DUA
Gantungan kunci berbandul boneka panda membuat Genang tersenyum kecut di kamarnya. Merasa ada kemiripan di sana. Seperti panda yang besar, Genang tangguh namun seperti panda yang membungkuk pula, Genang rapuh. Genang menghela napas panjang, heran mengapa ia sangat mudah menemukan kata-kata sendu akhir-akhir ini. Menjadi melankolis begini sama sekali bukan Genang. Mungkin kini ia telah sama dengan penderita kanker di film-film yang selain tubuhnya sakit, pola pikirnya juga ikutan sengit.
Di hadapannya terbuka layar laptop. Sudah sampai empat puluh halaman ia mengetik. Kalau tadi siang ia tidak bertemu Cecil dan dipaksa masuk ke ruang latihan seni peran, ia pasti lupa melanjutkan tugasnya membuat naskah untuk lomba seni peran antar sekolah beberapa bulan lagi.
“Nah ini! Sahabat gue dari kapan tau, Genang. Kemenangan sekaligus title The Best Captain of The Year yang gue dapat kali ini gue persembahin buat dia. Karena dia salah satunya yang bisa bikin gue ada di sini, masih ada dan seperti sekarang. Pokoknya, lo harus tetap berkarya. Gue jadi best captain, lo jadi best actor.”
Ucapan Aliando ketika diwawancara usai pertandingan tadi terngiang di kepala Genang. Yang dibilang Aliando agak berlebihan meski bisa juga dibenarkan karena faktanya Genang pernah berhasil mencegah aksi paling bodoh yang diputuskan Aliando. Sekarang, sepertinya roda sedang berputar. Biasanya Genang yang memegangi Aliando tapi kali ini justru ia lah yang dikuatkan. Tidak secara gamblang memang, tapi Genang tahu sahabatnya yang slengekan itu sedang mencoba membagi kekuatannya.
Sekali lagi Genang menghela napas. Dari laptop, Genang membuka folder musik dan mulai menyalakan salah satu lagu di sana.
“Nang!” Pintu kamar diketuk. Suara Mama bukan yang Genang inginkan saat ini. Sudah banyak sekali kebohngan yang ia buat sejak kepulangan Mama ke rumah. Yang pertama, sewaktu Mama mengajaknya makan malam di bawah yang Genang tolak dengan alasan masih kenyang. Kedua, sewaktu Mama mengajaknya mengobrol di kamar yang dihindari Genang dengan mandi sore padahal setengah jam sebelum Mama sampai rumah Genang baru saja selesai mandi. Lalu ketiga, sewaktu Mama mengajak Genang menonton televisi di ruang santai yang cepat-cepat Genang tolak dengan alasan mau mengerjakan naskah lomba di kamar. Semua itu Genang lakukan agar bisa menghindari pertanyaan Mama seputar hasil lab dan kesehatannya. Genang tidak akan jujur tetapi ia juga tidak yakin bisa berbohong kalau Mama terus-terusan bertanya.
“Iya Ma, kenapa?” Genang menyahut. Hanya menyahut, tanpa menyilahkan Mama masuk sebagaimana mestinya.
“Nang!” panggil Mama lagi dan akhirnya Genang membukakan pintu. Wajahnya dipasang serumit mungkin. “Dih sibuk banget sih anak Mama,” kata Mama menggoda. Sebelah tangannya yang bebas mengacak-acak rambut Genang. Matanya berbinar.
“Ada apa?” tanya Genang berusaha tidak meladeni meski ingin sekali. Karena sejujurnya, bicara apalagi berdebat tidak penting dengan Mama selalu menyenangkan bagi Genang.
Mama tidak menjawab, malah masuk ke dalam begitu saja. Meletakkan mangkuk berisi potongan-potongan buah ke meja. Senyumnya jahil kala melihat gantungan boneka panda. Dipegang dan dilihat-lihatnya sambil mulai menampakkan gigi-giginya.
“Punya siapa nih?”
Maka, matilah Genang. “Teman,” jawab Genang singkat. Dia tahu apa yang ada di kepala Mama saat ini.
“Aliando?” Sebelah alis Mama mengangkat. Satu-satunya teman yang dibawa Genang ke rumah memang hanya Aliando. “Ngeri juga dia mainan boneka begini,” lanjutnya.
