Penuh keberanian bagi Kenan untuk mendatangi rumahnya dan berdiri beberapa langkah dari depan pintu gerbangnya yang reot. “Selamat tinggal, rumahku…”
Setelah memandanginya sampai puas, Kenan pergi melalui gang kecil dari area rumahnya ke jalan besar tempat mobil Ryan parkir. Selesai sudah perpisahan Kenan dengan semua sisa kenangan yang pernah ada di kampungnya. Semuanya.
“Kemana lagi, Kenan?” tanya Ryan dengan nada sebiasa mungkin ketika Kenan menutup pintu mobil. “Masih ada empat jam.”
Tatapan Kenan ke kaca jendela saja, merasa sedih ketika melihat pemandangan yang terus bergeser. “Tebing curam di selatan sana. Kau tahu kan.”
“ Ok.” Ryan mengangguk lalu memberi arahan pada sopir pribadinya.
Mobil Ryan melaju di jalan berbatu. Padahal, hal itu jelas merusak mobilnya tapi cuma karena permintaan bodoh sepupu kecilnya, Ryan menurut.
Aku benar-benar tidak mengerti dengannya. Kenapa ia selalu saja baik padaku padahal kami baru saja kenal beberapa tahun ini? Ok, meskipun saudara… tapi aku tetap tak mengerti. Apa dia kasihan padaku?
Perjalanan ekstrim dari mobil semewah Ryan berakhir setelah melewati jalanan off-road selama sepuluh menit. Gerakan Kenan membuka pintu dan berlari membawa biolanya sampai ke puncak gesit sekali. Caranya berjalan sudah mirip kambing gunung. Dengan wajah sedih, ia melihat seksama jurang di bawah tebing, mengingat beberapa kenangan. Dasarnya tak kelihatan, begitu gelap.
Kenan segera mengeluarkan biolanya dan mulai memainkannya. Gerakannya tergesa-gesa karena ia tak tahan lama-lama di sana sendirian. Polonaise Brillante No.1, Op.4. Alunan Biola Kenan menggema. Lagu kesukaanmu, Lena. Air mata menetes. Tangisannya terus mengalir.
Lima menit di atas sana ia mainkan biolanya sampai merasa cukup, mungkin yang terakhir kalinya. Ia masukkan kembali biolanya tanpa mengelap noda air matanya terlebih dahulu. Aku janji, itu air mata terakhirku, Lena. Kenan pun menenteng tas biolanya lalu berjalan menuruni tebing dengan hati-hati.
Loncat ke sana kemari, tak butuh waktu lama bagi Kenan untuk sampai kaki tebing. Begitu tiba, di samping mobil Ryan berdiri bersandar. Ia berusaha tersenyum untuk menyambut kembali Kenan sambil menggerakkan kepalanya mengisyaratkan agar ia masuk ke dalam mobil. Perjalanan pun berlanjut lagi.
Ryan menoleh ke jok bagian belakang. “Sekarang ke mana, Nona?”
Kenan menoleh. “Ke tempat mewah yang sudah kau reservasi dengan elit pakai handphone-mu dari kemarin,” sergah Kenan dengan wajah murung.
“Ketahuan deh,” jawab Ryan menggoda, “tapi sebelumnya ke rumah dulu ya, baru ke sana sekali jalan ke bandara. Ok?”
“Terserahmu saja.” Kenan kembali menatap ke kaca jendela dalam diam.
Mobil melaju selama setengah jam ke rumah Ryan di kompleks perumahan elit Luna Garden yang ada di Utara bandara Adi Sucipto. Memang ada jalan utama yang bagus menuju bandara–jalan Ring Road Utara–tapi jalan ke sana selalu macet. Jadi, meskipun memutar, lebih cepat lewat jalan wilayah kampung Parejo lalu tembusnya Jalan Raya Solo dan setelah itu sampai di bandara Adi Sucipto.
“Selamat datang, Sayang,” sambut bibi Vani sambil memeluk Kenan. Raut wajahnya sedih. “Kuatlah, jangan terpuruk begitu, Ken.” Kenan menggangguk. “Kalau gitu, bajunya diganti ya?” tanyanya seramah mungkin agar keponakannya tak tersinggung. “Di sana sedang musim dingin. Kalau tak ganti baju, kamu bisa mati beku.”
Kenan mengangguk lagi. Ia tak punya tenaga lebih untuk banyak bicara. “Ya, Bibi. Terima kasih.”
“Lalu apa kita bisa bongkar barang bawaanmu?” Kenan menengadah. Bibi Vani tidak enak hati. “Maaf sayang tapi perkiraan bibi, pakaianmu tidak bisa dipakai di sana. Jadi, yang kira-kira bisa dipakai dibawa dan yang tidak ditinggal di sini ya? Bibi akan menambahkan beberapa pakaian musim dingin. Gimana?”
