Loading...
Logo TinLit
Read Story - Black Lady the Violinist
MENU
About Us  

Hari itu tanggal 28 Desember di Inggris. Jalanan penuh dengan sisa-sisa hiasan natal. Kegiatan tetangga Kenan juga masih dipengaruhi hawa-hawa natal sementara ia tidak peduli dan memilih meringkuk di tempat tidur. Yang dapat ia kerjakan dengan otak mampet adalah merenung soal Lena akibat Melque.

Tiba-tiba ponsel Kenan berbunyi dan masuk satu pesan dari orang yang ia lupa kapan mereka terakhir bicara.

Hi Ken. Merry Christmas. Kau diundang ke pesta perkumpulan pemusik di Overtune Hall. Mom and Dad, dan tante Merry ingin kau datang. Jadi, ini permintaan mereka, not me. Mereka jago mendadani orang lain jadi tak dikenali (seperti permintaanmu yang bawel).  Please, datang jam 8 ke rumah.

Ponselnya Kenan sembunyikan di bawah bantal–supaya tidak berdering lagi lalu ia merentangkan badan. Matanya melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 5 sore. Sekali lagi ia tak punya niat tapi sekali lagi pula ia tersadar tujuannya datang ke Inggris dengan melalui Lena yang hampir dikorbankan.

 

Mobil Kenan memasuki halaman besar rumah keluarga Challysto. Setelahnya, mobil Kenan yang tak kalah mewah dengan manor house megah di Timur Laut kota London itu diparkirkan di carp-port yang muat menampung 6 mobil.

“Syukurlah kau datang.” Bibi Vani dan tante Merry menyambut Kenan.

Kenan mengangguk. “Kalau aku tak datang, kalian pasti juga tidak.

Bibi Vani tertawa kecil. “Pasti, ‘kan? Yang penting kau. Ryan sudah berangkat duluan tanpa bilang apa-apa. Jadi, ayo ke kamarmu,” ajak bibi Vani.

Tante Merry jalan mendahului. Pintu kamar Kenan dibuka, menunjukkan isinya yang masih sama seperti saat ia tinggalkan dua bulan lalu–dua hari pertama di Inggris. Ia didudukkan di kursi yang terakhir ia pakai untuk meringkuk. Satu hal yang beda, meja yang dulu kosong sekarang penuh dengan peralatan make up.

Melalui kaca Kenan memandangi tante Merry. Beliau yang daritadi mengurusi rambut Kenan kalut ketika matanya bertemu dengan mata Kenan.

“Di sana aku berperan sebagai siapa?” tanya Kenan tanpa basa basi.

“Ehm, terserah Kenan saja maunya siapa,” jawab bibi Vani santai.

“Ya, sudah. Seperti biasa saja ya.”

Bibi Vani menghela nafas panjang pasrah. “Ya, terserah Kenan saja.”

Tante Merry mengerutkan dahi karena jawaban Kenan. Ia lantas menatap Kenan lewat cermin dalam diam. Beberapa saat kemudian ia beranjak ke depan lemari pakaian lalu mengambilkan sebuah dress panjang warna merah muda berenda di sana sini lalu mengatarkannya ke bibi Vani. Bibi Vani mengangguk dan siap membuat Kenan memakai pakaian semerbak renda serta petticoat itu.

“Pas kan?” tanya bibi Vani ke tante Merry, dijawab dengan anggukan dan senyuman kecil. Kenan mengerti maksud senyuman sarat makna itu.

Kenan menyela. “Kalau pakai ini aku bisa mati kedinginan nanti, Bibi.”

Bibi Vani tertawa geli. “Ada coat yang nanti kamu pakai dan dilepas di dalam hall. Ada penghangat ruangan di sana. Jadi, gak ada yang perlu mati dengan bibir ungu.” Tante Merry ikut-ikutan tertawa dengan pernyataan Kenan.

“Kalau gitu kamu berangkat duluan ya. Vincent tahu jalannya.”

Memangnya ada yang Vincent tidak tahu, ya? pikir Kenan.

“Kami mau ganti pakaian dulu. Oh ya, di bawah ada Rose,” lanjut bibi Vani.

Telinga Kenan naik, merasa sumpek dengan nama itu.

“Tante Merry,” panggil Kenan ketika bibi dan tantenya mulai beranjak pergi.

Tante Merry menghentikan langkahnya dan menengok ke arah Kenan.

“Soal Lena kemarin, aku benar-benar minta maaf,” pinta Kenan menyesal.

Tante Merry yang daritadi membisu saja akhirnya berbicara. “Sudahlah, Kenan. Itu bukan salah siapa-siapa, hanya kecelakaan,” jawab tante Merry sambil tersenyum lembut. Meskipun Kenan tahu beliau sedang bersikap lapang dada.

