Read More >>"> My Sweety Girl (Karena Luka) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - My Sweety Girl
MENU
About Us  

Dia seperti ranting yang ranggas, begitu rapuh

***

Keadaan car free day begitu ramai. Jalanan yang terasa sesak tak membuat keempat orang itu merasa jengah. Maisha tak hentinya berceloteh pada sosok yang kini ia peluk lengannya. Ken sendiri hanya menanggapi sekedarnya dengan sesekali melirik ke belakang, di mana Wulan dan Rega berjalan bersisian. Mereka saling melemparkan isyarat yang setiap gerak-geriknya tak luput dari perhatian Maisha.

"Ga, Lan, kalian cocok loh, kenapa gak pacaran aja?" ucap Maisha ketika mereka tengah menikmati sarapan bubur ayam. Sontak ketiga orang di dekatnya terbelalak. Rega yang kebetulan duduk di samping Ken langsung menyikut lengan cowok itu.

"Ah, em lo apaan sih. K-kita cuma temenan doang dan kebetulan deket di OSIS," jawab Wulan dengan senyum canggungnya. Kebetulan Rega memang baru putus dengan pacarnya sebulan yang lalu. Maisha menganggukan kepala, "Nah, justru itu Lan. Biasanya nih di novel-novel yang gue baca, ketua sama sekertaris itu sering banget terlibat cinlok gitu."

"Itu cuma novel, Cha." Maisha mentatap Ken yang menimpali, bibirnya berubah cemberut, "Ya ampun Ken, biasanya nih cerita-cerita kayak gitu tuh di ambil dari kisah nyata."

"Gak selamanya, Cha." Kini giliran Rega yang bersuara.

Maisha tersenyum licik dalam hati, menyadari kalau mereka mulai kelabakan. Cewek itu kemudian berdecak, "Eh, tapi kalian sadar gak sih, kita tuh kayak double date tau gak?" pancingnya lagi, "Gue sama Ken, dan lo Lan, sama Rega."

Lagi dan lagi mereka terdiam dibuatnya. Wajah Wulan sudah terlihat mulai tak nyaman. Entah karena ucapannya atau perasaan bersalah telah membohonginya.

"Eh, Lan. Kalau gue deketin lo sama Rega gimana mau gak?" Kali ini Maisha berbisik seolah tak mengijinkan kedua cowok di depannya mencuri dengar. Benar saja tubuh Wulan yang menempel dengannya langsung menegang. Cewek itu menatapnya dengan kikuk, "em lo gak mau ya? Atau mau gue comblangin sama Dean?"

Sontak cowok yang duduk di depannya tersendak, dengan cekatan Maisha menyerahkan segelas air putih, mendahului Wulan yang sama-sama hendak melakukan hal sama.

"Hati-hati dong, Ken. Kamu kenapa sih bisa tersendak gitu? Lagi ngelamun ya? Untung ada aku." Maisha mengernyitkan dahi sambil menyodorkan selembar tisu. Dari sudut matanya ia dapat melihat Wulan menggenggam erat gelas yang tak jadi diberikan pada sahabatnya. Merasa sudah cukup membuat cewek di sebelahnya tak bisa berkutik, Maisha kembali melanjutkan makannya. Namun, pikirannya masih berkelana mencari cara untuk semakin membuat cewek baik hati itu menjauh dari Ken.

Selesai sarapan mereka melihat ke beberapa stand. Tentu dengan Maisha yang tak membiarkan Ken untuk sekedar melihat ke arah Wulan. Bahkan dirinya yang mendominasi pembicaraan diantara mereka berempat.

"Ken aku mau ini," Maisha mengangkat sepasang topi. Membuat Ken mengalihkan pandangan pada Wulan yang malah menunduk. Cowok itu tak sampai hati melihat kekasihnya terasingkan, tapi tak mungkin juga mengatakan yang sebenarnya. "Ken ih, kok malah diem sih?" Cewek itu menyenggol bahu Ken yang masih menatap penuh rasa bersalah pada Wulan.

"Gak usah deh, Cha. Buat apa? Nanti gak kepake lagi." tolak Ken berusaha melepaskan tangan Maisha yang masih bergelayut di lengannya.