“Bukan, Ma.”
“Perempuan ya?” Dagu Mama mengangkat saat bertanya. Matanya berkerling, membuat Genang akhirnya hanya menjawab dengan gumaman tidak jelas. “Kamu udah punya pacar?”
Genang menggeleng. Masih belum menemukan cara yang pas untuk menanggapi Mama. Kalau tidak dijawab, Mama akan senantiasa melontarkan banyak pertanyaan yang Genang tahu akan makin ngawur. Tapi kalau dijawab, Genang juga tahu Mama akan menemukan celah apapun dari jawabannya untuk meledek.
“Jadi baru PDKT nih?”
“Ma udah deh Ma, aku dikejar deadline nih.” Sepasang tangan Genang menyampir di bahu Mama, mengarahkan untuk bangun lalu mengusirnya pelan.
“Nggak mau konsultasi sama Mama nih gimana caranya gebet cewek?”
“Nggak!” Genang semakin mendorong Mama. Sampai akhirnya mereka ada di ambang pintu dan Mama menyerah. Setelah mengucap terima kasih atas buah-buahan di atas meja, Genang menutup pintu.
“Nang!” panggil Mama dari balik pintu.
Genang tidak menjawab. Ia kembali ke kursinya. Duduk menghadap laptop dengan pikiran yang belum juga siap tenggelam ke dalam skenario.
“Buahnya harus dihabisin ya! Mama nggak mau kamu kayak kemarin. Kecapekan sampai mimisan terus pingsan.” Kali ini Mama terdengar serius.
“Iya, Ma.”
“Jaga kesehatan, zaman sekarang penyakit mudah menjangkit orang,” lanjut Mama.
Genang terpaku. Mendadak hatinya jadi sesak. Kata “penyakit” barusan terdengar mengganggu, membuatnya ingat pada kanker menyebalkan di tubuhnya. Namun Genang memutuskan untuk tidak terlalu serius. “Aku bukan orang,” sahutnya mencoba bercanda.
“Terus apa?” Mama masih di balik pintu kamar. Itu terbukti dari suaranya yang masih terdengar sangat jelas dan keras.
“Kue jahe.”
“Enak aja, nggak bisa! Kalau kamu kue jahe kan aku jadi ibu jahe. Nggak mau Mama. Kue itu kan hitam.”
“Coklat, Ma.”
“Hitam! Nggak mau Mama.”
Benar, bicara dengan Mama pada akhirnya selalu bisa membuat mood Genang lebih baik. Bibirnya mengangkat tersenyum mendengar rajukan Mama. Kalau dihitung-hitung usia Mama sudah jauh sekali dari remaja, seharusnya bukan kalimat tidak penting begitu yang dilontarkan Mama. Namun itulah yang Genang suka. Mama yang seorang diri tetapi memiliki banyak sisi. Mama yang bukan aktor sepertinya tapi mampu berperan sebagai apapun –orang tua, kakak, adik, dan juga teman.
Layar laptop Genang berubah hitam, masuk mode sleep. Di sebelahnya ada pigura yang lebih menarik jadi Genang membiarkan naskahnya berhenti dulu dihalaman empat puluh. Diambilnya pigura itu.
Di dalam pigura hanya ada dua orang, Genang dan Mama saja. Bukan potret keluarga yang sempurna. Sudah empat tahun mereka kehilangan sosok pemimpin. Dan semua baik-baik saja. Mama lebih dari seorang ibu. Selalu tahu apa yang Genang butuhkan. Bahkan ketika Genang merasa membutuhkan sosok adik untuk bisa diajaknya bicara hal-hal tidak penting. Namun malam ini, tiba-tiba Genang merasa sesuatu mengganggu.
“Nang, kalau udah selesai nulisnya ke bawah ya! Mama bosan nih nonton sendirian.” Dari lantai bawah Mama berteriak. Sudah pukul sembilan malam, Mba Inah pasti sudah masuk ke kemarnya.
Genang menelan ludah. Ia tahu apa yang menggangu sekarang. Pola pikirnya soal keluarga lengkap itu tidak penting, salah. Papa, Genang menggumam tanpa sadar. Seharusnya laki-laki itu ada. Paling tidak untuk menemani Mama.