Kenan mengangguk berat lalu pergi ke lantai satu setelah mereka.

Sampai di ujung tangga ia menemukan orang yang sudah lama sekali tak ia jumpai dan ia harapkan lebih lama lagi tak perlu dijumpai.

“Hai, Rose,” tegur Kenan ketika ia melaluinya.

“Ya?” Rose berhenti lalu menoleh. “Ehmm.. I am sorry..., who are you?"

Kenan merasa lega dengan pertanyaan itu, yang berarti dandanan ala bibi tantenya benar-benar mujarab.

“Kenan. Kenan Grace,” jawab Kenan singkat.

Butuh waktu cukup lama bagi Rose untuk mengolah data-data di kepalanya yang korslet. “I do not recognize you anymore! Where do you live, Miss? Why do not you stay in here?” tanya Rose senang.

There is a lot of problems. Then, please forgetting all about me, all about this affair, Rose. You have apparently adequate to remember just someone called Kenan Grace.”

Sejenak beradu mata, berikutnya meninggalkan Rose dalam kebingungannya sendiri. Ia mematung sampai Kenan berada di sebelah Vincent untuk meminta mantel.

Miss!? What is this sense? What is your notion to talk like that!?”seru Rose berselang beberapa detik setelah Kenan menuruni tangga menuju garasi. “Miss!!

 

Dalam mobil yang menderu sepanjang perjalanan, Kenan memainkan renda-renda rok gaunnya yang bertumpuk-tumpuk bak seprai. Merah muda adalah warna yang memuakkannya. Hanya saja, merah muda lebih baik dibanding putih di luar mobil layaknya semenanjung himalaya. Sepanjang itu Kenan diam dan tiba-tiba saja pintu sudah terbuka. Pelayannya yang sopan mengagetkan dirinya ketika kepalanya menyembul masuk ke mobil sementara tangannya terulur.

Beberapa saat ia memandanginya, berpikir harus berbuat apa. Barulah ia ingat kalau ia harus keluar, menghadapi dunia baru yang akan mengubahkan hidupnya selamanya. Kenan memilih mengulurkan tangannya, keluar dari mobil.

Kenan mendongak ke bangunan Overtune Hall di pusat City of London, sebuah ballroom raksasa. Vincent mengucapkan kata ‘Miss’ sampai dua kali, baru perhatiannya beralih lalu mulai berjalan masuk. Dalam sekejab perhatian massa tercuri. Tentu saja ia jadi sasaran gosip karena wajahnya asing ditambah butler di samping.

Pintu dibukakan petugas penjaga pintu bagi Kenan–dan tentu untuk Vincent yang setia mengekor pula–dan ia masuk ke dalamnya. Suasana pesta yang ‘baru’ pertama kalinya terasa riuh di hadapannya. Memulai petualangannya, ia teringat untuk melepaskan mantelnya lalu menyerahkannya pada Vincent.

“Terima kasih.” Nada Kenan sedatar jalan tol. “Kau di sana saja, Vincent.”

Sikap arogansi Kenan timbul bukan karena disengaja tapi karena ia tak punya lagi ekspresi lain yang bisa ditampakkan dari dirinya yang selalu kepikiran tentang Lena. Vincent yang selalu sopan mulai paham pada perasaan asli nonanya.

“Seperti yang Nona minta.

Fokusnya kembali pada tempat itu. Rasanya hanya ia satu-satunya kambing congek diantara kerumunan pemusik-pemusik lihai. Sementara kakinya berjalan pelan-pelan semakin ke dalam, kepalanya tetap tidak berhasil memikirkan apa-apa.

“Hai!! Kau siapa? Aku yakin aku baru pertama kali melihatmu,” sapa seorang anak perempuan, tiba-tiba menghadang jalannya.

Kenan mendongak, memperhatikan, menilai, dan menimbang-nimbang untuk memberikan jawaban. “Ana Alexa. Salam kenal,” tukasnya santun.

Anak perempuan itu terlihat girang. “Namaku Stella Cadénte, dari SMA Brokeveth. Salam kenal.” Ia menyentakkan kedua tangan Kenan. “Kau memang orang baru yang menarik. Aku tak pernah salah menilai orang, kau beda dari semua pemusik baru atau orang kaya baru lain. Jadi, kau dari keluarga mana?”

Kenan pura-pura berpikir. “Aku hanyalah anak yatim piatu yang bisa ada di sini karena kerabat jauhku akhirnya menemukanku. Mereka keluarga pemusik dan katanya aku punya bakat,” sahut Kenan dengan jawaban yang sudah terekam di kepalanya.

