Bunyi hujan semakin deras membasahi bumi, aku masih diam menikmati hujan tanpa petir beriring ini. Udara sangat dingin, begitu juga dengan hatiku. Aku butuh seseorang yang mampu menghangatkannya. Hujan ini terlalu deras untuk kutempuh. Aku bisa basah kuyup jika harus menembus hujan hingga sampai ke rumah. Kuputuskan saja untuk berhenti didepan sebuah toko yang sudah tak berpenghuni. Aku berdiri seorang diri dengan aroma petricore yang tercium jelas menusuk hidungku.
“Ra!” seseorang memanggil namaku. Suaranya beradu dengan suara hujan yang tak kalah merdu. Aku menoleh, melihat siapa sosok yang mungkin mengenalku.
Orang itu. Entah sejak kapan dia sudah berada ditempat yang sama denganku. Dia adalah Silva, sahabatku dua tahun lalu. Sahabatku saat aku masih duduk dibangku SMA. Dia berubah drastis sekarang, lebih terlihat langsing dan sangat anggun.
Suasana semakin canggung mengingat perpisahan malam itu adalah hal pahit yang membumbui masa indahku di SMA bersamanya. Aku merasa aneh jika harus memulai banyak percakapan lagi dengannya, begitupun dia, Terlihat ingin mengatakan sesuatu namun tertahan di ujung lidahnya.
“Kenapa bisa disini?” tanyaku sedikit ragu untuk membuat suasana tidak sedingin hari itu.
Dia tersenyum, “Baru dari rumah saudara tadi.” jawabnya tak kalah canggung.
Entah mengapa kami seperti dua orang yang tak pernah saling kenal sebelumnya. Padahal dulu kami adalah dua sahabat yang sangat dekat.
“Gimana kabar Farraz?” tanyanya lagi.
Aku memalingkan wajahku ke arahnya. Aku memperhatikan wajahnya lamat-lamat. Kemudian dia tersenyum, yang senyumnya itu sama sekali tak bisa kuartikan.
“Aku gak tahu.” jawaban itu seenaknya keluar dari mulutku. Memang aku benar-benar tak tahu, tapi rasanya aku berat untuk mengakui bahwa aku sebenaranya ingin tahu.
“Dia baik kok. Dia juga senang dengan kuliahnya sekarang.”
Seolah Silva tahu apa yang ku inginkan, jawabannya sangat bermutu untuk didengar oleh telingaku ini. Aku memaksakan bibirku untuk tersenyum, walau pada dasarnya mendengar nama Farraz saja hatiku terasa sesak.
“Masih suka sama dia?” tanya Silva lagi. Kali ini Ia lebih banyak mengajukan pertanyaan yang hanya bisa kujawab dengan sebuah senyum kesakitan.
Akhirnya aku sampai rumah dengan keadaan yang sedikit basah kuyup. Aku menyeruput teh hangat setelah aku selesai membersihkan diri. Aku duduk di depan meja belajarku, menatap bingkai foto yang terletak di salah satu raknya. Ada aku, Silva, Farraz, dan Aldo.
Hari berganti, pertemuanku dengan Silva waktu itu cukup menjadi beban fikiranku. Satu sisi aku ingin bertemu mereka kembali, meluruskan semua permasalahan yang rumit waktu itu. Tapi, untuk apa jika mereka saja tak pernah mempermasalahkan itu. Aku saja yang sedikit berlebihan.
Aku berjalan keluar dari ruang kelasku. Perkuliahan sudah selesai dan waktunya aku untuk pulang. Langkahku terhenti ketika kudapati Silva muncul lagi. Dia sepertinya sedang bertanya pada salah seorang temanku, menanyakan keberadaanku. Aku menemui Silva, aku tahu pasti dia kesini ingin mencariku.
“Ada apa?” tanyaku tanpa banyak pendahuluan.
“Ini.” katanya sambil menyodorkan sebuah kertas. Kertas berwarna merah hati dengan sedikit hiasan didalamnya.
“Apa ini?” tanyaku lagi.
“Reuni kelas kita.” Itu adalah jawaban yang sangat tidak kuharapkan. Aku memang ingin bertemu mereka, tapi tidak secara bersamaan. Aku takut saja menghadapi mereka bertiga disaat yang sama. Aku diam, tak tahu harus berkata apa lagi pada Silva.
