Bab 4 : Tersesat Bersama Mahesa
Jika suatu permasalahan membuatmu ingin menyerah, lihatlah keadaan di sekelilingmu.
Jika suatu kemampuan tak dapat kau kendalikan, lihatlah keadaan dirimu.
Jika mimpi tak lagi menarik untuk kau gapai, carilah langit yang lebih mudah untuk hatimu gapai.
-Nareswari G.R-
**
Berdiri berdampingan dalam keheningan sudah menjadi kebiasaan antara kedua pemuda yang tengah menggigil kedinginan itu. Bukan karena keduanya tidak saling mengenal, bukan juga karena mereka sedang melangsungkan aksi perang dingin antar saudara. Mereka saling mengenal, tepatnya mereka adalah seorang majikan dan seorang abdinya. Ditemani oleh kicau burung menyanyi riang setelah berakhirnya hujan yang kurang lebih satu jam lalu turun dan desau angin yang perlahan beralih ke arah utara hutan, meninggalkan segumpal udara lembab di tengah-tengah hutan rimbun itu. Berdehem sejenak, Saka mengalihkan pandangan kepada Dora yang tengah menggesek-gesekkan telapak kanan dan kiri tangannya, berniat sedikit mengurangi rasa dingin yang menggerogoti tubuh bagian luarnya.
“Kau, tinggallah disini. Di dekat persimpangan jalan itu ada sebuah gubuk kecil. Aku akan pergi ke Medang Kamulan seorang diri.” Titah Saka sembari menunjuk ke arah persimpangan jalan di samping ia berdiri.
Dora sedikit kebingungan mengapa majikannya itu sangat nekad untuk pergi ke Kerajaan Medang Kamulan seorang diri. Namun iapun tak berani menentang titah sang majikan sekaligus pimpinannya itu.
**
Aku berdiri termenung menatap lalu-lalang orang di depanku dengan perasaan yang entah akupun tak mengerti bagaimana menjelaskannya. Lalu lintas yang padat di depanku tak sedikitpun membuat hatiku kembali tenang. Tadi pagi aku tak sengaja mendengar perdebatan yang alot di antara ayah dan bunda, aku tak mengerti masalah apa yang sedang mereka perdebatkan. Aku hanya sedikit mendengar tentang keadaan keuangan di perusahaan ayah, aku tak mendengarkan lebih lanjut karena jam di dinding sudah menunjukkan pukul 06.35. Hayam masih marah padaku dan tak mengijinkanku untuk nebeng dengannya. Jadilah aku sekarang berada di sini, menunggu dengan setia kedatangan bus untuk menuju ke sekolah, siap untuk berdesak-desakkan dengan para penumpang lain.
Aku mengangkat pergelangan tanganku menengok waktu yang tertera di jam tanganku. Sekarang pukul 06.55. Ya ampun... aku menengok ke arah seharusnya bus datang, hanya ada kendaraan-kendaraan pribadi yang melintas. Tak ada tanda-tanda sebuah bus akan melintas ke daerah ini.
“Alamat. Telat deh gue.” aku menghembuskan napas kasar. Aku mundur ke belakang memutuskan akan menunggu sambil duduk. Kalau kalian bertanya-tanya mengapa aku harus naik bus ketimbang jalan kaki, ya jawabannya karena jarak rumahku dengan sekolah lebih jauh dari jarak rumahku menuju halte bus ini. Dan asal presiden tahu saja, rumahku dan sekolah adalah dua hal yang sangat-sangat berjauhan, jadilah aku lebih memilih menunggu bus di halte daripada harus merelakan betisku besar akibat terlalu jauh menempuh perjalanan.
Suara klalson mobil terdengar nyaring di depanku membuat pandangan orang-orang tertuju kepada pemilik mobil di deepan sana termasuk aku. Sebuah Nissan March berdiri di pinggir halte, kembali membunyikan klakson. Aku tak mengerti apa yang dilakukan sang pengendara jika saja kaca samping penumpang tidak diturunkan.
“Naik cepet. Udah telat.”
Aku termangu. Dia bicara kepada siapa? Aku. Aku menunjuk diriku sendiri semabari mengangkat tinggi-tinggi kedua alisku. Orang di depan sana terlihat berdecak kesal kemudian menganggukkan kepala sambil menunjukku. Mulutnya menggumam, seperti berkata ‘Iya lo.’
Aku beranjak dari dudukku dan segera menghampiri Esa. Sebelumnya memang aku sangat tak menduga bahwa si murid baru ini menawariku tumpangan. Tapi ya daripada telat, mending aku nebeng padanya.
