat ke kepala bundar Yofanna namun Nina cepat-cepat menghentikan niatku itu. Aku geram sekali padanya. Apa maksudnya mempermalukanku di depan Peter?
Kalau saja Nina tidak cepat menahan tanganku, mungkin kepalanya sudah benjol di tengah. Tiba-tiba Handphone Nina berdering dan sesaat kemudian dia pamit padaku untuk pulang lebih dulu karena Ibunya mendadak sakit dan ku tanggapi dengan sikap prihatin.
Bayangan Nina tenggelam dalam kejauhan. Aku melanjutkan kembali misiku. Hal utama yang harus diputuskan adalah hanya aku yang akan menemui Nazriel, berbicara padanya untuk pertama kali, seorang diri, dan harus sesabar mungkin menunggu hingga dedemit-dedemit itu pergi. Hanya untuk hari ini. Karena aku tidak suka menunda sesuatu. Yah, itu saja.
Tiga puluh menit setelah kepergian Nina. Aku tetap disini dan beruntungnya perempuan-perempuan centil itu jumlahnya perlahan berkurang. Hanya satu cewek saja yang terlihat ngobrol satu bangku dengannya. Mereka memiliki raut wajah yang sama seriusnya hingga cukup memberiku alasan untuk berdiri lama disini.
Tak lama setelah itu, gadis itu pergi meninggalkannya seorang diri. Saat yang kutuggu akhirnya tiba. Aku menarik napas panjang. Lelah sekali. Lima langkah dari tempat pengintaian tadi cukup meyakinkanku bahwa dia benar-benar sendiri. Jemarinya tampak fokus menuliskan sesuatu.
Dia tenggelam pada dunia kertas dan pena hijau yang menyatukannya dengan alam. Seolah menggambarkan garis naik turun layaknya kurva. Sesaat kemudian dia bergeming, menyangkutkan pena itu ke telinga kirinya. Sesaat lagi gairahnya kembali mencoret-coret lembaran kertas lemah itu tanpa ujung. Mataku sigap sepuluh ribu lebih jernih merekam tiap gerak-geriknya dibanding kamera level tinggi.
Sempurna!
Kuurungkan ilusi aneh itu dan lewatlah ide yang bahkan lebih unik dari itu. Pohon cemara dibelakangnya tepat menjadi objek nyata. Tanganku cekatan memetik tangkai-tangkai melambai dari pohonnya. Satu per satu kuikat hingga menyatu dalam serangkai kipas cabang cemara. Tujuanku untuk menutupi permukaan wajah agar dia tak dapat mengenal. Kedengarannya aneh, sebenarnya niatku agar dapat membaca apa yang ia tuliskan dan ucapan terima kasih ini sekaligus menjadi perkenalan yang berbeda pada umumnya. Aku harus membuatnya kaget agar berkesan.
Segalanya sempurna. Langkahku maju mundur memastikan tak ada orang lain di taman itu selain aku dan Nazriel. Dari arah belakangnya, aku menuntun kaki agar tidak terinjak rumput-rumput liar yang belum dibasmi oleh tukang kebun sekolah meskipun pernah sekali terinjak ranting rapuh. Ia juga tak menoleh, terlalu egois mendaratkan imajinasinya pada kertas putih itu.
Dalam hitungan 1,2,3 dari dalam hati aku berhasil mengejutkannya.
“BLAAAAARRRRR!!!!” Teriakku, membuat dia bangkit dan berbalik menghadap asal suara itu. Dia memperhatikanku secara seksama. Segurat kekesalan terlihat dari alisnya yang terangkat. Tawaku terjeda, menghadapi momen kaku di taman itu.
“Hello! Namaku Cemila dari dunia imajinasi. Apa kabar kakak tampan?”, Aku menirukan suara tokoh kartun agar membuatnya semakin bertanya-tanya .
Nazriel tetap bungkam. Matanya mencari-cari celah tangkai-tangkai cemara yang menutupi wajahku hingga sesekali bola matanya yang mengintip beradu pandang denganku. Mungkin dia mulai merasakan kekonyolan kikuk itu. Setiap kali dia mencoba mencari celah agar mendapati wajahku seluruhnya, dengan gesit kuhindari targetnya itu. Ia terlalu dangkal berpikir bahwa aku akan menyerah begitu mudahnya.
