Loading...
Logo TinLit
Read Story - Black Lady the Violinist
MENU
About Us  

Hari itu finalnya, hari pengunguman kelulusan SD!! Semua hari menyenangkan dan banyak yang menyakitkan di masa SD terlalui. Kenan sudah cukup tenang untuk menilai semuanya biasa tapi tidak bagi Lena. Ketika harapan bahwa semua mata pelajaran bisa berubah jadi pelajaran olah raga musnah, sekolah selalu ‘menyenangkan’ baginya. Lalu, seharian itu ialah hari pengambilan rapor yang ditunggu-tunggu bersama tante Merry. Rapor mereka yang terakhir di SD.

“Nah, sekarang mau rapor siapa dulu?” tanya tante Merry pada Lena dengan tatapan maut membuat Lena bergidik.

Kenan tersenyum jahil. “Rapor Lena dulu, Tan.” Kenan puas dalam hati sementara tante Merry menoleh ke Lena. Lena berusaha melarikan diri. Sayangnya dia terlambat karena lengannya sudah Kenan tarik terlebih dahulu.

“Nah Ibu, rapor mana dulu yang mau diambil?” tawar wali kelas mereka.

 “Tentu saja Lena dulu, Ibu,” jawab tante Merry dengan muka ramah.

Bu guru menyodorkan rapor Lena. “Ada kemajuan pesat, Ibu. Dia peringkat 10 untuk UN sekolah ini. Lena peringkat 7 untuk kelas. Nilai UN-nya 35.75 dan 81.53 rata-ratanya untuk kelas, Ibu.”

“Wah. Ada nilai yang di bawah 70, Bu?” tanya tante Merry tidak percaya.

Bu guru tersenyum. “Di atas angka 75 semua. Lena sudah berusaha keras.”

Tante Merry menoleh ke Lena. Beliau tersenyum. “Makasih, Ibu.” Bu guru ikut tersenyum ke Lena meskipun tidak tahu apa tujuan tante Merry senyum.

“Selamat, Ibu untuk Lena,” dukung ibu Sri.

Seandainya mereka tahu kalau aku yang mengajarinya sampai nungging, batin Kenan. Mengajari Lena seperti mengajari anak orang utan untuk menari.

“Saya minta rapornya Kenan juga yah, Bu,” pinta tante Merry yang untungnya masih ingat kalau Kenan masih ada di sana.

Bu guru menyerahkan rapor Kenan. “Oh iya, Ibu. Ini. Nilainya seperti biasa; bagus dan stabil. Kenan peringkat pertama UN sekolah ini. Nilainya 39.45. Nilai rata-rata kelasnya 89.57.” Beliau melirik ke arah Kenan. “Selamat, Kenan. Selamat juga, Lena sudah lulus. Kalian sudah berjuang sebaik mungkin. Bersyukur pada Tuhan selalu karena kepintaran kalian semuanya dari-Nya. Ah,  besok kalian sudah tak pakai seragam putih merah lagi ya.” Bu Sri tertawa. Kenan pun tersenyum kecil. Lena ikut-ikutan nyengir meski tadi merinding ketakutan.

“Iya, makasih, Bu. Kami pamit,” salam terakhir tante Merry pada bu Sri.

Setelah dari sekolah, mereka pergi menjelajahi pasar. Salah satu tempat kesukaan Kenan. Selama liburan, Kenan dan Lena habis-habisan bantu tante Merry untuk gunakan uangnya saat pesta jajan kelulusan. Itu sudah cukup.

 

Pesta liburan akhir selesai dalam sehari. Tak terasa hari sudah sore. Mereka menikmati hari itu, dimana mereka sudah siap pakai emblem SMP sampai lupa waktu. Sekolah baru datang menanti dengan tantangan-tantangan baru.

Mereka jalan kaki sampai menemukan angkutan umum. Perjalanan pulang cukup jauh sehingga membuat tante Merry dan anaknya tertidur lelap bersama-sama. Sayangnya Kenan tetap terjaga karena ada yang menggangunya.

 

Kenan membangunakan tante Merry beserta Lena karena sudah dekat gang dekat rumah. Akan tetapi, ada sesuatu yang dilihat Kenan. Mobil mewah kah? Kenan berpikir kalau sepertinya ia pernah lihat mobil itu. Mobil sedan mewah warna silver, pelat belakangnya CO.

