Mercy hitam mengkilat menembus gelapnya malam dan tiba di sebuah hotel bintang lima. Seorang wanita yang begitu anggun keluar dari mobil setelah pintu mobil dibuka oleh seorang pria gagah. Wanita itu sangat dimanjakan, bagaikan Cinderella dalam cerita di negeri dongeng.
Bu Asri menggandeng tangan kiri Pak Fauzi dan mereka berdua berjalan memasuki hotel itu. Pak Fauzi memberikan kunci mobil kepada seorang pelayan hotel untuk memarkirkan mobilnya. Seperti pasangan pengantin baru, mereka melangkah mesra menuju ruang pribadi yang sudah dipesan sebelumnya.
Di dalam ruang pribadi itu, meja makan sudah ditata sangat romantis. Lilin-lilin menyala dengan cahaya keemasan menyambut mereka, bunga mawar putih di vas kristal juga memeriahkan meja. Tak lupa dua bingkai foto kenangan masa muda mereka ikut serta berdiri di atas meja.
Bu Asri tidak bisa berkata apa-apa, dia begitu terharu melihat pemandangan di depannya. "Mas yang menyiapkan ini semua?"
Pak Fauzi tersenyum. Setelah berdiskusi dengan Shandy kemarin malam, usahanya mendapat respon baik dari istrinya. "Apa kamu menyukainya?"
Tidak ada seorang wanita yang menolak jika diperlakukan seperti ini. "Tentu. Aku sangat menyukainya. Mas masih saja sama seperti yang dulu, tidak bisa aku tebak."
"Kamu juga masih sama seperti yang dulu, cantik." ucap Pak Fauzi, "terima kasih sudah menemani hari-hariku selama dua puluh tahun ini dan terima kasih sudah menjadi ibu yang baik untuk anak-anak kita, Bidadariku."
Mata Bu Asri berkaca-kaca, seluruh cinta dan kasihnya telah ia berikan untuk seorang pria yang sangat menghargai dan menyayanginya sepenuh hati. "Aku yang harusnya bersyukur karena telah dipilih olehmu."
Pak Fauzi mengangkat sebuah gelas kaca yang berisi minuman. "Mari kita bersulang untuk kerja sama kita yang baik selama dua puluh tahun ini!"
Bu Asri tertawa mendengar kata-kata Pak Fauzi, dia lalu mengangkat gelas kaca yang ada di hadahapannya dan bersulang bersama Pak Fauzi. "Ting!!"
"Aku juga masih ada kejutan untukmu!" Pak Fauzi menepuk tangannya.
Bu Asri memasang wajah bertanya-tanya. Sebuah lampu menyorot di sudut ruangan dan menampilkan pertunjukan musik. Satu orang pria bermain biola dan satu orang wanita lagi bermain piano. Mereka melantunkan musik Right Here Waiting dari Richard Marx.
"Lagu kesukaanmu!" kata Pak Fauzi. Dia meraih telapak tangan Bu Asri, lalu menciumnya.
Bu Asri tersenyum lebar. "Aku tidak bisa berkata apa lagi, usahamu sukses membuat hatiku meleleh malam ini. Terima kasih, ya, Mas!"
Pak Fauzi hanya memberi senyuman kembali. Senyuman bahagia.
Makanan disajikan oleh pelayan di antaranya; menu pembuka, menu utama, dan menu penutup. Bu Asri juga tidak lupa meminta tolong ke pelayan untuk mengambil beberapa foto mereka dan kemudian mengunggahnya ke media sosial dengan judul Dua Puluh Tahun.
Pak Fauzi memperhatikan istrinya yang sangat cantik malam ini, kemudian dia tersadar kalau Bu Asri tidak memakai kalung pemberiannya. "Kamu tidak memakai kalung itu?"
Bu Asri tersedak. Dia sudah menyiapkan jawaban karena dia tahu suaminya bakal menanyakan hal ini. "Aku meninggalkannya di rumah," kata Bu Asri sambil tersenyum.
