Loading...
Logo TinLit
Read Story - Black Lady the Violinist
MENU
About Us  

Srak sruk srak sruk. Bunyi Rose rusuh saat mengepel lantai sementara Kenan dan Lena makan kue coklat buatan tante Merry. Mereka memang dari awal sepakat membuat Rose bekerja, meskipun hasilnya mengerikan. Setelahnya Lena malah bersikeras ingin mengerjakan ulang pekerjaan tangan tak berguna Rose. Aneh kan?? Padahal jelas sekali dia ini pelayan keluarga tapi membersihkan rumah saja tidak becus!! Umurnya sekitar usia tante Merry tapi–entah karena lupa nikah atau memang terlahir seperti itu–kelakukannya seperti orang baru puber.

“Terserah, kalau pingsan lagi tak seret kamu,” acam Kenan.

Lena malah cekikikan bergurau.

Tak berapa lama kemudian… Brak. Terdengar suara sesuatu yang keras sekali menabrak lantai sehabis Kenan membalikan badannya dari Lena.

“Astaga! Kan sudah kubilang, Lena!!” teriak Kenan histeris waktu sadar siapa yang berbunyi brak di balik punggungnya.

Lena pingsan lagi. Dari awal wajahnya sudah pucat tapi selalu pura-pura sehat. Pada akhirnya Kenanlah yang mengangkutnya susah payah sampai sofa.

Akhir-akhir itu Lena jadi tambah sering pingsan. Dulu biasanya hanya suka pusing saja. Sementara mereka yang baru empat bulan sekolah di SMP, dia sudah lima kali pingsan kelelahan. Entah apa penyebab jelasnya.

“Tadi bunyi apa, Lena, Ken?” tanya tante Merry yang datang dari dapur. Kenan tak sempat berpikir harus menjawab apa. “Ya ampun Lena, pingsan lagi? Makanya mama bilang istirahat!” nasihat tante Merry pada Lena yang sedang pingsan. Tante Merry benar-benar menceramahi orang yang sedang pingsan.

“Angkut ke kamar saja ya, Tan?” saran Kenan. Tante mengangguk.

Mereka pun mengangkut Lena ke kamarnya dan menungguinya sampai sadar. Tiga jam bukan waktu yang singkat untuk terus menunggu dalam cemas.

“Tan, gimana kalau bawa ke rumah sakit? Bahaya juga kayaknya kalau keseringan begini.”

“Tante juga pikir begitu sih tapi –“

“Ah, maaf, Tan. Soal biaya, gimana kalau aku kerja sambilan saja, Tan –“

“Tante masih mampu bayar semuanya kok, sayang. Gak perlu ada yang kerja saat sekolah yah,” jawab tante Merry menenangkan.

 

“Hei hei. Jalan yuk. Bosen juga di rumah mulu.”

“Hmm. Begitu ya reaksi terima kasih anak yang sudah dibawa susah payah ke kamar? Cukup tahu diri ya,” sahut Kenan pada omongan Lena yang berlagak. “Minta dijambak ya.”

Lena baru sadar maksudnya. “Hah!? Masa!? Ah! Maaf!”

“Ya sudahlah. Lagian aku cuma bercanda kok.”

“Oh, ya?  Tapi jangan lupa sama pelajaran itu yah. Si ‘itu’.”

Badan Kenan tersentak. “Oh ya! Tante Merry titip beli tepung di pasar!!”

“Ciye niat kabur. Eh ya, lagian gak ada si Ryan ya. Dia kemana?”

“Kenapa cari-cari? Suka? Hahahhaha,” goda Kenan sambil cekikikan.

“Kok tahu sih? Ih. Dia kan sudah satu minggu dari pertengahan bulan Oktober gak muncul di toko. Dari awal kita masuk sekolah juga dia gak nongol.”

“Dia juga punya sekolah kan, Einstein?”

“Hah? Pertanyaan lucu apa tuh?” tanya Lena telmi.

“Dua minggu dia sekolah di sini buat ngisi waktu libur saja. Aslinya dia sekolah di Inggris. Yang konyol itu waktu dia bilang tak bisa bahasa Inggris untuk menghindari Rose” jelas Kenan. Bibirnya tak tahan untuk terus tersenyum geli.

Mulut Lena menganga ke mana-mana. “Hah!? Masa sih, Inggris!? Dia cuma pura-pura bego selama ini? Ya oloh. Kok gampang banget aku kena tipu!!”

