Loading...
Logo TinLit
Read Story - Black Lady the Violinist
MENU
About Us  

Malas Kenan memandangi kaca jendela. Pemandangan awan yang bergulung-gulung itu persis waktu pertama kali ia naik pesawat. Hanya saja yang berbeda ia bukan pergi ke tempat yang di mana-mana putih tapi pergi ke tempat tropis yang lebih sejuk dibandingkan dengan Inggris saat musim panas. Indonesia.

Ryan berdeham. “Jangan marah kalau aku mengajakmu ngobrol ya tapi aku penasaran.” Ryan memandangi Kenan yang tak mau membalikkan wajah. “Gimana perasaanmu sekarang? Well, pasti tak menarik untuk kau jawab ya. Aku tanya yang lain saja,” Ryan berusaha meringankan perasaan Kenan, “kenapa Vincent kau tinggalkan?”

Mata Kenan lepas dari pandangan ke kaca, sedikit melirik Ryan. “Tak ada yang jaga rumah nanti. Mrs. Redha bukan house keeper tapi koki,” jawabnya.

Mrs. Redha adalah nama koki bintang lima di rumah Kenan di Inggris.

Ryan terlihat senang karena Kenan mau menjawab pertanyaannya. Ada senyum kecil merekah. “Yeah. Ms. Redha perlu teman ngobrol.” sahut Ryan. Ia berusaha membuat sepupunya memikirkan hal yang lain selain kesedihan.

Sayangnya percakapan singkat mereka berakhir saat itu juga.

 

Beberapa jam kemudian, pesawat lepas landas. Mereka tiba di bandara dengan troli masing-masing. Kenan melihat ke sekelilingnya dengan pandangan gelap karena pakai kacamata hitam dan topi. Sepertinya tak ada yang memperhatikannya. Ia terus berjalan sambil mendengar Ryan sibuk berceloteh ria dengan hpnya.

“..., kau bisa ke sekolahmu lagi. Masih simpan seragamnya, ‘kan?” tanya Ryan setelah telinganya lepas dari ponselnya. Kenan mengangguk. “Ke rumah tante Merry?”

Memangnya aku mau kemana lagi??

Ryan menguap berkali-kali sampai mereka tiba di tempat parkir. Ia tetap menguap ketika ia sedang memasukkan kopernya dan tas biola Kenan ke bagasi.

“Tasmu mau kau pegang saja?” Kenan tak menjawab. “Baiklah. Bolehkah aku duduk di sebelahmu?”

Kenan mengurungkan niatnya untuk tidak menjawab lagi. “Ya.”

Mobil melaju meninggalkan bandara Adi Sucipto. Mereka terdiam sepanjang perjalanan.

“Aku turun di kaki tebing saja,” himbau Kenan tiba-tiba memecah hening.

Sang sopir enteng menjawab ‘ya’ tanpa sahutan dari Ryan.

Lalu, sekitar satu jam lebih perjalanan melelahkan karena kemacetan itu, tibalah mereka di kaki tebing. Kenan turun dari mobil dan mengambil violinnya dari bagasi. Setelah itu ia berjalan mendaki tebing, mobil Ryan pun melaju pergi.

Kenan mengeluarkan biolanya dan memainkannya di puncak tebing.

Waktu lima hari belum cukup untuk membuat tanah di pemakaman kering. Ini… untukmu, Lenaku. “Boccherini: Concerto in B-flat minor, G.482.”

 

Kaki Kenan berat melangkah menuju gang rumah Lena sambil memanggul tas dan violin. Begitu memasuki jalanan besar yang sepanjang jalanannya akan ada banyak gang-gang, tanpa sadar kakinya malah melangkah memasuki gang rumahnya yang dulu. Matanya memandangi rumah itu yang masih berdiri kokoh dengan pandangan kosong. Seketika cerita “The Goose that Laid the Golden Eggs[1]” terlintas di pikirannya. Ia merenungkan setiap alur dan dialog dongeng itu sampai seseorang keluar dari pintu depan rumah itu.

