Di sebuah meja makan dalam kedai kopi, dua orang pria sedang beradu urat. "Aku meneleponmu dan mengajakmu ke sini untuk membahas masalah kedua anak kita," kata Pak Fauzi, "tapi sebelum itu, aku akan membahas masa lalu kita."
Pak Alvin tertawa mengejek. "Abang masih ingat masa lalu itu?" tanyanya. "apa lagi yang ingin abang tanyakan?"
Pak Fauzi menghela napasnya. "Aku tidak ingin bertanya tentang apa pun lagi. Aku hanya ingin minta maaf padamu."
"Jika aku tahu dari awal kalau kalung itu akan Abang berikan ke Asri, aku tidak akan sesakit ini. Abang sudah aku anggap Abangku sejak Abang datang ke Medan, tapi Abang tega melakukan ini," Kata Pak Alvin. Dia lalu mengambil sebatang rokok dan menghisapnya.
"Aku tidak tahu kalau kalung itu akan kau berikan pada Asri. Aku pikir kau akan memberikannya pada Sonia, karena kau sudah sangat dekat dengannya. Aku juga sudah menganggap kau sebagai adikku, karena kau adalah sepupu dari sahabatku, Yanto."
"Abang masih ingat kisah kalung itu? Kalung yang berinisialkan nama kita dan kita akan memberinya pada orang yang paling kita sayangi," kata Pak Alvin.
"Ya, aku masih ingat semuanya. Kau membelinya dengan sisa tabunganmu, hingga kau dimarahi orangtuamu," kata Pak Fauzi yang tersenyum membayangkan kejadian itu.
"Kemarin Sonia marah karena dia pernah melihat Asri juga memakai kalung yang serupa dengan miliknya. Dia mengira itu adalah kalung dengan inisial nama Asri."
Pak Fauzi terkejut mendengarnya, "Kau harus menjelaskannya!" perintah Pak Fauzi.
"Ya. Aku akan menjelaskannya dan melakukan sesuatu untuknya," ujar Pak Alvin, "untuk masalah anak kita, aku tidak pernah melarang mereka berhubungan. Bukan karena Abang orang kaya, tapi karena aku tahu Abang mendidiknya dengan sangat baik. Walaupun Raisa bukan anak kandungku, aku ingin dia mendapatkan pasangan yang terbaik."
"Aku mengerti. Kau sudah menjadi orangtua angkat yang baik untuk Raisa," ucap Pak Fauzi.
"Abang juga!" kata Pak Alvin.
Setelah petemuan itu, Pak Alvin pulang ke rumahnya dan langsung menemui Bu Sonia. "Sayang, kamu di mana?" teriak Pak Alvin. Tidak ada jawaban dari Bu Sonia, dia lalu ke kamarnya dan menemui Bu Sonia yang duduk di sofa kamar sambil melamun. "Kenapa kamu tidak menjawab panggilanku?"
Bu Sonia menghela napas. "Aku sedang tidak ingin bertengkar dengan Abang!" Bu Sonia merasa sangat pusing karena masalah ini, kepalanya berdenyut-denyut seakan ingin pecah.
Pak Alvin berlutut di hadapannya dan berkata, "Abang minta maaf padamu. Abang tidak pernah lagi memikirkan Asri semenjak dia memilih Bang Fauzi."
Bu Sonia terkejut mendengarnya, "Jadi Abang mengenal Mas Fauzi, suaminya Asri?"
"Kamu harus tahu, Fauzi sudah Abang anggap sebagai abangku, karena dia sahabatnya Yanto. Kalung itu kami beli di sebuah toko perhiasan, kalung yang berinisialkan nama kami," jelas Pak Alvin.
Bu Sonia heran, "Huruf 'A' itu bukan inisial nama Asri?"
Pak Alvin menggeleng. "Huruf 'A' untuk inisial Alvin dan Achmad. Kamu sudah salah paham selama ini. Kami berdua berjanji akan memberikan kalung itu pada orang yang kami sayangi," jelas Pak Alvin.
Bu Sonia merenung sejenak, dia tidak tahu harus mengatakan apa atas kesalahpahaman ini.
"Dari dulu kamu selalu bersamaku, walau kamu tahu awalnya Abang tidak mencintaimu. Tapi berikutnya Abang mengerti, Abang sudah menyia-nyiakan wanita sebaik kamu. Seandainya saat itu kamu memilih salah satu dari puluhan pria yang mengejarmu, mungkin Abang akan menyesal sekarang," ujar Pak Alvin.
