Kenan ingin sekali-kali lihat keadaan rumah. Ia cemas apa rumah terurus dengan baik. Yang berbenah rumah kan biasanya ia seorang. Lalu, tiap kali ia ke makam ayahnya tersayang, hanya tertinggal perasaan sedih dan rindu. Satu penyesalan sia-sia baginya untuk tidak berkunjung sebelum ayahnya tiada.
“Aku ingin masuk ke toko itu. Aku ingin pegang biolanya,” gumam Kenan.
“Ya ayo. Masa kita cuma lihat dari luar terus,” sahut Lena. Kenan mendongak, kaget waktu tahu bisikan suaranya terdengar oleh Lena.
Berikutnya Kenan malah tertunduk malu. “Ta, tapi dengar suara biolanya dari luar saja cukup kok.” Senyum kecut mereka di ujung bibir Kenan.
“Itu lagi alasannya. Menghayal ada suara biola lagi?” tanya Lena bingung.
“Itu bukan khayalan. Nada biola dan bau serbuk bow yang digesek dari toko...”
“Alasannya saja yang aneh-aneh supaya bisa lewat di depan toko ini. Terus, bow apa?? Memangnya pemain biola pakai panah buat gesek senarnya yah? Yang berdiri di depannya bisa mati dong?” (Perhatian: bow dalam bahasa Inggris = panah, sedangkan bow yang Kenan maksud adalah alat yang digunakan untuk menggesek biola dengan serat-serat halus dari rambut kuda)
“Nama alat yang buat menggesek itu bow. Ah, susah bicara sama kamu.”
Impian kecil Kenan baru kesampaian ketika suatu sore si violinist yang memainkan biola dari dalam toko musik menyerbu Kenan dan menariknya masuk. Selama setahun ia sebal melihat dua bocah perempuan itu hanya berani berisik di depan pintu setiap hari. Apalagi waktu melihat mata Kenan berbinar bagai komet setiap kali tangannya meraba-raba udara ingin menyentuh biola yang tergantung di etalase.
“Daripada loe cuma jadi maniak biola sampai mati di depan pintu, lebih baik mainin sendiri biolanya!” Dengan nada suara nyolot, laki-laki blasteran berambut cokelat berseragam putih-biru itu menyerahkan biolanya ke muka Kenan. “Gue Ryan. Loe siapa?”
Ingatan itu membekas di benak Kenan. Momen berharga dimana akhirnya Kenan bisa masuk ke dalam toko musik kesukaannya dan menyentuh biola.
Ya, dari hari itu... aku senang di sini, satu kalimat singkat yang tak dapat terkata bagi Kenan. Wangi semerbak serbuk bow dari violin yang digesek. Ngobrol sama penjaga tokonya seputar alat musik dan komposer. Semua menyenangkan bagi si maniak biola itu. Apalagi karena sahabatnya tersayang tak bisa diajak bicara mengenai musik kalau tidak mau melihatnya korslet dengan liur hendak menetes-netes.
“Oh, Ken. Lama kamu gak ke sini. Kemana saja?” sapa penjaga toko, Pak James.
Kenan menjawab pak James, si penjaga toko dengan senyuman kecil. Ia tertawa. “Ada ‘urusan’, Pak.”
“Hmm, terus ada bau serbuk bow lagi? Dan ngapain temanmu itu?” pak James melihat Lena kaya skuter di dalam toko.
Kenan terkesiap. “Memang dia tidak bisa diam, Pak.”
Merasa sedang jadi bahan pembicaraan, Lena menoleh. “Ah, itu gendangnya lucu, Pak. Yah, sekalian ngadem dekat AC gitu, Pak,” jawab Lena pecicilan.
Pak James tertawa melihat aksi konyol Lena yang dibuat-buat. “Oh ya, Ken, kalau dilihat-lihat kamu mirip kenalan Saya tapi lupa siapa namanya.”
“Ah, masa, Pak? Berarti muka saya pasaran?” tanya Ken sambil tertawa.
“Masa anak kaya kamu mukanya pasaran? Hampir kaya bule Asia gitu.”
“Bapak bercanda? Sekalipun Saya kaya bule, bukannya orang asing atau blasteran memang banyak di Yogya? Ini kan kota pariwisata. Jadi, sudah makanan sehari-hari melihat orang blasteran. Di desa sekalipun. Mungkin?” Kenan terkekeh.
