Loading...
Logo TinLit
Read Story - BIYA
MENU
About Us  

Anggap Aku Gila

 

Hari ini aku terbangun dengan perasaan yang jauh lebih semangat dibanding hari-hari sebelumnya. Bukan karena hari ini adalah akhir pekan, melainkan karena aku seolah punya pematik api yang baru saja dinyalakan. Membakar seluruh tubuh, membuatku punya energi penuh untuk pergi ke sana. Tempat kerja Biya.

Entah bisikan setan apa atau dorongan dari mana hingga aku bisa begitu berani, cenderung nekat. Tapi satu agenda pasti yang harus kulakukan adalah mendatangi Biya di KBU.

Semalam, perlakuan Biya sangat diluar ekspektasi dan batas toleransiku. Ia seolah menginjak-injak egoku sebagai seorang laki-laki sekaligus memulai level baru tantangan permainannya. Oke, aku akui kalau itu terdengar berlebihan. Tapi begitulah deskripsi terbaikku atas apa yang aku rasakan saat ini. Seolah level mencari keberadaannya sebelumnya sudah tamat dengan sangat biasa lalu level baru ini otomatis muncul. Dan aku adalah tokoh utama yang bertugas melewati semua level hingga garis finish, yang entah dimana keberadaannya.

Jam menunjukkan pukul tujuh lewat lima belas dan kehadiranku di meja makan saat ini mampu membuat seluruh keluarga Winata kebingungan. Bagaimana tidak? Aku yang jarang sarapan di akhir pekan, lebih memilih melunasi hutang tidur yang kucicil selama minggu sekolah kalau kata Uti. Tak ada yang salah. Memang seperti itu. Tapi hari ini tiba-tiba aku punya prioritas baru yang mampu menggeser agenda bayar hutang tidur satu minggu itu dengan sudah nongkrong di meja makan dan melahap semua makanan yang bisa terjangkau tangan.

"Sehat kan, Yan?" Papa bertanya padaku tepat ketika aku menggigit tangkup roti ketiga pagi ini.

Aku lantas mengangguk. Tak membiarkan waktu terbuang lebih banyak dan tak memberi Papa informasi lain lagi. Aku melihat arlojiku, jam 8 kurang 5. Tiba-tiba sebuah pikiran terlintas. Ada satu yang terlewat dari sikap buru-buruku barusan. Aku menoleh ke Keenan yang sedang memulai nasi gorengnya. "Kedai Bakso Umi buka jam berapa, Mas?"

Keenan mengerutkan keningnya. Ia melihat jam di dinding. "Lo ga mungkin mau sarapan di sana kan? Barusan lo nelen 3 tangkup roti, Yan."

Aku menggeleng. "Nggak kok. Serius Mas, buka jam berapa?"

Keenan menyodorkan ponselnya yang entah kapan ada di atas meja, "we have an amazing technology called google. Come on, man!"

Tak menanggapi ucapan Keenan, aku langsung menyambar ponsel pintar itu. Mengetik kepanjangan KBU dengan kata kunci lain yakni Magelang dan Grabag untuk mempersempit pencariannya. Sebuah lokasi muncul. Lengkap dengan website yang tak kusangka beneran beroperasi, nomor telepon, dan jam operasional. Jam 9.30 pagi sampai 10 malam.

Kalau analisisku benar, maka sekarang Biya sedang bersiap menuju KBU dan jam 9 nanti dia sudah mulai bersiap memulai roda perdagangan. Kalau begitu waktuku tak banyak. Aku harus sampai sebelum Biya masuk ke KBU. Semakin cepat bertemu makin baik. Tuntaskan semua ini.

Aku langsung menyambar jaket jeansku yang tergeletak manis di kursi sebelah dan kunci yang sedari tadi teronggok di samping gelas jus jeruk. "Pergi dulu ya, Assalamualailum!" Kakiku yang terbungkus sneakers kelabu berlari kecil ke arah pintu yang terbuka.

"Kemana, Yan?" Mama berteriak dari, entah darimana.