Ia mengangkat tangan tak peduli. Mengalihkan kekonyolanku dengan menjumpai pena hijau dan kertas putihnya lalu menempatkannya sejajar wajahku. Itu tujuan utamaku. Membaca apa yang dari tadi ia tuliskan. Tubuhku terpaku, semakin mendekat bersama harap dapat membaca tulisan tegak bersambungnya untuk menjadi bahan laporan pada Nina.
Seketika dia berhasil merebut tangkai cemara dari tanganku dan penyamaran ini terlalu cepat menemui batasnya. Aku melongo. Semuanya terasa kaku sejak ia menyambut wajah asliku yang menangkap senyumnya pertama kali. Maksud membuatnya tertawa dengan tingkah konyol itu pun raib. Semuanya berbeda, aku yang dibuatnya mati kutu disini dengan tatapan teduh dari bola mata indahnya.
“Cemara?” Selidiknya mantap. Tak ada yang tampak ganjil, hanya saja dia belum mengenal nama penyamaranku seutuhnya.
“Cemila, Cemara-Salsabiela, enak aja cemara doang!” celetukku.
Dia tersenyum tipis lantas kembali duduk dan mempersilahkanku duduk di sampingnya. Padahal tak perlu sesibuk itu. Tanpa pamit padanya pun, aku sudah pasti duduk di bangku itu yang normalnya memang untuk dua orang. Kami sama-sama diam seribu bahasa. Terlalu kaku untuk remaja yang sebentar lagi meninggalkan masa SMA nya. Kata-kata yang sudah ku atur sehumor mungkin tiba-tiba lenyap entah bermukim di daerah mana. Dan yang lebih parahnya lagi, ia bahkan lebih tau tujuanku menemuinya.
“Kamu yang pingsan di tengah lapangan tadi pagi, Kan?” Katanya tanpa menoleh padaku.
Aku mengangguk pelan. Dia tersenyum tanpa memperhatikanku dan melanjutkan menulis sesuatu di kertas putih itu. Entah apa. Yang sempat terbaca olehku adalah kata-kata “lautan Nirwana” dan “lukisan abstrak”. Aku berpikir mungkin dia akan membuat lukisan abstrak tentang lautan Nirwana, atau hal rumit lainnya yang bersarang dalam otak manusia pujangga ini.
“Nggak usah bilang terima kasih, itu emang udah kewajiban sesama kita, Kok. Yang penting, jaga kesehatan aja,” Lanjutnya.
Aku menelan ludah. Dengan polosnya dia mengetahui niatku hingga kembali diam seribu bahasa. Tanganku dingin setengah beku tergeletak diatas paha. Semilir angin menambah orkestra kebisuan itu. Banyak hal yang seharusnya sudah kuutarakan jika tidak memilih bersikap layaknya laptop yang sedang dicas. Maksimal terisi harus tiga jam kemudian baru bisa bekerja dengan baik. Nazriel bahkan tidak mengerti bagaimana caraku menarik perhatiannya agar si manusia aneh yang satu ini mau bercerita mengapa dia tidak punya teman atau sahabat laki-laki, mengapa dia begitu pintar, mengapa dia begitu menyenangkan bagi banyak wanita, dan mengapa dia begitu mudah menebak apa yang ada dipikiranku.
“Loe lagi nulis apaan sih? Boleh gue bantu?” Tanyaku namun dia tetap konsentrasi dengan pekerjaannya. Rambut ala setengah harajuku nya membentuk galaksi karena hembusan angin. Ia juga tak menghiraukan segalanya.
“Kalo ditanya, Ya dijawab, Kali.....” Lanjutku agak kesal.
“Nulis puisi. Memangnya kamu bisa?”
Aku mangut-mangut.
“Apa hebatnya nulis yang begituan? Loe cuma maksa jari-jari untuk curhat, numpahin di kertas yang hanya jadi saksi bisu dan kalo kertas itu dibakar atau hilang entah kemana, perasaan loe akan punya nasib yang nggak jauh beda. Atau apa perasaan itu masih lengket di otak loe, dan berharap untuk menemui kertas yang hilang tadi agar perasaan loe nggak bakal ada yang tau, cuma rahasia Tuhan dan diri loe sendiri? Egois banget! Dan loe harus tau. Nggak semua orang pintar untuk mengartikan bahasa dewa penyair-penyair yang nggak ada batasnya. Semua orang berhak tau perasaan kita secara ungkapan, bukan tulisan-tulisan cengeng yang nggak ada jedanya!,” Jelasku panjang lebar.