"Ck, pasti bakal kepake. Kamu kan kadang suka pake topi juga. Beli yayaya? Biar kita couple an gitu, kan lucu tuh," Maisha menatapnya dengan pupy eyes diiringi kedua tangan yang kini mengatup di depan dada. Ken menghembuskan nafasnya, "Duh Cha, aku lagi gak butuh topi. Lagian kayak orang pacaran aja beli kayak gitu."

Maisha menggeram dalam hati. Dulu Ken tak begini, malah cowok itu juga beberapa kali memberikan benda yang sama dengan miliknya.

"Ya ampun Kenar sayangnya Chacha, emang harus jadi pacar dulu kalau mau pake benda couple ya? Lagian gak papa juga kan di sangka pacaran?" Cewek itu menatap gemas Ken yang sejak  tadi terlihat tengah menahan diri untuk tak membentaknya, "lupa ya Ken, kamu dulu juga sering beliin benda-benda couple gitu. Inget? Jam tangan, baju, sepatu bahkan cassing handphone kita juga sama. Siapa yang inisiatif beliin? Kamu kan?"

Lihat, bagaimana wajah cantik Wulan berubah memerah. Juga jemari itu yang menggenggam erat ujung kaos milik Rega. Mereka sejak tadi hanya mendengarnya dan Ken berbicara.

"Hm, a-aku mau pulang duluan gak papa ya? Aku tiba-tiba pusing." Suara lembut itu sedikit bergetar. Ken langsung breaksi, hendak melangkah mendekat ketika lengannya di tahan.

"Ya udah hati-hati ya Lan. Wajah kamu memerah tuh, mataharinya emang nyengat banget." ucap Maisha dengan nada khawatir. Tangan Ken masih setia berada dalam genggenggamannya, tak membiarkan bergerak barang sedikitpun. Kemudian tatapannya beralih pada Rega, "Ga, kamu yang anterin Wulan pulang ya? Kan kamu yang dateng sama dia?"

Rega melirik terlebih dahulu pada Ken sebelum merespon ucapannya. Mereka terlihat saling melempar kode yang sayangnya tak mampu ia baca. "Ok, kalau gitu. Yuk Lan," Rega mengajak Wulan kenudian menatapnya dan Ken bergantian, "kita duluan ya? Bye."

Maisha tidak bahagia melihat kepergian dua orang itu. Tahu kalau setelah ini masih banyak yang harus dilakukan. Ia menoleh pada Ken yang melepas lengannya. "Ken jadi beli kan?" tanyanya dengan raut ceria seperti yang senantiasa ia perlihatkan saat meminta sesuatu pada cowok itu.

"Kamu beli aja dulu," ujar Ken tanpa memandangnya. Sepertinya benda pipih di genggamannya lebih menarik. Tentu saja, terlebih berhubungan dengan Wulan di dalamnya, "Aku angkat telepon bentar."

Cewek itu hanya mendesah, menatap punggung kurus sahabatnya. Biasanya Ken akan mengangkat telepon tanpa harus menjauh karena takut dirinya mencuri dengar. Ia memang berhasil mengusir Wulan dari samping Ken, tapi tetap saja tak mampu menghilangkannya dari pemikiran cowok itu.

"Mas, saya mau beli topi yang itu." Maisha menunjuk penutup kepala berwarna hitam bercorak sama dengan dua tulisan berbeda di tiap topinya. Setelah membayar ia menghampiri Ken yang masih asik dengan handphone di dekat telinganya. Maisha dapat mendengar percakapan itu, bagaimana perhatiannya Ken terhadap perempuan di seberang sana..

Setelah menarik nafasnya, ia menyentuh bahu itu hingga tersentak kaget. Ken langsung mematikan sambungannya. Maisha hendak memperlihatkan benda yang dibelinya ketika tangannya ditarik. Cowok itu membawanya ke tempat parkir untuk mengantarkannya pulang.

Ken bahkan hanya menjawab singkat atau berdehem ketika dirinya mengajak bicara.. Jujur saja Maisha tidak suka diabaikan. Setelah turun dari boncengannya pun Ken langsung menstrater motornya dan berlalu. Dengan sendu Maisha menatap tubuh itu yang semakin menjauh. Mencengkram erat goodie bag  berisi topi yang hendak ia berikan.

***

Suasana koridor sudah sepi, Maisha hampir saja kesiangan karena menunggu Ken yang tak kunjung datang. Tetap berdiri di halaman rumah meski nomor cowok itu tak bisa dihubungi. Seperti sengaja mematikan handphone-nya. Maisha cukup tahu kalau seorang Kenarya tak pernah lepas dari handphone barang sejenak.