Orang yang keluar dari rumah itu menatap Kenan balik dengan mata sinis. “Oh, masih hidup ya?” tanyanya. Matanya jahat sekali. “Lagi apa? Bengong setelah luntang-lantung di jalanan?” tanyanya lagi.

Kenan menatapnya datar. “Saya pikir, itu bukan urusan Anda?” Orang itu, saudara tirinya, melotot. “Oh, maaf lama sekali tapi aku baru mengerti arti semua ini. Kalian hanyalah petani dan istri yang benar-benar tamak ya. Saking tidak sabarnya, kalian berharap ayah Saya cepat mati, sehingga dapat mengusir aku dari rumah. Rumah itu telur emasnya? Menggelikan. Rasa kemanusiaan kalian lenyap hanya karena harta?” Ah, tapi, sangat terhormat bagi kalian, ‘kan?” ucap Kenan datar.

“Oh, sudah tahu!? Baguslah! Tak perlu capek-capek mamaku cerita!” Orang di hadapan Kenan murka. “Sok sekali mulutmu itu ya!? Kau mau pamer karena sudah jadi anak orang kaya!? Padahal ayahmu itu yang bodoh!” serunya.

Orang-orang yang lalu lalang menonton mereka adu mulut jarak jauh.

Kenan sama sekali tak termakan emosi. “Tentu. Ayahku jadi bodoh setelah ibuku yang pintar tergantikan oleh perempuan sangat licik seperti ibundamu.”

Kenan menelengkan kepalanya, memandangi saudara tirinya yang jelek waktu marah. Setelah puas, ia membalikkan badan bersiap pergi.

“Makian dan pengusiran belum buat kalian puas? Perlu pukul Saya lagi?” Langkah kaki orang itu yang tadi cepat tak terdengar lagi. “Ya, sekarang Saya anak orang kaya. Saya bersyukur sekali bisa keluar dari gubuk itu dan kembali pada tempat Saya seharusnya dan memiliki segalanya. Jadi, Anda masih mau macam-macam dengan Saya, putri nyonya Ine?”

Kenan kembali melangkah tanpa menoleh lagi. Tak ada suara keluhan lagi.

Begitu Kenan menyeberang gang dan sampai di rumah Lena yang dulu, ia langsung mengeluarkan kunci dan masuk ke rumah. Ia tak menghiraukan padangan para tetangga yang melihat takut ke arah rumah yang sudah lebih dari lima bulan itu kosong.

 

Esok paginya sebelum Kenan berangkat ke sekolah, ia dapat kabar dari tante Merry; kalau ia baru bisa tiba di rumah besok. Setelah ia menutup panggilan masuk ke ponselnya itu, ia mematikannya dan menaruhnya di bawah bantal.

06.45 AM. Kenan sampai di sekolah. Satpam yang biasanya berjaga menatap Kenan lebih heran ketika ia mengangkat sedikit topinya. Kenan menyapanya sopan. Setelahnya ia masuk menuju ke ruang kepala sekolah.

Bapak kepala sekolah tidak terkejut sedikitpun melihat siapa dibalik pintu yang terketuk pada ruangannya. Kenan paham kalau beliaulah yang Ryan telepon kemarin.

Beliau hanya bertanya hal-hal sepele seperti kapan dan alasan Kenan kembali. Ia sama sekali tak menanyakan pertanyaan paling berat untuknya seperti…, ’mana Lena?’.

Kenan keluar ruangan dengan perasaan agak lega. Langkah kakinya berlanjut ke kelas 1.4 tanpa ada keraguan meskipun dipandangi tajam oleh beberapa murid.

Di ambang pintu, tangannya mendorong pintu kelas yang setengah terbuka. Kenan berjalan masuk, melirik kanan kiri mencari tempat duduknya yang dihimbau pak kepala sekolah di tempati Nanta. Para murid di kelas itu saling berbisik karena kehadiran si orang asing. Jelas mereka belum sadar siapa yang masuk ke kelas mereka.