Kenan tertawa kecil. “Menurutku, karena dia sama-sama sebel dengan bahasanya acak-acakannya Rose. Mungkin. Yah kalau aku jadi dia juga aku akan melakukan hal yang sama.”

Lena bisu memandangi Kenan. Suasananya mendadak jadi aneh karena perkataan Kenan yang memang suka aneh.

“Sebenarnya keluarga itu apa, Len? Melihat ‘mereka’ aku jadi bingung sendiri. Apa dulu keluargaku begitu juga?? Kalau keluargamu dulu gimana?”

Giliran Lena ngomel. “Kamu tanya itu sama anak TK saja dijamin mereka bisa jawab. Kerenan dikit napa pertanyaannya? Udah SMP nih! SMP!”

“Iya ya. Mungkin karena aku lama-lama lupa sama ayah ibuku sendiri.”

Lena berpikir sejenak. “Mamaku kan mamamu juga.” Ia nyengir kuda.

Sejauh apapun aku anggap tante Merry ibuku, beliau tetap bukan ibuku. Kenan tersenyum sedih. “Mungkin aku kebanyakan nonton sinetron yang adegannya tabrakan mobil atau anaknya ditukar-tukar terus. Makanya kepikiran?”

 “Yah, memangnya tentang apa?” tanya Lena geli.

“Tahu kan sinetron alay favorit ibu-ibu itu? Yang ada keluarga bahagia lagi senang-senang liburan terus gara-gara ada yang dendam karena harta nanti dibuat kaya mati kecelakaan. Lalu, supaya sinetronnya jangan tamat duluan, pasti ada saja satu-dua orang yang selamat. Kalau dua orang yang selamat, tamatnya pasti mengenaskan. Entah lupa ingatan, entah sengaja dibuat kecelakaan lagi, dan begitulah! Sinetron mengalahkan efek Final Destination.”

Wajah Lena mendekati Kenan. “Kalau misalnya aku yang jadi yang kecelakaan lagi dan kamu penontonnya, gimana Ken?” tanya Lena terus terang.

“Aku lagi dicobai iblis ya? Terus kamu berharap ada apa? Ada bis yang menimpa kita sampai kita kaya emping?”

Tawa Lena meledak. “Ya enggak lah. Kan misalnya.” Kenan memandangi Lena. “Hahaha... tenang aja. Aku tahu rasa sakit hatimu itu kaya apa. Gak bakal aku tanya macem-macem lagi,” terang Lena pada Kenan.

Ken mengangkat sebelah alisnya. “Sakit apa?”

“Keluarga… ya?,” ujar Lena sembari berjalan pergi.

 

 

“Kuat, Len? Kesehatanmu itu mengkhawatirkanku tahu!”

Mata Kenan melihat Lena lekat-lekat ketika wajah Lena yang ceria berubah menjadi semakin pucat bahkan sebelum mulai berlari.

“Ya ampun. Perasaan dari dulu kamu gak pernah bisa ngalahin kecepatan lariku. Jangan ngeledek deh,” jawab Lena santai. “Calon atlet nih.”

“Dulu?” bisik Kenan was-was.

“Apa? Jangan melihat kaya gitu. Jijik tahu.”

Kenan menatap Lena khawatir. “Kalau pingsan lagi gimana?”

“Memang tampangku benar-benar kaya zombie, ya? Aku rasa hari ini aku sehat banget.”

“Sesukamulah,” ucap Kenan menyerah.

Setelah Kenan kalah berdebat dengan Lena, ia memutuskan untuk menyerah dan membiarkan Lena tetap ikut lari dengan rona wajah seputih mayat.

Lari yang mereka lakukan bukan untuk kesenangan melainkan ujian–karena Kenan tidak akan mungkin membiarkan Lena yang sakit lari. Hari itu ialah minggu kedua bulan November, hari pengambilan nilai kedua untuk lari jarak menengah pelajaran olah raga. Jaraknya lumayan jauh. Panjang lintasannya kira-kira seperti mengelilingi dua setengah kali lapangan sepak bola.

Sadar akan keterbatasan baru Lena, Kenan terus berjaga-jaga. Padahal Lena cuek saja. Ia tak pernah sadar banyak orang yang cemas padanya. Apalagi kalau orang-orang sampai tahu kalau Lena yang selalu ceria itu sekarang bisa pingsan kapan saja; berdiri atau sekalipun duduk diam.