Keringat membasahi seragamnya karena Maisha berlari dari halte kedua akibat bis yang dikendarainya mogok. Beruntung gerbang sekolah belum tertutup sepenuhnya ketika dirinya sampai, meski ia sempat mendapat pelototan tajam dari pak Bram yang tengah mengobrol dengan satpam sekolah.

Melihat pintu kelas yang tertutup sempurna Maisha menepuk dahinya. Ia lupa kalau jam pertama pelajaran Ekonomi yang berarti gurunya sudah berada di dalam. Bu Retta, guru muda paling disiplin, tak membiarkan satu siswa terlambat kurang dari satu menitpun.

Maisha melirik jam dipergelangan tangannya, ia mendesah pelan karena ia terlambat dua menit. Gadis itu pikir akan selamat dari hukuman karena berhasil melewati gerbang sekolah, kenyataannya jarak dari sana ke kelasnya jauh di lantai tiga dengan ruang kelas paling ujung. Jadi memerlukan waktu lama. Tak ada pilihan lain selain dirinya harus setor wajah. Lebih baik terlambat daripada dianggap bolos. Maisha mengetuk pintu bercat coklat di depannya dengan ragu. Tak lama muncul wanita berumur pertengahan dua puluhan.

"Loh, Maisha Biantari? Tumben kamu terlambat?" tanyanya kemudian melirik pada cowok yang ikut memandang ke arah mereka. Tentu sang guru tahu sepasang sahabat yang ke mana-mana selalu kompak itu.

"Bu, saya boleh masuk?" Maisha menatap penuh permohonan, mengabaikan teman-temannya yang ikut bertanya-tanya. Juga Ken yang kini mengarahkan tatapan bersalah.

Terdengar helaan nafas wanita di depannya, "Kamu boleh masuk buat nyimpen tas, tapi maaf peraturan tetaplah peraturan." Bu Retta menatap menyayangkan karena Maisha merupakan murid yang taat peraturan, "kamu tau kan hukumannya buat yang melanggar?"

Maisha mengangguk lemah lalu menyimpan tasnya tanpa melirik Ken sama sekali. Tersenyum sekilas pada Rana yang menatapnya khawatir. Cewek itu keluar kelas, kembali menuruni tangga. Maisha meringis memandangi lapangan luas di depannya, mendongkak pada matahari yang mengintip malu-malu. Dapat dipastikan kalau hari ini cuaca akan panas. Dengan lesu melangkah, berdiri menghadap bendera dan mengangkat tangannya untuk menghormat.

Bu Retta tidak jahat. Sungguh, Maisha tidak merasa kesal pada sang guru. Ia lebih kesal pada sahabatnya, "Kamu tega banget sih, Ken." Cewek itu menunduk, menatap bayangannya sendiri. Tak lama kemudian mengernyit ketika mendapati bayangan lain berdiri di sebelahnya. Maisha mendongkak, "loh, Dean?"

Dean tersenyum lebar, ikut mengangkat tangannya untuk menghormat pada bendera.

"Kenapa lo bisa kena hukum juga? Perasaan tadi gak kesiangan." tanya Maisha bingung.

"Gue sengaja bilang gak ngerjain tugas biar bisa nemenin lo di sini, dek."

Mendengar itu Maisha berdecak, "Halah, biasanya juga gak pernah ngerjain tugas."

Dean terkekeh, tak merasa menyesal sama sekali. Maisha tak habis pikir mengapa Dean tak pernah jera berkali-kali mendapat hukuman, "Lo kapan berubah sih, Yan?" tanyanya lagi, "gak cape apa gitu terus?"

Cowok itu menghela nafasnya, menundukkan wajah seperti tengah berpikir, ""Kalian lagi berantem?"

Maisha mendengus, Dean mengalihkan pembicaraannya. Cewek itu tak menjawab, hanya mengusap keringat yang menetes di dahinya. .

"Wajar." Mendengar kata itu Maisha menaikkan sebelah alisnya. Sedang Dean kini malah memasukan kedua tangan ke saku celananya, tak peduli ketahuan bu Retta karena tidak mengikuti perintahnya. "Maksudnya? Gue gak ngerti, Yan."

Dean terkekeh mendapati tatapan polos cewek itu, "Dek, lo pernah berpikir kalau seiring berjalannya waktu akan ada saatnya jarak memisahkan kalian?"

