Loading...
Logo TinLit
Read Story - Black Lady the Violinist
MENU
About Us  

15 menit sebelum guru merebut paksa semua kertas ujian, Kenan sudah meletakkan pensilnya. Sisa waktu mengerjakan ulangan Kenan gunakan untuk menonton drama UAS kelas 4-1. Di ujung kelas, ada bocah sok innocent. Bodohnya kelihatan banget waktu di pahanya menyembul buku tulis hasil tulisan tangan ibunya. Melihat yang satu itu saja, selera Kenan untuk mencari siswa yang lain lenyap.

Nanti kalau ketahuan guru, paling alasannya lelah habis membantu orang tuanya bersih-bersih rumah. Padahal aslinya ia main sampai kemalaman lalu ketiduran. Coba kalau aku bisa cari-cari alasan seperti itu ya...

Kenan mengusap-usap matanya. 10 menit terakhir terasa berat bagi Kenan untuk menahan kantuk. Ia mencoba terus mengingat masalah ayahnya agar tetap terjaga. Ya, masalah dimana Kenan sekarang bisa menjadi lebih dewasa dibandingkan anak-anak sepantarannya.

Jam pulang sekolah datang seperti biasanya tapi Kenan malah kepikiran soal ayahnya dan jadi tak ingin pulang. Ia berniat belok ke rumah Lena–bagai rumah keduanya Kenan. Kenan memang tidak innocent tapi yang namanya kepekaan seorang anak-anak pasti ada. Begitu hal buruk mau terjadi di rumahnya, beberapa kali Kenan terselamatkan dengan lari ke rumah Lena saat pulang sekolah.

 

“Wah, siapa yang datang lagi ini?” sambut suara lembut dari dalam rumah.

“Ehm, Tante, kita ini mau belajar bareng,” jawab Kenan sambil terkekeh.

“Bohong banget,” sela Lena sambil bibirnya monyong-monyong.

Akhirnya kebohongan itu jadi kenyataan dan mereka malah belajar beneran. Berkali-kali Kenan menggurutu Kenan tapi Lena pura-pura cuek.

Lalu seusai belajar Kenan menatap ke luar jendela. Matahari cerah itu merayap hilang semakin tak tersenyum lagi padanya. Saat itu sudah senja yang artinya harus pulang bagi Kenan. Takut. Ya, takut adalah sikap antisipasi.

Bagi Kenan nama rumah hanya pajangan semata. Dulu tempat itu memang menyenangkan tetapi yang namanya dulu tetap dulu. Tempat itu hanya menjadi neraka bagi Kenan yang malang saat sekarang. Ibunya telah bertranformasi jadi majikan beringas. Kenan selalu frustasi tiap kali mengingatnya.

 

Secepat kilat sampai depan rumah, muka Kenan langsung pucat. (Perhatian: rumah Kenan hanya beda gang dari rumah Len).

“Dari mana saja kamu!?” teriak ibu Kenan. Ia marah-marah lagi.

“Dari rumah Lebena, Bu.”

“Lebena! Lebena! Kenapa kamu gak pindah aja sekalian ke rumah dia!”

“Permisi. Ken mau ke kamar.”

“Hee... dimarahin lagi ya?” ejek adik Kenan, Tyas.

Kalau beliau sudah mulai mencacimaki, biasanya Kenan melarikan dan menyembunyikan diri ke kamar. Satu-satunya antisipasi dari pukulan.

Hal meresahkan itu bermula ketika ayah Kenan jadi sakit-sakitan semenjak 2 tahun lalu setelah masa PHK itu. Ibunya jadi sering marah-marah dan kurang ajarnya, Tyas malah ikut-ikutan. Kenan tak pernah mengerti mengapa hanya ia yang dijadikan sasaran dan kenapa ibu hanya sayang pada Tyas. Sekarang kebiasaan barunya meningkat ketika ayah mereka harus dibawa ke rumah sakit. Ia selalu marah dan itulah hobi barunya.

Kenan selalu letih mendengar teriakannya tapi ia pun tetap mencoba menutup matanya ketika malam sudah datang dan berharap mimpi buruk akan datang. Setelah ditunggu, tahu-tahunya sudah pagi.

 

Berikut pekerjaan Kenan sebelum ke sekolah; bangun jam 4 pagi, menyapu, mengepel, mengelap kaca jendela, cuci setrika baju sekolah sendiri.

“Keeeennnnnaaaannnnn!!” seru Lena tiba-tiba. “Seeeekkkoolllaaahhh!!”