Apa yang barusan ku katakan tadi? Mengapa aku malah menceramahi bahkan membentaknya? Aku rasa, itu bukan aku yang bicara. Hanya saja, secara tidak langsung aku berharap dia mengerti keluh kesahku dengan puisi-puisi yang baru saja ku terima. Menyebalkan sekali. Aku bahkan harus memutar otak lebih dari dua kali untuk mengerti kata-kata itu. Kali ini dia menoleh. Wajahnya memerah namun bukan balasan dari kata-kata kasar yang baru saja kuungkapkan itu. Sorot matanya begitu menyejukkan. Kertas dan pulpen hijau itu dia letakkan dan kini fokusnya hanya aku. Ya, hanya gadis bodoh yang satu ini.
“Kamu, jujur banget, Biela. Aku salut. Boleh tanya satu hal?”
Aku mengagguk. “Kalau sedang sedih, kamu lebih memilih curhat pada orang yang dipercaya, atau kamu memendamnya sendiri saja?”
Aku mencoba menjawab pertanyaannya walaupun sempat kurasakan lidahku kelu.
“Ya nyimpen lah, masa’ harus diumbar-umbar”
“Kalo aku, lebih nyaman curhat di kertas aja. Dan kamu tau? Bahkan banyak orang diluar sana yang curhat dengan orang yang dia percaya, tapi nggak semua yang dipercaya itu bisa menjaga masalah dan rahasianya. Menurut mereka, curhat itu bikin kita plong, lega, dan masalah seakan menjadi lebih ringan. Kamu tau artinya apa?”
“Setiap orang punya cara tersendiri untuk mengungkapkan perasaannya”, kataku memotong pembicaraannya.
“Ya, itu kamu udah tau jawabannya, kan.”
Ya, aku mengerti sekarang. Dia benar. Setiap orang punya cara tersendiri untuk menghadapi masalahnya. Seperti aku. Aku adalah seseorang yang sangat pintar menyembunyikan masalah di depan orang-orang, bahkan dengan orang tuaku sendiri. Bersikap humoris di depan mereka dan membuat mereka tertawa karena kulucuanku adalah kebahagiaanku yang sebenarnya. Aku normal. Aku pernah menangis, tapi ku tutup rapat-rapat air mataku di depan jutaan pasang mata di luar sana. Air mata itu hanya untukku. Untuk kekuatan baru yang sedang mekar. Aku berjanji, hanya akan menangis sekali saja dalam tiap masalah yang sangat berat.
“Salsabiela? Apa kamu nyaman menyimpan masalah sendiri?” Tanyanya lagi yang membuyarkan laMinanku.
“Gue nyaman banget. Karna punya Tuhan yang akan terus memberikan kekuatan-kekuatan baru. Dan gue percaya itu” Jawabku mantap.
Dia terseyum lagi dan melanjutkan pekerjaannya. Sungguh, dia memang meneduhkan. Sekarang aku baru tau alasan cewek-cewek centil itu mengaguminya. Ya, dia memang layak dikagumi. Kata-katanya, pandangannya, cara berpikirnya, semuanya mengagumkan. Tidak. Aku tidak boleh terkesima seperti ini. Orang seperti dia bukan tipe ku. Aku suka yang seperti Peter walaupun dia cuek dan kasar. Mencintainya, seperti memberiku tantangan untuk berjuang, dan terus berjuang.
Suasana kembali beku. Kata-kata yang sempat ku rangkai baris demi baris terbang bersama bisikan angin. Seseorang di sampingku ini menyihir segalanya menjadi mencekam dengan guratan-guratan tinta di atas kertas yang sekarang terisi.
“Nazriel, gue pernah melihat loe di Panti Asuhan Dunia Bintang, loe punya adik disana?” Tanyaku.
“Enggak, Cuma jadi guru informal mereka aja,” Jawabnya. Pena hijaunya masih menari-nari di atas kertas yang menghabiskan lebih setengah halaman.
“Dibayar berapa?”
Dia menggeleng. “Suka rela aja, Biel. Melihat semangat belajar mereka, aku udah sangat merasa terbayar, Kok”
“Oooh...., tapi anak-anak itu nggak boleh terus-terusan belajar, Zriel.”
Nazriel mengangkat alisnya tanda tak mengerti. “ Maksud kamu?”
Aku melangkah ke depannya sambil mempraktikkan gaya Doraemon. Nazriel heran.
“Cairan pembersih mataaaa!!!” Kataku berseru sambil mengeluarkan sebotol kecil obat tetes mata.
