Loading...
Logo TinLit
Read Story - Black Lady the Violinist
MENU
About Us  

Sehabis bangun lebih siang karena hari libur, Kenan menguap lebar. Ia berguling malas di kasur. Namun, kantuknya lenyap waktu terdengar suara pelayannya sedang berbicara dengan siapapun itu. Hatinya resah mendengar dialog-dialog di luar kamarnya karena mungkin saja yang dibicarakan ialah nonanya yang malas di hari libur. Itu memalukan.

Mata Kenan tertuju pada jam dinding. Jarum panjangnya terus bergerak ke angka 8:12 AM. Selimut dilemparnya, sekejab ia sudah di kamar mandi. Meski mandi bebek, yang penting ia harus cepat pergi dari sana sebelum Ryan datang!

Dalam lima menit Kenan menyelesaikan acara mandi dan berpakaian. Tak dipikirkan lagi rapi tidaknya, cocok tidaknya, lapar tidaknya.

Pintu Kenan buka lebar-lebar dan berharap bisa segera pergi sebelum harapannya musnah. “Hai, Kenan! Selamat pagi!” sapa Ryan senang. Kenan mengerang. Tas yang dipakainya dijatuhkan ke lantai. “Ada masalah, Miss?”

Kenan mendongak setelah merenung dan menyesal. “Ini baru jam setengah sembilan! Kenapa sudah datang!?” seru Kenan kesal.

“Kami malah sudah datang dari pukul setengah delapan. Kenapa? Kau kecewa?" goda Ryan. Rasanya kepala Kenan sudah berasap.

“Kamu bohong kalau Kenan perginya siang-siang, Ryan?” sela bibi Vani

Ryan mengabaikan mamanya. “Waduh, masa? Lagipula sepupu kita yang cantik ini sekali-kali harus ikut pertemuan keluarga, kan?”

Paman Anderson tertawa dari kejauhan.

“Anak bapak sama saja!” gerutu Kenan yang sudah keberapa kalinya.

Kenan mengehela nafas panjang-panjang supaya Challysto sekeluarga tahu ia sedang kesal. “Terserahlah. Pantas saja daritadi pagi sudah bising–bodohnya aku tak kunjung sadar,” ujar Kenan menyerah sambil beranjak ke kursi di meja makan dan berkumpul.

Have a breakfast, Miss?” tanya si pelayan padanya.

Tangan Kenan diletakan di meja untuk menopangkan dagunya.

“Kalian sudah makan? Datang pagi-pagi ke rumah orang sebelum yang punya bangun. Hebat sekali,” sindir Kenan terutama pada Ryan. Ia malah tertawa. “Oh, thanks pada tuan tanah yang memberikan rumahnya padaku,” timpal Kenan.

Keluarga Challysto sekalian tak ada satu pun yang termakan sindiran pedas Kenan lalu marah. Parah sekali rasa pede mereka ini.

“Makan apa saja yang Kenan mau,” kata bibi Vani santai dari ujung meja.

Kenan berbicara pada pelayannya yang masih bertengger di sebelahnya, “Ya, thank you. Any sort of menu which would to be served,” jawabnya tanpa kata sir lagi. Sang pelayan mengangguk dan ia pergi ke dapur. Mata Kenan terfokus kembali pada orang sekeluarga di hadapannya itu. “Ngomong-ngomong kenapa kalian bisa masuk? Kalau kalian sampai terlihat publik masuk ke rumahku –“

 “Ya ya, Nona. Bosan aku mendengarnya. Tenang saja, kami pakai mobil biasa kok.” ‘Biasa’ seperti apa? “Dan masuk ke halamanmu yang besar itu begitu saja. “Kenapa bisa masuk? Pelayanmu yang mengijinkan. Oh ya, kau tak tahu ya kalau keluarga Reamer pelayan setia keluarga Challysto selama bertahun-tahun.”

Alis Ryan terangkat sebelah. Wajah meledeknya kentara sekali.

Ya benar. Ryan tidak akan sembarangan menempatkan orang di rumah yang dibelikannya untukku. Kenan merenung dalam hati sedikit bersyukur.

Kenan meneguk segelas air yang sudah tersedia di depannya. “Jadi, ada keperluan apa ke sini? Kalau cuma iseng, sekarang juga aku pergi.” Ia menyelak.