“Mobil siapa itu, Mah? Mama menang undian?” tanya Lena polosnya.

Kenan melihat lebih fokus. “Bukan. Mobil pamanku.”

“Eh eh. Kenapa? Ada apa? Mau ngambil kamu yah? Yaaaahhh, jangan dong. Siapa lagi guru les gratisku dong?”

Mrs. Rose. Sukur.”

Lena menggertakan gigi, jadi melek sepenuhnya. “Ogah!!”

Sementara mereka berdebat, mobil itu tiba-tiba sudah tiada. Sayang sekali tidak berpapasan. Mrs. Rose lalu menghampiri mereka bertiga dari dalam rumah.

Mr. Anderson came, mencari you, Ms. Ken.” Benar dugaan Kenan. “Jam 3.45 PM. He came with Mr. Ryan dan gave a message for you, Miss. Then they went home in hurry.Pesan?Wait a minute, Miss.” Rose masuk ke rumah.

“Apa katanya Ken?” sela Lena tiba-tiba sambil mendahului Kenan masuk.

“Paman sama Ryan tadi datang. Ia titip pesan sama Rose lalu langsung balik,” jawab Kenan sambil mengikuti Lena, “masa kamu gak paham sedikit pun?” Mata Lena menatap lurus sambil menjawab ‘enggak’. “Ih.”

Di dalam rumah Rose memberikan selembar kartu pada Kenan. Ia menerimanya, selembar kartu karton yang rapi tulisannya dan lalu langsung membukanya. Kenan mulai membacanya.

Dear Kenan. Datang ya ke rumah sama tante dan sahabatmu. Kita makan malam untuk merayakan lulusnya kamu hari ini, sekalian ada hal penting yang harus dibicarakan. Pakai baju yang sudah disiapkan bibimu untuk kalian ya. Sopir akan menjemput kalian pukul 7 nanti. Siap-siap langsung berangkat begitu nanti ia datang. From: pamanmu, bibi Vani, dan Ryan.

“Ha? Aneh. Tahu darimana ya mereka?” gumam Kenan.

Ternyata Lena mendengarnya. “Apa? Tahu apa?”

“Kalau hari ini kita terima rapor kelulusan. Hmm, mungkin lebih baik kamu baca saja sendiri ya,” jelas Kenan ragu-ragu.

“Tapi… gak pake bahasa Inggris kan?”

“Ya kali pakai bahasa Inggris! Traumanya itu sama bahasa Inggris! English-fobia!”

“Kan gara-gara kamu yang bawa-bawa makhluk itu kesini,” tuduh Lena pada Kenan sambil menunjuk-nunjuk Rose terang-terangan.

Lena lalu membaca dan ternganga melihatnya. Dia pun mengoper kartu itu ke mamanya. Entah kenapa tapi Kenan merasa ia tahu apa reaksi bocah itu.

“Wah! Masa nih? Keren!! Berarti makanan high class dong!! Bajunya juga mewah! Beruntung ya temenan sama kamu, Ken! Banyak bawa untung!” teriak Lena kegirangan. Tepat sekali dugaan Kenan. Norak.

 

Saat itu jam setengah tujuh, deadline-nya setengah jam lagi. Kenan masih ragu untuk memakai itu, gaun yang disiapkan bibinya–antara malas dan risih. Apalagi sepatu hak tinggi. Rasanya bikin Kenan mau nangis. Pulang nanti kakinya pasti lecet-lecet. Meski bukan tomboy, ia juga bukan feminine.

 “Wah, keren! Gaun orang kaya!!” seru Lena berputar-putar kegirangan dari kamar mandi. Meskipun Lena pecicilan tapi faktanya Lena lebih feminin dari Kenan. Do not judge people by the cover. Jadi, ini maksudnya.

 

Setelah sepuluh menit, selesailah si Lena pakai gaunnya itu. Dia diberi gaun warna merah muda. Kalau Kenan disuruh pakai yang seperti itu juga, ia pasti ke sana pakai baju kodok doraemonnya.

“Ya ampun kok belum dipakai gaunnya? Ayo! Tinggal 15 menit lagi!!”

Kenan mendengus kesal. “Bawel. Memangnya harus ya?”