Pak Fauzi hanya menggumam.
"Aku ingin bertanya padamu, Mas. Apa huruf 'A' di kalung itu adalah inisial untuk namaku 'Asri'?" tanya Bu Asri. Dia sudah lama ingin bertanya hal ini dan semenjak bertemu dengan Bu Sonia di butik siang tadi.
Pak Fauzi tertawa. "Jadi selama dua puluh tahun ini, kamu mengira huruf 'A' itu adalah inisial namamu?" tanya Pak Fauzi. Pak Fauzi melihat wajah heran Bu Asri dan berkata, "Inisial 'A' itu untuk namaku, Sayang. Achmad."
"Ternyata dugaanku salah selama ini," gumamnya dalam hati. "Kenapa Mas tidak memberitahuku dari dulu?" kata Bu Asri ketus.
Pak Fauzi tertawa kembali. "Kamu tidak pernah bertanya, Sayang. Aku kira kamu mengerti," ledeknya.
Dering ponsel merusak suasana romantis mereka, tapi setelah melihat nama 'Shandy' tertera di layar ponselnya, Pak Fauzi segera mengangkatnya. "Halo! Iya, ada apa Shandy? Papa dan Mama akan segera ke rumah sakit!"
"Siapa yang di rumah sakit, Mas?" tanya Bu Asri heran.
"Kita harus segera ke rumah sakit, Sayang. Dahi Maliq terluka!" kata Pak Fauzi panik.
Negeri dongeng itu berubah kembali menjadi dunia nyata dalam hitungan menit, hanya karena sebuah panggilan telepon. Mereka berdua segera keluar dari ruangan dan meninggalkan hotel untuk menuju rumah sakit.
***
Stevi keluar dari mobil dan memanggil suster untuk membawa Maliq ke dalam. "Suster! Tolong adik saya!" teriaknya. Beberapa suster datang dan membawa Maliq ke Unit Gawat Darurat.
Lampu merah di ruang UGD menyala, Stevi dan Sherly hanya bisa menunggu di luar dengan rasa khawatir. Seorang suster melihat baju dan tangan kedua anak perempuan itu masih berlumuran darah, lalu menyuruh mereka untuk membersihkan diri. Mereka pun pergi ke kamar mandi untuk membersihkan tangan mereka, namun baju mereka masih memiliki noda darah yang tidak bisa hilang seketika.
Sepuluh menit kemudian, Shandy dan Raisa tiba di rumah sakit. Mereka lalu menghampiri Stevi dan Sherly. "Apa sebenarnya yang terjadi?" tanya Shandy cemas.
"Aku tidak tahu, Bang. Kami sudah menemukan Maliq dalam keadaan dahinya berdarah," jawab Stevi dengan raut wajah ketakutan.
"Kenapa kau tidak menemaninya?!" bentak Shandy.
Stevi tersentak karena dibentak oleh Shandy. "Maafkan aku, Bang. Aku sedang di kamar mengerjakan tugasku!" jawabnya.
Raisa yang berada di sebelah Shandy mencoba menenangkannya, karena melihat wajah Stevi yang juga merasa bersalah. "Shandy, tidak usah marah! Kita semua salah dalam hal ini, sehingga semua ini terjadi," kata Raisa. Dia juga merasa bersalah karena sudah memanggil Shandy saat orangtuanya sedang tidak di rumah.
Shandy menghela napas panjang mendengar kata-kata Raisa. "Maafkan Abang telah membentakmu Stev, Abang hanya terlalu khawatir. Terima kasih karena kalian sudah selamat sampai ke rumah sakit," kata Shandy sambil mengelus pundak Stevi.
Stevi mengangguk, tapi wajahnya masih sangat cemas dan ketakutan. Dia berharap Maliq tidak mengalami luka yang serius.