“Begitukah? Latar belakangmu keren!” Gadis itu bersorak-sorak kecil. “Aku pemain harpa. Kalau kau? Oh, ayo ikut aku mengelilingi tempat ini!!”

Stella menarik tangan Kenan tanpa persetujuan ke sana kemari. Ia orang yang ceria seperti Sam–dan bawel seperti Melque. Pula, ia tidak segan dengan orang yang pertama kali ia temui. Ia mengenalkan Kenan pada teman-temannya yang rata-rata sekolah di SMA Brokeveth. Jarang ada anak dari SMP Brokeveth di sini. Mungkin usia 12-14 tahun belum waktunya debutante[1]?

“Kau mau teh, Alexa?” tawar Stella. Kenan menggeleng sambil mengucapkan terima kasih. “Berapa usiamu? Kelihatannya kau lebih muda dariku tapi kelakuanmu dewasa sekali. Aku kagum pada sikap cool-mu. Kau bisa cepat terbiasa pada tempat ini sementara aku butuh satu setengah tahun lamanya!”

Stella meneguk tehnya sementara mata Kenan menjelajahi hall. Sebenarnya, tak satupun objek yang menarik perhatian dirinya. Apalagi Stella tetap saja merepet meskipun hampir tak ada pertanyaannya yang ditanggapinya.

“Cadénte,” panggil Kenan.

“Panggil Stella saja,” sahutnya. “Kenapa?”

Kenan berpikir sejenak. “Sebenarnya ini tempat apa? Ini pesta apa?”

Stella meletakkan cawan tehnya. “Kau berhasil membuatku mati kutu dengan satu pertanyaanmu. Kalau kau tak tahu, kenapa kau datang?” Kenan mengangkat bahunya. Stella cekikikan. “Mana undanganmu?” Tangan kanan Kenan mengangkat undangan yang disimpannya. “Jadi, kau intip saja tidak, ‘kan.”

“Tidak penting.”

Stella nyengir. “Aku tahu, tempat ini memang tidak menarik bagimu. Yah, bagiku juga. Bagaimanapun, pesta ini adalah momen penting bagi pemusik baru. Debutante, kau tahu ‘kan artinya? Tujuan utamanya adalah industri musik.”

“Soal bisnis?”

“Begitulah.” Stella mengangguk. “Jadi, darimana kau dapat undangan itu dan siapa kerabatmu?” Kenan tak mau jawab. “Manfaatkanlah, Alexa. Undangan itu jadi kesempatanmu mengenalkan diri pada dunia musik yang keras ini.”

Ingatan kecil menyakitkan yang jadi alasan ia ada di tempat itu terngiang di kepalanya. “Tentu. Aku paling mengerti kalau dunia ini bukan untuk senang-senang.”

Stella tersenyum sedih. “Oh ya, kau belum kukenalkan dengan tamu utama di pesta ini, ‘kan? Ayo!!” seru Stella semangat ketika teh yang diminumnya habis.

Kenan terpaksa ikut Stella karena tangannya dicengkeram. Dengan lihai Stella menembus kerumunan para lelaki berjas yang sedang asyik mengobrol. Meskipun Stella menubruk satu per satu orang tapi tak ada satu pun yang protes atau memaki. Sepertinya mereka sudah terbiasa dengan sikap Stella.

Lama diseret-seret, tiba-tiba Stella berhenti. “Ini tamu utamanya, pianis dari keluarga Challysto yang terkenal. Teman sekelasku, Ryan Ferliaz Challysto.” Kenan menengadah. Mata Ryan melihat sepupu kecilnya dengan tanpa berkedip. “Ucapkanlah sesuatu pada Alexa!” pinta Stella sambil menyentak siku Ryan.

Ryan menatap Kenan heran. Ia tahu Ryan tak mengenali sepupunya lagi tapi ia kenal Vincent–yang ada di dekat pintu sana. Jadi, ia masih merenung kata ‘Alexa' dari Stella.

“Salam kenal, Sir. Aku Ana Alexa. Aku hanyalah anak yatim piatu yang bisa ada di sini karena kerabat jauhku akhirnya menemukanku. Mereka keluarga pemusik dan katanya aku punya bakat,” salam Kenan dengan perkataan yang sama seperti yang ia katakan pada Stella tadi.

Stella tersenyum sementara Ryan bingung harus jawab apa. Sayangnya, waktu tak mengijinkan untuk kalut lama-lama kalau tak mau semua orang curiga.

“Ehm, salam kenal. Ryan Ferliaz dari..., keluarga Challysto,” jawab Ryan ragu. Ryan berbicara sambil menunduk karena tak berani menatap mata Kenan yang memandangnya datar. Semua teman-temannya menatapnya, begitu juga Stella.