"Ken gak akan pergi ke mana-mana, begitupun gue." Balas Maisha meyakinkan dirinya.    

"Lo pernah jatuh cinta atau suka sama seseorang?"

"G-gue," Maisha menatapnya sambil menggaruk kepala. Sedang Dean malah menatap bimgung, "Lo kenapa?"

Sebenernya gue pernah suka sama lo dulu. Batin Maisha tapi takut cowok itu besar kepala. Cukup tahu kalau Dean memiliki tingkat rasa percaya diri tinggi. Tepatnya tipe cowok yang sadar kalau dirinya ganteng. Ia juga malu mengakui meski itu hanya masa lalu.

"Gak pernah sama sekali?" tanya Dean tak menyangka. Akhirnya Maisha hanya menggelengkan kepala sambil meringis, "Em, mungkin gak kalau gue jatuh cinta sama Ken?"

Dean terhenyak, melirik wajah Maisha dari samping. Kedua tangannya saling bertaut. Ia berdehem pelan, "Apa lo yakin jatuh cinta sama dia?"

Cewek itu terdiam sejenak, "Gue ... gak suka liat dia sama cewek lain."

Dean dapat melihat keraguan di mata itu. Ah, bahkan Maisha terlihat bingung dengan perasaannya sendiri, "Mungkin apa yang lo rasain karena kalian udah deket lama banget. Rasa gak suka itu wajar, dek. Cuma coba pikirin ulang perasaan lo, jangan sampai salah menduga."

Terdiam lagi, Maisha mencoba mencerna perkataan cowok itu. "Gue- udahlah! Gue gak perlu jawab pertanyaan lo yang gak penting itu. Intinya gue akan tetap di sampingnya." Keukeuh Maisha menatap Dean yang malah menghembuskan nafas lelahnya. "Ok, gue cuma minta satu hal sama lo, dek. Kalau nanti terjadi sesuatu, jangan pernah lakuin hal konyol, apapun itu. Lo cuma perlu datang ke gue."

"Kalau gue gak dateng?" tantangnya. Dean tersenyum hangat, merapihkan poni Maisha yang menutupi wajahnya, "Gue juga berharap begitu, karena jika lo dateng, maka itu berarti adek gue lagi gak baik-baik aja."

Tengah seriusnya menikmati perhatian cowok itu, Maisha mendengus dan menghempaskan tangan yang bertengger di atas kepalanya, "Gue bukan adek lo ya!"

Tertawa, Dean memegangi bahunya, "Lo emang adek gue. Meski harusnya gak kayak gitu."

Maisha sebal karena dirinya selalu diperlakukan seperti anak kecil. Meski dalam hati mengakui sikapnya yang childish juga suka mencari perhatian Ken. Salahkan saja kedua orang tuanya yang tak pernah memberi perhatian lebih. "Pokoknya gue gak suka lo panggil kayak gitu, Yan. Udah berapa kali gue bilang sih?" gereget Maisha, "lo tau gak? Gue suka malu tau di ledekin terus, apalagi sama geng lo yang pada gak sopan. Masa manggil kakak kelas 'dek' sih?"

Keluhan tersebut membuat Dean lagi-lagi tertawa. Wajar saja kalau Maisha kesal.

***

Maisha memasuki kelas beriringan dengan Dean karena jam pelajaran pertama telah berakhir. Dean sudah duduk di bangkunya begitupun dirinya. Ia meneguk air dingin yang sempat dibelikan Dean, mengambil tisu yang di sodorkan Rana tanpa di minta. Para sahabatanya memang begitu perhatian.

Bangku di depannya berderit. Maisha tahu siapa pelaku utamanya. Namun, ia berpura-pura sibuk menghapus keringat di wajahnya sebelum sebuah tangan menghentikan pergerakannya. Maisha mendongkak, mata mereka beradu. Ia dibuat tertegun ketika Ken mengambil alih aktifitasnya. Tersadar, cewek itu menjauhkan wajahnya.

Ken menghela nafas, "Cha, maaf karena aku gak bisa jemput kamu tadi pagi."

Sebuah deheman membuat Maisha menoleh sejenak pada Rana yang sibuk dengan benda pipih di tangannya. Entah kenapa ia merasa kalau Rana sengaja melakukan itu.