"Abang tahu, saat itu aku seperti mengharapkan bintang jatuh dari langit. Aku tidak berharap lebih, karena walau bintang itu terang dan berkilau di tempat yang tinggi, maka aku juga akan senang melihatnya," jelas Bu Sonia, "tapi setelah mendapatkan bintang itu, aku tidak ingin melepaskannya dari genggamanku. Maafkan aku, Bang!"
Pak Alvin tersenyum. "Kamu akan selalu ada di hati bintang itu, Sayang!" Pak Alvin lalu mengambil kotak yang berisi kalung berukir huruf 'S' yang berarti Sonia. "Ini untukmu! Abang baru saja membelinya!"
Bu Sonia melihat kalung emas itu dan dia sangat senang sekali. "Abang membelikan ini untukku. Aku sangat menyukainya," ucap Bu Sonia.
"Abang akan memasangnya ke lehermu," ucap Pak Alvin. Setelah kalung itu berada di leher Bu Sonia dia berkata, "Kamu sangat cantik sekali!"
"Terima kasih, Bang!" ucapnya malu-malu, "lalu bagaimana dengan kalung yang kemarin aku kembalikan padamu?"
"Aku sudah membuangnya!"
"Sayang dong, Bang!" jawab Bu Sonia kesal.
***
Shandy sudah tiga hari tidak pulang ke rumah, Bu Asri sering menangisinya di ruang keluarga. Shandy tidak pernah mengangkat panggilan telepon dari siapa pun.
Maliq selalu menghibur mamanya setiap hari, bercerita hal-hal lucu yang membuat gelak-tawa. "Bagaimana kalau kita melihat foto zaman dulu, Ma. Maliq ingin melihat Mama sewaktu masih muda!" usul Maliq.
"Saran yang bagus. Tolong Maliq ambilkan album di laci meja rias Mama!" perintah Bu Asri.
Maliq langsung berlari dengan senangnya mengambil album itu, dia membuka laci meja rias mamanya dan mengambil album itu dari dalamnya. Namun setelah menarik album tersebut, selembar kertas terjatuh ke lantai. Maliq langsung mengambilnya dan berencana meletakkannya kembali ke dalam laci. Lalu tak sengaja dia melihat isinya, sebuah kertas dari rumah sakit tepat saat dia dan Shandy kecelakaan satu tahun yang lalu. Maliq melihat nama Pak Joni mendonorkan darahnya yang bergolongan darah AB negatif. Ah, mungkin salah satu di antara kami membutuhkan banyak darah.
"Maliq! Kamu menemukannya?!" teriak Bu Asri.
Maliq meletakkan kertas itu kembali ke laci meja dan menjawab panggilan mamanya. "Tunggu sebentar, Ma! Maliq sudah mendapatkannya," teriak Maliq kembali.
Bu Asri membuka album foto dan menceritakan seluruh isi cerita di balik foto-foto itu. Dia lalu melihat fotonya dengan seseorang di satu acara saat masih SMA. Dia teringat dengan ucapan Shandy untuk segera meminta maaf pada Bu Sonia, tapi dia masih enggan untuk melakukannya. Namun setelah melihat foto itu, dia langsung bergerak ke rumah Bu Sonia.
Bu Asri mengetuk pintu rumah Bu Sonia saat sudah tiba di rumahnya. Setelah menunggu beberapa menit, pintu itu dibuka oleh Bu Sonia sendiri.
"Untuk apa kau ke sini?" Bu Sonia ingin segera menutup pintu rumahnya, namun ditahan Bu Asri.
"Tunggu sebentar, Sonia! Aku ingin berbicara empat mata denganmu," jawabnya, "aku ingin minta maaf!" lanjut Bu Asri dengan tulus dan ikhlas.
"Masuklah!" perintah Bu Sonia.
Setelah masuk dan dipersilahkan duduk, Bu Asri lanjut berbicara, "Aku benar-benar minta maaf padamu. Jangan jadikan masa lalu kita sebagai hambatan hubungan kedua anak kita. Raisa begitu baik dan Shandy sangat menyayanginya."
Bu Sonia menghela napas, dia melihat Bu Asri dengan seksama. Dia langsung teringat masa-masa indah di mana mereka bersama sewaktu SMA dan akhirnya harus berpisah karena kesalahpahaman dengan seorang pria. "Aku juga minta maaf pada kau, Asri. Ini berjalan begitu saja. Aku masih sangat kesal sekali sehingga berakar pada hal apa pun yang menyangkut tentang kau," ucap Bu Sonia.
