Bulan tak sabaran bergulir menuju Maret. Tak Kenan sangka kalau 15 hari lagi usianya genap 14 tahun. Itu akan jadi ulang tahun terburuknya, ya semua tahu itu. Mungkin lebih baik kalau ia bisa pura-pura lupa kapan usianya bertambah.
Hari itu Kenan di Wiltshire untuk seleksi opera yang dianjurkan Ryan–yang dianjurkan lebih dulu oleh paman Anderson yang jaringan informasinya lebih luas dari sarang rayap–selama dua minggu, Kenan–Ana Alexa–pergi ditemani Vincent yang setia. Lalu, dengan cerdiknya Kenan beralasan untuk bolos sekolah. Konyol sekali ijinnya begitu mudah.
“A bad day…” keluh Kenan. Angin kencang menampar wajahnya berkali-kali. “How is Lena’s health today? What is she doing now without me?”
“Whether I must looking for her, Miss?” tanya Vincent sopan.
Kenan menghela nafas. “It’s just my murmur –“ Ia seketika terkejut karena ada yang bergetar di saku celananya. Ryan.. miscall? Ada apa?
“Miss?” tanya Vincent lagi.
“Nope. Let’s go back.”
Kenan membalikkan badannya dari atap lalu menuruni tangga. Vincent mengikutinya dari belakang.
Sehari lagi, sekali lagi, renung Kenan berulang-ulang menghibur diri.
♣
Rabu, jam 10 malam. Kenan sedang berada di mobil dalam perjalanan pulang. Masa lombanya sudah berakhir. Ia pulang lebih cepat–sebelum pengunguman–karena tahu ia takkan juara. Final dari lomba itu adalah bagian terburuk, irama violin lari-lari karena jarinya terluka akibat irisan senar biolanya yang putus di hari sebelumnya. Itu pertanda buruk, bukan kebetulan. Tanda yang mengharuskan Kenan segera pulang.
Begitu tiba di London, tempat pertama yang ia tuju adalah National Hospital for Neurology. Meskipun jam besuk rumah sakit sudah lewat, entah kenapa dengan sedikit bujukan dan paksaan Kenan dapat lolos dengan mudah dari petugas keamanan dan jaga malam. Perasaannya tak enak begitu ia memasuki lorong sepi ke kamar VVIP Lena. Apalagi... saat matanya nanar melihat Ryan yang duduk bersila di sebelah pintu kamar Lena.
“Kau... sedang apa kau di sini?”
Ryan terbangun dari lamunannya. Ketika ia menengadah dan alisnya bertaut, saat itu juga Kenan sadar ada yang salah.
“Apa?” Tiba-tiba Kenan teringat pada miscall Ryan ke ponselnya. Benar ada yang salah. Ryan tidak pernah miscall bila tidak ada informasi dan ia juga tidak pernah mencoba telepon hanya sekali. “Apa, Ryan??” tanya Kenan sekali lagi.
Dengan wajah menahan tekanan, Ryan mencoba untuk berdiri di hadapan sepupunya. “Kumohon dengar sampai habis dan jangan mengamuk padaku.. setidaknya untuk sekarang ini.”
Mata Kenan melotot. Namun, ia hanya diam saja.
“Aku, tahu ini dosa tak termaafkan.. tapi aku lakukan ini agar kau bisa fokus pada lombamu. Maafkan aku kalau aku menyembunyikannya darimu, soal Lena –“
“Lena kenapa!?” Nama Lena terasa bagai pelatuk yang siap meledakkan Kenan.
Ryan tertunduk. “Le... a... ma.” Pelan, saking pelannya Kenan hanya mendengar Ryan seperti menghembuskan nafas. “Lena, ... ma,” ujar Ryan lagi lirih.
“Katakan yang jelas!!”
“Maafkan aku, Lena koma!”
Tubuh Kenan terbujur kaku. Jelas ia tidak percaya pada apa yang baru saja didengarnya. “... gir”. Kenan mengulurkan tangannya, menepuk dada Ryan. “Aku bilang minggir!!”