Excuse me, Miss. Mr. Anderson said, I must help you for having make up and wearing the dress. Could I?” tanya Rose menawarkan bantuan, yang tiba-tiba dari mana dia muncul pun masih Kenan pertanyakan.

Ia ingin sekali melawan. “Please help her!” pinta Lena duluan pada Rose.

Hmm… saat begini baru lancar bahasa Inggrisnya. Amit-amit.

Sigap Rose langsung mendorong Kenan masuk kamar sementara tante Merry sudah selesai dengan dandanannya. Tinggal Ken seorang yang ketinggalan.

Kenan tak tahu wajahnya seperti apa karena daritadi ia malas buka mata. Sebelumnya ia belum pernah pakai make-up. Jadi, selama didandani, untuk menghilangkan asumsi, Kenan terus berpikir; syukur warna gaunnya biru.

Brak brak brak. Suara pintu ditendang-tendang dari luar. Bocah sakit.

Tin tin. Saat itu bunyi klakson mobil dari luar rumah.

Kenan mengerang karena tambah kesal. “Rose –“

Well done! Please open your eyes, Miss.

Brak. Kenan membuka pintu yang terus dikunci dari dalam oleh Rose. Begitu keluar, Lena tercenggang melihatnya. “Ho… Ken, ini kamu?”

“Bukan. Saya Ryani Ferliazi.”

“Mama!!! Ms. Rose ngebuang Kenan yang asli ke empang!!!” jerit Lena.

“Kenapa, kenapa, Lena?” jawab tante kebingungan dengan jeritan putrinya yang kaya mau diculik orang–ada yang sudi ya?

“Itu, Mah, itu Mah! Ada –“

Kata-kata Lena terputus karena ia bingung memilih kata dan membuat mamanya tambah bingung ditambah menunjuk-nunjuk Kenan.

“Kenapa?” Tante meliri Kenan. “Ini Ken?! Kamu cantik sekali, sayang!”

“Masa?” jawab Kenan curiga. “Rose! Give me your mirror, please!” Rose menyanggupi permintaan Kenan yang entah datang dari mana cermin tersebut.

Lena mencuri bergitu saja kaca dari tangan Rose. “Nih nih! Kaca! Kaca!” sergah Lena tak sabar menyodorkan cermin itu ke hidungnya. Daripada hidungnya terlanjur bonyok, segera Kenan rebut kacanya dan melihat dirinya sendiri… sangat aneh! Dandannya mengerikan tapi mereka bilang itu cantik!

Begini ya jadi perempuan? Hebat ya wanita bangsawan Eropa zaman dulu bisa berhari-hari di pesta sambil cekikikan minum teh pakai… INI. INI…

 

 

Kluntang kluntang. Bunyi adu jotos garpu dan pisau di piring Lena membuat semua yang ada di ruangan itu jadi tak enak hati untuk makan.

Berisik Len!! Kucakar juga kau!! Gara-gara kau, semua tak mau makan!!

 Kenan sebenarnya ingin melempar Lena dengan pisau di tangannya. Sayangnya karena mejanya terlalu panjanggg, Kenan pun mengurungkan niatnya. Ryan yang melihatnya terus menahan tawa saja–demi etiket semua orang.

“Ehem,” paman berdeham kecang untuk memulai perbincangan. “Ken.”

Kenan menoleh. “Ya, Paman?”

Bibi Vani menyela, “Ken, sayang,” katanya memulai pembicaraanya.

“Ya, bibi Vani?” Kenan menyahut dengan tenang.

“Kita santai saja ya. Bibi mau bahas soal sekolahmu.”

 “Kenapa dengan sekolahku, Bi?”

“Ada sekolah bagus di Inggris. Teman kamu ikut saja. Kami tidak memaksa tapi kami hanya ingin kamu bisa sekolah di tempat yang terbaik seperti Ryan juga bisa.” Bibi Vani melengkan kepalanya. “Bibi menyesal tidak lebih cepat mencarimu, Kenan. Kamu sendirian melalui semua hal berat itu. Mungkin hanya ini yang bisa kami lakukan karena Kenan juga putri kami,” ujar bibi Vani halus. Kenan terpukau karena tak menyangka beliau langsung bicara to the point.