"Iya aku mengerti, itu wajar kok. Tapi sekarang anggap saja itu adalah masa lalu kita, Sonia. Semua kesalahan di masa lalu, masih bisa kita perbaiki dengan tidak melakukan kesalahan yang sama. Dahulu kamu adalah sahabatku, kenapa kita tidak meneruskan persahabatan itu ke hubungan yang lebih baik sekarang?" kata Bu Asri dengan tenang.
Bu Sonia mengangguk. "Aku akan lebih sabar dan berpikir jernih lagi dalam masalah seperti ini. Sekarang kita bisa mencoba kembali untuk berteman lebih baik!"
Bu Asri tersenyum dan mengangguk, selanjutnya dia merangkul Bu Sonia sambil meneteskan beberapa butir air mata haru. "Sekarang di mana Raisa?"
"Aku mengusirnya setelah melihatnya bersama Shandy tiga hari yang lalu," jawab Bu Sonia lesu.
Bu Asri lalu menggenggam tangan Bu Sonia, "Kenapa kamu mengusirnya, Sonia?"
"Aku terlampau kesal padanya, dia tidak mendengar kata-kataku."
"Jangan berkata seperti itu, dia sudah menjadi anakmu. Bagaimanapun sikapnya, itu adalah cerminan dari kalian. Dia sudah lama tinggal dengan kalian, kamu sudah memberikan kasih sayang sebagai seorang ibu," kata Bu Asri menjelaskan. Dia sudah tahu sejak lama bahwa Raisa adalah anak angkat dari Pak Alvin dan Bu Sonia melalui suaminya.
"Tapi aku sangat kesal padanya, Asri."
"Aku juga awalnya kesal pada Shandy, tapi sekarang aku sangat menyesal," kata Bu Asri sambil menangis, "walaupun Raisa adalah anak angkatmu, apa kamu tidak senang saat pertama kali Raisa memanggilmu 'Mama'?"
Bu Sonia tersentak mendengar pernyataan Bu Asri. Pernyataan itu sungguh benar. Dia merasa sangat senang sekali waktu pertama kali Raisa mengganti dengan memanggilnya 'Mama'. Padahal sebelumnya Raisa memanggilnya dengan sebutan 'Tante'. Dia lalu menangis membayangkannya. "Asri. Bagaimana memperbaikinya sekarang?"
"Masih ada kesempatan, Sonia. Raisa pasti akan mengerti bila dia juga sangat menyayangimu. Sekarang yang kita lakukan adalah mencari tahu keberadaan mereka!"
"Baiklah. Ayo kita lakukan!" seru Bu Sonia.
Setelah pertemuan antara Bu Asri dan Bu Sonia, kedua keluarga itu mencari tahu keberadaan Shandy dan Raisa. Hingga akhirnya mereka mengetahui Shandy dan Raisa sedang berada di Bukit Tinggi, Sumatera Barat.
Tanpa pikir panjang kedua orangtua itu langsung membeli tiket pesawat dan menuju ke sana. Dalam perjalanan, mereka sangat gelisah tentang apa yang akan terjadi setelah ini. Semoga Shandy dan Raisa bisa memaafkan mereka.
***
Setelah puas melihat keindahan Danau Toba yang begitu mengagumkan, kedua anak manusia yang sedang dimabuk asmara kembali melajukan perjalanan mereka ke arah Selatan menuju Bukit Tinggi, Sumatera Barat.
"Aku sangat menyukai Danau Toba, sungguh besar ciptaan Tuhan menjadikan Danau seindah itu dari letusan gunung berapi. Bukit-bukit yang ada di sekitarnya, lukisan alam yang sangat indah. Aku tidak pernah bosan ke sana berulang kali," ucap Raisa.
"Danau Toba, menurut kisahnya terjadi akibat marahnya seorang ibu karena anaknya yang bernama Toba disebut anak ikan. Begitulah rasa cinta seorang ibu pada anaknya. Jadi, apa kamu akan memaafkan mamamu, Sayang?" ujar Shandy.
"Aku tidak marah pada mama, Sayang. Aku hanya kesal saja!" jawab Raisa.
"Semarah apa pun orangtua kita, itu karena mereka terlalu menyayangi kita. Mereka juga manusia biasa dan pernah khilaf. Mereka sering merasa mempunyai pengalaman yang lebih banyak daripada kita, anak-anaknya. Lihatlah kemarahan mereka dari sudut yang berbeda!" kata Shandy.
Raisa mengerti maksud penjelasan Shandy, papa dan mamanya akan selalu khawatir pada pilihannya mengenai pasangan hidup. "Bagaimana denganmu?! Kenapa kamu meninggalkan mereka?" tanya Raisa kembali.
"Aku hanya ingin memberitahu mereka, bahwa aku sangat menyayangimu. Aku akan membuktikan bahwa aku bisa menjagamu dengan seluruh kekuatanku," jawab Shandy.