“Mulai!” teriak sang guru pada semua muridnya yang sudah siap sedia.

Mereka mulai berlari saling mendahului satu sama lain, sedangkan Kenan berlari langsung ke sebelah Lena untuk berlari beriringan bersamanya.

Lama mereka terus berlari tapi makin tertinggal ke belakang sampai benar-benar menjadi yang terbelakang. Kenan sadar kalau kondisi Lena makin melemah tapi Lena terus memaksakan dirinya. Kenan sudah tak tahu berapa jarak yang sudah mereka lalui karena matanya hanya terus memerhatikan gerak-gerik Lena.

“Masih kuat? Wajahmu makin menakutkan, Lena. Istirahat saja ayolah,” pinta Kenan memelas pada Lena yang keras kepala merasa dirinya masih kuat.

“Jangan manjain aku kaya begitu ah.”

“Kau ini, cobalah sedikit mengerti kalau kami gila memikirkanmu!”

“Kau ini, cobalah sedikit mengerti kalau aku juga gila setiap kamu bicara soal itu terus,” tolak Lena tak mengacuhkan sedikitpun nasihat Kenan padanya.

“Len, istirahat 5 menit saja ok?” tanya Kenan masih terus membujuk. “Ayolah sekali ini saja dengar permintaanku, Len –“

Bruk. Perkataan Kenan terhenti seketika waktu mendengar suara itu. Suara yang jadi familiar dalam beberapa bulan. “Lena?” tanya Kenan sembari melirik kesebelahnya yang ternyata Lena tak ada di sana lagi. Kenan membalikan tubuhnya. “Lena!!” jeritnya ketika melihat Lena yang lagi-lagi ambruk dan dagunya tepat mengenai jalanan beraspal. “Aku kan sudah bilang istirahat!”

“Aku, gak apa-apa kok –“

Ucapan terakhir Lena terputus saat ia kehilangan total kesadarannya.

“Tolong! Tolong!! Teman saya pingsan!!” jerit Kenan sekuat tenaga sambil membiarkan tubuh Lena lunglai terbaring di pangkuannya.

Lima menit penuh Kenan terus menjerit tanpa henti. Belum ada satu pun kendaraan yang lewat di jalan itu. Mengenaskan untuk mengingatnya, rute lintasan yang dipilih guru itu memang jalanan sepi yang jarang dilalui kendaraan.

Tak lama kemudian, lewatlah sebuah mobil yang terbilang mewah dan berhenti hanya beberapa meter di depan tempat mereka terduduk. Seseorang yang ada di bangku belakang mobil tersebut segera keluar mendatangi mereka. Mengejutkan. Orang yang tak disangka malah muncul di saat seperti itu.

“Ken? Lena kenapa!?” tanya Ryan dengan suara lantang.

“Ry, Ryan, kenapa kamu ada di sini?” tanya Kenan dengan mata melotot, “itu urusan belakangan, tolong bantu angkut Lena ke rumah sakit!” pinta Kenan dengan suara serak.

Ryan sigap menganggkut Lena yang sudah tak sadarkan diri ke dalam mobilnya dan segera ke rumah sakit terdekat seperti permintaan sepupunya.

“Ehmm.., aku lewat sini karena jalanannya sepi.”

Di tengah perjalanan tampaknya Lena mulai sadarkan diri. Ia mulai bisa membuka matanya pelan-pelan. Kenan merasa sedikit lega karenanya.

“Lena, kamu gak apa-apa? Tenang saja, kita sudah dekat rumah sakit.”

“Ih, ka, mu, apa-apa, an sih. Me, ma, ng, nya –“

Belum sempat kalimat Lena selesai, Lena terbatuk-batuk terus hingga yang kesekian kalinya membuat ia memuntahkan banyak sekali darah.

“Lena!” pekik Kenan. “Sudah diam saja!!”

Ryan terkejut melihat jok mobilnya terkena semburan muntahan darah Lena. Setelah kejadian itu Lena kembali tak sadarkan diri. Sampai di rumah sakit Condong Catur cepat-cepat Lena yang pingsan dibawa ke ruang ICU.

“Kenapa dia? Kok sampai muntah darah?” tanya Ryan cemas sekali. Kenan menggeleng penuh rasa takut. “Kenapa? Kenan!?” seru Ryan pada Kenan.

