Baiklah. Aku tidak sabar untuk hari ini. Aku selalu terbakar semangat untuk datang di pertemuan rutin BMC.
Elliot segera menemuiku dan kami berangkat bersama menuju sekretariat BMC. Hampir setengah ruangan sudah dipenuhi senior dan junior yang saling bersenda gurau.
Aku dan Elliot mengambil tempat duduk paling belakang. Ben selaku ketua Beverly Movie Corp masuk dengan membawa map biru ditangan berototnya. Sepertinya itu adalah segelintir informasi yang akan segera aku dan anggota lainnya ketahui.
"Oke. Ayo langsung kita mulai saja. Gue gapunya banyak waktu"
"Jadi sebelumnya kalian udah tau kan tentang Queen of December?"
"Jadi mulai sekarang, lo semua bakal berpasangan sama siswi tahun pertama yang daftar di Queen of December. Tugas lo adalah bikin film dokumenter tentang kegiatan sehari-hari mereka. Jadi, terima atau enggak lo harus punya hubungan yang baik sama mereka dan bareng mereka terus. Film dokumenter lo bakal diputar nanti sampai pengumuman terakhir Queen of December. Siswi yang menang, bakal jadi Queen of December, dan pasangan siswanya juga bakal dapet beasiswa ke Kanada. Kalo lo sama partner lo gagal di tahap seleksi, maka berakhir sudah. Jadi tolong pikir baik-baik. Gue gamau BMC dipandang jelek. Gue tau lo semua bisa gue andalkan"
"Jadi kita harus bareng terus sama kandidat selama 3 tahun?" Tanya Elliot
"Kurang lebih begitu"
"Makanya carinya yang cantik biar nggak bosen"
"Gue harap kalian bisa mengerjakan tugas ini dengan baik. Jangan setengah-setengah. Ada yang masih kurang jelas?"
"Oh iya Ben. Kita yang pilih sendiri pasangan kita, mereka yang pilih kita, atau diacak?" Tanya seseorang dari sudut.
"Kemaren gue tanya ketua jurnal katanya bakal diacak. Kalian siap-siap aja"
"Okelah gue ada urusan lagi. Kalau ada yang masih bingung, tanya August aja" Ben pergi keluar dari sekretariat BMC.
"Gue gatau ternyata bakal ribet banget" ucapku pada Elliot
"Makanya kalo baca brosur jangan setengah-setengah" Ah benar, pasti seluruh yang dijelaskan Benedict adalah semua hal yang terlewat saat kubaca artikel dan brosur December of Queen. Satu hal yang menarik bagiku. Jika aku menang, aku akan mendapat beasiswa.
————————
"Kira-kira siapa pasangan gue nanti ya?" Tanya Elliot sambil menyesap segelas Avocato Grande miliknya. Aku hanya bergidik bahu tanpa memberi banyak perhatian terhadap dirinya.
"Gue berharap Calsey" yang satu ini menarik perhatiannya. Bahkan aku hampir tersedak saat tengah meneguk secangkir kopi Espresso.
"Calsey? Yang rambutnya kayak api itu?" Sekarang aku punya julukan baru untuk rambut merah Calsey.
"Menurut gue dia cantik. Dan yang gue tahu, dia jago sastra. Dia juga sering ke luar negeri kayak Kanada, Inggris, Jepang, sama Jerman. Dan dia juga jago banget fisika"
"Lo tau darimana?"
"Gue kemarin dikasih tau Emily"
"Emily?"
"Iya. Emily udah temenan sama Calsey dari SD"
"SD? Gue gapernah liat mereka bareng kayaknya"
"Gue juga gapernah. Mungkin mereka ada masalah"
Aku menyesap kopiku sebagai tegukan terakhir. Begitu juga dengan Elliot. Seperti kita harus menyudahi percakapan ini. Para pelayan sepertinya sudah letih berdeham untuk memberi kode agar aku dan Elliot segera pergi karena sekarang sudah larut malam.
"Ayo balik sekarang. Gue ngeri daritadi tuh si kasir ngeliatin gue sinis banget. Kayaknya kita diusir" Elliot mengenakan tas ranselnya kemudian berdiri.
"Gue juga diliatin daritadi. Lagian kenapa kita gaboleh disini lama-lama?"
"Ya lo pikir ini hotel? Mikir aja"
"Tapi kan pembeli raja"
"Raja gak nongkrong di kafe pinggir jalan mas"
Elliot ada benarnya juga. Aku dan Elliot bergegas keluar dari kafe sebelum pak manajer datang dan mengusir kita secara langsung.
"Gue mau ke toko obat sebentar. Kepala gue agak pusing daritadi" ucapku. Elliot pun setuju dan kami berpisah di ujung jalan. Aku berbelok ke kanan dan Elliot ke kiri.