Kenan duduk di tempat seharusnya ia duduk. Nanta si ketua kelas kaget karena ia tiba-tiba duduk di sebelahnya. Untuk beberapa lama ia tercenggang dan kira-kira sepuluh detik kemudian, barulah ia tersedak kaget. “Kenan!?"

Kenan tiduran di atas meja. Ia terdiam sambil tetap membiarkan sebagian besar wajahnya tertutup rambut cokelat acak-acakan itu. Nanta menundukkan kepalanya, mengamati Kenan langsung.

“Kapan kau pulang? Kenapa kau pulang lama sekali?” tanyanya.

Satu orang itu adalah orang yang tidak bisa Kenan hindari dengan adegan diam. Entah apa alasannya. Dia persis seperti Melque Gardien.

Kenan berbisik pelan, “Kemarin. Aku sedang libur musim panas.”

“Senang melihatmu lagi, Ken,” sapa Nanta. “Hmmm.. lalu Lebena mana?”

Sejenak Kenan berpikir. “Ia tidak bisa kembali kemari.”

“Aku harap ia cepat sembuh.”

Lena memang sudah sembuh dari penyakitnya, juga dari penderitaannya.

Bel berbunyi, para murid yang bertanya-tanya itu duduk manis di tempatnya. Kenan melepas topinya dan membiarkan rambut cokelatnya tergerai makin acak-acakan. Mata anak-anak itu tetap saja tertuju pada Kenan.

Wali kelas Kenan masuk ke kelas dan mulai mengabsensi. “..., Kenan Grace?”

Begitu nama Kenan disebut, ia langsung mengancungkan tangannya.

Sang guru tertegun melihat anak perempuan yang tak pernah ada di kelas tiba-tiba muncul. Ia perlu beberapa kali melihat absensi hingga ia sadar murid yang bernama Kenan Grace itu sudah berbulan-bulan absen tapi tak kunjung dikeluarkan dari sekolah.

Kenan mendongak. Para murid melongok padanya waktu guru mereka berhenti mengabsensi. Terlebih lagi mereka sadar bahwa nomor absen 25–Lena–tidak ada tapi nomor 24–Kenan–ada. Padahal mereka menghilang bersama-sama.

“Kenan?” tanya seluruh kelas padanya. “Kalau dia ada, mana Lebena?”

 

Ketika bel istirahat berbunyi, para murid yang terus berisik mengerubungi Kenan bagai lalat. Kenan membiarkan dirinya tetap tiduran, jauh dari pertanyaan.

“Kenan!” seru Sarah masih berani. “Kau lenyap tapi muncul lagi! Enak sekali jadi kau ya?? Seenak jidat keluar masuk sekolah seakan-akan ini kamar mandi umum! Mana Lena!?"

Kenan mengangkat kepalanya dan menyandarkan badannya ke kursi. Tangannya menyibakkan poninya yang menutupi mata.

“Halo, apa kabar, Sarah?” tanya Kenan. Tatapan matanya tanpa ekspresi.

Sarah mundur. Kenan paham benar kalau itu yang namanya ‘takut’. Orang yang ada di hadapannya berbeda dari orang yang pernah memukul pipinya dua kali dulu. Orang itu berubah menjadi hal lain yang lebih negatif.

“Ke…, Kenan?” Kenan mengamatinya dan para murid yang berisik tadi seketika ikut bungkam. “Kau, kau benar, Kenan, ‘kan?” tanyanya terbata-bata.

“Memangnya ada orang lain lagi di sini?” timpal Kenan bertanya.

Badan Sarah sedikit gemetar. Ia menundukkan kepalanya. “Ma, mana, Lena?”

“Ia tidak bisa kembali lagi kemari,” jawab Kenan singkat. “Aku harap jawabanku sudah menjawab semua pertanyaan kalian,” tambah Kenan.

Nanta berdiri dan mengusiri para murid yang berkerubung. Dalam beberapa detik, kumpulan orang-orang itu langsung bubar. Efek Nanta sukses.

Andaikan kau dapat sekali lagi melihat keringnya musim kemarau dan suasana kelas ini, Lena. Lihat, kau tetap saja dicari-cari…

 

 

“Menurutmu apa yang beda antara sekolah kampung ini dengan di tempatmu itu?” tanya Nanta ketika guru matematika memusatkan perhatiannya ke papan tulis.