**
Jujur, aku adalah tipe orang yang tidak suka didiamkan. Aku juga sangat membenci suasana canggung, tetapi meski begitu aku termasuk orang yang tidak pandai dalam memulai sebuah pembicaraan. Entahlah, aku merasa tidak bisa berkata-kata jika lawan bicaraku tidak mengatakan apapun. Arna pernah bilang bahwa aku mempunyai tipe karakter plegmatik jika diamati dari jauh, tapi saat orang sudah mengenal dekat denganku mereka akan mengatakan aku adalah orang bertipe sanguin. Tipe plegmatik adalah tipe orang yang tertutup yang sangat diam, tidak menuntut kalem dan lambat. Mereka tidak pernah menjadi gelisah dan tidak berniat membuat malu diri mereka sendiri dengan orang yang baru dikenalnya, sedangkan tipe sanguin merupakan tipe yang paling terbuka diantara semua tipe perangai. Bahkan tipe ini dapat disebut super terbuka. Orang Sanguin adalah orang yang suka berbicara, mudah menyesuaikan diri, ramah, hangat, penuh humor, dan responsive. Tipe sanguin tidak tahan melihat orang asing didepan mereka tanpa memberi tanggapan kepadanya.
Nyatanya aku belum bisa membuktikan kebenaran perkataan Arna itu, bisa dilihat seperti sekarang. Sudah sejak beberapa menit lalu aku duduk di jok mobil Mahessa, memandang jalanan di sampingku yang berkelebat. Tidak ada katapun yang keluar dari mulutku apalagi Mahesa, kami benar-benar seperti orang asing. Ya, walaupun memang seperti itu kenyataannya. Aku menilik Invicta hadiah dari Bang Gara di pergelangan tanganku. Jam tangan yang kuyakini barang KW itu menunjukkan angka yang sukses membuatku panik. Jam segini sudah bisa dipastikan kalau gerbang sekolah sudah tertutup rapat, aku melirik orang di sampingku. Jari-jari tangannya mengetuk santai setir mobilnya, sedangkan di depan sana traffic light masih setia berwarna merah.
“Sa, ini gimana. Kita udah telat banget pasti.” Aku terpaksa membuka suara, kalau begini sih mending sekalian tidak usah berangkat sekolah saja.
Mahesa mengalihkan tatapan matanya kepadaku, ia kemudian mengangkat pergelangan tangannya yang terpasang clock hand berwarna coklat. Aku mengamati ekspresinya, tak ada raut terkejut atau kegugupan pada mimik wajahnya. Aku jadi penasaran apakah mungkin Mahesa ini mengidap moebius syndrome. Moebius syndrome adalah gangguan sejak seseorang dilahirkan. Pada saat dilahirkan,orang tersebut rupanya mengalami kerusakan pada saraf kranial VI dan VII-nya. Saraf kranial sendiri merupakan saraf pengatur sensasi pergerakan otot kepala sampai berbagai respon parasimpatetik ke organ. Seseorang yang dilahirkan dengan kerusakan saraf kranial tersebut akan mengalami ‘kekakuan’ ekspresi wajah. Sebab, otot-otot di wajahnya tidak dapat berfungsi semestinya. Otot-otot tersebut sangat lemah sehingga untuk sekadar menggerakkan bibir dan berkedip pun sangat sulit, bahkan tidak bisa. Tapi gak mungkin juga sih, masa iya penderita moebius syndrome memiliki wajah yang high class gini.
Sebenarnya kalau diperhatikan dari jarak pandang yang tidak terlalu jauh, Mahesa ini sedikit mirip dengan aktor Bio One. Alis tebal, hidung yang tinggi, bibir yang tidak tipis juga tidak tebal itu terasa pas menjadi pelengkap wajah yang menurutku sempurna itu. Wajahnya juga putih bersih, tidak ada jerawat ataupun bekas jerawat di wajahnya. Aku jadi iri, aku yang perempuan merasa tersaingi dengan kemulusan wajah Mahesa itu. Tapi jika ditilik lebih seksama lagi, Mahesa ini aku kira memiliki darah Arab. Bulu matanya lentik, mirip Zayn Malik.
“Ngapain liatin gue terus?” suara serak Mahesa menyentakkanku dari pikiran-pikiran laknat yang sedari tadi bersarang dalam kepalku, tak habis pikir sedari tadi aku sibuk mengagumi wajah tampan Mahesa.
“Apaan. Gue nggak ngeliatin lo.” Aku memalingkan wajahku kearah jendela, bahkan aku tak menyadari kalau mobil sudah kembali berjalan.
“Gue yakin kok. Muka lo ngadep gue mulu dari tadi.” Mahesa masih fokus menatap jalanan di depannya, tapi nada suara meledek terasa kental mengiringi ucapan cowok itu.
“Ngaco.”
Beberapa menit berlalu dan tak ada percakapan lagi diantara kami sampai aku menyadari bahwa arah tujuan mobil ini berlawanan dengan arah menuju sekolah. aku mengerutkan keningku, menatap bertanya-tanya kepada Mahesa.
“Eh, kita mau kemana nih. Arahnya bukan kesini. Gue tau lo murid baru, tapi gak yakin lo udah lupa jalan ke sekolah kita.”
Tidak ada sahutan dari Mahesa, cowok itu seperti tidak pernah mendengar perkataanku. Sedangkan mobil kini malah melaju menuju ke jalan tol. Aku panik, tentu saja.
“Mahesa, gue mau dibawa kemana ini? Lo jangan macem-macem ya sama gue.” Mahesa masih bergeming.