Pak James ikut tertawa. “Tapi teman kamu hampir iya.”
Lena tersentak. “Ee, apa apa?” Lena yang sedang menyentuh tuts grand piano kaget sampai lompat begitu namanya disebut. Kenan tertawa terbahak-bahak.
Pak James berhenti tertawa. “Mata kamu cokelat madu. Rambut kamu juga cokelat terang. Yakin kamu Ken, gak ada keturunan bule apa gitu?”
“Bule kampung mungkin, Pak. Tak ada, Pak. Serius. Lagi pula orang yang punya iris mata warna cokelat itu paling banyak di dunia daripada yang warna hitam. Bapak mimpi nikah sama bule ya?” tanya Kenan geli, “kalau di kampung begini, orang yang rambutnya warna cokelat artinya kurang gizi. Wajar, kan.”
“Tapi nama kamu kaya bule loh. Mukamu kelihatannya juga bukan Indonesia asli.”
Ken merenung. “Sebenarnya Saya sendiri juga bingung soal itu sih, Pak.”
Pak James tertawa lagi karena Kenan bisa bertingkah konyol juga. “Kamu ini, entah kelewat cerdas atau gimana. Oh, kamu gak mau latihan violin lagi? Tuh di sana ada Ryan.” Jari telunjuk pak James menuding bagian belakang toko.
“Oh ya tapi kenapa suaranya tak ada ya?”
“Pasti ketiduran.”
Kenan mengucapkan salam lalu pergi ke belakang dan melihat Ryan tertidur lelap sambil memeluk violinnya. Sebenarnya dalam hati ia tak tega membangunkannya tapi di hatinya juga berkecamuk perasaan ingin main violin.
Michi to You All Violin Version. Kenan merenung, mengingat lagu pertama yang Ryan mainkan di hadapannya. Ketika melihat Ryan yang sedang tertidur di hadapannya, rasanya gambaran anak laki-laki yang dulu begitu keren saat memainkan biola itu hanya hayalannya saja di siang bolong.
“Ehmm. Ehmm,” Ken berdeham supaya Ryan bangun.
Ryan bergerak, membuat Ken terkejut. Kenan kira Ryan terbangun, ternyata malah ngelindur santai kaya bocah. Tak dipungkiri, Kenan iri. Yang terlintas di pikiran Kenan sejenak, kenapa anak yang lebih tua bisa tidur lebih tenang daripada dirinya yang menginjak SMP saja belum.
Oh ya, Ryan ialah anak pemilik toko musik tersebut. Ayahnya punya banyaakkk toko-toko musik mewah kaya gitu, plus komposer terkenal. Hanya segitu yang Kenan tahu soal Ryan.
Anak orang kaya kok bajunya dekil gitu. Kenan mengernyit jijik lalu mendengus. “Bangun! Kebakaran!” jerit Kenan panik.
“Wah! Kebakaran! Kebakaran!” jerit Ryan langsung loncat berdiri. Kenan terkekeh geli. “Ah sial ini anak. Ketipu lagi gue.”
“Makanya jangan molor!”
“Yeh. Gue kan capek. Bentar lagi gue SMA, dongkol gue ngeliat anak SD. Main-main.” Kenan mengangguk-angguk sambil menunjukkan wajah meledek. “Hah. Oh ya, kemana aja? Lama gak ke sini loe, Bro!”
“Ergh. Iya ya. Ayo ajarin lagi!”
“Jawab enggak nuntut saja.” Ryan menyerahkan violinnya pada Kenan. “Hari ini mau lagu apa? Mentang-mentang jenius, 3 bulan dah clear semua pelajaran dasar yah. Gue aja diajarin sama beberapa pelatih sampai yang ngajarin pada pengen garuk-garuk tembok.”
Kenan tergelak menahan tawa. “Oh ya, kemaren aku denger di radio, judulnya Sky-Blue Eyes. Ada iringan pianonya. Kamu ya yang main pianonya.”
“Enak banget nyuruhnya,” jawab Ryan sambil berdesis, “tau aja enggak.”