"Huu! Sudah mirip Maliq sekarang, ya. Sok super hero!" ejek Raisa.
"Aku akan selalu menjadi super hero untukmu!"
Setelah melewati kelok 9 yang aduhai, mereka sampai di Bukit Tinggi. Mereka mengunjungi beberapa tempat menarik di sana. Awalnya mereka menuju lembah Anai. Lembah Anai menghadirkan keindahan air terjun dengan air yang jernih dan dingin sekali. Puas menikmati keindahan lembah Anai mereka menuju Danau Singkarak, dan kemudian beristirahat di Danau Maninjau.
"Apa kamu bahagia bersamaku, Raisa?" tanya Shandy saat melihat Raisa yang sangat senang sambil menikmati air kelapa.
"Ya, aku sangat senang! Aku tidak pernah sesenang ini sebelumnya. Karena dengan bersamamu, dunia terasa lebih indah," ujar Raisa.
Shandy memperhatikan Raisa saat berbicara. Wajahnya sangat cantik sekali, bibirnya yang merah itu bergerak-gerak mengikuti huruf-huruf yang dia sebutkan.
"Apa yang kamu perhatikan?" tanya Raisa.
"Kamu ternyata sangat manis, Raisa!" puji Shandy. Dia lalu membentangkan tangannya ke arah Raisa.
Raisa heran saat Shandy mendekatinya, wajahnya yang tampan sangat dekat ke arahnya. "Kenapa kamu membentangkan tanganmu?" tanyanya kembali.
Tanpa menjawab pertanyaan itu, Shandy langsung mengecup bibir Raisa. Ciuman pertama keduanya di sebuah danau yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.
"Aku mencintaimu!" kata Shandy.
"Aku juga mencintaimu," ucap Raisa.
Mereka lalu tersenyum bahagia. "Aku ingin membeli beberapa pakaian untuk Mama. Di sini banyak menjual baju dengan payet yang sangat indah," kata Raisa memberitahu.
"Baiklah. Ayo kita ke mall di dekat Jam Gadang," ajak Shandy.
Mereka menuju Jam Gadang dan melihat-lihat pakaian yang di jual di tempat perbelanjaan di sekitarnya. Lalu membeli beberapa potong baju serta oleh-oleh lainnya. Setelah puas berbelanja, mereka berencana mencari penginapan untuk beristirahat. Shandy dan Raisa menghentikan langkah kaki mereka saat melihat kedua orangtua mereka sudah berdiri di depan.
"Raisa, kemarilah!" teriak Bu Sonia.
"Shandy, kamu juga. Kemarilah, Sayang!" teriak Bu Asri.
Kedua anak itu begitu bahagia melihat orangtua mereka datang menjemput. Senyum indah itu terlihat di wajah kedua mama mereka yang lembut dan penuh kasih sayang. Mereka berdua menghampiri orangtua masing-masing.
Raisa memeluk Bu Sonia dan meminta maaf, pelukan yang selalu hangat menerimanya saat sedih atau pun senang. "Maafin Raisa, ya, Ma! Raisa sangat merindukan Mama!" ucap Raisa.
"Mama yang seharusnya minta maaf. Apa yang telah mama katakan padamu, lupakanlah! Seperti angin yang berlalu, tanpa ada yang tertinggal di benakmu," kata Bu Sonia.
Sedangkan Shandy memberikan salam tangan lalu meminta maaf pada Bu Asri. Tangan itu tidak lembut lagi, tapi tangan itulah yang selalu memberinya ridho pada setiap langkah dan tujuannya.
"Shandy minta maaf, ya, Ma! Shandy tidak bermaksud meninggalkan Mama, Shandy hanya ingin Mama bisa mengerti tujuan Shandy," ucap Shandy.
"Iya. Mama mengerti, Mama yang terlalu egois. Mama terlalu malu untuk meminta maaf lebih dulu, dan memaafkan semua yang sudah berlalu," kata Bu Asri, "mulai sekarang sudah tidak ada lagi yang namanya musuh! Semakin lama menyimpan dendam, baunya akan tercium kemana-mana!"
"Bukan hanya barang-barang mahalmu saja yang terlihat jelek di mataku, Asri. Bahkan Shandy yang ganteng dan baik ini, jadi buruk di mataku karena dendam!" canda Bu Sonia.
Mereka lalu tertawa bersama. Mulai saat itu, Shandy dan Raisa resmi berpacaran di depan semua orang termasuk di depan orangtua mereka.
keren, cerita dan diksinya
Comment on chapter Prolog