“Mahesa, gila lo ngapain bawa gue ke bandara. Turunin gak.” Aku menatap galak ke arah Mahesa saat aku menyadari bahwa kini mobilnya memasuki kawasan Bandar Udara Internasional Adisutjipto.
“Bentar, gue parkir dulu. Baru lo boleh turun.”
**
Mahesa benar-benar makhluk terabsurd yang pernah gue temui. Bukannya mengantarkanku ke sekolah dengan selamat, dia malah membawaku ke bandara. Duduk di kursi turnggu. Benar-benar kegiatan yang sangat unfaedah. Daripada duduk menemani Mahesa bermain Arena of Valor mending aku pulang dan tidur saja di rumah. Tapi niatan mulia itu terpaksa harus kuurungkan karena aku malas untuk sekadar memesan taksi ataupun ojek di jam segini. Panas.
“Sa, ngapain ke bandara sih?” tanyaku berusaha untuk mengalihkan perhatian Mahesa dari layar gawainya. Namun, sayang seribu sayang yang aku dapatkan malah komat-kamit mulut Mahesa dengan mata yang masih lekat menatap layar di depannya itu. Aku mendengus sebal, sudah sejak sejam yang lalu aku menunggui Mahesa di sini. Beberapa kali mengecek smartphone tapi tak mendapati sedikitpun notifikasi di dalamnya.
Aku berjengit kaget saat tiba-tiba Mahesa bangun dari duduknya, mungkin kalian menganggapku berlebihan. Aku menggeplak lengan Mahesa, tidak terlalu keras tapi berhasil membuat Mahesa menolehkan wajahnya kepadaku.
“Ngagetin aja.” Aku berkata dongkol.
“Mahesa.”
Aku dan Mahesa menoleh ke arah orang yang berdiri tak jauh dari posisi kami berdiri saat ini. Sepasang paruh baya berdiri di sana. Salah satu dari mereka menghampiri Mahesa dan segera memeluknya erat. Aku memiliki firasat bahwa orang di depanku ini adalah orang tua Mahesa.
“Bunda kangen banget sama kamu.” Wanita paruh baya itu sudah melepaskan pelukannya, kini berganti menatap sayang kepada Mahesa.
“Hesa juga Bun. Bunda sama Ayah gimana kabarnya?” Mahesa merangkul akrab pria paruh baya yang sedari tadi menunggu giliran untuk mendekap Mahesa.
“Kami baik.” Tatapan wanita itu kemudian terarah kepadaku, aku membalas tatapannya dengan senyum canggung.
“Ini... Siapa?” tanyanya.
Mahesa melirikku sebentar, seolah baru sadar kalau ternyata aku berada di sampingnya.
“Kenalin, ini Nareswari. Temenku, Bun.” Mahesa menyenggol bahuku pelan, memberi isyarat kepadaku untuk berkenalan dengan kedua orang tuanya.
“Halo Tante, Om. Saya Nareswari, panggil Nares aja.” Aku mengeluarkan senyuman manisku, mengulurkan tanganku untuk berjabat dengan kedua orang tua Mahesa.
“Halo juga Nares. Tante ini bundanya Mahesa, panggil aja Tante Via. Ini ayahnya Mahesa, panggil Om Dion aja.” Tante Via memperkenalkan dirinya sendiri dan suaminya.
Aku mengangguk mengerti sambil masih menunjukkan senyum manis di wajahku.
“Kamu udah dapet temen aja disini, padahal baru masuk sekolah kan kemarin?” tanya Tante Via, tatapannya menggoda kepada Mahesa.
Sebenarnya itu juga yang membuatku heran, gimana bisa Mahesa tahu namaku padahal kami belum berkenalan secara resmi. Kalau aku wajarlah kalau tahu nama Mahesa, secara kan dia murid baru di sekolahku. Murid baru yang berhasil menciptakan kerutan dalam di dahiku. Mahesa ini apa mungkin orang yang suka berpindah-pindah sekolah, mengingat ia pindah ke sekolah dari Jakarta ke Yogyakarta saat beberapa bulan lagi kami akan melaksanakan UNBK. Aku tak habis pikir bagaimana ia mengurus surat kepindahn dan tetek bengek lainnya untuk memenuhi persyaratan kepindahan sekolah di saat pertengahan awal semester seperti ini.
“Nares ini anaknya Om Wijaya, Bun.” Ujar Mahesa.
Aku membulatkan mataku, gimana bisa Mahesa tahu nama Ayahku. Rasa terkejutku semakin bertambah saat sebuah lengan terasa hangat di punggungku, menuntunku ke arah pintu keluar bandara.
“Ayo, kita ngobrolnya di mobil aja. Bunda udah pengin pulang.”
Tante Via membawaku berjalan beriringan dengannya menuju tempat parkir mobil Mahesa, diikuti Mahesa dan Ayahnya di belakang kami.
**
wah miopi saya juga miopi nih hehe
Comment on chapter Bab 1 : Murid Baru dan Insiden