Pak Fauzi melajukan mobilnya sangat kencang karena perasaannya yang bercampur aduk. Perasaan yang sama saat Shandy dan Maliq kecelakaan setahun yang lalu. Saat kau masih anak-anak, kau selalu merasa kesal jika dimarahi orangtuamu hanya karena sebuah luka. Tapi saat kau menjadi orangtua, kau bisa merasakan betapa marahnya dirimu karena harus melihat anak-anakmu terluka.
"Berhati-hatilah membawa mobilnya, Mas. Aku tidak ingin kita juga mendapat kecelakaan," kata Bu Asri.
Pak Fauzi tetap dalam kecepatan awal, hanya lebih fokus. Dia berhasil menuju rumah sakit dalam waktu dua puluh menit, memarkirkan mobil, dan menelepon Shandy untuk mengetahui posisi mereka.
Shandy langsung menyambut Papanya. "Maafkan Shandy, Pa."
"Kita bicarakan itu nanti!" kata Pak Fauzi, "sudah berapa lama adik kalian di dalam?"
"Sudah tiga puluh menit, Pa," kata Stevi.
Mereka hanya diam menunggu di luar UGD dengan semua rasa yang berkecamuk. Sepuluh menit kemudian, lampu UGD mati. Seorang suster bersama seorang dokter keluar dari ruang tersebut.
"Anda orangtuanya?" kata dokter.
"Benar! Bagaimana keadaan anak kami, Dok?" kata Pak Fauzi.
"Terdapat luka di bagian dahinya, kami harus menjahit sebanyak lima jahitan. Sepertinya kepala anak Anda tidak terbentur keras, jadi tidak mengalami geger otak. Setelah biusnya tidak bekerja lagi, dia akan segera sadar."
Pak Fauzi mengucapkan terima kasih dan dokter itu meninggalkan mereka.
Bu Asri hanya meringis mendengar penjelasan dokter. "Apa kami bisa melihatnya?"
"Kami akan memindahkannya ke ruang rawat inap, kalian bisa melakukan pembayaran dan memilih kamar yang tersedia!" kata seorang suster.
Pak Fauzi mengikuti suster itu untuk melakukan pembayaran dan selanjutnya Maliq ditempatkan di ruang VIP.
Sepuluh menit menunggu, akhirnya Maliq sadar dari efek bius yang masuk ke tubuhnya. Dia tersenyum ketika papa, mama dan ketiga saudaranya melihatnya sangat serius. "Papa dan Mama sudah pulang?" kalimat pertama yang ia sebutkan.
Bu Asri tersenyum. "Sudah, Sayang. Mama dan Papa sudah di sini bersama Maliq."
"Apa Mama membawaku coklat?"
Bu Asri masih bingung dengan pertanyaan anaknya ini, tapi dia bersyukur karena Maliq tidak mengalami luka yang serius. "Setelah ini, Mama akan membelikan kamu banyak coklat. Kamu bisa makan se-pu-as-nya."
"Aku tidak akan memberikannya ke Kak Sherly," ejeknya ke Sherly.
Semua orang tersenyum, berpikir kalau anak kecil ini masih bisa bercanda padahal semua orang sudah panik.
Pak Fauzi bertanya untuk memastikan, "Kamu tidak kenapa-kenapa, kan, Maliq?"
Maliq tersadar kalau dia baru saja terjatuh dan tertimpa rak piring. Dia memegang kepalanya dan menyentuh perban di sana. Tangisannya spontan mengaung di dalam ruangan, "Papaaa ... Mamaa ... kepala Maliq tadi berdarah ... Huaaaa!"
Seluruh orang langsung terpelongo. Anak ini baru menangis sekarang, padahal sebelumnya dia tertawa. Antara lucu atau sedih melihat tingkahnya, Bu Asri berkata, "Sudah tidak berdarah lagi karena sudah diobati oleh dokter."
"Kamu kenapa bisa terjatuh, Maliq?" tanya Pak Fauzi.
Maliq mengingat kembali kejadian sebelumnya, dia kembali menangis. "Jubah Maliq tersangkut di rak piring dapur saat Maliq ingin terbang dari atas kursi, Pa."