Pintu dibanting dan Kenan melihat ada tante Merry terlompat kaget lalu cepat-cepat memalingkan wajahnya kepadanya. Mata Kenan tertuju tak lain tak bukan, yakni pada tangan beliau yang memegangi tangan putri semata wayangnya yang sedang tertidur lelap. Dengan langkah lebar Kenan mendekati mereka berdua yang begitu tenang.
“Tante Merry?” tanya Kenan berusaha menyembunyikan kepanikannya.
“Kenan,” ujarnya pelan.
Kenan mendekati Lena dan menggoncangkan pelan badannya. “Hei Lena, aku sudah kembali. Maaf aku pergi lama sekali,” sapanya. Ryan bohong. Ya, si bodoh itu berbohong.
Sudah beberapa menit Kenan menggoncangkan badannya. Tak ada reaksi.
Bohong, kan? Ia pasti bohong!
“Kenan…,” Tante Merry memegang tangan Kenan supaya ia berhenti. “Lena… koma. Kata dokter, syaraf sadarnya mulai lumpuh… kemarin.”
Kenan shock. Kemarin?? Itu waktu senar violinku… putus…
“Memang salah Tante… kalau waktu sarafnya lumpuh ia ada di tempat tidur…”
“Tidak,” tolak Kenan. Ia menarik tangannya dari genggaman tante Merry. Kepalanya mendekati Lena dan berbisik ke telinganya, “Lena, bangun. Kau tak mau bertemu denganku?” tanya Kenan berulang-ulang sambil menahan histeris.
Air mata tante Merry berjatuhan ketika Kenan terus melakukannya.
Tak lama kemudian, jari telunjuk Lena bergerak. Tante Merry menghapuskan air matanya. Perlahan Lena membuka matanya.
Aku tahu itu, Lena hanya tidur…!
“Kenan?” panggil Lena lemah.
“Ya aku di sini,” jawab Kenan. “Maafkan aku, hasil lombanya buruk.”
Lena menggeleng. “Happy bilthday,” sergah Lena.
Sekuat tenaga ia mengangkat tangannya untuk menuding jam dinding yang menunjukkan pukul 01.42 dini hari. Kenan tak sanggup untuk melihat jam dinding itu. Suara sayup-sayup Lena sudah cukup menyakitkan hatinya.
“Mama, kado Lena…,” pinta Lena.
Tante menarik suatu bungkusan kecil dari laci.
“Lupakan ulang tahunku! Kau lebih baik istirahat!” seru Kenan panik.
Lena menepis tangan Kenan dengan tangannya yang masih bergetar.
“Tidak, bodoh,” elak lena sambil tersenyum. “Aku belum, syelesai. Syelamat..., ulang, tahun, yang ke-14, Kenan. Maaf..., hanya, langkaian, bunga, molning, gloly, tapi..., aku, halap, doaku, yang, menyeltaimu.” Lena mendorong bungkusannya ke arah Kenan. Ia masih berjuang untuk berbicara dengan nada nafasnya yang terputus-pututs. “Aku halap..., Ingglis jadi tempat, dimana Kenan bisya telus beljuang. Kenan juga..., tak pellu telpaksya, teltawa, hanya kalena aku. Masyih banyak, teman yang, menunggumu. Kalau kau..., lindu padaku, kau hanya pellu, menutup matamu, dan aku ada, di ingatanmu.” Suara Lena semakin pelan.
“Apa maksudmu? Bicaramu mulai ngelatur.”
“Syebab Tuhan, Ia syendili, akan beljalan, di depanmu, Ia syendili, akan menyeltaimu. Ia, takkan membialkanmu, dan takkan, meninggalkanmu–meskipun aku iya. Jangan takut dan janganlah hancul hati. Tuhan syelalu mengasyihimu, sepelti, aku juga.” Suara Lena hampir tak terdengar lagi.
“Apa maksudmu? Memangnya kau mau kemana, Lena??”
