Violin? Kenapa ada gema violin di tempat seperti ini? tanyanya dalam hati.
Seseorang berpakaian tuksedo warna biru navi keluar dari pintu belakang gedung opera menuju atap yang jarang digunakan orang-orang selain petugas bersih-bersih. Mendekat pada tangga, ia sayup-sayup mendengar suara musik. Sebagai sesama pemusik, kakinya tak sadar melangkah mencari asal suara itu.
Violin. Ya, jeritan violin yang menangis. Kenapa bisa ada orang main violin di tempat ini? Satu demi satu anak tangga dilangkahi. Menyakitkan. Siapa yang mengalunnya? Ia mengikuti dan terus mengikuti nada itu hingga ia tiba di atap dan menemukan seorang lady dengan gaun hitam legam sedang menggesek biola dan seorang pelayannya. Nona itu? Sendirian? Bersedih? Apa dia mau menyakiti hatinya sendiri dengan nadanya sendiri…?
“Für Lebena Maganda. Ravel: Pavane for a Dead Princess,” kata Kenan setelah menyudahi permainan biolanya. “Sudah delapan tahun, Vince. Kepergiannya tepat hari ini dan semuanya berubah.”
“Ya, Nona. Selamat ulang tahun yang ke-22 untuk Nona juga.”
Kenan menurunkan violinnya dari pundak.
“Ataksia Friedreich itu… penyakit genetik yang membunuh ayahnya juga…”
“Ya, Nona,” jawab Vincent sekali lagi, “tapi jangan terus berduka.”
“Jangankan berduka. Aku tidak merasakan apa-apa, Vince. Aku benar-benar tidak merasakan apa-apa meskipun aku yang membunuhnya.”
“Nona!”
Kenan terdiam. “Lalu mau sampai kapan kau menguping di sana, hah?”
Kenan membalikkan badan, diikuti Vincent. Tatapan matanya tajam memelototi pria yang diam-diam mengupingnya dan bersembunyi di tangga.
Alhasil, alih-alih membela diri secara tidak siap, ia gelapan, “Ma, maaf, Nona. Saya tak bermaksud menguping. Setelah pertunjukkan usai, Saya mencari pemain violin solonya dan kata orang-orang okestra Anda keluar dari pintu belakang. Ketika berputar-putar Saya tak sengaja mendengar alunan itu... lagipula apa maksud Anda dengan membunuh –“
“Ayo pergi, Vince,” perintah Kenan.
Gerakannya cepat melalui pria itu untuk menuruni tangga.
“Ah, Nona tunggu!”
“Pulanglah. Cari saja pemain violin lainnya.”
Pria itu tertegun. Betapa dinginnya lady itu. “Alunan itu… menyedihkan. Untuk siapa kau memainkannya?” Langkah Kenan terhenti sejenak lalu maju lagi. “Bolehkan Saya tahu nama Anda, Nona?”
Kau bisa lihat sendiri di pamflet ‘kan, penguntit sialan.
Sama sekali tidak diacuhkan, pria itu berteriak, “Nama Saya Jerish Consta! Saya harap Anda mengingat nama Saya!” serunya keras-keras melawan suara angin.
Consta? Rasanya aku ingat nama itu, pikir Kenan.
Satu minggu kemudian, Kenan bermain di panggung Salzburg sebagai pemain violin solo dalam pembukaan festival. Ia berdiri kian gemilang dengan gaun hitam legam semata kaki. Raut wajahnya datar memandangi penonton yang riuh bertepuk tangan sambil menjerit-jerit bravo! Bravo! ketika usai. Selesai pertunjukkan, ia langsung menghilang lewat pintu belakang seperti kebiasaan barunya dalam 1 tahun itu.
“Stella Quintet: Crescendo.”
Terganggu, Kenan langsung menghentikan permainan biolanya di bar ke-14 karena mendengar suatu suara yang tak asing lagi. “Kau lagi? Apa lagi?”
“Maaf mengganggu. Entah mengapa alunan violin Anda menarik bagi Saya.”
“Bagi semua orang itu menarik. Makanya gedung itu penuh.”
Kembali pria itu tertegun antara perasaan angkuh dan cuek dari black lady di hadapannya. “Sampai sekarang Saya penasaran. Lagu duka yang waktu itu, Anda mainkan dengan tak ada siratan perasaan sedih di wajah Anda, Nona?”
“Lalu kenapa? Urusannya dengannmu apa, Tuan?”
Jerish menghela nafas. “Kau selalu berduka dengan lagu sedih dan gaun hitam itu ‘kan, Nona?”
