Hari-hari berlalu bak guguran daun dari pohonnya sejak Kenan dan Ryan saling berteriak–bonus tamparan Ryan kepada Kenan–di atap gedung SMP Brokeveth, mereka tak pernah komunikasi lagi. Itu sudah tiga minggu sejak hari itu dan kehidupan Kenan di Inggris tetap berjalan monoton. Ia tak tahu lagi mau dipermak jadi seperti apa hidupnya itu. Setiap hari hanya penuh kesendirian, ratapan, tanpa pengharapan.
Kenan duduk menggulung di kursi di kamarnya sambil menatap ke luar. Matanya yang sendu melihat dunia dengan tatapan letih.
Sebentar lagi tahun baru. Meskipun libur dan ada banyak uang, aku tak butuh semua itu kalau Lena tidak bisa berlari-lari lagi di sampingku. Cuma salju itu temanku di sini. Mata Kenan terpejam. “Inggris jadi tempat menyedihkan untukku atau memang aku yang menyedihkan? Ah, keduanya sama saja.” Kenan menguap lalu tertidur.
Esok paginya langit mendung dan sangat gelap. Salju turun lebat sampai-sampai jalanan tertutup es hingga setengah betis orang dewasa. Sebagian jalan raya sudah dibersihkan mobil pembersih salju, halaman rumah Kenan juga sudah bersih dari tumpukan es. Pelayan Kenan, Vincent, sudah bersiap memasangkan rantai pada roda mobil di garasi dan meminta nonanya untuk naik pergi ke sekolah dengan mobil itu. Jelas Kenan menolak melalui perdebatan panjang antara dua orang yang keras kepala.
Dengan sepatu boot tinggi Kenan menempuh jalanan bersalju ditemani Vincent–dalam hal itu, Kenan yang kalah. Sepanjang perjalanan ke sekolah, Vincent memayungi nonanya di sepanjang perjalanan sementara dirinya hanya terlindungi setengah payung. Di dalam bus pun ia senantiasa seperti patung di sebelah Kenan, tak peduli sebanyak apa pun mata memandanginya. Jari jemari Kenan sudah gatal ingin menggaruk wajah Vincent yang melenggang santai di sampingnya sambil pamer baju tail-coat. Alasan apapun untuk pakai baju lain benar-benar mental darinya.
Sampai di kelas–Vincent langsung diusir, Kenan tiduran di mejanya. Ia harus bersikap cuek pada anak-anak borjuis yang perhatiannya terang-terangan padanya.
Aku tahu pasti ada yang salah dengan bawa-bawa pelayan berekor dua.
“Hei hei hei! Siapa itu tadi? Kepala pelayankah? Kau punya butler?” tanya Melque berulang-ulang di depan muka Kenan.
Satu-satunya orang yang Kenan sama sekali tak mau dapat perhatiannya adalah anak itu yang tukang gosip. Rasanya telinganya ada dimana-mana. Belum lagi pengikutnya yang numpang nimbrung gosip itu berderet panjang.
Kenan akhirnya kalah dari persaingan untuk mengabaikan Melque, “Kalau iya memangnya kenapa? Kau berisik sekali, Mel.”
Terdengar suara ‘oh’ yang kompak di kalangan perempuan.
“Kau orang awam? Aku tak percaya,” tukas Melque dengan mata tercenggang. “Apa kau sama sekali tidak tahu kalau yang punya butler di sini hanya keluarga yang amat teramat kaya? Keluarga yang kayanya biasa saja seperti kami–termasuk Sadykova–takkan punya!! Siapa kerabatmu yang mengalahkan kekayaan keluarga Consta itu, sih??” tanya Melque terus berusaha untuk mengorek informasi yang disembunyikan secara rapi oleh Kenan.
Kenan yakin kalau Melque akan mulai mencari kebenaran dari kebohongan murahan yang ia buat akibat kejadian terpaksa barusan–hanya karena kalah berdebat dari seorang kepala pelayan.