“Tak ada yang serupa sedikit pun.”

Nanta tersenyum. “Oh ya? Apa itu?”

Kenan melirik ke arah Nanta. “Dingin. Muridnya sedikit. Tak ada seragam. Para murid juga bebas bersikap bahkan terhadap guru mereka sendiri.”

Nanta menahan tawa. “Jadi, itu kesan subjektifmu?”

Kenan berpikir. “Tidak juga. Menurutku itu fakta. Di manapun selalu ada anak yang paling dibenci di kelas karena sikap sombongnya.”

Nanta terlihat tertarik. “Siapa? Nakalnya kaya apa?”

“Namanya Jerish–Kenan sengaja tidak menyebut nama kelurganya. Ia itu kurang ajar. Para guru pun tak ada yang mau melawaninya.”

“Apa karena harta? Kudengar di Eropa sana banyak konglomerat.”

Kenan mulai berpikir kalau dirinya sendiri bisa dimasukan dalam kategori Nanta.

“Memang.”

 

Saat pulang sekolah Kenan membiarkan dirinya berlama-lama di perpustakaan. Mungkin itu salah satu caranya melepas kangen pada buku-buku berbahasa Indonesia.

Perlu dua jam untuk memenuhi keinginannya. Ia pulang ketika sekolah sudah sepi. Kenan berjalan ke toko musik Ritsena, tempat ia menyimpan biolanya. Di dalam toko ia hanya sekilas bercakap-cakap dengan pak James, lalu setelah itu langsung pergi dengan rambut digulung, topi, dan kacamata. Penyamaran bodoh tapi sempurna.

Dalam dua puluh lima menit Kenan sudah tiba di puncak tebing yang curam dan di depannya membentang jurang yang dasarnya saja tak terlihat.

Kenan membuka tas violinnya dan mengeluarkannya. Violin Kenan ditaruh di bahu dan bow ia genggam dengan erat tidak seperti biasanya.

“Grieg: Peer Gynt Suite No.1 - I. Morning Mood.”

Alunkan dari biola Kenan meredakan sedikit keresahan hatinya.

“Lagunya bagus. Aku baru tahu kalau kau bisa main biola. Ok, persis profesional,” ujar Nanta tepat ketika Kenan selesai.

Kenan mengernyit. “Kenapa kau di sini? Sejak kapan kau duduk di sana?”

“Ehm. Sebenarnya aku tak sengaja melihatmu sehabis keluar dari toko musik itu setelah beli pianika–untuk pelajaran seni musik. Awalnya aku heran mengapa kau bawa-bawa biola. Makanya aku malah tanpa sadar mengikutimu tapi tak kusangka kalau alunan biola darimu keren banget.”

Selama itu di belakangku? Kenapa aku tidak dengar langkah kakinya?

Kenan membalikkan badan. “Dan, maumu apa? Dasar penguntit.”

Nanta terkekeh senang. “Tak ada. Sungguh. Maaf, Kenan. Kau pasti makin membenciku karena aku ngeyel soal kau dan rahasia-rahasiamu.”

“Memang.”

“Apa aku dianggap stalker?” Nanta nyengir. “Perlu kau tahu, aku sendiri bingung kenapa kau selalu menarik perhatianku. Jelas ya, bukan karena suka.”

Kenan berjalan menghampiri Nanta.

“Menguntit itu perbuatan kriminal, ketua kelas bodoh. Then, what is your curiosty?” Kenan mengajukan pertanyaan dengan nada datar. Lagi. Ia sudah lupa kemana intonasi suara aslinya. “Propensity beyond me?