Ryan tertawa senang. “Asyik sekali ya punya adik perempuan yang langsung ngomong tanpa basa-basi ini.”

Paman Anderson yang daritadi diam langsung mengawali perbincangan serius. Gayanya seperti menteri hukum di rapat parlemen.

“Kami benar tak tahu apa-apa karena datang sangat terlambat dan tantemu yang paling kaget soal kau dan rumah ini. Kamu tinggal sendiri padahal masih 13 tahun. Jadi, tak ada salahnya berkunjung ke tempat keponakan cantiknya, ‘kan?”

Raut wajah paman Anderson begitu senang ketika ia mengatakan itu. Sepertinya ia ingin punya anak perempuan. Apalagi anak lelakinya tak berguna.

Ryan tertawa lagi. Apa sih yang dia tertawakan? Kulempar juga sepatuku.

 “Jadi kami gak bakal diusir, kan?” goda paman Anderson.

Tak terasa bibir Kenan merekahkan senyum tanpa sekehendaknya.

“Tidak juga. Terima kasih perhatiannya, Paman. Bibi juga. Tante juga.”

“Jadi, apa kau senang dengan rumah ini, Kenan?” tanya bibi Vani. Kenan mengangguk. “Jangan sampai lupa makan. Nanti bisa mati beku.” Kenan tertawa geli. “Juga, jangan lupa kembali ke rumah ya, sayang. Vincent tahu jalannya.”

“Kalau ada waktu atau acara keluarga pasti aku ke sana, Bibi. Kalau hari ini tidak karena aku tak mau bersama-sama dengan anak laki-laki yang cakep itu.”

Ryan kegeeran, cengar-cengir mirip cihua-hua diberi whiskas.

“Oke, oke. Lebih baik makan dulu,” perintah paman Anderson pada mereka semua karena sarapan sudah disiapkan.

 

“Memangnya tadi kau niat kemana sambil bawa-bawa violin?” tanya Ryan setelah piringnya bersih duluan. “Di sini kan tidak ada tebing curam seperti di dekat rumahmu dulu.” Kepala bibi Vani tegak ketika mendengar kata ‘curam’.

“Menurutku tanpa bertanya juga kau tahu,” jawab Kenan to the point.

Mata Ryan lirak-lirik. “Hmm, kupikir kau mau jalan-jalan dengan mobil.”

Garpu dan pisau Kenan letakkan di piring. Kenan berhenti makan dan kepalanya tertunduk. “Aku bukan orang yang bisa senang-senang dengan harta yang berlimpah sementara ada orang lain yang hanya bisa berbaring di ranjang dengan seprai dan selang-selang sebagai teman main.”

Ryan tertegun, menyesal menanyakan pertanyaan itu. “Ma, maaf, Ken. Aku boleh ikut kau untuk menjenguk?”

Kenan mendongak. “Dan membuat fashion show keluarga Challysto di rumah sakit? Tidak terima kasih. Pulang saja kau,” usir Kenan.

Ryan mulai mencandai sepupunya lagi. “Aih galaknya.” Ia mengangkat alisnya. “Soal itu santai saja. Ada cara jitu untuk mengelabui orang-orang.”

Tangan Kenan mengangkat garpu dan pisaunya lagi. “Taktik yang sama seperti saat kau menyiasati orang-orang untuk masuk ke rumahku.”

Begitu selesai sarapan, mereka semua masuk ke mobil yang dikatakan biasa oleh Ryan. Tak Kenan sangka kalau mobil itu memang biasa sekali untuk ukuran mereka. Kalau di Indonesia, mungkin bisa dikatakan hanya mobil Inova atau Xenia. Lalu mobil pun melaju dengan tenang tanpa ada seorang pun memperhatikan.

Begitu memasuki tempat parkir rumah sakit, mereka beraksi dengan penyamaran luar biasa absurd-nya. Bibi Vani memakai coat panjang, topi lebar, dan kacamata gelap sementara paman pakai kacamata gaya lama dan ganti coat yang terlihat seperti dibeli di pasar loak dengan banting harga. Ryan–ini yang paling ngaco–ganti baju gembel, rambut diacak-acak, bertopi baseball, lalu pakai headphone di leher, persis anak sakau.

Mereka mau lomba stand-up comedy keluarga atau mau cosplay? Pasti ulah Ryan. Konyolnya, kenapa paman dan bibi mau-mau saja dikerjai putranya??