Badan Kenan bergetar. “Sudah lima bulan… sakit Lena semakin parah. Awalnya ia hanya mengeluhkan badannya sulit digerakkan tapi lama-lama keseimbangannya makin parah. Lena selalu jatuh meski tak ada apa-apa. Kalau dia jatuh lagi dan dagunya terantuk, ia pasti mimisan. Kami tak punya biaya untuk memeriksakannya ke rumah sakit! Maafkan aku, Lena!!” jerit Kenan frustasi.

“Kenapa tidak minta sama ayahku!? Kita ini kan keluarga!”

“Aku bukan siapa-siapa!!”

Ryan mengepalkan tinjunya. “Bukan siapa-siapa!? Matamu kemana sih?? Apa kami kelihatan seperti majikan keji dan kau pembantu yang minta plester saja tak diberi?? Masalahmu apa sih?? Mulut dipakai untuk bicara, Kenan!! Perlu sampai orang yang paling kamu sayangi mati di hadapanmu dulu baru kamu bisa buka mulut lalu minta bantuan sama keluarga sendiri!?”

“Iya begitu!!” jerit Kenan lebih keras. Ia lantas lari tanpa arah yang jelas di lantai rumah sakit hanya untuk meninggalkan Ryan seorang diri.

 

 

“Keadaannya sangat parah, Pak. Pasien ini jantung dan sarafnya melemah akibat komplikasi. Kalau saja dia lebih cepat diperiksakan mungkin hasilnya lain tapi sayangnya penyakit ini tidak dapat kami tangani,” terang dokter spesialis penyakit dalam pada Ryan–meskipun dokter tidak tahu kalau di hadapannya sebenarnya anak SMA. “Di rumah sakit ini fasilitasnya sangat tidak lengkap untuk perawatan penyakit anak itu,” Ryan mengangguk mencoba paham situasinya, “tapi… mungkin ia punya harapan lebih besar untuk sembuh jika ditangani rumah sakit yang fasilitasnya sangat canggih seperti di Amerika atau Inggris.”

“Ya. Terima kasih dokter,” ucap Ryan sambil berdiri untuk meninggalkan ruangan. Setelah bersalaman, Ryan mohon undur diri dari hadapan dokter. “Kamu dengar, kan, Kenan?” tanya Ryan pada Kenan begitu keluar dari ruangan tersebut.

Kenan terpaku kaget. Rupanya sepupunya sadar kalau dari awal ia terus menguping pembicaraan. Namun, ia hanya bisa diam sambil menahan tangisnya.

Ryan yang iba membantunya berdiri dan membopongnya ke kursi terdekat sambil menenangkannya. “Sudahlah,” hibur Ryan sembari menepuk pundaknya.

“Le, Lena. I, ini salahku. I, ini salahku,” cercah Kenan terus menyalahkan dan mengutuki dirinya sendiri tanpa henti.

“Dengar, kau sudah tahu apa yang bisa kau lakukan. Kau tahu sendiri aku cuma anak SMA, sebanyak apapun uang di rekeningku. Lebih baik kita langsung diskusi dengan papaku. Hanya itu… yang bisa kukatakan saat ini, Kenan.”

Suasana menjadi hening akibat perkataan Ryan yang blak-blakan. Apalagi mengingat kalau Ryan hampir tidak pernah bicara serius seumur hidupnya.

Air mata Kenan batal keluar dari tempatnya lagi karena rasanya sudah kering semuanya. Dengan diam ia bisa berpikir dan terus berpikir. Mereka berdua pun menjadi bisu seribu bahasa.

Kenan sudah membulatkan keputusan setelah berpikir beberapa menit. Ya,  itu keputusan berat.