Kenan terdiam dan berpikir sejenak. “Aku yakin bibi lebih tau soal itu.”
Tanpa berlama-lama Kenan langsung bergerak menarik tasnya dari bagasi mobil Ryan lalu membongkarnya, melakukan seperti yang sudah diperintahkan.
“Satu lagi, Sayang. Kamu berangkat duluan sama Ryan. Bibi, paman, serta tantemu Merry akan menyusul. Ada alasan yang tidak bisa bibi bilang kenapa kami berangkat belakangan. Lalu, Lena dirujuk dari Condong Catur ke rumah sakit di London dengan pesawat pribadi karena banyak staf kesehatan yang mendampingi.” Kenan mengangguk lagi sebagai jawaban singkat. Kepalanya sudah malas memikirkan hal-hal seperti itu.
Selesai bibi Vani berbicara, Kenan langsung ke lantai dua, pergi ke kamar yang awalnya memang sudah disiapkan untuknya di rumah itu.
“Kata bibi Vani aku bisa pilih pakaian sesukaku dari lemari. Jadi, seperti apa baju-bajunya?” gumam Kenan yang sama sekali tidak kelihatan tertarik.
Setengah hati Kenan terpukau pada isi lemari pakaian besar di kamarnya. Lemari itu nyatanya sudah penuh oleh pakaian yang pas dengan badannya. Tak berlama-lama, Kenan langsung memilih pakaian mewah yang menurutnya cocok saat musim dingin. Selesai memilah, diarapatkannya pintu lemari lalu keluar dari sana. Darimana mereka tahu ukuranku? Semua baju pas sekali…?
Pelan-pelan tangga dituruninya karena belum terbiasa dengan pakaian itu. Sulit melihat ke bawah karena rok dari semi-dress selututnya megar–petticoat-nya berlapis-lapis. Begitu pula rasanya untuk tetap memegang pegangan tangga. Lengan dari kemeja putih berdasi merah pendeknya pas mengikuti bentuk tangannya. Belum lagi ia mulanya tak sadar ada pita besar di belakang roknya yang terus menabrak-nabrak betisnya. Untung berjalan tidak susah karena hanya stocking hitam dalam sepatu boot kulit setengah betis.
Ini dress atau baju cosplay?? Selera keluarga ini konyol sekali.
“Mana Ryannya?” tanya Kenan sambil mencari-cari ke segala arah.
“Di depan gerbang. Ryan suka ngobrol dengan siapa saja–tukang kebun, pelayan, koki.” Bibi Vani lebih rileks karena ekspresi Kenan tidak suram lagi.
“Oh, kalau begitu, aku pamit pada bibi dulu.”
Bibi Vani memeluk Kenan lagi. Ia mengucapkan salam perpisahan setelah melepaskan pelukannya sambil mengatakan ‘kopernya sudah di bagasi’. Kenan pun mengucapkan salamnya pada tante Merry–pamannya sedang tak di sana.
“Cewek lama ya,” tukas Ryan yang sudah ganti baju juga. Ia tiba-tiba memakaikan topi dan kacamata secara paksa pada Kenan. “Bajunya cocok. Jadi, kau suka gothic lolita?” Ryan nyengir. “Ayo berangkat. Oh, topi dan kacamatanya juga cocok.” Kenan naik ke jok belakang mobil sementara Ryan masih mengoceh. “Boleh aku juga duduk di belakang?” tanya Ryan sambil memegangi pintu.
“Terserah saja.” Kenan melepas topi dan kacamatanya “Ini kan mobilmu.”
Mobil mewah Ryan melanjutkan perjalanannya kembali ke wilayah perkampungan, melaju menuju tempat yang paling familiar bagi Kenan.
Selama perjalanan sampai jalan rusak lalu sampai tempat ‘itu’ sungguh membuat perhatian masa. Mobil apa pun jenisnya itu; mobil yang lebih elit dari limosin yang biasa dipakai para pengusaha berpenghasilan lebih dari 2 miliar tiap bulannya melaju di daerah pedesaan. Aku mengerti sajalah kalau keluarga ini tidak punya mobil murah untuk dipakai.
“Kupikir kau sangat ingin ke sini? Tapi kalau aku salah, jangan marah ya.”
Telunjuk Ryan mengarah pada bangunan yang sungguh akan Kenan rindukan kelak. Tempat yang paling Lena inginkan untuk datang kalau ia bisa membuka matanya.
Sekolah.
