Loading...
Logo TinLit
Read Story - Meja Makan dan Piring Kaca
MENU
About Us  

     Mercy hitam mengkilat menembus gelapnya malam dan tiba di sebuah hotel bintang lima. Seorang wanita yang begitu anggun keluar dari mobil setelah pintu mobil dibuka oleh seorang pria gagah. Wanita itu sangat dimanjakan, bagaikan Cinderella dalam cerita di negeri dongeng. 

     Bu Asri menggandeng tangan kiri Pak Fauzi dan mereka berdua berjalan memasuki hotel itu. Pak Fauzi memberikan kunci mobil kepada seorang pelayan hotel untuk memarkirkan mobilnya. Seperti pasangan pengantin baru, mereka melangkah mesra menuju ruang pribadi yang sudah dipesan sebelumnya.

     Di dalam ruang pribadi itu, meja makan sudah ditata sangat romantis. Lilin-lilin menyala dengan cahaya keemasan menyambut mereka, bunga mawar putih di vas kristal juga memeriahkan meja. Tak lupa dua bingkai foto kenangan masa muda mereka ikut serta berdiri di atas meja.

     Bu Asri tidak bisa berkata apa-apa, dia begitu terharu melihat pemandangan di depannya. "Mas yang menyiapkan ini semua?"

     Pak Fauzi tersenyum. Setelah berdiskusi dengan Shandy kemarin malam, usahanya mendapat respon baik dari istrinya. "Apa kamu menyukainya?"

     Tidak ada seorang wanita yang menolak jika diperlakukan seperti ini. "Tentu. Aku sangat menyukainya. Mas masih saja sama seperti yang dulu, tidak bisa aku tebak."

     "Kamu juga masih sama seperti yang dulu, cantik." ucap Pak Fauzi, "terima kasih sudah menemani hari-hariku selama dua puluh tahun ini dan terima kasih sudah menjadi ibu yang baik untuk anak-anak kita, Bidadariku."

     Mata Bu Asri berkaca-kaca, seluruh cinta dan kasihnya telah ia berikan untuk seorang pria yang sangat menghargai dan menyayanginya sepenuh hati. "Aku yang harusnya bersyukur karena telah dipilih olehmu."

     Pak Fauzi mengangkat sebuah gelas kaca yang berisi minuman. "Mari kita bersulang untuk kerja sama kita yang baik selama dua puluh tahun ini!"

     Bu Asri tertawa mendengar kata-kata Pak Fauzi, dia lalu mengangkat gelas kaca yang ada di hadahapannya dan bersulang bersama Pak Fauzi. "Ting!!"

     "Aku juga masih ada kejutan untukmu!" Pak Fauzi menepuk tangannya.

     Bu Asri memasang wajah bertanya-tanya. Sebuah lampu menyorot di sudut ruangan dan menampilkan pertunjukan musik. Satu orang pria bermain biola dan satu orang wanita lagi bermain piano. Mereka melantunkan musik Right Here Waiting dari Richard Marx.

     "Lagu kesukaanmu!" kata Pak Fauzi. Dia meraih telapak tangan Bu Asri, lalu menciumnya.

     Bu Asri tersenyum lebar. "Aku tidak bisa berkata apa lagi, usahamu sukses membuat hatiku meleleh malam ini. Terima kasih, ya, Mas!"

     Pak Fauzi hanya memberi senyuman kembali. Senyuman bahagia.

     Makanan disajikan oleh pelayan di antaranya; menu pembuka, menu utama, dan menu penutup. Bu Asri juga tidak lupa meminta tolong ke pelayan untuk mengambil beberapa foto mereka dan kemudian mengunggahnya ke media sosial dengan judul Dua Puluh Tahun.

     Pak Fauzi memperhatikan istrinya yang sangat cantik malam ini, kemudian dia tersadar kalau Bu Asri tidak memakai kalung pemberiannya. "Kamu tidak memakai kalung itu?"