“Kamu harus datang kalau kamu ingin tahu jawabannya.” kata Silva kemudian pergi meninggalkan aku dengan undangan merah hati ditanganku.
Acara reuni itu akan berlangsung tanggal 17 Nopember, sementara di tanggal yang sama acara ulang tahun kampusku juga sedang berlangsung. Aku bisa saja lebih mementingkan acara ulang tahun kampus dibandingkan dengan reuni yang hanya akan mengungkit masa laluku. Itu sama saja dengan menggoreskan luka baru sementara luka lama belum benar-benar hilang. Aku takut itu yang akan terjadi.
Sebuah pesan masuk ke ponselku, aku tidak tahu siapa pengirimnya. Dia hanya mengingatkanku untuk datang ke acara reuni itu. Aku berpikir positif saja, mungkin itu dari panitia acara atau paling tidak itu pasti dari Silva. Hanya dia satu-satunya perantara antara aku dan reuni itu. Acaranya semakin dekat, dan aku belum bisa memutuskan untuk menghadirinya atau tidak. Hal yang pasti adalah aku harus memilih satu diantaranya.
“Ayo masuk Haura!” ajak Kinara sambil menarik tanganku untuk masuk ke dalam gedung. Aku kini sudah berada di acara Dies Natalis kampusku. Aku kalah pada masa laluku, aku tak ingin masuk kedalamnya lagi.
Acara berlangsung meriah tapi hati dan otakku tak semeriah itu. Mereka berseteru, membuat aku tak nyaman dan tak menikmati kemeriahan yang digelar di acara itu. Ponselku berulang kali berdering, pesan bertubi-tubi masuk dan aku tak berani untuk meresponnya sedikitpun. Aku takut mendengar suara dari balik nomor itu. Aku takut pada kenyataan dimana semua akan menjadi semakin sulit.
“Kenapa Ra?” tanya Kinara yang melihat mimik wajahku semakin tak menentu.
Aku menunjukkan undangan merah hati itu pada Kinara. Raut wajahnya bingung, membuat aku semakin kalut.
“Pergilah!” kata Kinara selanjutnya dengan senyuman tulus. Dia bukan mengusirku, melainkan menyetujui untuk aku pergi dari tempat itu. Dia tahu betapa sulitnya aku untuk meninggalkan dia dan acara itu. Aku hanya membutuhkan sedikit saja dorongan lebih untuk pergi, dan dia berhasil melakukannya.
Aku berlalu menuju tempat acara reuni berlangsung setelah meninggalkan Kinara sendirian. Ini sudah hampir pukul 22.00 WIB, dan aku semakin pesimis untuk tetap bertemu dengan teman lamaku. Aku sudah sampai sejak 15 menit yang lalu, tapi aku tidak punya nyali untuk masuk ke dalam ruangan itu.
“Sudah sampai disini, kenapa belum masuk?” Suara itu berhasil mengejutkanku, hampir membuat ponselku terlepas dari genggamanku. Aku sangat mengenali siapa pemilik suara itu.
“Aldo?” tanyaku memastikan apakah orang itu sama dengan orang yang ada dalam benakku sebelumnya.
“Ayo masuk!” tanpa penjelasan dia malah menarik tanganku untuk masuk dan bergabung dengan teman-teman lainnya.
Aku merasa menjadi pusat perhatian. Pertama, karena aku datang saat acara hampir selesai. Kedua, karena Aldo masih menggenggam tanganku. Ini sangat menyebalkan.
“Ternyata kamu masih ingin tahu jawabannya.” kata Silva tersenyum jahil ke arahku. Dia menunjuk seseorang yang duduk di kursi paling belakang.
“Tidak. Aku datang hanya karena ingin menghargai usahamu yang sudah mengingatkanku setiap hari lewat pesan.” jelasku menyanggah pernyataan Silva.
“Pesan? Aku tak pernah mengirimnya.” jawab Silva heran. Bukan dia saja yang heran, harusnya aku yang lebih heran dengan ini semua.
“Aku yang mengirimnya Ra.” jawab Aldo mengaku.
“Aku harus memastikan kamu datang kesini. Itulah sebabnya aku orang pertama yang menemukanmu di luar ruangan tadi. Aku sengaja menunggumu.” jelasnya yang semakin membuatku tak mengerti.
“Kamu harus tahu jawabannya Ra.” kata Silva.