Ketika satu hal lagi terlintas di kepala, Genang memutuskan untuk menutup laptop dan meninggalkan meja belajar. Tubuhnya merebah di atas ranjang dengan mata menerawang langit-langit putih kamar. Sebelah tangannya menjadi penyangga kepala meski sudah dialasi bantal dan sebelah lagi bebas di atas perut.
Siapa yang salah, menjadi kalimat pembuka renungan Genang kali ini. Suara-suara dingin empat tahun lalu mengudara di telinga Genang. Genang tidak tahu mengapa Papa bisa sangat membencinya sampai menceraikan Mama. Genang juga tidak tahu mengapa Mama selalu membelanya sehingga rela dicerai Papa. Bukankah itu kekanak-kanakan bagi hubungan serius penuh tanggung jawab terhadap Tuhan bernama pernikahan?
Genang tahu Mama hancur karena itu. Matanya yang menjadi sipit dan make up yang jarang dipoles lagi ke wajahnya menjadi bukti meski wanita itu selalu saja tersenyum dan bilang kalau semua akan baik-baik saja. Kadang-kadang Genang jadi membenci dirinya sendiri. Kalau bukan Papa dan Mama yang salah, maka Genang berkesimpulan kalau dirinya-lah yang salah.
Tidak ada bantingan pintu apalagi piring dan perabotan lainnya namun Genang tahu, bahkan sewaktu usianya baru dua belas tahun, kalau orang tuanya tidak baik-baik saja. Mungkinkah kelahirannya ke dunia adalah kesalahan? Padahal katanya, kelahiran seorang anak adalah anugerah bagi orang tua. Nyatanya Mama dan Papa malah saling melempar tatapan yang tidak membuat nyaman.
Benar, semua ini karena Genang. Mama ditinggal Papa karena Genang. Lalu sekarang apalagi? Setelah Mama ditinggal Papa, Genang juga akan meninggalkan Mama. Nanti, ketika ia kalah dari kanker menyebalkan ini. Tangan Genang mengepal kuat di balik kepala. Semakin sadar ia menderita kanker, semakin kuat kepalannya. Genang ingin marah, Genang ingin protes, Genang ingin melempar kesalahan, tapi tidak bisa. Jelas-jelas ia sendiri adalah kesalahan. Dan, ia setuju akan itu.
“Nang, nulisnya besok lagi aja. Temenin Mama nonton sini!” suara Mama kembali terdengar. Kali ini bukan dari kenangannya tapi dari lantai bawah yang mulai mengudarakan suata televisi kencang-kencang.
Genang tidak menyahut. Dayanya hilang bahkan untuk sekadar bilang tidak. Kerongkongannya serasa tercekat. Kelopak matanya mulai basah oleh air mata yang mati-matian ditahan. Dalam hati ia berteriak, “It will be okay,” sebanyak-banyaknya. Sampai ia merasa kuat dan basah di kelopak matanya surut.
Malam ini terlalu suntuk bagi Mama di lantai bawah. Juga bagi Genang yang jatuh.
---------------------------------
Hujan berubah deras. Alia di bawah kanopi masih menunggu Pak Seno datang menjemput. Tidak banyak anak yang berdiri bersama. Sebagian sudah pulang sebelum hujan benar-benar turun, sebagian lagi sudah aman di dalam ruang ekskul masing-masing. Kedua tangan Alia mulai bergerak menyilang lalu menggosok-gosok lengannya. Tidak membawa almamater membuat Alia kedinginan sekarang.
Seorang murid laki-laki menghentikan langkahnya di sebelah Alia. Berdiri dan mulai mengulurkan tangannya keluar kanopi. Membiarkan tetes-tetes hujan membasahi telapak tangan. Tanpa perlu mengukur, Alia tahu laki-laki itu hanya sepuluh centi lebih tinggi.
Dia Genang. Alia jadi teringat cerita Bunga tadi siang ketika mereka sama-sama diusir dari kelas karena tidak memakai alamamater.