Pak Fauzi mendesah. "Kamu sih mainnya enggak hati-hati!" kata Pak Fauzi sambil tersenyum. Bagaimanapun dia yang membeli baju itu. Jika Maliq tidak menggunakan baju itu, mungkin dia tidak akan mengalami kecelakaan.
Maliq lalu berkomentar sambil tersedu-sedu, "Maliq enggak mau jadi Superman lagi, Maliq mau jadi Spiderman aja sekarang!"
Seluruh orang di ruangan tidak bisa lagi menahan tawa. "Mau kamu jadi Superman, Spiderman, Power Ranger sekali pun. Kalau kamu tidak hati-hati, kamu juga akan jatuh, Maliq!" kata Stevi.
"Maliq berubah jadi apa dong, Kak?" katanya bingung.
Semua orang lanjut tertawa setelah mendengarnya.
***
Raisa hanya berdiri dan sesekali tersenyum melihat keceriaan keluarga Shandy, dia merasa iri seketika. Seandainya saja keluarganya bisa seakrab ini, pasti akan sangat menyenangkan.
Bu Asri melihat seorang gadis yang dari tadi ingin disapanya. "Kamu Raisa anak Bu Sonia, kan?"
"Iya, Tante!" ucap Raisa dan memberi salam tangan ke Bu Asri.
Shandy melihat Raisa sedang berbicara dengan mamanya, dia belum sempat mengenalkannya karena khawatir dengan keadaan Maliq. Dia lalu menghampiri mereka berdua.
"Kenapa kamu bisa sampai di sini? Maaf Tante tadi terlalu khawatir dengan Maliq, jadi Tante menghiraukanmu."
Raisa tersenyum. "Tidak apa, Tante."
Shandy memotong pembicaraan mereka, "Shandy yang mengajak Raisa, Ma!"
Melihat keadaan sudah mulai tenang, Pak Fauzi bangkit lalu memanggil Shandy dan Stevi, "Shandy, Stevi ... Ikut Papa keluar sebentar!"
Mereka bertiga keluar ruangan. "Ceritakan apa yang terjadi?!" kata Pak Fauzi.
Shandy dan Stevi hanya diam tanpa sepatah kata apa pun.
Karena tidak ada yang berbicara di antara keduanya. "Stevi, kamu bicara lebih dulu!" perintah Pak Fauzi.
Stevi melihat ke arah Shandy dan mengambil napas dalam-dalam lalu menjelaskan, "Ketika kami makan malam, Bang Shandy keluar rumah karena ada keperluan mendadak, Pa. Jadi kami bertiga berada di rumah. Setelah menyelesaikan makan malam, Stevi masuk ke dalam kamar mengerjakan tugas begitu juga Sherly dan Maliq. Tapi Stevi tidak tahu alasan Maliq berada di dapur, hingga akhirnya dia terjatuh. Stevi dan Sherly lalu membawa Maliq ke rumah sakit membawa mobil karena darahnya terlalu banyak keluar. Maafkan Stevi, Pa!"
Pak Fauzi mencerna keterangan dari Stevi. "Baiklah. Papa bangga karena keberanian Stevi dan bertindak cepat saat menangani sebuah masalah. Suatu saat nanti, akan banyak masalah lain yang harus kamu hadapi dalam hidup ini. Tapi jangan takut! Itu artinya kamu sudah dewasa," kata Pak Fauzi, "sekarang masuklah! Papa akan berbicara dengan Abangmu."
Stevi memberi senyum ke Papanya. Dia senang karena telah dipuji, tapi di satu sisi, dia takut jika Shandy akan dimarahi akibat keterangannya. Dia lalu melangkah ke dalam ruang inap Maliq dan meninggalkan mereka berdua.
Setelah Stevi masuk ke ruangan, Pak Fauzi melanjutkan untuk mengintrogasi Shandy. "Sekarang apa penjelasan darimu? Kamu lihat, seluruh wajahmu memar. Apa yang terjadi?"
Shandy menunduk, warna wajahnya berubah putih hingga tidak berani menujukkan muka ke papanya.