"Ke Grabag." Dan itu adalah jawabanku untuk Mama. Mampu membuat ia tak bertanya lagi dan membiarkanku mengajak si Ireng pacaran di pagi hari.

---

Aku tak langsung nongkrong di depan KBU, akan terlalu kentara. Sengaja kuparkir si Ireng di seberangnya, di toko buku terbesar yang bisa ditemukan di Grabag. Menyapu pandang mencari satu sosok itu. Jam belum menyentuh angka 9, yang berarti aku tak mungkin terlambat. Tak tahu kalau ternyata Biya menginap disana.

Tapi kemungkinan itu lantas sirna saat sebuah angkot berhenti di depan KBU. Kemudian sesosok perempuan berambut panjang yang dikepang itu turun dengan lincah, seolah kegiatan itu ia hapal mati. Bahkan bisa dilakukan sambil tidur.

Aku langsung turun dari motor saat angkot itu perlahan pergi, menyisakan punggunya yang hendak masuk ke kedai. "Biya!" Panggilku.

Ia menoleh dengan pasti. Kemudian matanya tertubruk dengan mataku, satu-satunya orang yang memungkinkan barusan memanggilnya. Ia mengerutkan kening. Sepertinya tak mengenaliku.

Aku segera menghampirinya. Langkahku melambat saat jaak kami mulai dekat, hingga benar-benar berhenti saat jarak kami hanya satu jengkal dari ujung sepatu. "Halo, Biya."

"Ya? Ada apa?" Dia bertanya cepat.

Hening sempat menyelimutiku saat pertanyaannya mengejutkanku. Dia bukan bertanya 'siapa' tapi malah 'ada apa'. Namun tatapannya yang bolak-balik diarahkan dari aku dan kedai menyadarkanku bahwa waktunya tak banyak. Aku berdehem membersihkan tenggorokkan. "Aku Gian, anak baru kelas 11 IPA 2, anggota baru ekskul band, dan yang semalam ngechat."

Biya mencerna informasiku dengan cepat, wajahnya tak terkejut terlalu lama. Ia hanya mengijinkanku melihat keterkejutannya hanya dalam beberapa detik saja. "Oh, terus?"

Rahangku nyaris jatuh ke tanah mendengar responnya, apalagi nadanya itu. Aku hampir berteriak frustasi. Padahal semalaman aku memikirkan probabilitas yang mungkin terjadi seperti salah satu yang aku inginkan jadi kenyataan yaitu, Biya hanya tak suka chatting, dan dia sebenarnya ramah bila ditemui langsung. Tapi Biya ternyata seperti buku berbahasa asing yang diberikan sebagai hadiah di hari ulang tahunku: ada di hadapanku dalam wujud yang paling nyata dan terbuka, namun sebenarnya paling misterius di dunia karena bahasa kami berbeda. Dan aku belum punya kamusnya.

"Kamu selalu sedingin ini ya?" Tanyaku pada akhirnya. Menyudahi pikiranku sendiri yang sudah kemana-mana.

Kerutan di dahinya menebal, ia terlihat makin bingung. Atau tersinggung. "Maksud kamu apa?"

"Aku berusaha seramah mungkin menyapamu lewat chat karena aku nggak ketemu langsung di ekskul. Tapi balasanmu seolah aku nggak berharga untuk diladeni." Bohong. Aku menyapamu karena aku ingin kenal.

"Itu spekulasi?"

"Itu kesimpulan. Dari semua balasanmu yang super dingin itu. Apalagi bagian 'aku nggak berminat kenalan, jadi nggak usah repot ngechat'."

Kali ini seutas senyum muncul di bibirnya. Aku tak bohong kalau itu bukan jenis senyum senang, tapi senyum kecil itu mampu membuat duniaku berputar singkat satu kali. "Kenapa chat saya jadi begitu penting? Kamu itu cuma kekurangan teman, tambah lebih banyak maka kamu nggak akan setersinggung itu dengan chat saya. Lagipula saya benar-benar tidak minat, dan saya juga punya banyak urusan."