Mereka kemudian melenggang santai memasuki koridor National Hospital of Neurology dengan sopir ikut berbaur. Tak Kenan sangka cara aneh bin ajaib seperti di FTV itu ampuh. Mereka benar-benar selamat tanpa seorang pun curiga hingga tiba di kamar Lena. Satpam yang jaga pun hanya mengira keluarga aneh itu seperti keluarga pinggiran kota yang hendak mengunjungi kerabatnya yang sedang operasi usus buntu atau wasir.

Ketika paman Anderson membuka pintu, Lena yang melamun menatap ke kaca jendela menolehkan kepalanya pada mereka yang menjenguknya beramai-ramai. Ia awalnya berpikir kalau mereka sekumpulan badut penghibur yang disewa Kenan.

“Kenan? Mama syudah syampai?” tanya Lena bingung. “Kalian syama syiapa?”

Begitu pintu ditutup, semua langsung melepaskan penyamaran konyol itu. Lena pun terkejut. “Eh? Lyan, om, tante?”

Ryan tersenyum. “Yo. Sudah lama gak ketemu, Len. Gimana Inggris?”

Lena tersenyum lebar. Kenan melihat ke arah lain dengan sedih. “Mungkin lain kali kau bisa ke sini lagi karena dia hanya punya aku,” gumamnya pada Ryan. Sebenarnya Kenan pribadi tak berharap Ryan mendengar. Itu hanya ungkapan sedihnya.

“Ya,” jawab Ryan. Ryan berjalan menarik kursi ke dekat Lena. “Kabarmu baik? Kangen juga sama anak yang rada bloon kaya kamu. Kenan orangnya terlalu serius sih.”

Lena cekikikan mendengarnya. Kenan yakin mereka itu pinang dibelah dua.

 “Aku gak tau Ingglis di lual kaca ini. Aku juga tambah bloon kalena gak syekolah lagi.” Lena tertawa-tawa. “Di syini syemua orang ngomong bahasya Ingglis. Aku gak ngelti.” Kenan mendekat lalu duduk di ranjang Lena dan mendengarkan.

“Belajar dong!” seru Ryan.

“Gimana belajalnya? Memangnya di syini ada kamus? Nonton televisyi aja bahasya Ingglis. Novel, komik, bahasa Ingglis syemua! Aku pastyi waktu itu syengaja dijatuhkan dali pesyawat.” Lena merengut. Kenan mengeluarkan bekal dari tasnya yang sudah ia siapkan dari semalam untuk saat yang tepat seperti itu. “Hehe, thanks.”

Ryan penasaran dengan isinya. “Apa itu? Kok gak bagi-bagi?” Kenan menjejalkan sepotong sandwich ke mulut Ryan. “Enak.”

“Enyak, kan? Ini buatan Ken syendili loh!” seru Lena bangga. Bibi Vani, paman Anderson, dan tante Merry yang hanya diam mendengar juga tersenyum. “Oh ya Ken, minta syatu lagu dong, apa aja,” pinta Lena pada Kenan. “Hehe. Ken jangan marah ya.”

Kenan tersenyum lalu menggeleng. Tanpa bicara sepatah kata pun atau berpikir hal yang muluk-muluk, Kenan mengeluarkan violinnya dan meletakkannya di pundaknya. Mata paman Anderson terpaku padanya karena ia tahu ia ingin sekali mendengar lagi permainan violin dari putri adiknya.

Kenan berusaha mengingat lagu. “Tschaikovsky: Dance of the Reed Pipes.”

“Kau halus dengal,” pintanya sambil menarik lengan Ryan lebih mendekat. Lena menunduk sambil tersenyum. “Balbie Nutclackel suite. Apa aku bisya bebas menjelajah syepelti yang dilakukan putli syugal plum kalau aku syudah syembuh nanti?” tanya Lena membuat tante Merry dan bibi Vani sedih.

