Seminggu setelah tragedi di pesta ulang tahun, persahabatan keempat gadis itu mulai retak. Keceriaan tak tampak lagi di wajah mereka, hanya karena keegoisan masing-masing. Tidak ada keterbukaan sehingga mereka mendapat jalan buntu dari permasalahan yang mereka miliki.
Kartika tidak pernah menyapa Stevi lagi, bahkan dia membuang muka saat berpapasan dengan Stevi.
Berusaha untuk tenang, Stevi mengajak Grace dan Citra berbicara, tapi kedua gadis itu merasa sangat bingung menentukan siapa yang salah di antara Kartika dan Stevi. Dari sisi Kartika, mereka menganggap dia adalah korban dari kesombongan dan keangkuhan Stevi. Sedangkan Stevi, hanya memberi alasan klasik bahwa Kartika bisa mendapatkan cowok yang lebih baik dari abangnya. Akhirnya Grace dan Citra memilih untuk tidak berhubungan dulu dengan Kartika dan Stevi.
Stevi sangat mengerti posisi Grace dan Citra saat ini, dia tidak memaksa mereka untuk berteman dengannya dalam beberapa waktu ini. Akhirnya Stevi lebih fokus dengan pelajarannya, membaca buku di perpustakaan atau mengerjakan soal-soal latihan. Stevi juga jadi lebih dekat dengan Tino untuk belajar bersama karena Tino adalah murid kutu buku di kelasnya.
Sedangkan Kartika, dia sering berhubungan dengan Farid sejak kejadian di pesta ulang tahun itu. Mereka sering berdiskusi untuk mengatur rencana, mencari peluang dan strategi yang jitu untuk membuat Stevi sakit hati. Kartika menceritakan seluruh hal yang ia ketahui tentang Stevi, phobia dan rahasia yang pernah mereka simpan.
***
Tidak ada masalah yang mereka pikirkan, itulah yang terlintas jika melihat anak-anak di Sekolah Dasar saat jam istirahat. Mereka bisa tertawa lepas tanpa beban dengan permainan yang mereka ciptakan sendiri. Setiap bulan, musim untuk jenis permainan selalu silih berganti. Bulan ini adalah musim kelereng, jadi setiap murid laki-laki wajib memiliki kelereng di dalam tas.
Kali ini mereka bermain kelereng dengan sistem yang mereka buat bersama. Mereka membuat sebuah lubang kecil di tanah lalu membuat garis start di jarak dua meter dari lubang. Kelima pemain berdiri di garis tersebut, lalu mereka melempar kelereng masing-masing ke arah lubang. Kelereng yang paling mendekati lubang akan main terlebih dahulu. Untuk pemain yang main lebih dulu harus menyentil kelereng mereka masuk ke dalam lubang, lalu dari dalam lubang mereka harus menyentil mengenai kelereng lawan. Jika pemain pertama tidak berhasil mengenai kelereng lawan maka berganti dengan pemain kedua yang berurut sesuai jarak yang lebih dekat dari lubang.
Dari kelima pemain yang tertinggal hanya Maliq dan Kevin. Para penonton bersorak untuk menyemangati keduanya. Saat ini giliran Maliq yang menyentil kelerengnya untuk mengenai kelereng Kevin.
"Ayo, Maliq!" teriakan pendukung Maliq.
Maliq berkonsentasi ke sasaran pada posisi berjongkok, matanya fokus pada kelereng Kevin yang berwarna putih susu. Setelah merasa bidikannya sudah tepat, dia menyentil kelerengnya dengan dorongan yang sudah diperhitungkan. Permainan ini sangat memerlukan ketepatan dan faktor lingkungan juga akan mempengaruhi hasil akhir. Naasnya saat itu tiba-tiba angin bertiup sangat kencang, hingga akhirnya kelereng Maliq tidak mengenai sasaran.
"Ahh. Dikit lagi!" kata Maliq kesal.
Kevin yang tadinya berdiri dengan penuh kecemasan merasa bahagia saat kelereng Maliq meleset ke samping kiri. Dia langsung berjongkok mengambil ancang-ancang dan menyerang kelereng Maliq dengan teknik yang dia miliki. Akhirnya Kevin memenangkan permainan ini karena berhasil mengenai kelereng Maliq. Dia sangat senang dan mengejek Maliq hingga puas.
"Biasa aja. Enggak usah terlalu bahagia!" ucap Maliq sewot.
Kevin hanya melompat-lompat bahagia dan terus mengejek Maliq.
"Ayo kita main lagi!" tantang Maliq.
"Males ah! Capek!" kata Kevin.
Maliq merasa jengkel dengan sikap Kevin, "Curang! Masa sudah menang langsung enceng (5)!"