Nanta terpukau. “Hebat. Lancar sekali Bahasa Inggrismu. Selama ini kau tinggal dimana?” Nanta menengadah pada Kenan yang masih berdiri. “Aku sedikit cerita. Kau mungkin tak tahu kalau seekor ratu lebah punya feromon unik, memikat, yang membuat bau tubuhnya pasti dikenali lebah-lebahnya. Aku sudah lama merasakan bau itu darimu. Kau lain. Ini kampung dan aku heran kenapa orang sepertimu bisa ada di sini.” Kepala Kenan terus merenungi kata feromon yang dibilang Nanta. “Sikapmu skeptis, jelek sekali tapi bau feromon itu tak bisa dihalangi karena itu. Ya, makanya aku penasaran tentangmu.”

Tangan Kenan meletakkan biolanya pelan-pelan ketika ia sedang mencoba untuk duduk. “Aku tak mengerti maksudmu tapi aku tak peduli. Kau sendiri, kenapa kau ada di kampung ini? Kau kelewat aneh–cerdas, suka menguntit, mengerti kosakata Inggris yang sulit.”

“Ehm.., intinya aku rasa kau bukan anak kampung biasa dan ya aku memang bukan anak kampung ini.”

“Aku memang bukan anak kampung biasa. Aku anak kampung luar biasa.”

“Semangat yang hebat. Lalu, apa kau mau memainkan biolamu lagi?”

“Tidak.”

“Jawaban yang sama semangatnya. Aku mau bilang ini, jangan tinju aku ya?”

“Teruslah berharap.”

Nanta tertawa. “Kenan yang kukenal dulu orangnya lebih dingin hati. Pandangan matanya membara, ada lukisan semangat yang tak terkalahkan oleh masalah. Pembawaannya tenang. Yah, aku mengerti orang bisa berubah tapi sampai saat ini, kaulah orang pertama yang kulihat perubahannya paling drastis.”

“Jadi lebih negatif? Aku sudah tahu. Semua sudah tahu.”

“Memang apa yang terjadi di sana?” Kenan melotot. “Jujur, Ken yang ada di depan mataku sekarang tak punya perasaan sedikit pun. Pandangan matamu persis orang mati. Kemana semangatmu dulu? Pembawaan tenangmu berubah jadi mengerikan. Di mata itu sama sekali tak ada ketakutan pada apa pun lagi.”

Kenan merenungi perkataan Nanta. “Memang.”

“Pasti berat sekali kehidupanmu di sana. Aku harap kau bisa mengatasinya. Berjuanglah. Aku tahu kau bukan barang mudah pecah.”

“Semua selesai ketika aku kehilangan seseorang…, di sana, Nanta.”

Nanta memandangi Kenan yang mulai membuka hati. “Kehilangan? Siapa?”

Kenan gentar ketika hendak menceritakan kenyataan pahit padanya. Ia berdiri, mengangkat violin, dan memainkannya, “Schubert: Ave Maria.”

 

Nanta menikmati musik menyedihkan itu sambil menutup matanya.

“Aku kehilangan... Lena.”

Nanta membuka matanya. “Lena kemana?”

“Bulan Maret…, Lena pergi selamanya.” Nanta masih menatap Kenan dengan bingung. “Ia ada di tempat dimana kedua orang tuaku berada. Pergi ke tempat dimana ia bebas selamanya dari rasa sakit yang telah ditahannya bertahun-tahun.”

Nanta baru menangkap maksud Kenan. “Jadi, hadiah ulang tahunmu –“

“Ya. Doaku terjawab. Kesembuhan abadi bagi sahabatku tercinta.”

Mata Nanta terbelalak lebar sekali. “Jadi, waktu kau mengatakan ia tak dapat kemari lagi..., itu, hanyalah kalimat yang tidak lengkap.”

“Ya. Jadi, selamat tinggal, ketua kelas. Aku tak akan kembali kemari lagi sama dengan Lena yang tak dapat melihat rumahnya lagi. Semua kenangan di sini begitu menyakitkan. Coret saja nama bodoh kami dari daftar absensi.”

Nanta mengertakkan giginya keras-keras menahan sedih. “Kalian... adalah teman kami yang paling berharga, yang paling kami sayang di 1.4. Tetap kuat, Ken. Selamat tinggal.”

