Sudah cukup seharian ini aku menangis dua kali dan sudah cukup. Aku terus mengetik tugas kuliah dengan cepat dan semakin cepat. Hingga sampai pada puncaknya aku menangis dan pergi ke lantai empat kosku, aku mencari ketenangan dengan melihat lampu kota yang dengan setia menemani orang-orang di dalam rumah agar nyaman dan tidak ketakutan akan gelap. Semilir angin malam yang perlahan menusuk badanku, juga air mataku yang tiada henti terus mengalir membanjiri pipiku tanpa henti dan terus aku memandangi bukit yang penuh dengan kerlipan lampu diatas sana. Aku memandanginya hingga tiada aku rasa ponselku berdering.
Aftar ingin menemuiku malam ini,
“Nin, 10 menit lagi aku jemput kamu. Ayok keluar”. Dan aku hanya tersenyum dan menggeleng.
Aftar telah menjemputku dan mengajak aku untuk menemaninya makan malam. Dan ketika tiba di tempat, alangkah kagetnya aku ternyata kita makan tidak berdua saja. Melainkan bersama teman-temannya juga termasuk wanita yang aku benci itu, dia adalah wanita yang sering aku lihat bersama Aftar. Malam itu benar-benar membuatku merasa semakin dingin, air mataku membeku tidak dapat mencair. Aftar memperlakukanku bukan seperti pacarnya, tetapi seolah aku hanyalah seorang junior, adik kelas dan sekali lagi bukan seperti pacarnya. Bagaimana tidak? Dia sama sekali tidak menghiraukanku sejak sampai di sebuah tempat makan itu. Ditambah lagi ketika wanita itu bertanya ke Aftar,
“itu siapa Fa?”, tanya wanita itu kepada Aftar yang ternyata ia biasa dipanggil dengan nama Rafa oleh teman-temannya termasuk wanita itu. Lalu Aftar pun menjawab dengan santai seolah memang kita benar-benar tidak ada hubungan sama sekali,
“owh iya kenalin, ini Nina junior-ku di UKM. Yang kalau kalian tau waktu puncak inagurasi dia maju ke depan sebagai Maba terfavorit ituloh guys...”, terang Aftar berusaha meyakinkan teman-temannya. “Wahh, iya iya ... salam kenal yah dek saya Bella” sapa wanita itu yang ternyata bernama Bella.
“Iya kak, salam kenal juga yah dan semuanya .. saya Nina”. Tegur balikku kepada wanita tersebut dan 3 teman Aftar lainnya. Bayangkan saja bagaimana rasanya ketika kebohongan bermain dalam sebuah hubungan dan kebohongan itu kita sudah mengetahuinya tapi harus kita terima karena tak mungkin kita ribut di depan banyak orang. Oh tuhan .... dan ketika perjalanan pulang dengannya dimana ia berasalan dengan gampangnya,
“aku mau nganterin adekku dulu yah..”. Seru Aftar kepada teman-temannya yang lain. Aku tak bisa lagi mengolah kata selama perjalanan Aftar memboncengku pulang menuju kos. Karena aku memikirkan banyak hal, dan hingga pada akhirnya terlintas dalam pikiranku bahwa aku ingin sendiri saja, dan aku benar-benar melakukan itu.
Sesampainya di depan kos, aku menarik tangan Aftar sebagai bentuk aku ingin bicara dengannya. Aku bertanya mulai dari alasan mengapa dia ingin berpacaran denganku sampai alasan kenapa dia memperlakukanku seperti bukan pacar ketika tadi makan malam bersama teman-temannya tersebut; ada apa dengan dia sampai hati berbohong ke aku dan teman-temannya tentang hubungan kita dan siapa wanita itu. Memang cukup lama aku berdebat dengannya, hingga pada akhirnya aku yang memberi keputusan untuk hubunganku dengannya sampai disini. Aku tidak memperdulikan bagaimana reaksi Aftar mengejarku,
“kita selesai”, kata-kata yang singkat namun penuh perasaan.
“Nin, Ninaaa... maafin aku nin. Aku gak bermaksud begitu nin, dengerin dulu penjelasanku ninaaa...”. Dengan tidak menghiraukan jawaban Aftar, aku langsung membanting gerbang kos dan masuk ke dalam menuju kamar dalam keadaan air mata membanjiri pipiku.