 “Ken! Jangan berisik kenapa sih!? Senang ya kalau ibu marah!?” teriak ibu Kenan dari kamar. Cepat-cepat Kenan selesaikan tugasnya dan berangkat.

Di sekolah pun jadi hari menyenangkan bagi Kenan. Entah sebagai bentuk pelarian atau memang karena ia suka belajar. Meski ia punya banyak alasan untuk bisa senang sekolah, sayangnya temannya yang satu itu mengenaskan. Jelas sekali dia benci hafalan dan hitungan. Ya, memang anak yang satu itu hanya suka olah raga. Satu poin lagi kekocakan Lena ketika sedang berhadapan dengan pelajaran.

“Ulangan melulu!!!” seru Putri, teman sekelas yang duduk tak jauh dari Kenan mulai memaki-maki. Begitu juga yang lainnya. “Mending gampang!!”

“Ulangannya tadi?” tanya Kenan pada Lena dengan lembut.

Lena dengan tampang stres membalikkan badannya. “Tau ah. Pasrah. Kalau kamu? Ah ya, ngapain ditanya,” lanjut Lena tanpa ada helaan nafas. “Aku lelah dengan hidup ini.”

Makin sakit ya dia karena ulangan? Kocak amat. Dengan tampang malas Kenan menjawab. “Haaahhh. Aku kan belajar tadi malam. Makanya belajar.”

 “He? Aku bantu mamaku tahu!” Lena pamer.

“Tidak bisa bagi waktu? Ah, payah.”

“Kamu juga gak perlu belajar, orang IQmu 165. Ngomong mah enak.”

Kenan mendecak. “Tak ada pengaruh IQ sama nilai.” Lena cemberut.

Kenyataannya, IQ seorang Kenan meningkat tajam sampai bisa potong bawang! Lebay. Ya Kenan bersyukur pada Tuhan karena Anugerah IQ itu. Mirisnya meskipun bayarannya keadaan hidupnya.

“Ayo nyebrang jalan, anak jenius.”

Kenan mendecak lagi berusaha tidak memukul kepala Lena. “Apa sih?”

“Apa kek. Eh, sebenarnya kau itu makan apa sih? Buku?”

“Nasi, sama ikan, sama tempe, tahu, terus, terus –“

Lena menjawab dengan menunjukkan muka terjeleknya.

“Apa lagi?” tanya Kenan enggan.

“Sama makan kue emakku! Berterimakasihlah kamu sama aku.”

“Perasaan yang buat kue itu ibumu, kenapa harus terima kasih sama kamu?”

“Karena aku anaknya! Wahahahahahha!” Tawa Lena meledak. Dahi Kenan berkerut pada lelucon garing itu. “Hahahha. Terserah deh. Aku pulang yah!” ucap Lena riang. Tangannya melambai-lambai sambil bersiap masuk gang.

“Okelah, Le –“

Nafas Kenan hampir putus. Perasaan buruk yang sama mirip waktu ayahnya ambruk lalu dibawa ke rumah sakit simpang siur di dadanya. Untuk berdetak saja jantungnya sulit. Deru adrenalin membuat Kenan ketakutan.

“Eh, kenapa?” tanya Lena heran. “ Aku pulang deh. Bye!”

Kenan melangkah dua kali dan langsung lari ke tempat Lena berdiri. Ujung jari-jarinya dingin. “Tunggu, Lebena Maganda!” jeritnya tanpa sadar. Lena tersentak. “A,a, aku takut masuk ke rumah.” Kenan gelagapan menjawab.

“Kenapa?” tanyanya cemas. Kenan terdiam dengan tangan mengepal. “Hm, mungkin aku tunggu disini aja. Kalau 10 menit lagi kamu gak keluar aku pulang, gimana?” tanya Lena.

Kenan mengangguk lemah lalu memberanikan diri masuk ke gang itu. Suasananya begitu sunyi di rumahnya. Perasaan bertanya-tanya ada apa gerangan memenuhi benaknya dan Kenan yang malang mendapati barang-barangnya berserakan di depan rumah. Ada apa? “I, I, Ibu. Ibu di rumah?” tanyanya takut.

“Ngapain kamu ke sini, hah!? Pergi sana!” teriak ibu Kenan keras-keras.

“Iya, pergi sana!!” timpal bocah kelas 3 SD yang berada di samping ibunya.

Kenan tersentak. “Apa, apa salah Saya, Bu?” tanyanya merasa bersalah.