"Kamu mau maafin aku kan?" Mohonnya dengan lirih, "t-tadi pagi itu aku-"

"Udah, aku udah maafin kamu kok. Tenang aja." Senyum Maisha. Ia hanya tidak ingin Ken kembali berbohong.

"Bener?" tanyanya tak yakin. Maisha mengangguk, "iya, udah balik ke depan sana. Pak Rion udah dateng tuh!"

Benar saja di depan sana guru Sejarahnya sudah duduk rapi bersiap untuk mengabsen. Ken akhirnya kembali pada posisi duduknya semula.

"Apa ada sesuatu yang gak gue tau?" tanya Rana. Masalahnya tadi pagi ia sempat mempergoki Rana yang turun dari boncengan Ken. Bukan satu kali saja mereka kedapatan sedang bersama. Maisha terdiam sejenak sebelum menggeleng, "Bukan masalah penting."

Rana hanya mengangguk. Lalu memperhatikan wajah sahabatnya yang akhir-akhir ini terlihat banyak beban. Maisha masih belum sapenuhnya mau terbuka padanya. Hanya Ken satu-satunya orang yang paling cewek itu percayai. Namun, setelah apa yang terjadi, apa Maisha akan tetap pada pendiriannya?

***

Cewek itu tersenyum senang, Ken mentraktirnya sebagai permintaan maaf karena tak bisa menjemputnya tadi pagi. Mungkin dirinya harus berterima kasih pada bu Retta yang telah menghukumnya hingga menimbulkan perasaan bersalah dihati cowok itu.

Seperti biasa ketika istirahat tiba, siswa cowok akan mengisinya dengan bermain futsal, basket dan sebagainya. Seperti yang tengah dilakukan Ken saat ini. Sehabis dari kantin cowok itu di tarik paksa oleh Rega dan Dean untuk ikut bermain. Maka di sinilah Maisha berada, di pinggir lapangan memperhatikan sahabatnya yang tengah menggiring bola dengan semangat.

Senyuman Maisha lenyap mendapati sosok cantik yang berdiri berseberangan dengannya sambil memeluk beberapa buku. Hal yang paling Maisha benci adalah saat mempergoki keduanya saling melempar senyum diam-diam.

Jari-jarinya mengepal. Maisha tetap berdiri di sana sampai akhirnya Wulan menyadari keberadaannya. Cewek itu terlihat kaget sebelum kemudian melemparkan senyum. Maisha ingin melengos saja kalau bisa, tapi ia tidak ingin mengambil konsekuensi. Dirinya malah melakukan hal yang berlawanan arah dengan hatinya, yaitu melambaikan tangan diiringi senyum lebarnya.

Raut gelisah tersebut hilang seketika, berganti dengan kelegaan. Wulan kemudian berlalu meski sesekali melirik ke arah lapangan.

"Cha, minum gue dong." Maisha melengos mendapati Rega sudah berdiri di depannya. Memintanya mengambilkan air mineral di sampingnya. Entah mengapa dirinya jadi sering kesal melihat cowok itu, mungkin karena Rega yang telihat sangat mendukung hubungan mereka.

"Cha!" panggilnya lagi membuat Maisha berdecak malas, "Ambil aja sendiri. Punya tangan kan?" tanya cewek itu kemudian beranjak menuju meninggalkan Rega yang kini menautkan kedua alisnya bingung. Beberapa hari ini Maisha selalu bersikap sinis padanya. Menatap tubuh kurus itu yang menghilang di undakan tangga, ia mengangkat bahunya acuh.

Maisha sendiri melangkah dengan bibir mengerucut, merutuki kedua orang yang membuat mood nya hancur. Jalannya terhenti mendapati Wulan berdiri tak jauh darinya. Cewek itu tengah mengobrol dengan beberapa adik kelas. Wulan, seorang aktivis sekolah yang terkenal. Berbeda dengan dirinya malas untuk sekedar berbaur dengan banyak orang. Tak lama kemudian cewek itu melanjutkan langkahnya. Maisha masih setia mengikuti, mencari tahu lebih mengenai seorang Wulan sampai membuat Ken sering mengabaikannya.

Beberapa siswa yang berlarian tanpa sengaja menabrak cewek itu sampai buku di pelukannya jatuh berserakan. Terdengar ringisan, tapi Maisha tetap berdiri di sana tak berniat menolong, sama seperti siswa yang menubruknya tadi. Kebetulan koridor yang mereka lewati lumayan sepi. Selesai merapikan bukunya, Wulan berdiri dan berjalan tergesa-gesa. Maisha kembali mengikuti ketika matanya menangkap sebuah buku yang tergeletak di dekat pot besar.