“Mana kutahu. Aku tak pernah bertanya sekalipun. Itu cuma pelayan yang dititipkan sementara padaku,” jawab Kenan singkat lalu pura-pura tidur. “Pergi kau.” Melque menarik-narik paksa tangan Kenan tapi Kenan sendiri tetap bersikeras tak mau bicara dengannya.
Saat pulang sekolah, Kenan ambil langkah seribu dari perhatian masal. Sekaligus kabur dari ulah Jerish Consta dan Melque akibat kejadian butler pagi tadi. Kenan lari menembus tumpukan salju. Ia berjalan kaki sampai rumah sakit dan hanya berpikir untuk bertemu Lena lebih cepat. Tak ada yang lain.
“Hai Len, bagaimana kabarmu?” tanya Kenan pada Lena yang memandangi jendela tanpa mengedip dalam dua puluh detik.
Lena merespon cepat ketika mendengar suara Kenan. Ia menjerit-jerit senang. Tetap seperti anak cacat mental yang dulu. “Hai Ken!! Aku khawatil kalena kemalin kau tidak datang. Aku pikil kau kenapa-kenapa!”
Kenan menarik dirinya untuk duduk di samping Lena.
“Pasti kau lihat dari kaca. Aku minta maaf karena salju yang lebat, aku tak diijinkan keluar oleh pelayanku. Aku bahkan jadi bolos sekolah.”
Lena melirik ke arah kaca jendela. “Memang. Kacanya juga jadi dingin syekali.” Tangan Lena yang memegangi kaca bergetar. “Oh ya, kau punya pelayan? May you told me about that?” Kenan terkesiap karena Lena tiba-tiba bicara dalam bahasa Inggris. “I think syomeone at thele wanna heals that too, doesyn’t you?”
Badan Kenan tersentak. Kepalanya cepat-cepat menoleh ke arah yang ditunjukkan mata Lena, ke depan pintu kamar. Kenan langsung berdiri dan kakinya segera berlari keluar kamar untuk menangkap tikus yang mengintip sebelum ia kabur.
“Melque!?"
Melque jatuh terduduk karena tiba-tiba Kenan menyentakkan pintu.
“I’m so sorry, Kenan! I just curious about you, especially about your butler! Forgive me because I’m following you!” pinta Melque sebelum Kenan berkata apa pun.
Amarah Kenan sebelumnya lenyap ketika melihat Melque mengaku sendiri tanpa paksaan. Apalagi ia tampak ketakutan setengah mati dengan tangan di atas kepala seperti terdakwa yang ditangkap polres karena ketahuan mencuri semangka tetangga.
“Up, Melque,” perintah Kenan.
Melque dengan takut berdiri pelan-pelan. Kenan menariknya ke dalam kamar Lena. Mungkin lebih tepatnya menyeretnya.
Mata Lena bersinar-sinar karena senang. “Kenan’s classmate? Thanks fol coming hele!” seru Lena senang dengan aksen cadelnya akibat penyakitnya.
Kau masih tetap polos. Mata yang berbinar-binar melihat seseorang berkedok teman sekelas. Padahal hanya seorang penguntit. Kenan melirik Mel setengah geram.
Awalnya Melque tersenyum terhadap sambutan Lena. Seperti yang diduga Kenan, senyumnya menguap seketika begitu melihat tumpukan selang, obat-obatan, monitor, infus, dsb, yang menempel di tubuh Lena.
“Grace,” panggil Melque. Bisikannya hampir mirip lengkingan pelan.
Kenan menutup pintu dan menarik Melque mendekati Lena. Sesuai dengan keinginan tuan kamarnya sendiri.
“My name is Lebena Maganda. People call me Lena. My mom syaid I’m Indonesyia with half Filipino. How about you?” tanya Lena.