     Bu Asri tersedak. Dia sudah menyiapkan jawaban karena dia tahu suaminya bakal menanyakan hal ini. "Aku meninggalkannya di rumah," kata Bu Asri sambil tersenyum.

     Pak Fauzi hanya menggumam.

     "Aku ingin bertanya padamu, Mas. Apa huruf 'A' di kalung itu adalah inisial untuk namaku 'Asri'?" tanya Bu Asri. Dia sudah lama ingin bertanya hal ini dan semenjak bertemu dengan Bu Sonia di butik siang tadi.

     Pak Fauzi tertawa. "Jadi selama dua puluh tahun ini, kamu mengira huruf 'A' itu adalah inisial namamu?" tanya Pak Fauzi. Pak Fauzi melihat wajah heran Bu Asri dan berkata, "Inisial 'A' itu untuk namaku, Sayang. Achmad."

     "Ternyata dugaanku salah selama ini," gumamnya dalam hati. "Kenapa Mas tidak memberitahuku dari dulu?" kata Bu Asri ketus.

     Pak Fauzi tertawa kembali. "Kamu tidak pernah bertanya, Sayang. Aku kira kamu mengerti," ledeknya.

     Dering ponsel merusak suasana romantis mereka, tapi setelah melihat nama 'Shandy' tertera di layar ponselnya, Pak Fauzi segera mengangkatnya. "Halo! Iya, ada apa Shandy? Papa dan Mama akan segera ke rumah sakit!"

     "Siapa yang di rumah sakit, Mas?" tanya Bu Asri heran.

     "Kita harus segera ke rumah sakit, Sayang. Dahi Maliq terluka!" kata Pak Fauzi panik.

     Negeri dongeng itu berubah kembali menjadi dunia nyata dalam hitungan menit, hanya karena sebuah panggilan telepon. Mereka berdua segera keluar dari ruangan dan meninggalkan hotel untuk menuju rumah sakit.

 

***

 

     Stevi keluar dari mobil dan memanggil suster untuk membawa Maliq ke dalam. "Suster! Tolong adik saya!" teriaknya. Beberapa suster datang dan membawa Maliq ke Unit Gawat Darurat.

     Lampu merah di ruang UGD menyala, Stevi dan Sherly hanya bisa menunggu di luar dengan rasa khawatir. Seorang suster melihat baju dan tangan kedua anak perempuan itu masih berlumuran darah, lalu menyuruh mereka untuk membersihkan diri. Mereka pun pergi ke kamar mandi untuk membersihkan tangan mereka, namun baju mereka masih memiliki noda darah yang tidak bisa hilang seketika.

     Sepuluh menit kemudian, Shandy dan Raisa tiba di rumah sakit. Mereka lalu menghampiri Stevi dan Sherly. "Apa sebenarnya yang terjadi?" tanya Shandy cemas.

     "Aku tidak tahu, Bang. Kami sudah menemukan Maliq dalam keadaan dahinya berdarah," jawab Stevi dengan raut wajah ketakutan.

     "Kenapa kau tidak menemaninya?!" bentak Shandy.

     Stevi tersentak karena dibentak oleh Shandy. "Maafkan aku, Bang. Aku sedang di kamar mengerjakan tugasku!" jawabnya.

     Raisa yang berada di sebelah Shandy mencoba menenangkannya, karena melihat wajah Stevi yang juga merasa bersalah. "Shandy, tidak usah marah! Kita semua salah dalam hal ini, sehingga semua ini terjadi," kata Raisa. Dia juga merasa bersalah karena sudah memanggil Shandy saat orangtuanya sedang tidak di rumah.

     Shandy menghela napas panjang mendengar kata-kata Raisa. "Maafkan Abang telah membentakmu Stev, Abang hanya terlalu khawatir. Terima kasih karena kalian sudah selamat sampai ke rumah sakit," kata Shandy sambil mengelus pundak Stevi.