"Jika kamu seorang laki-laki, kamu harus berani bertanggung jawab atas perbuatanmu. Lihat wajah Papa!"
Shandy masih ragu, tapi dia harus bertanggung jawab atas tindakannya. Dia melihat wajah papanya dan berkata, "Maafkan Shandy, Pa! Shandy dalam keadaan yang membingungkan saat itu. Shandy harus memilih dengan cepat dan akhirnya memilih untuk pergi menolong Raisa. Dia mendapat masalah malam ini dengan seorang pria. Jika Shandy datang terlambat, maka hal buruk akan terjadi padanya. Shandy sudah menitipkan adik-adik ke Stevi, tapi kami juga tidak menyangka bakalan terjadi hal seperti ini."
Pak Fauzi menghela napasnya, anak-anaknya sudah dewasa sekarang. "Kalau itu pilihanmu, maka Papa juga bangga pada pilihanmu!"
Shandy merasa lega setelah papanya mengatakan itu. "Benarkah, Pa? Papa tidak marah dengan Shandy?"
Pak Fauzi tersenyum. "Setiap tindakan pasti akan menimbulkan masalah, itu sebabnya ada hukum sebab akibat. Kamu hanya perlu mengeliminasi beberapa faktor dari dampak tersebut dan substitusikan faktor lain untuk mendapatkan hasil yang lebih baik." Pak Fauzi menepuk pundak Shandy, "Maliq pasti juga punya alasan melakukan tindakan seperti itu, mungkin dia merasa bangga karena meniru Superman dalam dunia khayalnya."
Mereka berdua lalu tertawa. Masalah harus segera diselesaikan dengan pikiran yang jernih, Pak Fauzi sudah memilih untuk memuji anak-anaknya walaupun terjadi masalah. "Sebaiknya kamu mengobati luka memarmu dan mengantar gadis itu pulang, ini sudah larut malam. Kamu bisa membawa mobil Stevi untuk mengikutinya dari belakang. Papa akan pulang ke rumah mengantar Stevi dan Sherly, lalu kembali lagi mengantar pakaian ganti untuk mama dan Maliq."
Ketiga anaknya pamit pulang ke Bu Asri, begitu juga Raisa. Pak Fauzi juga pamit dan berjanji akan kembali lagi membawakannya pakaian ganti. Bu Asri setuju dan melepaskan kepergian mereka di depan pintu. Karena semua orang sudah pergi, Bu Asri beristirahat duduk di sebelah Maliq yang sedang tertidur. Dia lalu menelepon Bi Iyem untuk menyiapkan sarapan esok hari.
Maliq terbangun karena suara mamanya yang sedang menelepon. Lalu melihat seluruh ruangan, hanya ada dia dan mamanya saja. Dia merogoh saku celananya dan kalung itu masih berada di sana. "Ma .... " panggilnya.
"Kamu terbangun, Sayang. Maafkan Mama karena berbicara terlalu keras!"
Maliq tersenyum. "Maliq mau ngasih ini ke Mama!" Maliq memberikan kalung itu ke tangan mamanya.
Bu Asri terheran melihat kalungnya yang hilang sudah berada di tangan Maliq. "Dari mana kamu mendapatkan ini, Sayang?"
"Maliq menemukannya di atas rak piring," katanya dengan wajah senang.
Bu Asri akhirnya mengerti kenapa Maliq bisa terjatuh dan tertimpa rak piring. Dia lalu menangis membayangkan perbuatan anaknya itu.
Maliq heran. "Kenapa Mama menangis? Harusnya Mama senang dong kalungnya sudah ketemu."
Bu Asri menyapu air matanya, "Mama menangis karena bahagia, Sayang. Mama bahagia punya anak yang baik hati dan imut seperti kamu." dia langsung mencium pipi Maliq dan tertawa bersama setelahnya, "esok pagi, kita akan sarapan berdua di rumah sakit."
keren, cerita dan diksinya
Comment on chapter Prolog