Kenan tak tega menolak niatan baik mereka tapi di sisi lain ia juga tak ingin tinggal di ‘istana’ itu. “Hmm, Bibi? Memangnya sekolah yang seperti –“

Bibi Vani tersenyum lembut. “Bibi dengar dari Ryan, kamu pengen ke luar negeri, bukan?” Kenan terkejut. “Jadi, bukannya kalau ada kesempatan sekolah di Inggris sekarang cocok sama keinginanmu?”

Hening sesaat. Bibi Vani membiarkan Kenan memutuskan. Sepertinya mereka tahu pasti kalau Kenan adalah orang yang penuh pertimbangan–diterka dari sifat asli Ritsena. Sejujurnya, Kenan sendiri juga sulit memilih. Dibilang kebetulan ya bukan! Karena jelas itu faktor kesengajaan–ulah ayahnya, mungkin ibu kandungnya, Ryan, dsb.

 

Makan malam berlangsung cukup tenang di meja tersebut. Black list Lena karena tak pernah ada ketenangan dalam kamus makannya. Keluarga Challysto kecil itu kerap menunggu jawaban Kenan sampai makan malam usai.

“Terima kasih jamuan makan malamnya, Tuan, Nyonya,” ucap tante Merry sungkan. Tak berapa lama kemudian Lena mengulang hal yang sama.

“Sama-sama Ma’am, dan Lena,” jawab bibi Vani riang. “Lalu, menurut Kenan?” sambungnya setelah bersalaman dengan tante Merry dan Lena.

“Tentu saja, tidak, Bibi,” jawab Kenan mantap sambil tersenyum.

“Dasar anak ini.” Bibi Vani menyerah sambil membalas senyum Kenan. “Anderson, Ryan, kapan-kapan kita ke rumah mereka juga ya,” tawar bibi Vani.

“Jadi mama nyerah sama Kenan?” Wajah Ryan mirip anak balita sedang ngambek. “Yah, sayang kan anak yang jarang ada kaya dia gitu disia-siain begitu saja,” cercah Ryan yang menganggap Kenan bagaikan burung cendrawasih.

“Bukannya dulu ibunya juga mirip-mirip?” tawa bibi Vani pelan.

“Padahal enak kan kalo aku punya adek, Mah. Bisa dimanfaatin apa saja.”

Bibi Vani tertawa. “Ryan, Ryan.”

Mau Lena, mau Ryan. Keduanya sepakat minta dipukul ya, batin Kenan.

 

Tiga orang penghuni rumah Maganda diantarkan oleh mobil kesekian keluarga Challysto. Paman Ryan, juga tante Vani turut mengantar.

“Nah, kalau mau main ke rumah, datang kapan saja ya, Ken sayang. Biar bibi ada teman ngobrol,” ajak bibi Vani ramah. “Anak bibi yang cakep ini gak bisa diajak ngobrol sih.”

Kenan menggigit bibir menahan tawa. Ryan malah cengengesan. “Bi, lain kali Ryan pakai karung beras atau daun pisang saja. Bajunya ‘bagus’ sekali,” ujar Kenan memberi kritik dan saran dengan maksud balas dendam.

 “Jangan-jangan baju yang sudah mama buang itu, Ryan?” tanya bibi Vani tajam. Ryan melirik Kenan keki. Dalam hati Kenan melonjak kegirangan. “Oke, sampai jumpa sayang,” ucap perpisahan bibi Vani sambil melambaikan tangan.

Sepertinya asyik juga tinggal sama bibi. Ah! Bicara apa aku ini, renung Kenan merasa hatinya mulai berkhianat.

Lena berjalan mendahului. “Nah, ayo masuk! Senang kan hari ini!?” tanya Lena kegirangan.

“Senang apanya. Yang senang kan cuma kamu!” gumam Kenan.

“Hmm, kalo kira-kira kamu akhirnya terpaksa tinggal sama mereka gimana, Ken?” tanya Lena tiba-tiba sambil menerawang.

“Memangnya kalian mau kemana?? Kau lagi ngantuk ya karena kebanyakan makan?”