Saat turun dari mobil, Kenan mengenakan topi dan kacamatanya lagi. Sejenak Kenan merasa sedikit bersyukur punya sepupu yang sedikit mengerti hal yang tersimpan dalam hatinya tentang kacamata dan topi itu. Ryan mengikutinya keluar sementara mobilnya terparkir santai di depan gerbang. Pamer?
Kepala Kenan tertunduk kepada penjaga sekolah yang ia kenal dekat. Meskipun ia bingung kenapa Kenan tidak masuk sekolah hari itu tetapi perintah kepala sekolah padanya ialah membukakan gerbang apabila Kenan datang.
Sekolah senyap saat jam pelajaran berlangsung. Ia merasa tenang karena tak perlu ada yang melihatnya, termasuk si ketua kelas. Kenan melenggang santai masuk dan Ryan pun mengikutinya berjalan terus sampai ke ruang kepala sekolah.
“Pagi, Kenan. Bagaimana perasaanmu hari ini?” sapa kepala sekolah–yang telah tahu segala tentangnya karena ulah Ryan–pada Kenan. Beliau mempersilahkan duduk. “Hari ini hari yang luar biasa bukan?”
Dengan rasa hormat, Kenan melepaskan topinya. “Baik, Pak.” Kenan pura-pura tersenyum manis. “Mungkin begitu.”
Pak kepala sekolah mengangguk, “karena tak pernah terpikirkan sekalipun kalau ada putri dari keluarga Challysto terkemuka itu di sekolah ini. Sekolah ini hanya sekolah kampung kumuh. Hal yang luar biasa kalau kau ada di sini.”
Kali ini Kenan bisa menunjukkan senyum tulus. “Terima kasih, Pak, tapi Saya ini hanyalah Kenan Grace dari kelas 7-4 yang nomor absennya 24.” Ryan menatap Kenan sambil nyengir. “Tapi pak, bolehkah Saya punya permintaan?”
“Apa itu?”
“Meskipun Saya hanya sedikit tahu soal libur musim panas darinya,” Kenan menuding Ryan, “bolehkan saat itu saya kemari dan sekolah di sini?” Ryan terhenyak. Permintaan Kenan itu sungguh ajaib! “Saya memang tak punya teman selain Lena tapi tempat ini berharga bagi Saya. Soal biaya, sepertinya urusan dia.”
Pak kepala sekolah takjub seperti Ryan. Beliau tersenyum lebar. “Tentu saja, Kenan. Bukan soal biaya tapi soal keinginanmu yang sungguh polos. Bapak menghargainya. Dengan Lebena, kalian juga bisa terus sekolah di sini.”
“Terima kasih, Pak,” jawab Kenan terharu.
Hatinya tenang ketika keluar dari ruang kepala sekolah. Mereka berjalan menuju kebun dimana ia suka sendirian. Ryan tetap bisu supaya mood sepupunya tidak rusak. Ia diam sambil bersandar pada pohon sementara Kenan duduk di satu-satunya kursi di sana. Tak lama kemudian terdengar suara langkah kaki mendekati mereka dari belakang. “Kenan? Benar kan? Kau sedang apa di sin?”
Kenan mendecak. “Kenapa kau selalu ada dimana-mana seperti kecoak, Nanta??”
“Aku dari ruang guru–yang berada di sebelah ruang kepala sekolah–mengambil kertas ulangan.” Langkah Nanta semakin mendekati tempat Kenan. Ia berhenti sejenak ketika melihat Ryan. Setelah itu gantian memperhatikan pakaian Kenan. “Lalu aku melihatmu dan –“
“Mengikutiku lagi? Hobimu jelek ya.”
“Maaf. Aku tidak niat begitu.” Buru-buru Nanta menyesal. “Hmm, jadi kau, kalian benar-benar akan pergi jauh? Lena juga ikut? Karena itu kau berusaha membuat teman-teman tidak mencari-cari Lena lagi?” Kenan tidak menjawab. “Padahal kalau tindakanmu begitu, yang ada semua orang malah makin membencimu, Kenan. Tapi, kalian akan kembali kan? Kapan?”
Kapan akan kembali? Sok tahu, batin Kenan.
“Kalau liburan nanti. Mungkin,” jawab Kenan singkat sambil berdiri dan bersiap pergi. “Kembalilah ke kelasmu, ketua kelas. Kalian mau ulangan, kan.”
Kenan berjalan mendekati Ryan yang diam bak penonton. Dirinya melenggang pergi meninggalkan Nanta di kursi itu.
“Selamat jalan, kalian berdua. Sampai jumpa lagi. Ingat, benar-benar ingatlah untuk kembali kemari, okee!”