Tak perlu menunggu responku, Biya balik kanan bubar jalan masuk ke kedai. Tak menoleh lagi, sekalipun.

Oh, wow. She is so cool. Both in connotative and denotative ways.

---

Malam ini, jam 9 malam, aku kembali ke KBU. Setelah diusir dan ditolak mentah-mentah tadi pagi, energi keberanian yang berlebihan itu mampu membuatku menyeret si Ireng kesini lagi. Bedanya, aku tak menunggu di seberang kedai layaknya tukang ojek seperti tadi, kali ini aku benar-benar datang untuk makan. Semangkuk bakso urat bakar lada hitam yang sempat tertunda harus tuntas malam ini. Begitu juga Biya yang omongannya sudah lebih pedas dari lada hitam.

Aku duduk di lantai 2 bagian lesehan, sendirian di antara pasangan dimabuk cinta dan keluarga bahagia. Keadaanku diperparah oleh laki-laki berambut klimis yang menerima pesananku, bukan si Bidadari Musim Dingin. Oh ya, nama itu resmi kusandingkan dengan nama Biya sejak tadi pagi. Setelah senyumnya yang indah itu muncul berbarengan dengan ucapannya yang sedingin salju.

"Pesan apa, Mas?" Pria itu sudah siap menulis.

Aku menyebutkan pesananku dengan lancar. Kemudian menahannya sebelum ia beranjak pergi. "Mas, nanti yang nganter pramusaji yang namanya Biya ya? Saya teman sekolahnya, mau ada yang ditanyain soal sekolah."

Meski agak bingung, pria itu pun menangguk. "Iya nanti saya sampaikan ke Biya."

Kemudian ia pergi dan membuatku menunggu dalam pikiranku. Aku benar-benar nekat. Bukan karena tak menyiapkan kata-kata yang akan aku ucapkan padanya, tapi justru karena kata-kata itu kelewat terencana hingga aku tak percaya aku yang merencanakannya. Itu, gila.

Lamunanku tak lama buyar. Sosok yang kulamuni sudah datang membawa gelas jus jeruk. Baksoku belum.

Tatapan Biya masih pantas menyandang Bidadari Musim Dingin. Masih membuat duniaku berputar dalam bola salju. "Mau tanya apa soal sekolah? Kan ada Ocha dan kembarannya. Lagipula kita ga sekelas."

"Aku mau bicara soal chat dan yang tadi pagi." Ujarku langsung. "Aku--"

"Kita bicara setelah saya selesai. Itu juga kalau kamu mau, kalau nggak ya terserah. Sekarang saya lagi kerja." Dengan itu ia meninggalkanku bergantung di pohon harapan.

---

Aku sengaja melambatkan kecepatan makanku. Hingga pukul 10 tepat baru aku menuntaskannya. Maaf ya pencipta rasa bakso itu, aku membiarkannya dingin sampai rasa aslinya sudah tak karuan lagi. Aku tak akan berkomentar lebih jauh soal rasanya, suer.

Setelah membayar, aku tak juga menemukan Biya. Pikiran bahwa aku dikerjai dan ternyata dia sudah pulang menghampiri. Tapi buru-buru kutepis karena aku percaya Biya tidak selawak itu. Akhirnya kutunggui dia di atas si Ireng. Mengawasi kegiatan bersih-bersih kedai seperti tukang parkir tak ada pelanggan. Iseng.

15 menit setelahnya, aku benar, Biya tak selawak itu. Dia keluar dari kedai dengan jaket hitam membungkus tubuhnya dan tas kecil yang ia sampirkan di bahu kanan. Biya berdiri di depanku dengan tatapan tepat bertemu di mata. "Jadi? Apa? Kamu masih penasaran kenapa saya dingin ke kamu? Satu jawabannya, saya nggak minat kenalan."