“Gimana pun juga mereka keluargamu yang asli, ‘kan. Bukan kami.” Bahu Lena terangkat. Ya sudahlah. Aku memang ngantuk.”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
PETI PUSAKA
545      371     4     
Short Story
Impian bisa saja terpendam di relung seseorang. tapi tidak ada yang tahu jika sebuah keyakinan bisa mengangkat kembali impian itu, walaupun orang lain yang mewujudkannya.
Pensil Kayu
392      263     1     
Romance
Kata orang cinta adalah perjuangan, sama seperti Fito yang diharuskan untuk menjadi penulis buku best seller. Fito tidak memiliki bakat atau pun kemampuan dalam menulis cerita, ia harus berhadapan dengan rival rivalnya yang telah mempublikasikan puluhan buku best seller mereka, belum lagi dengan editornya. Ia hanya bisa berpegang teguh dengan teori pensil kayu nya, terkadang Fito harus me...
Ellipsis
2326      977     4     
Romance
Katanya masa-masa indah sekolah ada ketika kita SMA. Tidak berlaku bagi Ara, gadis itu hanya ingin menjalani kehidupan SMAnya dengan biasa-biasa saja. Belajar hingga masuk PTN. Tetapi kemudian dia mulai terusik dengan perlakuan ketus yang terkesan jahat dari Daniel teman satu kelasnya. Mereka tidak pernah terlibat dalam satu masalah, namun pria itu seolah-olah ingin melenyapkan Ara dari pandangan...
Help Me to Run Away
2637      1182     12     
Romance
Tisya lelah dengan kehidupan ini. Dia merasa sangat tertekan. Usianya masih muda, tapi dia sudah dihadapi dengan caci maki yang menggelitik psikologisnya. Bila saat ini ditanya, siapakah orang yang sangat dibencinya? Tisya pasti akan menjawab dengan lantang, Mama. Kalau ditanya lagi, profesi apa yang paling tidak ingin dilakukannya? Tisya akan berteriak dengan keras, Jadi artis. Dan bila diberi k...
Tuhan, Inikah Cita-Citaku ?
4191      1726     9     
Inspirational
Kadang kita bingung menghadapi hidup ini, bukan karena banyak masalah saja, namun lebih dari itu sebenarnya apa tujuan Tuhan membuat semua ini ?
BIYA
3288      1146     3     
Romance
Gian adalah anak pindahan dari kota. Sesungguhnya ia tak siap meninggalkan kehidupan perkotaannya. Ia tak siap menetap di desa dan menjadi cowok desa. Ia juga tak siap bertemu bidadari yang mampu membuatnya tergagap kehilangan kata, yang tak pernah ia sangka sebelumnya. Namun kalimat tak ada manusia yang sempurna adalah benar adanya. Bidadari Gian ternyata begitu dingin dan tertutup. Tak mengij...
Love Rain
20757      2782     4     
Romance
Selama menjadi karyawati di toko CD sekitar Myeong-dong, hanya ada satu hal yang tak Han Yuna suka: bila sedang hujan. Berkat hujan, pekerjaannya yang bisa dilakukan hanya sekejap saja, dapat menjadi berkali-kali lipat. Seperti menyusun kembali CD yang telah diletak ke sembarang tempat oleh para pengunjung dadakan, atau mengepel lantai setiap kali jejak basah itu muncul dalam waktu berdekatan. ...
In your eyes
8612      2006     4     
Inspirational
Akan selalu ada hal yang membuatmu bahagia
Mamihlapinatapai
6263      1707     6     
Romance
Aku sudah pernah patah karna tulus mencintai, aku pernah hancur karna jujur tentang perasaanku sendiri. Jadi kali ini biarkan lah aku tetap memendam perasaan ini, walaupun ku tahu nantinya aku akan tersakiti, tapi setidaknya aku merasakan setitik kebahagian bersama mu walau hanya menjabat sebagai 'teman'.
Ketos in Love
1120      642     0     
Romance
Mila tidak pernah menyangka jika kisah cintanya akan serumit ini. Ia terjebak dalam cinta segitiga dengan 2 Ketua OSIS super keren yang menjadi idola setiap cewek di sekolah. Semua berawal saat Mila dan 39 pengurus OSIS sekolahnya menghadiri acara seminar di sebuah universitas. Mila bertemu Alfa yang menyelamatkan dirinya dari keterlambatan. Dan karena Alfa pula, untuk pertama kalinya ia berani m...