“Oh ya..., syampaikan juga, ya, pada pelayanmu, kalau aku, syungguh menyukainya,” ujar Lena. Kenan terkejut dengan perkataan Lena yang satu itu. “Kau, tahu? Tuhan, beli aku, kelebihan..., aku, bisya melasyakan, hati syesyeolang. Pelasyaan akan telsyampaikan padaku..., tulus, jujul atau bohong. Aku syelalu tahu, kalau, hatimu hancul, dengan keadaanku, dan hatimu, hanya telus, luka, kalenaku.... juga lasa belsyalah. Pelayanmu, aku, melasyakan pelasyaan, yang..., syelalu tulus, melayani, Kenan. Ia syatu-syatunya, olang yang memandang, Kenan, dengan, cala, yang, belbeda.”
“Hah?” sanggah Kenan berbisik.
“Pasytikan syendili, Ken. Ingat, kau, tidak pelnah syendili. God, always, love, you.” Lena menarik nafasnya yang sesak. “Oh ya, aku, capek. Mataku, belat. Good night, my sistel,” salam Lena yang langsung menutup matanya begitu saja.
Kenan mematung. Beberapa saat kemudian barulah saraf motoriknya merespon. “Lena?” tanya Kenan sambil mengguncang bahu Lena. Tak ada lagi jawaban. “Lena? Lena??” tanya Kenan mulai panik begitu bunyi beep di layar pendeteksi detakan jantung Lena berbunyi nyaring diiringi garis lurus warna hijau tak berlekuk.
“Tante Me –“
Kenan melirik tante Merry yang ternyata sudah banjir air mata. Ya, beliau sudah tahu, sudah siap, kalau dalam jangka waktu dekat Lena akan seperti…, itu.
Dengan muka pucat Kenan keluar kamar Lena sambil berteriak-teriak. Perawat dan dokter berebut memasuki kamar Lena setelahnya. Tante Merry dipindah paksa, sedangkan Kenan hanya berdiam diri di ambang pintu. Selama setengah jam para staf kesehatan mengusahakan segala cara untuk membuat jantung Lena kembali berdetak.
Tante Merry tak bisa menghentikan linangan air matanya. Kenan tahu perasaan itu. Perasaan kehilangan putri semata wayang kesayangannya yang walau bodoh tapi kehadirannya memikat hati. Sekarang, beliau tak punya siapa-siapa lagi.
Pandangan Kenan kosong ketika sang dokter mendatangi tante Merry dengan ucapan ‘I am sorry, Madame.' Lutut Kenan goyah, ingin ambruk. Kenan memutuskan lari mengambil violinnya dan hadiah yang Lena berikan lalu pergi.
“A…, senar A baru itu tidak cocok…,” bisik Kenan.
Kenan mengeluarkan semua isi tas biolanya, berharap ada ganti senarnya. Ia melempari barang-barang di tasnya. Histeris membuatnya tidak waras lagi. Satu barang terjauh mendarat di kaki Vincent adalah hadiah dari Lena. Vincent–yang terus setia di belakangnya–mengantarkan kembali pada Kenan. Perhatian Kenan tersita pada sesuatu yang melihat dari kado yang Lena berikan.
“Senar A!?" seru Kenan kaget.
Ada catatan kecil dengan tulisan berantakan terselip dalam bungkusan itu.
Aku baru tahu kalau lagu Cresscendo kesukaanku dimulai dari nada sol dari senar ketiga biolamu. Aku harap senar A yang kuberikan bisa membuatmu tak henti-hentinya memainkan lagu kesukaanku itu. Lebena.
Kenan memasang senar dari Lena dan selama hampir setengah jam ia mengulang-ulang lagu yang sama di atas atap melawan angin malam yang menjerit.
Für Lebena Maganda. Ravel: Pavane for a Dead Princess.
Kira-kira pukul satu pagi Kenan baru menghentikan alunan menyedihan violinnya. Meskipun menyakitkan hati, pelantur lagu itu sama sekali tak menangis.
“Vince,” panggil Kenan.
“Yes, Miss?” jawabnya.
“Lena said, she likes you—amazing. In Indonesia, that’s something peculiar for ‘love’ at fourteen years old,” tukas Kenan telak tanpa basa basi. Vincent yang tadi tenang dan badan sedikit membungkuk tiba-tiba saja sudah berdiri tegak karena kaget. “And until forever more, my beloved Lebena always be fourteen years old.”
“I am, I am sorry, Miss?” tanyanya ragu.
“A gift for her whose make herself could feel the other feeling. She said if you are a sincere man and have another mind through me. So, a query for you. What do you think of me?”