Aku, Silva, dan Aldo kini sudah berada di luar ruangan. Acara masih sedang berlangsung, sedikit lagi. Kami duduk di kursi penerima tamu. Tak ada lagi orang yang berada diluar kecuali kami bertiga.
“Aku bingung.” kataku spontan sambil menghembuskan nafas panjang.
“Kamu masih suka Farraz?” tanya Aldo. Aku menginginkan jawaban bukan pertanyaan.
“Kenapa harus membahas itu?” kataku balik bertanya.
“Jawab Haura.” kata Silva yang kini ikut membuka suara.
“Tidak.” jawabku malas.
“Bohong! Tatap mataku dan katakan kalau rasamu sudah hilang ke Farraz.” tantang Aldo.
“Untuk apa? Aldo, aku sudah melupakan semuanya. Aku datang kesini hanya untuk Silva, jadi tolong jangan membuat aku merasa bersalah dengan keputusanku yang sudah memilih datang kesini.” jelasku mulai memerah.
“Aku mau kamu tahu Haura. Akulah penyebab kenapa kamu dulu bisa sesakit itu. Aku yang salah. Aku yang mengarang cerita tentang Farraz menyukaimu. Aku yang menyebar gossip tentang kedekatan kalian, dan aku juga yang sering memasukkan cokelat kedalam tasmu dengan mengatasnamakan Farraz. Semua yang kulakukan membuat kamu semakin terbang sampai kamu tak tahu caranya turun. Farraz tidak melakukan apa-apa untukmu. Semua berlangsung atas kendaliku.” jelas Aldo. Aku semakin memerah, antara menahan tangis dan amarah.
“Untuk apa Aldo?” tanyaku tak kuasa membendung air mataku lagi.
“Kamu sahabat terbaikku. Aku tak pernah menemukan teman perempuan sebaik kamu sebelumnya, dan aku ingin kamu bahagia. Aku tahu kamu suka Farraz, itulah sebabnya aku mau kamu dan Farraz bisa menjadi lebih sekedar teman waktu itu. Aku yang merencanakan itu semua.”
“Tapi kamu gagal membuatku bahagia Aldo, Farraz sama sekali tidak menyukaiku walaupun kamu sudah merencanakannya. Asal kamu tahu, aku menunggu pernyataan suka darinya hingga malam perpisahan tiba. Tapi apa? Sampai detik ini aku tidak mendapatkannya. Malah yang kudapat kamu menjauh dariku tanpa sebab dan lebih memilih berteman dengan Silva yang menghasilkan persahabatanku dengannya menjadi renggang. Aku dan dia seperti tak saling kenal. Semua karena kamu!” jelasku diselingi dengan isakan tangis yang semakin menjadi-jadi. Aku tak bisa mengontrol emosiku lagi, aku sangat kecewa.
“Benar katamu Do, aku sudah terbang terlalu tinggi hingga sulit untuk turun.” sambungku sambil menghapus air mata di pipiku.
“Maaf Ra, aku terlalu pengecut dan tidak bertanggung jawab. Aku melakukannya karena aku sangat menyayangimu. Kamu seperti adik untukku. Dan ketika aku tahu kenyatan bahwa Farraz tak kunjung menyatakan cintanya, aku menyerah, kemudian menjauh darimu.” kata Aldo. Dia datang menghampiriku, mengusap lagi air mataku. Silva ikut memelukku, mencoba menenangkanku. Bagaimanapun juga mereka masih tetap menjadi sahabat terbaikku.
“Ini bukan salah Aldo.” kata seseorang dari belakangku. Dia Farraz, target percobaan Aldo. Aku melihatnya, diapun begitu menatapku tanpa ekspresi apapun.
“Aku saja yang tidak peka. Harusnya aku yang minta maaf karena sudah membuatmu menunggu lama.” lanjutnya. Perkataan Farraz membuat jantungku semakin tak menentu, seperti ingin keluar dari rongga dadaku.
“Aku ingin masalah ini selesai, aku ingin harapanmu terwujud dan Aldo senang melihat sahabatnya bahagia. Aku menyukaimu. Kau tak perlu menunggu lagi, aku sudah mengatakannya. Kau hanya perlu meyakini bahwa apa yang kukatakan bukanlah paksaan, bukan juga rasa kasihan, atau hanya sekedar untuk menyenangkan semua pihak. Aku mengatakannya untukmu, karena aku benar-benar mencintaimu.”