Apa lagi ulahnya ini. Matamu yang kemarin masih lebih baik daripada sekarang yang dingin dan tak punya perasaan lagi. Apa kau mau masuk ke dunia musik ini dengan wajah seperti itu, Kenan?? Mana musikmu yang ceria dulu untuk Lena?

 

[1] Pengenalan gadis muda dari keluarga terhormat ke masyarakat kelas atas untuk yang pertama kali

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Meja Makan dan Piring Kaca
57390      8437     53     
Inspirational
Keluarga adalah mereka yang selalu ada untukmu di saat suka dan duka. Sedarah atau tidak sedarah, serupa atau tidak serupa. Keluarga pasti akan melebur di satu meja makan dalam kehangatan yang disebut kebersamaan.
Varian Lara Gretha
5511      1696     12     
Romance
Gretha harus mempertahankan persahabatannya dengan Noel. Gretha harus berusaha tidak mengacuUhkan ayahnya yang berselingkuh di belakang ibunya. Gretha harus membantu ibunya di bakery untuk menambah biaya hidup. Semua harus dilakukan oleh Gretha, cewek SMA yang jarang sekali berekspresi, tidak memiliki banyak teman, dan selalu mengubah moodnya tanpa disangka-sangka. Yang memberinya semangat setiap...
Frasa Berasa
66378      7403     91     
Romance
Apakah mencintai harus menjadi pesakit? Apakah mencintai harus menjadi gila? Jika iya, maka akan kulakukan semua demi Hartowardojo. Aku seorang gadis yang lahir dan dibesarkan di Batavia. Kekasih hatiku Hartowardojo pergi ke Borneo tahun 1942 karena idealismenya yang bahkan aku tidak mengerti. Apakah aku harus menyusulnya ke Borneo selepas berbulan-bulan kau di sana? Hartowardojo, kau bah...
Today, I Come Back!
3966      1370     3     
Romance
Alice gadis lembut yang sebelumnya menutup hatinya karena disakiti oleh mantan kekasihnya Alex. Ia menganggap semua lelaki demikian sama tiada bedanya. Ia menganggap semua lelaki tak pernah peka dan merutuki kisah cintanya yang selalu tragis, ketika Alice berjuang sendiri untuk membalut lukanya, Robin datang dan membawa sejuta harapan baru kepada Alice. Namun, keduanya tidak berjalan mulus. Enam ...
The Black Envelope
2855      1022     2     
Mystery
Berawal dari kecelakaan sepuluh tahun silam. Menyeret sembilan orang yang saling berkaitan untuk membayarkan apa yang mereka perbuatan. Nyawa, dendam, air mata, pengorbanan dan kekecewaan harus mereka bayar lunas.
Enigma
1672      903     3     
Inspirational
Katanya, usaha tak pernah mengkhianati hasil. Katanya, setiap keberhasilan pasti melewati proses panjang. Katanya, pencapaian itu tak ada yang instant. Katanya, kesuksesan itu tak tampak dalam sekejap mata. Semua hanya karena katanya. Kata dia, kata mereka. Sebab karena katanya juga, Albina tak percaya bahwa sesulit apa pun langkah yang ia tapaki, sesukar apa jalan yang ia lewati, seterjal apa...
Gagal Menikah
4884      1640     4     
Fan Fiction
Cerita ini hanya fiktif dan karanganku semata. Apabila terdapat kesamaan nama, karakter dan kejadian, semua itu hanya kebetulan belaka. Gagal Menikah. Dari judulnya udah ketahuan kan ya?! Hehehe, cerita ini mengkisahkan tentang seorang gadis yang selalu gagal menikah. Tentang seorang gadis yang telah mencoba beberapa kali, namun masih tetap gagal. Sudut pandang yang aku pakai dalam cerita ini ...
Mata Manusia
671      374     7     
Inspirational
Mengapa setiap manusia terlihat berbeda? Mengapa pasti ada sebagian kecil manusia yang terlihat unik dan aneh? Mengapa kita selalu menilai seseorang secara cepat? Karena kita melihat melalui mata manusia.  
High Quality Jomblo
45078      6303     53     
Romance
"Karena jomblo adalah cara gue untuk mencintai Lo." --- Masih tentang Ayunda yang mengagumi Laut. Gadis SMK yang diam-diam jatuh cinta pada guru killernya sendiri. Diam, namun dituliskan dalam ceritanya? Apakah itu masih bisa disebut cinta dalam diam? Nyatanya Ayunda terang-terangan menyatakan pada dunia. Bahwa dia menyukai Laut. "Hallo, Pak Laut. Aku tahu, mungki...
Ketika Cinta Bertahta
905      546     1     
Short Story
Ketika cinta telah tumbuh dalam jiwa, mau kita bawa kemana ?