Nazriel tertawa geli melihatku.
“Itu buat apa? Mereka nggak sakit mata, Salsabiela”
“Ah, loe nggak ngerti. Caranya tuh gini, gue pura-pura jadi doraemon dan bawa barang-barang kayak visine, kecap, gula, pensil, atau apalah. Nah, terus, kita jelasin deh sama mereka misalnya gini, kecap itu bahan bakunya adalah kacang kedelai. Dibuat dengan cara bla..bla... bla...” jelasku.
Ada kecerahan yang tampak dari wajahnya.
“Bagus juga, tu. Tapi gimana caranya?”
“Kalo itu gampang, nyokap gue punya tempat sewaan kostum badut-badut lucu dan animasi-animasi gitu, nah terus gue panggil temen gue satu lagi, pura-pura jadi musuhnya si Doraemon dan Doraemon pasti ngeluarin senjatanya. Gue pikir sih gitu aja. Kalo loe terus-terusan kasih mereka pelajaran yang serius, itu pasti bakal monoton banget. Tapi dengan cara seperti ini, mereka pasti mudah mencerna pelajaran. Gimana?” Usulku bersemangat
“Gila, kamu. Brilliant banget! Oke, besok kita ketemuan disini ya, kita sepakat dulu, ajak temen kamu itu. Ya?”
Aku mengangguk. Mata Nazriel berbinar. Aku dapat melihat semangat yang besar dari wajahnya. Dia langsung merangkul bahuku yang baru saja dikenalnya kurang dari sejam yang lalu. Jujur, aku belum pernah dirangkul oleh laki-laki sehangat ini. Hangat seperti sahabat yang sudah dekat begitu lama.
Dia menatapku sambil tersenyum ringan. Aku mencintai tatapan dan senyuman itu. Aku merasa lebih nyaman di dekatnya. Aku ingin tetap disini, bersamanya lebih lama lagi, bersama bangku putih di taman dan pohon cemara yang menyaksikan kami. Menurutku, dia juga merasakan hal yang sama bila dilihat dari raut wajahnya dan tangan kirinya yang terus merangkul bahuku sementara tangan kanannya membaca kertas putih yang sudah dikotori dengan bahasa tingkat dewanya itu. Samar-samar mataku seperti melihat sebuah siluet. Ada wajah Nina dan Peter di ujung sana yang menatapku kecewa. Nazriel membuatku melupakan dua orang yang sangat kusayangi itu. Buru-buru kulepaskan rangkulannya itu dan pamit untuk pulang lebih dulu setelah kami saling bertukar nomor Handphone.
***
Malam minggu. Saat yang paling kubenci dalam sepekan. Jika aku punya kekuatan magis, orang yang punya ritual satnight, apel, atau apalah istilah menjengkelkan lain yang hanya dimiliki oleh orang-orang pacaran itu sudah ku basmi. No dating on Saturday Night.
Jika Nina bisa bertahan dengan kehidupan jomblonya setiap malam minggu, mengapa aku begitu sulit? Baiklah, Nina yang merupakan anak kelima dari tujuh bersaudara itu pasti santai-santai saja karena rumahnya dipenuhi celotehan-celotehan lucu kakak beradik. Itu sama sekali tidak akan menjenuhkan, bukan?
Tidak seperti aku.
Salsabiela yang selalu sendiri all night long, all day long, all her life. Apalagi hari minggu. Ayah yang sibuk ke luar daerah dan Ibu yang juga punya arisan di sudut-sudut kota. Setidaknya orang-orang ini tidak begitu merasakan bosan dalam hidupnya.
Bel rumah berbunyi. Dengan malas, aku bangkit dari tempat tidur dan menuju depan pintu. Sebuket bunga mawar merah lagi. Aku celingak-celinguk ke luar dan hanya melihat punggung seseorang dengan sebuah motor yang berlalu pergi. Tampaknya seperti Tukang Pos. Aku meraih buket itu lalu membaliknya dan menjumpai tulisan :
“For My Starlight- Keep sparkling J”
Aku berpikir beberapa detik. Ah, iya. Ini pasti untuk Ibu. Ibu kan sudah beberapa kali kedapatan menerima kiriman bunga setiap pagi. Tapi , hari ini bunga itu tiba disini malam hari. Entahlah, mungkin si pengirim kelelahan atau ada masalah di perjalanan. Ini kan untuk Ibu, bukan untuk Salsabiela yang selalu ingin tau urusan orang lain.