     Stevi mengangguk, tapi wajahnya masih sangat cemas dan ketakutan. Dia berharap Maliq tidak mengalami luka yang serius.

     Pak Fauzi melajukan mobilnya sangat kencang karena perasaannya yang bercampur aduk. Perasaan yang sama saat Shandy dan Maliq kecelakaan setahun yang lalu. Saat kau masih anak-anak, kau selalu merasa kesal jika dimarahi orangtuamu hanya karena sebuah luka. Tapi saat kau menjadi orangtua, kau bisa merasakan betapa marahnya dirimu karena harus melihat anak-anakmu terluka.

     "Berhati-hatilah membawa mobilnya, Mas. Aku tidak ingin kita juga mendapat kecelakaan," kata Bu Asri.

     Pak Fauzi tetap dalam kecepatan awal, hanya lebih fokus. Dia berhasil menuju rumah sakit dalam waktu dua puluh menit, memarkirkan mobil, dan menelepon Shandy untuk mengetahui posisi mereka.

     Shandy langsung menyambut Papanya. "Maafkan Shandy, Pa."

     "Kita bicarakan itu nanti!" kata Pak Fauzi, "sudah berapa lama adik kalian di dalam?"

     "Sudah tiga puluh menit, Pa," kata Stevi.

     Mereka hanya diam menunggu di luar UGD dengan semua rasa yang berkecamuk. Sepuluh menit kemudian, lampu UGD mati. Seorang suster bersama seorang dokter keluar dari ruang tersebut.

     "Anda orangtuanya?" kata dokter.

     "Benar! Bagaimana keadaan anak kami, Dok?" kata Pak Fauzi.

     "Terdapat luka di bagian dahinya, kami harus menjahit sebanyak lima jahitan. Sepertinya kepala anak Anda tidak terbentur keras, jadi tidak mengalami geger otak. Setelah biusnya tidak bekerja lagi, dia akan segera sadar."

     Pak Fauzi mengucapkan terima kasih dan dokter itu meninggalkan mereka.

     Bu Asri hanya meringis mendengar penjelasan dokter. "Apa kami bisa melihatnya?"

     "Kami akan memindahkannya ke ruang rawat inap, kalian bisa melakukan pembayaran dan memilih kamar yang tersedia!" kata seorang suster.

     Pak Fauzi mengikuti suster itu untuk melakukan pembayaran dan selanjutnya Maliq ditempatkan di ruang VIP.

     Sepuluh menit menunggu, akhirnya Maliq sadar dari efek bius yang masuk ke tubuhnya. Dia tersenyum ketika papa, mama dan ketiga saudaranya melihatnya sangat serius. "Papa dan Mama sudah pulang?" kalimat pertama yang ia sebutkan.

     Bu Asri tersenyum. "Sudah, Sayang. Mama dan Papa sudah di sini bersama Maliq."

     "Apa Mama membawaku coklat?"

     Bu Asri masih bingung dengan pertanyaan anaknya ini, tapi dia bersyukur karena Maliq tidak mengalami luka yang serius. "Setelah ini, Mama akan membelikan kamu banyak coklat. Kamu bisa makan se-pu-as-nya."

      "Aku tidak akan memberikannya ke Kak Sherly," ejeknya ke Sherly.

     Semua orang tersenyum, berpikir kalau anak kecil ini masih bisa bercanda padahal semua orang sudah panik.

      Pak Fauzi bertanya untuk memastikan, "Kamu tidak kenapa-kenapa, kan, Maliq?"

      Maliq tersadar kalau dia baru saja terjatuh dan tertimpa rak piring. Dia memegang kepalanya dan menyentuh perban di sana. Tangisannya spontan mengaung di dalam ruangan, "Papaaa ... Mamaa ... kepala Maliq tadi berdarah ... Huaaaa!"

     Seluruh orang langsung terpelongo. Anak ini baru menangis sekarang, padahal sebelumnya dia tertawa. Antara lucu atau sedih melihat tingkahnya, Bu Asri berkata, "Sudah tidak berdarah lagi karena sudah diobati oleh dokter."