“Oh, apa ya??” Tiba-tiba ia hendak menendang Kenan dan Kenan menghindar. “Sudahlah, aku muak melihat mukamu!!” Ia pun menarik Tyas lalu membanting keras pintu dan meninggalkan dengan sengaja sebuah kantung plastik.

 Dengan berurai air mata, Kenan mencoba menyusun segalanya. Salahku apa lagi? Kenapa hanya aku?? Sambil menenteng benda-benda, Ken keluar dari gang kecil rumahnya itu. Ia bersiap mengucapkan selamat tinggal bagi rumah mungilnya.

“Eh!? Apa ini!? Kamu kenapa, Ken!?” seru Lena yang Kenan lupakan masih ada di sana dengan oktaf ketiga. Kenan menggeleng. “Tuhanku! Kamu di usir!?” pekiknya. Lena ikutan shock.

“A,aku –“ Air mata bereneng-renang di mata layu Kenan.

“Ayo, ke rumahku saja,” ajak Lena sambil menarik siku Kenan yang masih bergetar.

 

Sampai di rumah keluarga Maganda, tante Merry bingung setengah mati melihat muka Kenan yang pucat dan depresi dengan barang-barang di tangan. Lena membawa Kenan ke kamarnya. Di sana pun Kenan menangis sepuasnya lalu tertidur karena lemas. Ia tertidur lelap sampai akhirnya terbangun dan melihat sudah jam sembilan pagi. Jam sembilan! Astaga! Memangnya aku sleeping beauty? Kalau sleeping zombie baru benar! renung Kenan panik.

“Le, Lebena.” Kenan berkata-kata sambil berusaha membuka lebar matanya yang super berat. “Astaga. Ya oloh. Aku enak-enakan tidur –“

“Santai aja, Ken. Semua juga sudah rapi. Ayo sarapan!” ajak Lena ceria.

“Ma, makasih, Len,” jawab Kenan tak enak hati.

“Formal amat.” Lena menjetikkan jari dengan senang. Kemudian tatapannya berubah serius, “tapi ya aku penasaran kenapa ibumu itu ngusir.” Lena seperti bisa membaca isi hati Kenan. “Kalau marah-marah sih biasa ya kayaknya,” ujar Lena sambil menyodorkan sepiring nasi, “lalu ini… Hmmm enak.”

Kenan meraih piring itu dan menyantapnya. Lantas segera ia berjalan ke tempat cucian piring setelah perutnya kenyang dan mengambil spons cuci piring.

“Gak usah. Nanti mamaku bikin kue, percuma ntar banyak lagi cuciannya. “Ayo cepatlah!!” Lena menarik Kenan lagi.

“Ke, ke, kemana??” tanya Kenan tambah bingung.

“Yah ke rumahmu lah! Liat ada apa sama emak killer-mu itu!” Kenan melongo. “Keenakan nih ye,” goda lena.

“Enak aja! Aku masih tau diri tahu!” seru Kenan merasa malu.

 

Mereka mengendap-endap pergi mendatangi rumah Kenan, kembali ke kandang setan. Kenan sebenarnya takut tapi ia berusaha memberanikan dirinya untuk mencari tahu kebenaran yang disembunyikan ibunya.

“Woi! Jangan bengong mulu! Lihat itu!” seru Lena sambil memukul Ken.

“Ee, ee. Apa ini? Kok warna hitam semua?” tanya Ken gelagapan.

“Nah, kan. Efek teori Darwin buat anak jenius jadi bego. Ini ada pemakaman, kan! Eh. Di depan rumahmu itu ada tendanya sama bendera kuning. Memangnya tentanggamu ada yang sakit parah atau kecelakaan gitu?”

“Bukan.” Ken mulai histeris. “Ini. Ayahku pasti –“

Lena tersentak. “Oh! Oh, maaf Ken! Aku gak tahu! Maaf! Maaf!” Ken menenangkan perasaannya lalu menarik tangan Lena. “Kamu gak takut? Ibumu –“

“Ok!” Ken pura-pura semangat supaya Lena gak tahu kalau ia juga takut.

“Ke sini lagi!? Hobi dipukul ya!?”seru seseorang yang sambil berjalan mendekati mereka berdua. “Dablek ya. Sudah diusir datang lagi kaya tikus!”

“Kabur Ken!!” Lena menarik lengan Ken sekuat tenaga.

“Tapi ini pemakaman ayahku!!” Ken berusaha menepis tangan Lena.