Dengan langkah gontai, aku berjalan memasuki kamar setelah meletakkan buket di atas meja tamu. Peter. Aku teringat dia. Awalnya aku berniat sekedar iseng mengunjungi profil facebooknya. Untuk memantau kabarnya, walaupun aku tidak menambahkannya sebagai teman di aplikasi ini. Tanganku meraba-raba dalam tas untuk mengambil Handphone. Tapi ada sesuatu yang janggal di tanganku.
Dear Salsabiela
Dari Seseorang yang terpikat dengan teduhnya angin cemara
Beberapa hari ini, sesuatu menggetarkan naluri otakku. Menjalar hingga saraf pusat dan berakhir dalam nadi.
Aku menyelami lautan perasaan yang kubuat sendiri. Dalam imaji abstrak sanubari sang Bidadari.
Tapi tidak. Engkau bukan Bidadari bermata jeli itu. Engkau cemaraku. Yang akan selalu meneduhkan.
It’s always been you
someone
Aku ingin berteriak sekencang-kencangnya di depan kertas lemah ini. Apa susahnya menulis sesuatu secara langsung saja? Sekali lagi. Aku tak mengerti dengan bahasa tingkat dewa ini. Aku mengapresiasikannya.
Tapi bisa tidak? Ini semua tak usah dipersulit.
Maksudku, jika si penulis ingin mengungkapkan isi hatinya dengan menulis puisi seperti ini, lebih baik bahasanya tidak usah tinggi-tinggi amat. Seperti, aku cinta padamu. Simple, kan?. Jadi si pembaca paling tidak bisa paham walaupun tidak benar-benar terpesona. Kulipat kertas itu dan ku campur dengan puisi-puisi yang selama ini ku terima. Biarkan saja disana. Biarkan dia berbaur dengan perasaan malangnya yang tidak bisa ku artikan. Tidak akan pernah.
Aku mengambil handphone lantas menyentuh tombol on. Mataku tertuju pada pemberitahuan dari line (sosial media) dan tertera sebuah nama disana. Nazriel Billiandra. Ketika kubuka, dia mengirimkan stiker lucu bertuliskan “Hi!” disana tepat pukul 19.45, kemudian emoticon sedih pada pukul 20.20, dan terahir dia membuat tawaku meledak dengan mengirimkan foto narsisnya dengan badut ancol pada pukul 20.50. Sekarang pukul 21.15. Ya ampun!. Aku sudah membuat manusia satu ini menunggu hampir 2 jam lamanya. Dengan cepat ku balas pesan dari Nazriel.
Salsabiela Saffarizki : Eh, sorry baru ngecek HP. Loe lucu banget! Badutnya keren, lho!
Aku menunggu balasannya sekitar sepuluh menit sambil memandangi siluet kota jakarta dari lantai dua kamarku. Indah sekali. Di sudut-sudut jalan banyak emperan warung-warung kecil yang tak kalah ramai pengunjung dengan kafe-kafe mewah di kiri kanannya. Warung-warung tepi jalanan itu memang menyediakan menu-menu sederhana, namun kesopanan pelayan ditambah pemandangan jalanan dari sana, membuat pengunjung merasa betah untuk berlama-lama di warung-warung itu. Waktu kecil, aku sering bertengger di beberapa warung-warung kecil bersama Ibu dan Ayah atau oma, opa, dan saudara-saudara bila mereka menginap di rumahku. Mas-mas pelayan itu bahkan sangat kenal dengan wajahku yang selalu minta di buatkan sate ayam plus lele jumbo di atasnya. Itu menu favoritku. Beberapa dari mereka meledekku dengan sebutan “ Biela si monster Ayam”, yang membuat Oma dan Opa cekikikan sementara aku nyaman-nyaman saja dengan panggilan itu. Ah, indahnya. Andai saja Ibu dan Ayah tidak sesibuk sekarang, sudah pasti salah satu meja disana sudah menjadi jatahku. Mas-mas dan mbak-mbak disana mungkin merindukan kehadiranku. Aku yakin itu. Pernah suatu kali aku bertemu dengan mbak Nia, salah satu pelayan warung yang sudah berhenti kerja karena menikah, dia malah memujiku dan membandingkan dengan Salsabiela 10 tahun yang lalu. Kalian perlu tau, di usiaku yang 6 hingga 10 tahun, berat badanku 59 kg sementara tinggiku hanya 140 cm. Bisa dibayangkan ukuran karung beras dengan tubuhku. Kira-kira hampir sama lah. Tapi tidak dengan sekarang. Berat badanku turun ketika umur 12 tahun. Pada waktu itu aku terkena typhus karena terlalu lelah ikut organisasi drum band di sekolah. Hingga sekarang, berat badanku hanya 48 kg dan tinggi 173 cm. Bisa dibilang, badanku seperti tiang listrik berjalan. Tepat seperti ejekan Nina. Kulitku tidak putih dan tidak hitam, bisa dibilang kuning langsat layaknya kulit wanita Asia pada umumnya. Jangan ditanya wajah, aku juga bingung. Banyak orang mengatakan wajahku oriental, manis sekali.