Apa yang kupikirkan daritadi? Apa yang kupikirkan dari dulu?? Aku belum penah melakukan apa-apa untuk menolong dirimu. Sekarang pikiran ‘aku tidak pantas di hadapan mereka’ tidak bisa membuatmu tetap hidup.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
DELUSION
6226      1826     0     
Fan Fiction
Tarian jari begitu merdu terdengar ketika suara ketikan menghatarkan sebuah mimpi dan hayalan menjadi satu. Garis mimpi dan kehidupan terhubung dengan baik sehingga seulas senyum terbit di pahatan indah tersebut. Mata yang terpejam kini terbuka dan melihat kearah jendela yang menggambarkan kota yang indah. Badan di tegakannya dan tersenyum pada pramugari yang menyapanya dan menga...
The Yesterday You
376      267     1     
Romance
Hidup ini, lucunya, merupakan rangkaian kisah dan jalinan sebab-akibat. Namun, apalah daya manusia, jika segala skenario kehidupan ada di tangan-Nya. Tak ada seorang pun yang pernah mengira, bahkan Via sang protagonis pun, bahwa keputusannya untuk meminjam barang pada sebuah nama akan mengantarnya pada perjalanan panjang yang melibatkan hati. Tak ada yang perlu pun ingin Via sesali. Hanya saja, j...
Memoar Damar
6165      2818     64     
Romance
Ini adalah memoar tiga babak yang mempesona karena bercerita pada kurun waktu 10 sampai 20 tahun yang lalu. Menggambarkan perjalanan hidup Damar dari masa SMA hingga bekerja. Menjadi istimewa karena banyak pertaruhan terjadi. Antara cinta dan cita. Antara persahabatan atau persaudaraan. Antara kenangan dan juga harapan. Happy Reading :-)
Klise
3114      1176     1     
Fantasy
Saat kejutan dari Tuhan datang,kita hanya bisa menerima dan menjalani. Karena Tuhan tidak akan salah. Tuhan sayang sama kita.
Drama untuk Skenario Kehidupan
10589      2140     4     
Romance
Kehidupan kuliah Michelle benar-benar menjadi masa hidup terburuknya setelah keluar dari klub film fakultas. Demi melupakan kenangan-kenangan terburuknya, dia ingin fokus mengerjakan skripsi dan lulus secepatnya pada tahun terakhir kuliah. Namun, Ivan, ketua klub film fakultas baru, ingin Michelle menjadi aktris utama dalam sebuah proyek film pendek. Bayu, salah satu anggota klub film, rela menga...
Love Warning
1496      687     1     
Romance
Dinda adalah remaja perempuan yang duduk di kelas 3 SMA dengan sifat yang pendiam. Ada remaja pria bernama Rico di satu kelasnya yang sudah mencintai dia sejak kelas 1 SMA. Namun pria tersebut begitu lama untuk mengungkapkan cinta kepada Dinda. Hingga akhirnya Dinda bertemu seorang pria bernama Joshua yang tidak lain adalah tetangganya sendiri dan dia sudah terlanjur suka. Namun ada satu rintanga...
Premium
Sepasang Mata di Balik Sakura (Complete)
14928      2055     0     
Romance
Dosakah Aku... Jika aku menyukai seorang lelaki yang tak seiman denganku? Dosakah Aku... Jika aku mencintai seorang lelaki yang bahkan tak pernah mengenal-Mu? Jika benar ini dosa... Mengapa? Engkau izinkan mata ini bertemu dengannya Mengapa? Engkau izinkan jantung ini menderu dengan kerasnya Mengapa? Engkau izinkan darah ini mengalir dengan kencangnya Mengapa? Kau biarkan cinta ini da...
Dunia Tiga Musim
3472      1352     1     
Inspirational
Sebuah acara talkshow mempertemukan tiga manusia yang dulunya pernah bertetangga dan menjalin pertemanan tanpa rencana. Nda, seorang perempun seabstrak namanya, gadis ambivert yang berusaha mencari arti pencapaian hidup setelah mimpinya menjadi diplomat kandas. Bram, lelaki ekstrovert yang bersikeras bahwa pencapaian hidup bisa ia dapatkan dengan cara-cara mainstream: mengejar titel dan pre...
Once Upon A Time: Peach
1127      660     0     
Romance
Deskripsi tidak memiliki hubungan apapun dengan isi cerita. Bila penasaran langsung saja cek ke bagian abstraksi dan prologue... :)) ------------ Seorang pembaca sedang berjalan di sepanjang trotoar yang dipenuhi dengan banyak toko buku di samping kanannya yang memasang cerita-cerita mereka di rak depan dengan rapi. Seorang pembaca itu tertarik untuk memasuki sebuah toko buku yang menarik p...
Alicia
1395      672     1     
Romance
Alicia Fernita, gadis yang memiliki tiga kakak laki-laki yang sangat protektif terhadapnya. Gadis yang selalu menjadi pusat perhatian sekolahnya karena memiliki banyak kelebihan. Tanpa mereka semua ketahui, gadis itu sedang mencoba mengubur luka pada masa lalunya sedalam mungkin. Gadis itu masih hidup terbayang-bayang dengan masa lalunya. Luka yang berhasil dia kubur kini terbuka sempurna beg...