"Biarin! Nanti kalau aku main lagi, kamu kalah lagi!" ejek Kevin.
"Sepele banget kamu, Vin!" kata Maliq yang semakin kesal karena diejek Kevin.
Kevin mendapat ide untuk menantang Maliq. "Mending besok kamu bawa ponsel, terus kita adu game! Berani?" kata Kevin sambil berbisik.
Maliq berpikir sejenak. Bagaimana cara minta izin ke Papa dan Mama, ya?
"Udah deh enggak usah banyak mikir!" seru Kevin yang memudarkan lamunan Maliq. "Yok ah ke kantin! Beli es!" ajak Kevin ke Maliq.
Di malam hari setelah selesai makan malam, Maliq menuju kamar Shandy. Setelah dipersilahkan masuk, dia melihat Shandy sedang memasukkan beberapa potong baju ke dalam tas. "Abang mau ke mana?" tanyanya heran.
"Besok Abang ada studi lapangan, jadi Abang membawa cadangan pakaian untuk berjaga-jaga."
"Abang akan pergi berapa hari?" tanya Maliq.
"Hanya pergi dari pagi hingga sore hari saja, tidak menginap!" jawab Shandy. "Kau ada perlu apa?" tanya Shandy heran.
Maliq yang merasa bingung untuk menerima tantangan Kevin membawa ponsel ke sekolah, akhirnya meminta solusi ke Shandy. "Aku punya masalah!"
Shandy tertawa. "Apa masalahmu? Apa kau tidak bisa membuka kaleng biskuit? Apa kau memecahkan keramik kesayangan Mama? Atau apa?"
"Aku berbicara serius, Bang!" jawab Maliq.
Shandy tertawa kembali. "Aku juga bertanya serius!" ledeknya. Shandy melihat wajah Maliq yang semakin kesal mendengar ledekannya. "Baiklah! Apa masalahmu?"
Maliq menghela napas. "Teman sekolahku menantang adu game dari ponsel besok hari di sekolah. Tapi bagaimana mungkin aku membawa ponsel ke sekolah? Papa dan mama pasti tidak mengizinkanku membawa ponsel. Bagaimana ini, Bang? Masa aku kalah ditantang oleh temanku! Malu dong!"
Shandy mengangguk sambil tersenyum. "Jadi itu masalahmu!" ucap Shandy.
"Jadi bagaimana menurut Abang?"
Shandy berpikir sejenak. Ini masalah harga diri adiknya, jadi dia harus memberi solusi yang cukup ekstrim. "Kamu harus membawa ponsel itu, tapi jangan sampai ketahuan guru sewaktu di sekolah. Oh ... Abang ada ide. Besok kamu bawa bekal yang berisi roti, lalu di dalam kotak makan tersebut kamu selipkan ponsel itu. Bagaimana?"
Maliq mencoba memahami ide tersebut, "Apa aku tidak akan mendapat masalah?"
Shandy memberi semangat, "Jika kau hati-hati, kau pasti dapat menyelesaikan misi ini!"
Maliq mengerti. "Berarti ini adalah misi rahasia kita, Abang harus menyimpan rahasia ini rapat-rapat!"
Shandy memberi hormat dan berkata, "Siap, Kapten!" dia lalu memeluk Maliq dan tertawa melihat tingkah menggemaskan Maliq.
***
Suara dering ponsel Kartika memanggilnya saat dia sedang bercermin di meja rias malam itu. Apa yang ingin Farid bicarakan malam-malam begini? Dia lalu mengangkat ponselnya, "Halo, ada apa Farid?"
"Halo, Kar. Aku sudah mempunyai rencana!"
Kartika tersenyum jahat. "Apa itu?"
"Kita sakiti Stevi dengan cara menyakiti adiknya, Sherly. Jika Stevi melihat Sherly terluka, dia pasti akan sakit hati!"
Kartika menerawang kemungkinan yang terjadi atas tindakan itu. "Apa rencanamu itu tidak berbahaya?"
"Tidak! Hanya membuat Sherly takut saja, lalu kita mengancamnya dan berkata ini semua kita lakukan karena sakit hati pada Stevi! Setelah itu, Sherly pasti akan membenci Stevi, karena membawa dia dalam masalahnya! Bagaimana? Apa kau setuju?"
"Rencanamu cukup bagus dan menyenangkan. Apa tugasku?" kata Kartika sambil menyisir rambutnya di depan cermin.
Terdengar suara Farid tertawa. "Besok kau ajak Sherly ke rumah kosong di belakang sekolah melalui pintu samping, kita akan mengerjainya di sana!"