Alis Kenan bertaut. “Diam kau! Jangan campuri urusan orang lain!”
Nada suara Kenan meninggi dan hal itu berhasil mengejutkan Jerish.
“Nona Alexa…”
Kau! Kau selalu menggangguku dulu juga sekarang! Jerish Consta, si pembuat onar di SMP Brokeveth! Setelah mengerjaiku tiap hari tapi tiba-tiba pindah begitu saja dari Inggris. Menghilang begitu saja, pikir Kenan dalam hati dengan siratan amarah. Ia paling sensitif dengan kata ‘menghilang’.
“Tutup mulutmu, Consta. Dan jangan sebut-sebut namaku.”
Kenan membalikkan badan. Seketika tajam mata Jerish yang berwarna biru turbid menangkap matanya. Warna bola mata itu tak kunjung berubah. Perasaan jengkel yang dipendamnya menggetarkan tangannya hendak menampar wajah porselennya. Untungnya otaknya masih sedikit waras sehingga ia urungkan niatnya dan pergi. Semarah-marahnya Kenan, perasaannya tidak akan bisa tampak karena percuma memukuli orang yang tak tahu siapa dirinya.
♣
Cita-cita itu–entah miliknya atau Ritsena–digapai dengan menjadi bintang violin di Wina, Austria. Kenan yang sudah tak punya dasar pendirian hidup lagi menjalani segalanya bagai robot dengan baterenya adalah pesan terakhir sahabatnya yang tetap 14 tahun seumur hidupnya. Maka dari itu, dari sepuluh tahun yang lalu ketika semuanya telah berakhir bagi dirinya hingga seterusnya, ia hanya hidup untuk memainkan apa yang ‘orang tersebut' kagumi dari dulu.
Menjadi seorang bintang, black lady the violinist terus bermain di panggung dan festival ternama. Meskipun perkataan Kenan pada Samantha dulu bertolak belakang–tidak mau memperdengarkan nadanya–nyatanya masih berjalan karena ia sendiri muak dengan jari-jarinya dan biolanya ketika Lena yang berujar kagum tak ada lagi. Bahkan, orang yang dulu bermain-main bertiga dengannya jadi harus ikut terseret…
“... bravo!” sorak para musisi Praha yang duduk di kursi paling depan.
“Syukurlah konser ini lancar,” ucap seorang pemain oboe dengan perasaan lega setelah menundukkan kepalanya sebagai rasa hormat pada penonton.
“Aku bersyukur sekali ada Challysto si pianis solo,” sahut pemain flute di sebelahnya. Kenan tetap terdiam seakan-akan tidak mendengar apa-apa, “karena ia beriringan dengan violin solo Alexa!”
“Karena Alexa juga para musisi itu bisa standup applause,” bisik pemain flute yang duduknya tak jauh dari Kenan.
Sang pemain oboe menghela nafas beratnya seperti si pemain flute.
“Ternyata ada juga seorang blasteran Asia yang bukan dari Challysto yang berbakat sekali dalam musik,” tukasnya.
Hal yang satu itu menggelitik telinganya. Apa-apan orang-orang ini? Kenan teringat pada perkataan Ryan bertahun-tahun silam padanya. ‘Kami manusia, bukan berlian yang dipuja-puja. Kalian? Jadi, kau pikir kami raja sementara kau hanya kaum proletar yang bisa menontoni kami dari jauh??’. Jangan bawa-bawa SARA kami, sialan.
“Selamat, Nona Gra, ah, Alexa, atas pertunjukkannya,” puji Jerish Consta setelah semua musisi dan kelompok okestra yang hadir memberi salam dan bubar.
Kenan mengerutkan alis. “Mengapa dari dulu kau selalu ada dalam pertunjukkanku?” tanyanya jengkel, “Apa selama dua tahun ini kau tidak punya kerjaan lain? Kembali saja ke Perancis dan kerjakan urusanmu.”
Sikap jutek dan perkataan keji tidak mempan lagi pada Jerish. Bukannya membalas, guratan senyum kecil malah muncul di ujung bibirnya.
“Kau sadar kalau aku selalu menonton pertunjukkanmu?”
Kenan mendecak jijik. Ia memalingkan wajahnya sebelum muntah. Sebelum sempat kabur lagi dari pria itu, Jerish berhasil menangkap lengannya.
“Ah, Nona Gra, ah, Alexa tunggu!”
Ya, tunggu. Kenan berhenti, lalu melempar perkataan masam lagi.