“Genang itu sahabatnya Aliandoku-sayangku-calon-kekasihku.” Kalau sudah Bunga yang menyebut si kapten basket sekolah, nama Aliando akan menjadi panjang. “Beda ekskul. Dia anak teater. Ketuanya tahun ini. Nggak cuma di sekolah, dia juga aktif di sanggar luar sekolah. Prestasinya banyak. Teater sekolah maju karena dia. Dia juga sering ngisi mading. Tulisannya keren, bisa dipajang sampai sebulan dan masih aja ada yang baca tiap pagi padahal belum ganti yang baru. Penggemarnya banyak, tapi nggak kayak penggemar Aliandoku-sayangku-calon-kekasihku. Banyakan, penggemar diam-diam. Habis dia pendiam banget, agak ngeri lah ya kalau harus PDKT sama dia.”
“Anak teater tapi pendiam?” Sejak siang itu, Alia memang tertarik dengan sosok Genang. Laki-laki asing yang ketika memergokinya mengintip tidak langsung mengusirnya, malah menjawabi rasa penasarannya.
Bunga mengangguk. “Aneh kan?”
“Terus?”
“Pokoknya, Genang sama Aliandoku-sayangku-calon-kekasihku itu friendship goal banget. Kemana-mana berdua, saling melengkapi, saling support. Sama-sama ganteng, lagi! Eh, kok lo nanya-nanya terus? Lo naksir ya sama Genang.”
“Enak aja!”
“Eh kenapa? Dia ganteng tau, kayak artis-artis Korea.”
Alia tersenyum. Sama seperti ketika menanggapi ucapan Bunga tadi siang. Bisa-bisanya Bunga berkesimpulan begitu. Padahal Alia sendiri sama sekali belum kepikiran soal puber, apalagi sejak insiden tidak menyenangkan di Bandung beberapa bulan lalu. Yang ada di kepala Alia sekarang hanya teater, masa lalu yang terlalu ia rindukan saat ini.
Genang berdeham. Memanggil perempuan di sebelahanya tanpa nama. Kemarin mereka bersinggungan di lapangan lalu bertemu kurang menyenangkan di depan pintu ruangan seni peran, tetapi Genang tidak tahu namanya. Perempuan itu menoleh. Senyumnya surut seiring dengan dahinya mengerut. Genang tahu, ia tidak sopan tapi hanya itu yang bisa ia lakukan. Melihat hujan membuat Genang teringat kalimat bijak sang dokter. Tempo hari ia membiarkan tubuhnya basah kuyub kena hujan dan malamnya membiarkan angin sewaktu hujan masuk ke kamar. Tubuhnya tidak banyak protes. Ia tidak menggigil seperti yang sudah-sudah. Hanya demam dan itu terasa keren bagi Genang. Jadi kali ini Genang ingin membuktikannya sekali lagi. Tubuh lemahnya punya kemauan yang lebih kuat.
Genang melepas almamater lalu menyodorkan pada perempuan di sebelah. Tidak langsung diterima. Dahi perempuan itu makin berkerut. Genang mengambil satu langkah mendekat namun perempuan itu ikutan mengambil satu langkah ke arah yang sama. Jarak mereka sama saja.
Diciumnya almamater cokelat tua. Tidak berbau dan masih rapih. Sekali lagi Genang menyodorkan almamater. Sekali lagi pula alamamter itu ditolak. Ekspresi perempuan di sebelahnya sudah berganti masam. Dia pasti merasa sedang dikerjai sekarang.
“Bukan. Ini gue pinjamin. Lo kedinginan kan?” Suara Genang lembut.
Namun si perempuan tidak menjawab. Juga tidak menerima almamter. Sehingga Genang meraih tangannya dan memindahkan almamater secara paksa. “Gue belum latihan. Nggak bau dan cuma sedikit lecak.”
Mata perempuan itu melebar. Sudut bibirnya mengangkat kaku. “Ma—”
“Kak Genang, ayo latihan!” suara dari ujung membuat Genang mengalihkan perhatian. Cecil, adik kelasnya yang setiap harinya terlalu bersemangat melambai-lambaikan tangan.
Genang tidak menyahut. “Bawa lagi besok sebelum jam masuk,” ucap Genang lalu pergi meninggalkan perempuan yang kebingungan itu. Langkah kakinya besar-besar menghampiri Cecil. Mencoba lebih semangat agar tidak sepayah panda yang bungkuk.