Tuhan, tolong aku. Aku mau sembuh,  ujar Lena dalam hati merasa sedih.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Aku menunggumu
4536      955     10     
Romance
Cinta pertamaku... dia datang dengan tidak terduga entahlah.Sepertinya takdirlah yang telah mempertemukan kami berdua di dunia ini cinta pertamaku Izma..begitu banyak rintangan dan bencana yang menghalang akan tetapi..Aku Raihan akan terus berjuang mendapatkan dirinya..di hatiku hanya ada dia seorang..kisah cintaku tidak akan terkalahkan,kami menerobos pintu cinta yang terbuka leb...
NADI
6153      1693     2     
Mystery
Aqila, wanita berumur yang terjebak ke dalam lingkar pertemanan bersama Edwin, Adam, Wawan, Bimo, Haras, Zero, Rasti dan Rima. mereka ber-sembilan mengalami takdir yang memilukan hingga memilih mengakhiri kehidupan tetapi takut dengan kematian. Demi menyembunyikan diri dari kebenaran, Aqila bersembunyi dibalik rumah sakit jiwa. tibalah waktunya setiap rahasia harus diungkapkan, apa yang sebenarn...
The Reason
10709      1941     3     
Romance
"Maafkan aku yang tak akan pernah bisa memaafkanmu. Tapi dia benar, yang lalu biarlah berlalu dan dirimu yang pernah hadir dalam hidupku akan menjadi kenangan.." Masa lalu yang bertalian dengan kehidupannya kini, membuat seorang Sean mengalami rasa takut yang ia anggap mustahil. Ketika ketakutannya hilang karena seorang gadis, masa lalu kembali menjerat. Membuatnya nyaris kehilan...
Imajinasi si Anak Tengah
2094      1199     16     
Inspirational
Sebagai anak tengah, Tara terbiasa berada di posisi "di antara" Di antara sorotan dan pujian untuk kakaknya. Dan, di antara perhatian untuk adiknya yang selalu dimanjakan. Ia disayang. Dipedulikan. Tapi ada ruang sunyi dalam dirinya yang tak terjamah. Ruang yang sering bertanya, "Kenapa aku merasa sedikit berbeda?" Di usia dua puluh, Tara berhadapan dengan kecemasan yang tak bisa ia jel...
Kamu, Histeria, & Logika
62663      7256     58     
Romance
Isabel adalah gadis paling sinis, unik, misterius sekaligus memesona yang pernah ditemui Abriel, remaja idealis yang bercita-cita jadi seorang komikus. Kadang, Isabel bisa berpenampilan layaknya seorang balerina, model nan modis hingga pelayat yang paling berduka. Adakalanya, ia tampak begitu sensitif, tapi di lain waktu ia bisa begitu kejam. Berkat perkenalannya dengan gadis itu, hidup Abriel...
She Is Falling in Love
539      336     1     
Romance
Irene membenci lelaki yang mengelus kepalanya, memanggil nama depannya, ataupun menatapnya tapat di mata. Namun Irene lebih membenci lelaki yang mencium kelopak matanya ketika ia menangis. Namun, ketika Senan yang melakukannya, Irene tak tahu harus melarang Senan atau menyuruhnya melakukan hal itu lagi. Karena sialnya, Irene justru senang Senan melakukan hal itu padanya.
Pesona Hujan
1109      603     2     
Romance
Tes, tes, tes . Rintik hujan kala senja, menuntun langkah menuju takdir yang sesungguhnya. Rintik hujan yang menjadi saksi, aku, kamu, cinta, dan luka, saling bersinggungan dibawah naungan langit kelabu. Kamu dan aku, Pluviophile dalam belenggu pesona hujan, membawa takdir dalam kisah cinta yang tak pernah terduga.
Happiness Is Real
311      263     0     
Short Story
Kumpulan cerita, yang akan memberitahu kalian bahwa kebahagiaan itu nyata.
Premium
Cheossarang (Complete)
21915      1968     3     
Romance
Cinta pertama... Saat kau merasakannya kau tak kan mampu mempercayai degupan jantungmu yang berdegup keras di atas suara peluit kereta api yang memekikkan telinga Kau tak akan mempercayai desiran aliran darahmu yang tiba-tiba berpacu melebihi kecepatan cahaya Kau tak akan mempercayai duniamu yang penuh dengan sesak orang, karena yang terlihat dalam pandanganmu di sana hanyalah dirinya ...
Cinta dan Benci
4894      1493     2     
Romance
Benci dan cinta itu beda tipis. Bencilah sekedarnya dan cintailah seperlunya. Karena kita tidak akan pernah tau kapan benci itu jadi cinta atau sebaliknya kapan cinta itu jadi benci. "Bagaimana ini bisa terjadi padaku, apakah ini hanya mimpi? Apakah aku harus kabur? Atau aku pura-pura sakit? Semuanya terasa tidak masuk akal"