“Entar ajalah!” Lena melirik seseorang yang mulai mendekati mereka membawa hawa-hawa musibah. “Eh, gila emakmu bawa pisau!!” seru Lena.

Pisau!? Apalagi salahku!? Ada apa sih ini??

Pikiran Kenan makin kacau. Lena berusaha keras menenangkan seseorang yang sedang menunduk frustasi di sebelahnya. “Ken, sudah ya. Kapan-kapan kita ke makam ayahmu. Sekarang enggak, oke? Kamu mau nyusul ayahmu, apa?”

“Kalau itu cara –“

“Jangan gila!!” jerit Lena marah membuat Kenan makin tertekan.

Aku memang sudah gila, Len!! Cuma badanku yang masih hidup dengan cara begini. Soal ayah, soal PHK, soal ibu, soal rumah, itu sudah bunuh aku pelan-pelan!! Kenapa, ayah?? Kenapa ayah pergi dariku??

 

“Mama!” teriakan Lena membangunkan Kenan.

Ehm. Aku ketiduran ya? Haha. Masa tidur sambil jalan. Mungkin aku halusinasi selevel sakau, pikir Kenan yang pikirannya lagi terbang bebas.

Kenan menyapa tante Merry tapi beliau malah kaget. “Loh? Kamu kenapa, sayang? Kok muka kamu pucat begini?” tanya tante Merry lembut.

“… tadi Ken pingsan, Mah. Tadi, kami ke rumahnya –“

Pingsan? Ia berpikir sejenak sementara Lena menceritakan semuanya pada mamanya.

“Ya ampun. Kok Ine jadi gitu ya. Padahal dulu dia gak kaya gitu,” ucap Tante. (perhatian: Ine nama ibu Kenan) “Ya sudah Ken, kamu tinggal di sini saja. Lumayan kan Lena ada teman ngobrol. Kamu bantu-bantu saja di rumah yah.”

“Ta, ta, tapi, Tan?”

“Oh. Jadi sekarang mau nih, Kenan Grace jadi seorang gembel di jalanan minta-minta buat makan, terus –“

“Iya iya. Sadis banget sih.”

Ada senyuman kecil merekah di wajah tante Merry. “Nah, sekarang kamu sama Lena bagi-bagi tugas saja yah. Sembari tante buat kue.”

“Ah, tan. Aku ini bisa bantu bikin kue tapi cuma bisa sedikit.”

Tante Merry tersenyum. “Oh ya? Kok kamu gak bilang ke Tante?”

“Waktu baca-baca aku lihat resep-resep tradisional begitu, Tan. Ada yang sudah kucoba sendiri, misalnya kue barayot, kecimpring, cake tape, dan yang paling susah kue lumpang! Pakai bahan murahan juga bisa”, jawab Ken bangga.” Si Lena cengok dan itu membuat Kenan tambah puas.

“Oh. Bagus. Kapan-kapan bikin kue bareng yah, kalau di jual kan bisa tambahan biaya kita,” ujar tante Merry sengaja membuat Kenan yang sudah dianggap bagai anak sendiri bersemangat.

“Bikin kafe saja sekalian, Tan, atau toko kue kecil-kecilan dulu saja, Tan.”

Tante Merry tertawa. “Tante punya pelanggangan tetap kok.”

“Buat tambahan saja, tan! Biar aku sama Lena yang jaga!”

“Semangat sekali.” Tante tersenyum pada Kenan. Pipi Ken merona. “Ya sudah. Kalian masuk sana. Cepat tidur. Besok sekolah, kan? Oh ya, buku pelajaran sama seragam kamu gimana?”

“Oh. Dilempar sekalian kok, Tan. Tapi buku-buku lainnya tak ikut. Buku pelajaran, seragam, cukup, Tan. Makasih ya, Tan. Tante baik sekali.”

Dahi Lena berkerut. Dilempar sekalian???

“Ah masa? Kamu juga sering di sini, kan. Jadi santai saja ya, Nak,” ujar tante Merry sambil tertawa, “kamu rapikan dulu saja barang kamu ya.”

Kenan mengangguk. Bersamaan dengan itu, Lena membantu Kenan selama sehari itu.