Aku tak akan menghabiskan waktu lama yang memiliki bau khas seperti lab kimia ini. Aku sedikit membungkuk untuk memilih obat kepala yang tepat sebelum membawanya ke kasir.
Aku tercengang saat kembali ke posisi semula dan melihatnya. Dia memakai hoodie hitam yang menutupi separuh wajahnya. Tangannya memuat berbagai obat, dan saat aku melihatnya, dia sigap memasukkan seluruh barangnya ke keranjang.
"Calsey?"
Dia terkesiap dan menarik hoodienya lebih dalam.
"Lo ngapain disini?" Tanyanya.
"Entah menurut lo?" Aku tak tahu apa yang ia pikirkan. Menurutmu, apa yang kalian lakukan di toko obat selain membeli salah satu produknya?
Calsey mengerutkan dahi dan lekas pergi sambil menenteng keranjang obat yang kini setengah penuh. Aku sedikit berjinjit untuk mengintil isi keranjangnya. Tapi itu sia-sia, aku tak akan mengenali kemasan obatnya. Kuyakin dia punya keluarga yang oenyakitan karena obat yang demikian banyak tak akan dia konsumsi sendirian. Atau jika dia konsumsi sendirian, pasti besok dia sudah tiada karena overdosis obat.
——————
Rumah sunyi dan sepi seperti biasa. Terkadang, aku suka berandai-andai tentang kehadiran mama. Kalau saja mama masih ada, dan papa masih waras, aku tak akan pernah merasa sendirian untuk 3 tahun belakangan ini.
Sejak papa meninggal 3 tahun lalu, mama kehilangan separuh jiwanya. Aku tidak bermaksud untuk berlebihan, tapi memang begitu kenyataannya. Tatapannya selalu kosong dan tajam. Dia tak pernah berbicara tentang hari-harinya atau hal-hal normal yang biasa dilakukan sebuah keluarga saat makan malam. Mama selalu pulang tengah malam dan pulang saat fajar. Begitulah rutinitasnya. Aku hampir tak pernah melihatnya dirumah. Pekerjaannya terlalu banyak hingga membuatnya lupa bawah ia memiliki seorang anak.
Bertanya tentang kabarku pun tidak. Dia lebih fokus pada laptop dan berkas-berkas yang menumpuk diatas meja kerjanya. Dia tak pernah mengambil hasil rapotku. Terkadang aku malu untuk membujuk ibunda Elliot untuk mengambil rapotku. Andai mama seperti ibu Elliot. Aku tak bisa membayangkan bagaimana bahagianya Elliot dikaruniai ibunda superior yang tahu kapan anaknya sedih ataupun bahagia. Sedangkan mama, untuk bertanya tentang kabarku pun mustahil.
Aku berjalan menuju kamar, menarik selimut dan mulai bercengkrama dengan diorama pikiran yang makin lama makin berkecamuk dan berkumpul menjadi pertanyaan yang acak.
Tiba-tiba saja muncul perkataan Elliot beberapa jam lalu saat dia bercerita tentang gadis si rambut maroon. Aku sungguh tak menyangka gadis seperti dia dapat bertahan dengan ilmu fisika bahkan mendapat gelar 'jago'. Yatuhan, bagiku radioktivitas dan termodinamika hanyalah cara alternatif untuk mendapat mimpi buruk. Aku memang tak pernah akur dengan fisika. Membaca bukunya saja aku ogah. Setiap kali ada kelas fisika aku hanya ingin menggali kuburanku sendiri dan menenggalamkan diri kedalamnya.
Aku juga membayangkan pasti dia memiliki masa depan cermerlang melihat keahliannya di bahasa dan fisika. Mungkin dia bisa menjadi penerjemah, atau duta untuk raja dunia. Atau bisa jadi bekerja di LAPAN dan profesi yang berhubungan dengan fisika.
Aku jadi memikirkan apa cita-citaku, dan akan jadi apa aku di masa yang akan datang. Saat kecil, aku ingin menjadi sutradara hebat seperti papa. Tapi, sejak kejadian mengerikan itu, aku benar-benar tidak mau menjadi sutradara. Meski dalam lubuk hatiku yang terdalam, aku ingin mengejar impianmu yakni membuat film untuk dunia seperti yang papa lakukan. Bahkan aku sempat berhenti menyentuh kamera selama hampir 1 tahun, namun semuanya kini berjalan membaik. Tapi tetap saja, aku tidak ingin berakhir mengenaskan seperti papa. Jadi kurasa impianku tersebut harus dikubur dalam-dalam demi melindungi diriku sendiri.
love this story :)
Comment on chapter Beverly