"Baiklah! Aku akan mencari alasan untuk mengajaknya"
Suara tawa Farid terdengar lebih kencang. "Aku tidak salah mengajakmu bergabung!"
***
Keesokan hari, Maliq meminta pada mamanya untuk membawa bekal yang berisi roti tawar dan keju lapis. Walaupun sang mama bertanya heran. "Kenapa dia membawa bekal hari ini?" Maliq dapat memberikan alasan-alasan yang masuk akal. Setelah kotak makan itu diberikan, Maliq pergi ke kamar, dan memasukkan ponsel ke dalam kotak makan itu. Ponsel yang tidak tebal itu memang tertutupi oleh roti yang ada di dalam kotak. Bang Shandy memang pintar!
Saat jam istirahat tiba, Kevin langsung menagih tantangannya ke Maliq. "Apa kau membawa ponselmu?"
"Tentu dong!" jawab Maliq sombong. "Ayo kita tanding di halaman belakang!" tantang Maliq.
"Ok!" jawab Kevin.
"Tunggulah di sana, aku akan menyusul!" kata Maliq. Setelah itu Kevin berjalan menuju halaman belakang dan Maliq segera mengambil ponsel di kotak makannya.
Mereka berdua bertemu di halaman belakang sekolah dan memutuskan untuk bertanding game online. Waktu istirahat selama setengah jam begitu cepat berlalu karena mereka bermain dengan riang. Mereka bahkan tidak pergi ke kantin untuk membeli jajanan. Walau pertandingan ini seri, mereka tetap merasa senang karena sudah menerima tantangan masing-masing.
Bel berbunyi yang menandakan istirahat telah usai, jam pelajaran selanjutnya adalah Ilmu Pengetahuan Alam. Kali ini Bu Guru memberi penjelasan tentang pentingnya kebersihan. Karena banyak murid yang meletakkan sampah di dalam laci meja dan tas mereka, Bu Guru menyuruh setiap murid membuka tas mereka, dan memperlihatkan isinya. Saat Bu Guru memeriksa tas Kevin, beliau menemukan ponsel di dalam tasnya. Kevin mendapat peringatan oleh Bu Guru dan ponsel tersebut disita olehnya. Bu Guru juga menyuruh Kevin memanggil orangtuanya ke sekolah untuk mengambil ponsel tersebut. Kevin lalu disuruh ke ruang guru untuk mendapat teguran selanjutnya.
Bu Guru berjalan menuju meja Maliq, kali ini giliran Maliq yang harus memperlihatkan isi tasnya. Setelah masuk ke dalam kelas usai istirahat tadi, Maliq sudah kembali meletakkan ponsel itu ke dalam kotak makannya. Bu Guru memeriksa tas Maliq yang terlihat bersih, melihat buku-bukunya yang juga rapi, dan melihat kotak makan berwarna biru. "Kenapa kamu belum memakan bekal ini?" tanya Bu Guru.
Maliq memikirkan alasan cepat untuk situasi seperti ini. Dengan tenang dia menjawab, "Mama mungkin akan telat menjemput saya hari ini, Bu. Jadi Maliq akan memakannya nanti."
Bu Guru hanya menimbang bekal makanan itu di tangan kanannya. "Banyak juga makan kamu, Maliq," ucapnya.
Maliq hanya tersenyum dan Bu Guru itu beralih ke meja lainnya. Maliq merasa cukup tenang, namun dia mulai cemas seketika. Bagaimana jika Kevin mengadu ke Bu Guru? Selama Kevin masih berada di ruang guru, Maliq selalu takut jika namanya dipanggil. Tapi Kevin bukan sahabat yang saling menjatuhkan, dia tidak memberitahu bahwa Maliq juga membawa ponsel.
Saat jam pulang sekolah, Maliq menemui Kevin untuk mengucapkan terima kasih. "Kevin, terima kasih karena tidak memberitahu Bu Guru kalau aku juga membawa ponsel," ucapnya.
Kevin tertawa. "Sudah enggak usah takut. Kita berdua adalah sahabat, jadi harus saling melindungi."
Maliq tersenyum bangga ke Kevin, dia memang sahabat terbaik.
"Tapi ngomong-ngomong, kau letak di mana ponselmu sehingga tidak ketahuan?" tanya Kevin. Dari tadi sebenarnya dia bertanya-tanya, kenapa Maliq tidak muncul di ruang guru. "Kau tidak membuangnya, kan?" candanya.
Maliq tertawa riang. "Aku meletakkannya di dalam kotak makanku."
"Kau sungguh penipu ulung!" teriak Kevin dengan semangat.
Enceng (5) : Berhenti
keren, cerita dan diksinya
Comment on chapter Prolog