Dimulailah hari-hari Kenan di rumah keluarga Maganda yang beranggotakan Lena dan mamanya–lalu dia. Berapa lama ia akan di sana tetap menjadi pertanyaan. Meski demikian, Kenan tetap memikirkan rumahnya yang biasanya ia rapi dan bersihkan tiap hari. Akan tetapi, menurut Kenan lebih baik ia tetap di sana dan melakukan apapun supaya bisa berguna serta tidak memberatkan tante Merry dan sahabatnya.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
sHE's brOKen
7058      1685     2     
Romance
Pertemuan yang tak pernah disangka Tiara, dengan Randi, seorang laki-laki yang ternyata menjadi cinta pertamanya, berakhir pada satu kata yang tak pernah ingin dialaminya kembali. Sebagai perempuan yang baru pertama kali membuka hati, rasa kehilangan dan pengkhianatan yang dialami Tiara benar-benar menyesakkan dada. Bukan hanya itu, Aldi, sahabat laki-laki yang sudah menjadi saksi hidup Tiara yan...
Just a Cosmological Things
946      534     2     
Romance
Tentang mereka yang bersahabat, tentang dia yang jatuh hati pada sahabatnya sendiri, dan tentang dia yang patah hati karena sahabatnya. "Karena jatuh cinta tidak hanya butuh aku dan kamu. Semesta harus ikut mendukung"- Caramello tyra. "But, it just a cosmological things" - Reno Dhimas White.
Fusion Taste
142      129     1     
Inspirational
Serayu harus rela kehilangan ibunya pada saat ulang tahunnya yang ke lima belas. Sejak saat itu, ia mulai tinggal bersama dengan Tante Ana yang berada di Jakarta dan meninggalkan kota kelahirannya, Solo. Setelah kepindahannya, Serayu mulai ditinggalkan keberuntunganya. Dia tidak lagi menjadi juara kelas, tidak memiliki banyak teman, mengalami cinta monyet yang sedih dan gagal masuk ke kampus impi...
My sweetheart senior
17104      3177     3     
Romance
Berawal dari kata Benci. Senior? Kata itu sungguh membuat seorang gadis sangat sebal apalagi posisinya kini berada di antara senior dan junior. Gadis itu bernama Titania dia sangat membenci seniornya di tambah lagi juniornya yang tingkahnya membuat ia gereget bukan main itu selalu mendapat pembelaan dari sang senior hal itu membuat tania benci. Dan pada suatu kejadian rencana untuk me...
In your eyes
8611      2006     4     
Inspirational
Akan selalu ada hal yang membuatmu bahagia
Konstelasi
902      471     1     
Fantasy
Aku takut hanya pada dua hal. Kehidupan dan Kematian.
Sejauh Matahari
559      345     2     
Fan Fiction
Kesedihannya seperti tak pernah berujung. Setelah ayahnya meninggal dunia, teman dekatnya yang tiba-tiba menjauh, dan keinginan untuk masuk universitas impiannya tak kunjung terwujud. Akankah Rima menemukan kebahagiaannya setelah melalui proses hidup yang tak mudah ini? Happy Reading! :)
Sekotor itukah Aku
22246      3807     5     
Romance
Dia adalah Zahra Affianisha. Mereka biasa memanggilnya Zahra. Seorang gadis dengan wajah cantik dan fisik yang sempurna ini baru saja menginjakkan kakinya di dunia SMA. Dengan fisik sempurna dan terlahir dari keluarga berada tak jarang membuat orang orang disekeliling nya merasa kagum dan iri di saat yang bersamaan. Apalagi ia terlahir dalam keluarga penganut islam yang kaffah membuat orang semak...
For Cello
3085      1045     3     
Romance
Adiba jatuh cinta pada seseorang yang hanya mampu ia gapai sebatas punggungnya saja. Seseorang yang ia sanggup menikmati bayangan dan tidak pernah bisa ia miliki. Seseorang yang hadir bagai bintang jatuh, sekelebat kemudian menghilang, sebelum tangannya sanggup untuk menggapainya. "Cello, nggak usah bimbang. Cukup kamu terus bersama dia, dan biarkan aku tetap seperti ini. Di sampingmu!&qu...
Konspirasi Asa
2814      976     3     
Romance
"Ketika aku ingin mengubah dunia." Abaya Elaksi Lakhsya. Seorang gadis yang memiliki sorot mata tajam ini memiliki tujuan untuk mengubah dunia, yang diawali dengan mengubah orang terdekat. Ia selalu melakukan analisa terhadap orang-orang yang di ada sekitarnya. Mencoba untuk membuat peradaban baru dan menegakkan keadilan dengan sahabatnya, Minara Rajita. Tetapi, dalam mencapai ambisinya itu...