Dengan ragu, Maisha mengambil buku tersebut dan nama Wulandari tertulis dengan rapi. Di halaman terakhir tertera jadwal pelajaran. Buku ditangannya pasti sangat dibutuhkan untuk saat ini, terlebih dengan pekerjaan rumah yang sepertinya baru cewek itu selesaikan tadi.

Fisika, dengan guru tua berkumis tebal yang terkenal galak. Sepertinya semesta sedang berbaik hati padanya. Jika tadi pagi ia terkena hukuman karena Ken yang lebih mementingkan pacar diam-diamnya, maka sekarang giliran cewek itu sekarang. Dalam satu kali lemparan, buku itu masuk ke dalam tong sampah. Maisha tersenyum miring, raut lugunya berganti. Kekecewaan yang orang-orang itu berikan telah membuat hatinya mengeras, "Sorry, Lan."

"Lo ngapain di sini?" Maisha terperanjat. Mendapati Rega yang sudah berdiri di sampingnya tanpa Ken maupun Dean. "Mau tau banget sih, kepo!"

Mata cowok itu membola, lagi-lagi ia di acuhkan. Ke mana Maisha yang biasa manja padanya?

***

Bibir tipisnya tak berhenti bersenandung, pula wajahnya yang terlihat ceria membuat orang-orang terdekatnya menatap aneh. Ketika ditanya, Maisha hanya akan menjawab kalau dirinya sedang bahagia, itu saja. Kini Maisha beriringan dengan Ken, masih untuk menebus  perasaan bersalahnya.

"Ken, simpen dulu handphone nya bisa?" pintanya pada Ken yang asik dengan benda pipih di genggamannya. Cowok itu terdiam sejenak lalu mengangguk, menyimpannya di saku.

"Ken, aku kok ngerasa akhir-akhir ini kamu berubah ya?" Maisha menatap cowok itu di sela langkahnya. Ken menghela nafas,"Cha, kenapa kamu bisa berpikiran kayak gitu?"

"Ya, aku cuma mm udah lah, mungkin ini cuma perasaan aku doang." Maisha tidak berniat melanjutkan. Membuat Ken kepikiran dengan perkataannya saja sudah cukup.

"Loh, itu bukannya Wulan ya?" Mendengar nama itu disebut, Ken langsung mendongkak. Mengikuti arah pandang sahabatnya. Benar saja tak jauh dari tempatnya berdiri, cewek itu tengah memegang alat pel juga ember. Maisha menarik tangan Ken yang masih terlihat kaget karena cewek itu tak mengatakan apapun saat dirinya bilang akan mengantar sahabatnya.

"Hai, Lan." Sapaan singkat Maisha membuat Wulan menoleh dan langsung tertegun mendapati siapa berada ada di sampingnya.

"Hai," balasnya lesu. Maisha memperhatikan penampilan Wulan yang sudah tak serapi biasanya. Bahkan keringat bercucuran di wajah ayu itu, memperlihatkan betapa lelah dirinya, "Lo kok gak pulang? Malah...," Maisha menghentikan kalimatanya, menampakan raut prihatin, "lo gak lagi kena hukuman kan? Ah enggak, gak mungkin. Masa anak teladan kayak lo bisa dihukum."

Hanya ringisan yang keluar dari mulut Wulan. Dan itu sudah cukup sebagai jawaban untuk tanda tanya di benak seorang Kenar.

"Jadi bener?" tanyanya tak menyangka, "Kok bisa samaan gini? Gue juga tadi kesiangan sampe di hukum bu Retta, berjemur dilapangan lagi. Duh rasanya gak enak banget tau gak? Ini tuh gara-gara Kenar yang gak bisa jemput tanpa ngasih kabar, padahal gue udah nungguin dia lama banget. Oh iya kalau lo kenapa bisa dihukum juga?"

"Em, i-itu buku tugas gue hilang." Maisha mengangguk lalu melirik Ken yang sejak tadi hanya diam. Cowok itu pasti begitu mengkhawatirkan pacarnya.

"Ya udah deh sabar ya, Lan. Sorry nih kita gak bisa bantuin soalnya buru-buru mau ke suatu tempat. Kalau gitu kita pamit ya? Bye." Maisha lalu menarik lengan sahabatnya, "yuk Ken keburu ujan."