Nama toko musik itu adalah Ritsena Enterpresent. Ritsena nama adik ayahnya–alias bibinya–Ryan. Enterpresent, katanya–entah ‘nya’nya itu siapa–toko musik itu dihadiahkan pada si Nona Ritsena tapi isunya–‘nya’ siapa lagi?–ia meninggal dunia waktu mau melahirkan anak perempuannya, atau beredar juga isu lain seperti ia pergi menghilang atau meninggal karena sakit tapi entah mengapa pula Kenan jadi teringat pada ibunya yang sebelum berubah jadi macan rabies, yang meski tak ada hubungannya membuat ada sedikit perasaan rindu.
“Dua jam cukup kan latihannya?” raung Lena bosan sambil menguap.
“Ah, Len. Buat kaget aja. Ya sudah. Ayo, pulang. Kasian mukamu sudah jelek sekali. Bye-bye Ryan, Pak James! Lusa aku ke sini lagi!” seru Ken riang.
Ryan menggerak-gerakkan tangannya untuk mengusir.
“Daa Ken! Jangan lupa bawa kue lagi yah!” pinta pak James.
Ken tertawa. “Mamanya yang buat, Pak!” seru Kenan dengan jari tertuding ke arah Lena.
♣
“Eh, aku bingung deh. Kau itu ada bakat main musik dari siapa sih? Perasaan emakmu... ya gitulah. Ayahmu perasaan aku tak tahu yah kalo dia bisa main musik.” Kenan menggeleng-geleng cuek. “Jawab dong. Eh, baunya enak nih. Ayam goreng pake tepung, tumis kangkung!” seru Lena kegirangan.
Itu bakatmu, Cah. Mengendus-endus.
“Kenyang, Ken? Enak, kan!” seru Lena dengan ‘girang’.
Gimana mau kenyang. Lihat anak itu maruk lauk saja langsung mual aku.
“Kamu ini ya Len, lebih baik kamu belajar sana. Besok ada ulangan, kan?” tanya tante Merry.
“Oh! Ayo Na! Ajarin!” pekik Lena yang gak niat kaget.
Selain jago mengendus, Kenan kagum pada Lena yang sudah lupa kalau ia yang sekolah, bukan mamanya.
“Tan, aku cuci piringnya ya. Sana belajar dulu sendiri!” usir Ken setelah menawarkan bantuan ke tante Merry.
Selesai cuci piring, Kenan mengajarkan bahasa Inggris ke Lena sampai dua jam. Ia sendiri paling tidak mau menggaruk tembok seperti pelatih Ryan.
“Ooo. Ngerti-ngerti.” Lena ngangguk-ngangguk kaya patung yang ada di Hoka-Hoka Bento kalau kepalanya di pukul ke atas ke bawah.
“Bagus. Selama ini diajar bu Nana, kemana saja, Non? Ngorok melulu.”
“Gak ngerti deh kalau dia yang ngomong. Di ubek-ubek. Oh ya, kamu jago bahasa Inggris karena bacaaaannyyaaa serba bahasa Inggris yaaa?” sahut Lena gak nyambung dengan nada jijik ketika mengambil salah satu buku cerita bergambar Kenan–Lena tertarik pada cover-nya. Ia mulai asal buka-buka halaman buku bergambar yang ceritanya ditulis dengan bahasa Inggris tersebut sampai ke dua halaman terakhir. “Iih, kok lengket sih halamannya?” Lena mulai sebal. Tangannya main asal merobek halaman yang lengket itu sampai akhirnya kedua kertasnya lepas. “Terus, ini kertas apa yang kamu selotip di buku cerita bergambar? Surat-suratan? Isengnya anak kepinteran aneh banget.”
Kenan yang sedang sibuk merapikan alat tulisnya terkejut. “Aku tak pernah selotip apa-apa di buku. Apalagi... buku cerita bergambar? The Goose that Laid the Golden Eggs??” Segera ia menyambar buku cerita bergambarnya dari tangan Lena. Kertas yang benar ada terselotip di sana dengan hati-hati dilepas dan dibaca.
Untuk beberapa detik Kenan terdiam setelah selesai baca semua yang perlu dibaca. “Kok diam gitu?” Lena heran. Kenan memalingkan mukanya ke Lena. Matanya melotot, mulutnya menganga, lalu diam lagi seperti koi. “Apa sih?”