Mata Vincent terbelalak. Ia mulai berpikir hendak menjawab apa ketika Kenan tetap diam tanpa kata. Pusing benar menghadapi nonanya yang satu itu.
“My honor, Miss, but I am sorry, I could not say my idea for my lord –“
“So, I am concern from whence point-of-view you could receive my avowal as my valet? I do not know who you are, and until forever more do not know as you desire, right?”
“But, Miss –“
“In my idea, you cannot reject my order. I had it in for one who I do not know about but still nigh to me for a long time.”
“Miss...,” Vincent mengeluarkan suara tercekat.
Sunyi. Kenan diam karena tak bersedia mendengar kata ‘tidak’ untuk pertanyaannya pada pelayannya di sana. Vincent hanya bisa menundukkan kepalanya. Stres berat.
“Alright, Miss. As my honor, previously I deeply apologize,” pintanya pada Kenan.
“Lanjutkan saja,” himbau Kenan.
Vincent mengangkat kepalanya, memberanikan diri untuk berbicara. “First time I met you, I felt Mrs. Ritsena presence on you. Somehow that I realize that I know you have gifted like as Mrs. Ritsena had.”
Kenan mendekap dadanya. Rasanya perih setiap nama ibunya disebut-sebut. Apalagi kenyataan bahwa orang itu lebih mengenal ibunya daripada dia.
“Reamer family have devoted themselves to serve Challysto’s more than five generation. So, I have known her well. I am amazed when I see you have her image. Whereas, everybody knows if you never remember about her,” ujar Vincent melanjutkan. “Then, it is not something willfully or pretended manner.”
Menahan rasa cemburu itu, Kenan mengepalkan tangannya yang lain.
Kepala Vincent kembali tertunduk. “I, I admire someone whom stood by in front of me. She could make a decision easily for herself. People spoke ‘easily’ easily without know what the ‘easily’ is. People never pay attention to her feeling, just keep an eye for the surface. People never pay attention for a pained heart and a brave for grab a life, just turned face to the other. ”
Otakmu sudah rusak mengatakan itu, Vince?
“Everybody must be consider you are as a wise and unearthly lady. However, I could feel your true heart and it makes me more admire you. Nor a coincidental while you born as Challysto. I am so grateful to become your valet, my Lady,” lanjutnya.
Kenan melangkah. “I am not a good lord as you said, as you think, as you wish. I always act upon at my will. I am not gifted. I am not my mother. Then, at first, I do not have anything. My last means, I, already lost it, my pitch. Noone on my side again from the beginning until the end.”
Tangan kecil Kenan gemetar. Ia menjatuhkan bow-nya.
“You obstinately self-contained and do your best. You could not lose your pitch because someone gave you an A pitch to you, my Lady, Ms. Kenan Grace.”
Vincent mendekati Kenan untuk mengambil bow-nya yang terjatuh.
Ia tidak memanggilnya Challysto. Kenan terperangah mendengar ucapan Vincent. Ia memelototinya yang berlutut di hadapan nonanya. Kenan terdiam, tak tahu hendak berbuat apa.
“As you wish, I always on your side as long as you want.”
Mulut Kenan mengatup erat. Tangannya menggapai bow dari tangan Vincent yang terbuka, lalu menggenggamnya erat. Satu-satunya harta benda Kenan yang paling berharga. Air matanya lantas tak dapat terbendung lagi. Ia memalingkan wajahnya dari hadapan Vincent dan tertawa histeris.
“You see?? I have not self-contained! Furthermore, I already promised for myself for no more tears. What it is now? What its is? Despicable me.”
Senyuman di wajah Vincent menghilang. “It is not a foolishness. You already keep your pledge. Now, in front of me just an certain person who always immuring her agony, alone.” Air mata Kenan merebak dan jadi semakin liar ketika ia mendengar kata-kata yang Vincent ucapkan sama seperti yang Lena katakan padanya. “You are not alone, Miss. I am definitely with you as you want although it nor equal as God always be as to whether letter from Matthew…”
Kenan mengusap air matanya. Itu lagi? Hati kalian seperti terkait saja, reung Kenan.