Ken terlihat berat sekali meninggalkan Wulan. Kalau saja tidak ada Maisha mungkin ia akan membantu cewek itu. Namun, dirinya terlanjur berjanji. Juga harus mengantar dulu sahabatnya ke toko kue untuk membeli pesanan tante nya. Tanpa Ken tahu bahwa itu hanya akal-akalan Maisha saja untuk menahannya lebih lama.

***

#twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 1 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Happiness Is Real
243      204     0     
Short Story
Kumpulan cerita, yang akan memberitahu kalian bahwa kebahagiaan itu nyata.
Selfless Love
3822      1112     2     
Romance
Ajeng menyukai Aland secara diam-diam, meski dia terkenal sebagai sekretaris galak tapi nyatanya bibirnya kaku ketika bicara dengan Aland.
Tentang Kita
1513      653     1     
Romance
Semula aku tak akan perna menduga bermimpi pun tidak jika aku akan bertunangan dengan Ari dika peratama sang artis terkenal yang kini wara-wiri di layar kaca.
Got Back Together
291      241     2     
Romance
Hampir saja Nindyta berhasil membuka hati, mengenyahkan nama Bio yang sudah lama menghuni hatinya. Laki-laki itu sudah lama menghilang tanpa kabar apapun, membuat Nindyta menjomblo dan ragu untuk mempersilahkan seseorang masuk karna ketidapastian akan hubungannya. Bio hanya pergi, tidak pernah ada kata putus dalam hubungan mereka. Namun apa artinya jika laki-laki hilang itu bertahun-tahun lamanya...
Arion
919      515     1     
Romance
"Sesuai nama gue, gue ini memang memikat hati semua orang, terutama para wanita. Ketampanan dan kecerdasan gue ini murni diberi dari Tuhan. Jadi, istilah nya gue ini perfect" - Arion Delvin Gunadhya. "Gue tau dia itu gila! Tapi, pleasee!! Tolong jangan segila ini!! Jadinya gue nanti juga ikut gila" - Relva Farrel Ananda &&& Arion selalu menganggap dirinya ...
Junet in Book
2823      1054     7     
Humor
Makhluk yang biasa akrab dipanggil Junet ini punya banyak kisah absurd yang sering terjadi. Hanyalah sesosok manusia yang punya impian dan cita-cita dengan kisah hidup yang suka sedikit menyeleweng tetapi pas sasaran. -Notifikasi grup kelas- Gue kaget karena melihat banyak anak kelas yang ngelus pundak gue, sambil berkata, "Sabar ya Jun." Gue cek grup, mata gue langsung auto terbel...
My Andrean
9302      1634     2     
Romance
Andita si perempuan jutek harus berpacaran dengan Andrean, si lelaki dingin yang cuek. Mereka berdua terjebak dalam cinta yang bermula karena persahabatan. Sifat mereka berdua yang unik mengantarkan pada jalan percintaan yang tidak mudah. Banyak sekali rintangan dalam perjalanan cinta keduanya, hingga Andita harus dihadapkan oleh permasalahan antara memilih untuk putus atau tidak. Bagaimana kisah...
SATU FRASA
12892      2673     8     
Romance
Ayesha Anugrah bosan dengan kehidupannya yang selalu bergelimang kemewahan. Segala kemudahan baik akademis hingga ia lulus kuliah sampai kerja tak membuatnya bangga diri. Terlebih selentingan kanan kiri yang mengecapnya nepotisme akibat perlakuan khusus di tempat kerja karena ia adalah anak dari Bos Besar Pemilik Yayasan Universitas Rajendra. Ayesha muak, memilih mangkir, keluar zona nyaman dan m...
Senja Belum Berlalu
3461      1240     5     
Romance
Kehidupan seorang yang bernama Nita, yang dikatakan penyandang difabel tidak juga, namun untuk dikatakan sempurna, dia memang tidak sempurna. Nita yang akhirnya mampu mengendalikan dirinya, sayangnya ia tak mampu mengendalikan nasibnya, sejatinya nasib bisa diubah. Dan takdir yang ia terima sejatinya juga bisa diubah, namun sayangnya Nita tidak berupaya keras meminta untuk diubah. Ia menyesal...
Love Never Ends
9899      2008     20     
Romance
Lupakan dan lepaskan