Giliran Lena menyambar kertas yang dipegang Kenan. Usai baca, dia melirik Kenan bergantian dengan lirikan pada kertas itu. “Ini seriusan? Ini benar punyamu? Ini benar buku cerita bergambarmu? Ada aja surat kaya begini jaman sekarang??” ungkap Lena. Kepalanya pening. Kenan menggeleng. “Besok kita harus ke ‘sana’ lagi ya kayaknya. Seneng dong karena toko ini beneran akan jadi punyamu kalau suratnya asli.” Bukannya senyum, Kenan menyeringai. “Ada nomor teleponnya ayahnya Ryan gak?”
“Tidak…,” Akhirnya Kenan bisa bicara, “yang ada nomor telepon toko Ritsena. Lagi pula kalaupun aku punya nomor telepon ayahnya si Ryan, bakal kuapakan?”
“Eh iya ya.” Lemot Lena kumat setelah banyak sok keren. “Ya sudah sana telepon dulu baru tidur!!”
“Ya kali saja telepon jam segini siapa yang angkat.”
Buku cerita bergambar Kenan tentang cerita rakyat Eropa yang judulnya “The Goose that Laid the Golden Eggs” sekejab membuat Kenan seakan-akan mendapat telur emas gratis. Buku cerita bergambar yang menjadi awal Kenan tertarik belajar bahasa Inggris dan ingin ke sana berhasil menyulap mimpinya jadi kenyataan. Surat itu, yang diselotip seseorang dengan cerdiknya di dua halaman terakhir buku cerita bergambar tersebut adalah surat perjanjian hibah–sejenis surat pembagian warisan–yang di sana tertulis kalau semua aset toko Ritsena Enterpresent dan tempat musik lainnya serta sebagian harta Challysto akan diwariskan dari tangan Ritsena Angelina Challysto pada putri tunggalnya, Kenan Grace Challysto. Ada pula tulisan tertanda ‘Anderson Ferliaz Challysto’ ditambah materai.
Lalu, maksudnya apa? Itu surat asli atau cuma tipu-tipu kaya di FTV SCTV? Siapa juga yang menyelotip surat itu di sana dan kenapa juga harus di buku cerita bergambar? Halooo, ini buku anak kecil lho? Buku yang sewaktu-waktu bisa disumbangkan kalau aku sudah besar! Ah, apaan pula ini. Nama belakangku Challysto dan aku anaknya nona yang super kaya itu, Ritsena? Jangan bercanda. Hidupku sudah berantakan, jangan buat harapanku tambah berantakan kalau ternyata ini cuma ulah iseng orang lain. Semua pikiran Kenan tersebut bercampur menjadi satu menjadi sebuah tanda tanya besar. Satu kekonyolan tambahan baginya. Kenapa? Semua seperti cerita Cinderella yang diasuh ibu tiri rabies?
♣
Kenan membuka matanya, ternyata hari sudah cerah. Waktunya beres-beres, lalu pergi ke sekolah. Sebenarnya bukan sekolah yang ia nantikan, ia hanya tak sabar ingin tahu soal semalam. Rasanya sekolah jadi terasa cepat kalau begitu.
“Gimana ulangannya, Non?” sapa Kenan pada Lena yang tumben berwajah cerah setelah ulangan bahasa Inggris berlangsung. Menakjubkan.
“Lumayan! Gue yakin dapet minimal 70 lah,” jawabnya ceria.
Perasaan gondok timbul di hati Kenan yang sudah susah payah memeras keringat darah untuk mengajarkan alien langka seperti Lena.
Ken mengehela nafas menyerah. “Eh, kenapa? Oh, sudah siap ke sana?”
“Kemana?” tanya Ken sangat heran.
“Yeh. Aku tahu kamu tuh ‘menikmati’ ulangan bahasa Inggris itu tapi jangan lupa ada rahasia yang musti kita bongkar!” Tangan Lena bergerak secara liar memperagakan dirinya detektif. “Rahasia toko Ritsena!,” Lena mengatakan ‘Ritsena’ dengan nada yang gimana gitu. Kenan kagum pada gelagatnya.
“Pulang dulu, baru telepon, Len.”
“Kalau gitu baru bisa kesana besok dong?? Aah…”