Kalau begitu, mengapa Peter tidak juga tertarik padaku?
Apa dia lebih suka yang putih dan blasteran seperti Yofanna. Aku bisa saja mengubah style ala barat seperti dia. Tapi itu bukan hobiku. Tampil apa adanya seperti ini membuatku nyaman. Kadang aku heran, apa enaknya berbedak tebal, berbibir merah seksi, dan salon sepanjang hari seperti Yofanna? Buang waktu, tenaga, bahkan uang. Tidak ada hebatnya bagiku. Tiba-tiba sebuah pesan masuk.
Nazriel Billiandra : Lain kali balesnya 3 hari kedepan aja. Dasar! Eh, enak aja. Kenapa aku yang dibilang lucu? Nah, kok malah badutnya yang keren? Nggak kebalik! :p
Salsabiela Saffarizky : Wkwkwkwkwkwk...emang jujur kok. Loe nya itu yang lucu. Badutnya keren. Kalo jumpa, titip salam aja ya.. :p
Nazriel Billiandra : Ogah!. Itukan calon temen baru kamu, siapa coba yang kepingin jadi badut sebentar lagi? hahahahahaha...!!
Salsabiela Saffarizky : Nyebelin banget sih, Loe! Iya juga sih :D . Eh, nggak nulis puisi?
Nazriel lama tak membalas. Hanya keterangan “baca” yang kulihat dari pesan terakhirku. Selang lima menit...
Nazriel Billiandra : Enggak nih. Lagi males aja. Pengen rileks bentar. Kebetulan nggak ada yang pesan.
Salsabiela Saffarizky : Ceileee......... penyair kayak loe ngerasain bosan juga ya. Pesan? Loe pikir bukalapak.com (situs jual beli online) hahahahahaha.
Nazriel Billiandra : Aku nggak bilang bosan, Biel. Cuma lagi males aja. Eh, udah dulu ya. Aku mau anterin Nyokap ke rumah temennya. Besok jangan lupa sama misi kita, kita jumpa di taman sekolah jam 1 siang pulang sekolah. Jangan lupa ajak teman kamu itu, siapa sih namanya?
Salsabiela Saffarizky : Nina namanya. Eh tunggu dulu, loe harus janji nggak boleh buat gue sama Nina nunggu lama karena loe sibuk ngelayanin fans-fans genit loe itu. Kalo lama, gue langsung cabut. >:(
Nazriel Billiandra : Hahaha. Mereka kan manusia juga, Biel. Ya punya hak juga donk. Tapi nggak papa, ntar biar aku temui mereka jam istirahat aja. Tenang. Kamu nggak bakal nunggu lama kok. Tapi kalo aku yang kamu buat nunggu lama, kamu harus dihukum!
Aku tertawa dengan bahasanya yang sok tegas.
Salsabiela Saffarizky: Oke, tenang aja. Gue on time kok orangnya. Nggak usah sok ngancam, deh!
Nazriel Billiandra : Dasar Cemila! Pokoknya jangan ada salah satu dari kita yang telat. Okeh? Oya, titip salam ya buat Nina. Aku pergi dulu, Night, Cemilaa!!
Pesan terakhirnya hanya ku baca. Entah mengapa perasaanku jadi lebih enak sekarang. Jauh dari dongkol karena puisi menyebalkan itu, dan jauh dari kata bosan. Karena baru saja, aku ditemani olehnya. Ya, orang yang baru saja ku kenal namun kami sudah akrab layaknya sahabat. Dan hal pertama yang harus kulakukan esok adalah menemui Nina dan menceritakan semua ini padanya. Oh, iya satu lagi. Mengajak Nina bergabung dalam misi gila kami.
Kami. Aku dan Nazriel.
@Ardhio_Prantoko hehe, terima kasih sudah membaca :)
Comment on chapter Pemilik Tatapan Teduh