Jawaban itu sudah kuketahui, tapi tetap saja ada perasaan yang berbeda mendengarnya lagi. "Bukan, eh sebenarnya iya, tapi ada hal lain." Biya tak bersuara, membuatku buru-buru melanjutkan. "Mungkin kamu nggak akan percaya, atau kamu anggap aku gila. Terserah. Tapi aku suka sama kamu. Sejak pertama kali melihatmu menerima pesanan di kedai ini. Sebenarnya itu alasanku masuk band dan ngechat semalam. Aku naksir kamu."

"Kamu beneran gila." Biya hendak melangkah, namun aku buru-buru menahannya.

"Aku tahu, tapi itu yang aku rasakan sekarang. Aku nggak mau bohong."

Biya menutup rapat jaketnya, dia kedinginan. Sementara matanya masih terpaut di mataku. Ada getir disana, atau entah apa, yang pasti ada hal yang membuatku tak berani berspekulasi lagi tentang pikirannya, perasaaannya. "Dengar, Gian. Kamu itu lucu. Kamu sendiri yang bilang kamu anak baru, aku baru tahu mukamu tadi pagi, dan sekarang kamu bilang kamu suka aku?" Raut tak percaya muncul di wajahnya. "Kalau kamu cari mainan untuk mengisi hari-harimu yang membosankan, cari orang lain. Saya punya terlalu banyak urusan yang lebih penting dibanding meladeni kamu. Dan parahnya, saya nggak kenal kamu. Ngerti nggak? Gimana bisa kamu berharap jawaban positif dari mulut saya ini?"

"Oke aku ngerti gimana perasaan kamu sekarang. Pasti aku udah kayak orang gila yang tiba-tiba bilang suka sama kamu di pinggir jalan." Aku akhirnya menyerah. Bukan menyerah pada Biya, tapi menyerah pada malam yang makin dingin. "Aku anterin kamu pulang ya?"

Sebersit kelegaan sempat muncul di wajahnya, tapi raut was-was dan tak nyaman, juga sesuatu yang lain yang tak kuketahui, muncul lagi. "Nggak makasih, saya bisa pulang sendiri."

Aku hendak memaksanya untuk kuantar pulang saat tiba-tiba seorang laki-laki datang dari dalam kedai. Orang itu adalah orang yang teramat kuhapal wajahnya dan selalu kuhindari karenanya. Ia menghampiri aku dan Biya. "Biya, kirain sudah pulang." Ia bertanya pada Biya seperti sudah akrab sekali. Itu menggangguku.

Biya menoleh, "iya ini sudah mau pulang."

"Ya udah aku antar." Ada nada kuasa disana. Dia lalu melihatku, masih memandangku dengan sama tajam seperti pertama kali. "Kamu ngapain disini?"

Aku menjawabnya dengan malas-malasan. "Gue nggak perlu lapor kegiatan sehari-hari gue ke lo."

"Heh ditanya baik-baik, malah nyolot!" Ia hendak maju dengan tangan terkepal.

Sebelum ada pertumpahan darah, karena aku siap meladeni kepalan tangan itu, Biya maju di antara kami berdua. "Sudah, Ngga. Kamu antar saya pulang aja. Sudah malam."