Jujur Kenan kaget mendengar pengakuan Lena kalau dirinya adalah campuran Filipina. Lena sendiri tak pernah mengatakan apapun padanya.
Melque membentangkan senyum yang dipaksakan. “Hi Lena. I’m Melque, Melque Gardien. How do you do?” tanyanya canggung.
Lena menjerit senang. “Galdien? The leal Galdien!? I heal about youl family so much flom tv! Ken, you nevel told me if you’ve a famous fliend? So Ken’s family alsyo–“
Kenan membekap mulut Lena sebelum ia membocorkan semuanya. Melque heran dengan tingkah temannya.
“Stt, diam, Len. Di sini aku tidak mau mengungkit soal itu, ok? Hanya Kenan Grace, tidak ada ‘mereka’ dalam hidupku.”
Lena melihat dengan bingung. “Kenapa?” Kenan menggeleng. “Kau halus belitahu aku apa yang kau lahasyiakan daliku, Kenan.”
“Why? What happen to Kenan’s family?” tanya Melque bingung.
“Nothing. Just an accident.” Tiba-tiba Lena turun dari tempat tidurnya. “How about that vio–“
“Lena!” seru Kenan kaget karena Lena turun dari tempat tidurnya hendak menarik violinnya yang ada di bawah ranjangnya.
Lena oleng, selang-selang tersebut tersangkut lalu ia jatuh. Tangannya memegangi dada kirinya. Ia merengut kesakitan dan kemudian batuk berdarah.
“Lena!” seru Kenan panik. Ia berlari keluar kamar dan berseru-seru, “Doctor!”
Kenan berhasil menyita perhatian perawat yang sedang berada di sekitar lorong itu. Para perawat langsung berlari ke arahnya, dan dua dokter mengikuti.
“What happen, Miss!?” tanya para perawat tak kalah paniknya.
Kenan menjelaskan dengan kalang kabut. “Her heart! A cough! With a blood!”
Para perawat kaget dan mereka langsung memasuki kamar Lena berbondong-bondong. Melque diusir keluar oleh perawat sementara Kenan hanya bisa terdiam memandangi kamar Lena yang ditutup dari dalam.
“Lena… lagi-lagi ini salahku…”
Melque memandangi Kenan dengan iba. Ia tak mengerti apa yang dirinya katakan tapi ia tahu kalau Kenan sedang menyalahkan diri sendiri.
“Kenan, it is not your fault–“
“Don’t try to close to me!” jerit Kenan. Melque kaget karena sebelumnya Kenan belum pernah menjerit di depan umum. “Guilty as charged. It is not me.” Suara Kenan bergetar. “It is because of you, because of your embroil, following me,” Kenan mengepalkan tangan ingin meninju seseorang. “Do not ever be talk to me again!” serunya sekali lagi.
Kenan yang naik darah berjalan pergi meninggalkan Melque yang masih terjebak dengan rasa kagetnya.
Kenan kembali setelah sejam melarikan diri. Setibanya, ia melihat Melque masih ada di depan kamar Lena, entah menunggu apa sambil duduk.
“Why you are still here? I already chase you away,” tanya Kenan dingin. Melque mendongak. Ia membuka mulutnya tapi Kenan lebih dahulu menyela, “I never give you a chance to speak. So, you can go home.” Kenan menatap Melque. “Right now, Gardien,” perintahnya dengan nada menekan.
Alis Melque berkerut. Ia sungguh terkejut melihat Kenan yang asli yang ditutup-tutupi setelah selama itu selalu bersikap tenang di Brokeveth.
“I, I know I am just a wretch. I am sure if I not deserve to earn your forgiven because I know everything got worse by my presence. I, I apologize, Grace. Pardon me as if my misbehavior, my friend.”
Melque beranjak dari kursinya lalu berjalan pergi dengan takut.
“You are just my classmate,” koreksi Kenan dengan nada datar, “so obvious.”