 

[1] Cerita rakyat Eropa yang bercerita tentang seorang petani dan istrinya yang secara ajaib menemukan angsa yang bertelur emas setiap hari (1 butir setiap hari). Namun, karena ketidaksabaran dan ketamakan, mereka menyembelih angsa tersebut dan berharap mendapat emas yang lebih banyak.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Violetta
619      368     2     
Fan Fiction
Sendiri mungkin lebih menyenangkan bagi seorang gadis yang bernama Violetta Harasya tetapi bagi seorang Gredo Damara sendiri itu membosankan. ketika Gredo pindah ke SMA Prima, ia tidak sengaja bertemu dengan Violetta--gadis aneh yang tidak ingin mempunyai teman-- rasa penasaran Gredo seketika muncul. mengapa gadis itu tidak mau memiliki teman ? apa ia juga tidak merasa bosan berada dikesendiri...
Monday
309      242     0     
Romance
Apa salah Refaya sehingga dia harus berada dalam satu kelas yang sama dengan mantan pacar satu-satunya, bahkan duduk bersebelahan? Apakah memang Tuhan memberikan jalan untuk memperbaiki hubungan? Ah, sepertinya malah memperparah keadaan. Hari Senin selalu menjadi awal dari cerita Refaya.
SHEINA
356      253     1     
Fantasy
Nothing is Impossimble
Enigma
1672      903     3     
Inspirational
Katanya, usaha tak pernah mengkhianati hasil. Katanya, setiap keberhasilan pasti melewati proses panjang. Katanya, pencapaian itu tak ada yang instant. Katanya, kesuksesan itu tak tampak dalam sekejap mata. Semua hanya karena katanya. Kata dia, kata mereka. Sebab karena katanya juga, Albina tak percaya bahwa sesulit apa pun langkah yang ia tapaki, sesukar apa jalan yang ia lewati, seterjal apa...
PETI PUSAKA
545      371     4     
Short Story
Impian bisa saja terpendam di relung seseorang. tapi tidak ada yang tahu jika sebuah keyakinan bisa mengangkat kembali impian itu, walaupun orang lain yang mewujudkannya.
Senja Menggila
384      272     0     
Romance
Senja selalu kembali namun tak ada satu orang pun yang mampu melewatkan keindahannya. Dan itu.... seperti Rey yang tidak bisa melewatkan semua tentang Jingga. Dan Mentari yang selalu di benci kehadirannya ternyata bisa menghangatkan di waktu yang tepat.
When Heartbreak
2512      945     0     
Romance
Sebuah rasa dariku. Yang tak pernah hilang untukmu. Menyatu dengan jiwa dan imajinasiku. Ah, imajinasi. Aku menyukainya. Karenanya aku akan selalu bisa bersamamu kapanpun aku mau. Teruntukmu sahabat kecilku. Yang aku harap menjadi sahabat hidupku.
LANGIT
27749      4059     13     
Romance
'Seperti Langit yang selalu menjadi tempat bertenggernya Bulan.' Tentang gadis yang selalu ceria bernama Bulan, namun menyimpan sesuatu yang hitam di dalamnya. Hidup dalam keluarga yang berantakan bukanlah perkara mudah baginya untuk tetap bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Seperti istilah yang menyatakan bahwa orang yang sering tertawalah yang banyak menyimpan luka. Bahkan, Langit pun ...
Be My Girlfriend?
17037      2654     1     
Fan Fiction
DO KYUNGSOO FANFICTION Untuk kamu, Walaupun kita hidup di dunia yang berbeda, Walaupun kita tinggal di negara yang berbeda, Walaupun kau hanya seorang fans dan aku idolamu, Aku akan tetap mencintaimu. - DKS "Two people don't have to be together right now, In a month, Or in a year. If those two people are meant to be, Then they will be together, Somehow at sometime in life&q...
Pertualangan Titin dan Opa
3534      1350     5     
Science Fiction
Titin, seorang gadis muda jenius yang dilarang omanya untuk mendekati hal-hal berbau sains. Larangan sang oma justru membuat rasa penasarannya memuncak. Suatu malam Titin menemukan hal tak terduga....