“Aku tahu, Consta. Kau membuatku muak. Sembunyikan saja semuanya sampai kau mati dengan puas,” gerutu Kenan. “Jadi, kenapa kau masih ada di sini? Masih ada season 2 untuk mengusiliku?”
Jerish merasa bersalah. Alisnya tertekuk ke dalam.
“Aku…, sangat ingin tahu. Mengapa guratan wajah itu jadi seperti ini? Kemana semua aura memikatmu dulu? Kenapa mulutmu hanya tinggal ucapan pedas saja?”
Jari telunjuk Jerish menyentuh pipi Kenan lembut. Cepat-cepat Kenan menampar tangannya. “Apa pedulimu? Kalaupun sekarang aku marah-marah, semua juga dari dulu karena kau, Consta!”
Kali kesempatan kedua, Jerish memegang pundak Kenan, bermaksud membujuk. Getaran perasaan Jerish mengalir bak riak air dari genggamannya. Hal itu membuat Kenan tambah jijik.
“Dari dulu juga kau memang tak pernah tersenyum di Brokeveth. Sekali saja, apa kau tidak bisa tersenyum di panggung seperti saat kau pentas di hadapan gadis sahabatmu demi membuatnya senang?”
Ingatan menyakitkan tentang Lena di rumah sakit menusuk tulang-tulang Kenan. Sekejab amarah menyerang seluruh kepala Kenan sampai ia tak bisa mengendalikan tangannya yang menampar Jerish.
“Alasanmu dua tahun ini mengikuti resitalku hanya untuk melaporkan padaku kalau kau sudah sukses mengorek-ngorek masa lalu orang lain!?”
Beberapa orang melihat adegan itu, melotot pada mereka berdua. Hebatnya laki-laki itu tak peduli. Padahal dia orang penting yang jadi tokoh utama yang dipermalukan.
“Jangan berasumsi dulu. Aku hanya beberapa kali melihat kalian dari atap gedung di seberang National Hospital for Neurology dan aku selalu menjahilimu karena kau memang… menarik bagiku yang dari dulu tidak pernah berani ditentang orang. Melihatmu bermain violin hanya kepadanya di bilik tertutup penuh selang sampai saat ini mengingatkanku yang selalu sombong dan pamer sebagai keluarga pemusik ternama.”
“Jadi, dari dulu kau selalu pura-pura tidak tahu kalau aku bisa main violin!?”
Dahi Jerish mengerut sedih. “Kalau tidak begitu aku tidak akan dapat perhatianmu.”
Alis Kenan bertaut lebih dalam. “Aku tak mengerti jalan pikiran orang-orang yang sudah kaya dari lahir. Karena tidak ada yang berani menantangmu jadi kau merasa tertantang ketika ada orang lain yang melawan?? Kau kira dirimu pejabat korupsi yang merasa lebih tinggi dari pencopet jalanan lalu sengaja mencari-cari perhatian polisi dan minta didakwa?? Sepertinya harta membuat otakmu tambah tidak waras ya? Sudah ditampar pula masih saja panjang mulut.”
Jerish menundukkan kepalanya. “Aku juga tak mengerti makanya aku mencari tahu. Saat itu aku tidak tahu siapa kau sebenarnya tapi ketika aku tahu, hal itu malah membuat tidak tenang bila tidak mencari kau lagi. Mataku tidak salah waktu di Brokeveth. Kau benar-benar memikatku.”
“Ketika kau tahu siapa aku? Kau tahu darimana!? Ryan!?”
“Jangan salahkan siapa-siapa. Aku hanya mencari tahu sendiri. Lagipula, sekalipun diancam juga dia takkan buka mulut untuk membela adik tercintanya. Dia saja bisa, aku ingin menjadi sepertinya yang bisa mencintaimu tanpa pamrih.”
Jangankan malu merah padam setelah mendengar pernyataan cinta, wajah Kenan malah makin menyuratkan ekspresi murka. Melihat wajah gadisnya, Jerish tersenyum kecut layaknya orang yang sedang menahan tangis.
“Aku belajar tentang satu hal setelah pergi dari Brokeveth. Ada satu kasih yang bisa mengubahkan pribadi orang lain, mengubahkan pribadiku. Aku tak tahu caraku benar atau salah tapi aku ingin kau juga bisa merasakan kasih itu. Meski tidak sama dan takkan bisa sama, aku ingin mencintaimu dengan cinta dari-Nya, cinta dari hatinya Tuhan yang jelas terurai dari surat ke Roma,” sergahnya lalu pergi.
Sejenak Kenan terperangah tapi ia tetap tak terima. Kata-kata macam itu… yang tak ia paham maknanya sudah yang ketiga kalinya ia dengar.