Masih setengah emosi, Angga mundur. Ia lalu mengeluarkan kunci dari sakunya, dan menaiki sebuah motor. Tak lama Biya langsung naik ke motor itu. Meninggalkanku dengan lebih banyak spekulasi. Sendirian duduk di atas si Ireng. Sudah persis seperti tukang parkir tak berpelanggan sungguhan.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
Similar Tags
Pulpen Cinta Adik Kelas
493      290     6     
Romance
Segaf tak tahu, pulpen yang ia pinjam menyimpan banyak rahasia. Di pertemuan pertama dengan pemilik pulpen itu, Segaf harus menanggung malu, jatuh di koridor sekolah karena ulah adik kelasnya. Sejak hari itu, Segaf harus dibuat tak tenang, karena pertemuannya dengan Clarisa, membawa ia kepada kenyataan bahwa Clarisa bukanlah gadis baik seperti yang ia kenal. --- Ikut campur tidak, ka...
Karena Aku Bukan Langit dan Matahari
665      469     1     
Short Story
Aku bukan langit, matahari, dan unsur alam lainnya yang selalu kuat menjalani tugas Tuhan. Tapi aku akan sekuat Ayahku.
Dua Warna
670      460     0     
Romance
Dewangga dan Jingga adalah lelaki kembar identik Namun keduanya hanya dianggap satu Jingga sebagai raga sementara Dewangga hanyalah jiwa yang tersembunyi dibalik raga Apapun yang Jingga lakukan dan katakan maka Dewangga tidak bisa menolak ia bertugas mengikuti adik kembarnya Hingga saat Jingga harus bertunangan Dewanggalah yang menggantikannya Lantas bagaimana nasib sang gadis yang tid...
UnMate
1053      613     2     
Fantasy
Apapun yang terjadi, ia hanya berjalan lurus sesuai dengan kehendak dirinya karena ini adalah hidup nya. Ya, ini adalah hidup nya, ia tak akan peduli apapun meskipun...... ...... ia harus menentang Moon Goddes untuk mencapai hal itu
Aku Bukan Kafir!
10579      2452     6     
Inspirational
Pemuda itu bernama Arman, suku jawa asli yang lahir dari seorang buruh sawah di daerah pelosok Desa Peloso, salah satu Desa di Jombang. Ngatini adalah adik dari almarhumah Ibu kandung Arman yang naik ranjang, menikah dengan Pak Yusup yang biasa dipanggil Lek Yusup, Bapak kandung Arman, yang biasa dipanggil Lek Yusup oleh orang-orang sawah. Sejak kecil Arman selalu ikut Lek Yusuf ke sawah. Hingga ...
Tumpuan Tanpa Tepi
11397      3158     0     
Romance
Ergantha bercita-cita menjadi wanita 'nakal'. Mencicipi segala bentuk jenis alkohol, menghabiskan malam bersama pria asing, serta akan mengobral kehormatannya untuk setiap laki-laki yang datang. Sialnya, seorang lelaki dewasa bermodal tampan, mengusik cita-cita Ergantha, memberikan harapan dan menarik ulur jiwa pubertas anak remaja yang sedang berapi-api. Ia diminta berperilaku layaknya s...
dr. romance
949      560     3     
Short Story
melihat dan merasakan ucapan terimakasih yang tulus dari keluarga pasien karena berhasil menyelamatkan pasien.membuatnya bangga akan profesinya menjadi seorang dokter.
ALUSI
9751      2313     3     
Romance
Banyak orang memberikan identitas "bodoh" pada orang-orang yang rela tidak dicintai balik oleh orang yang mereka cintai. Jika seperti itu adanya lalu, identitas macam apa yang cocok untuk seseorang seperti Nhaya yang tidak hanya rela tidak dicintai, tetapi juga harus berjuang menghidupi orang yang ia cintai? Goblok? Idiot?! Gila?! Pada nyatanya ada banyak alur aneh tentang cinta yang t...
North Elf
2169      1019     1     
Fantasy
Elvain, dunia para elf yang dibagi menjadi 4 kerajaan besar sesuai arah mata angin, Utara, Selatan, Barat, dan Timur . Aquilla Heniel adalah Putri Kedua Kerajaan Utara yang diasingkan selama 177 tahun. Setelah ia keluar dari pengasingan, ia menjadi buronan oleh keluarganya, dan membuatnya pergi di dunia manusia. Di sana, ia mengetahui bahwa elf sedang diburu. Apa yang akan terjadi? @avrillyx...
The Journey is Love
771      513     1     
Romance
Cinta tak selalu berakhir indah, kadang kala tak sesuai dengan apa yang kita harapkan. Mencintai tak mesti memiliki, begitulah banyak orang mengungkapkan nya. Tapi, tidak bagiku rasa cinta ini terus mengejolak dalam dada. Perasaan ini tak mendukung keadaan ku saat ini, keadaan dimana ku harus melepaskan cincin emas ke dasar lautan biru di ujung laut sana.