     "Kamu kenapa bisa terjatuh, Maliq?" tanya Pak Fauzi.

     Maliq mengingat kembali kejadian sebelumnya, dia kembali menangis. "Jubah Maliq tersangkut di rak piring dapur saat Maliq ingin terbang dari atas kursi, Pa."

     Pak Fauzi mendesah. "Kamu sih mainnya enggak hati-hati!" kata Pak Fauzi sambil tersenyum. Bagaimanapun dia yang membeli baju itu. Jika Maliq tidak menggunakan baju itu, mungkin dia tidak akan mengalami kecelakaan.

     Maliq lalu berkomentar sambil tersedu-sedu, "Maliq enggak mau jadi Superman lagi, Maliq mau jadi Spiderman aja sekarang!"

     Seluruh orang di ruangan tidak bisa lagi menahan tawa. "Mau kamu jadi Superman, Spiderman, Power Ranger sekali pun. Kalau kamu tidak hati-hati, kamu juga akan jatuh, Maliq!" kata Stevi.

     "Maliq berubah jadi apa dong, Kak?" katanya bingung.

     Semua orang lanjut tertawa setelah mendengarnya.

 

***

 

      Raisa hanya berdiri dan sesekali tersenyum melihat keceriaan keluarga Shandy, dia merasa iri seketika. Seandainya saja keluarganya bisa seakrab ini, pasti akan sangat menyenangkan.

     Bu Asri melihat seorang gadis yang dari tadi ingin disapanya. "Kamu Raisa anak Bu Sonia, kan?"

     "Iya, Tante!" ucap Raisa dan memberi salam tangan ke Bu Asri.

     Shandy melihat Raisa sedang berbicara dengan mamanya, dia belum sempat mengenalkannya karena khawatir dengan keadaan Maliq. Dia lalu menghampiri mereka berdua.

     "Kenapa kamu bisa sampai di sini? Maaf Tante tadi terlalu khawatir dengan Maliq, jadi Tante menghiraukanmu."

     Raisa tersenyum. "Tidak apa, Tante."

     Shandy memotong pembicaraan mereka, "Shandy yang mengajak Raisa, Ma!"

     Melihat keadaan sudah mulai tenang, Pak Fauzi bangkit lalu memanggil Shandy dan Stevi, "Shandy, Stevi ... Ikut Papa keluar sebentar!"

     Mereka bertiga keluar ruangan. "Ceritakan apa yang terjadi?!" kata Pak Fauzi.

     Shandy dan Stevi hanya diam tanpa sepatah kata apa pun.

     Karena tidak ada yang berbicara di antara keduanya. "Stevi, kamu bicara lebih dulu!" perintah Pak Fauzi.

     Stevi melihat ke arah Shandy dan mengambil napas dalam-dalam lalu menjelaskan, "Ketika kami makan malam, Bang Shandy keluar rumah karena ada keperluan mendadak, Pa. Jadi kami bertiga berada di rumah. Setelah menyelesaikan makan malam, Stevi masuk ke dalam kamar mengerjakan tugas begitu juga Sherly dan Maliq. Tapi Stevi tidak tahu alasan Maliq berada di dapur, hingga akhirnya dia terjatuh. Stevi dan Sherly lalu membawa Maliq ke rumah sakit membawa mobil karena darahnya terlalu banyak keluar. Maafkan Stevi, Pa!"

     Pak Fauzi mencerna keterangan dari Stevi. "Baiklah. Papa bangga karena keberanian Stevi dan bertindak cepat saat menangani sebuah masalah. Suatu saat nanti, akan banyak masalah lain yang harus kamu hadapi dalam hidup ini. Tapi jangan takut! Itu artinya kamu sudah dewasa," kata Pak Fauzi, "sekarang masuklah! Papa akan berbicara dengan Abangmu."

      Stevi memberi senyum ke Papanya. Dia senang karena telah dipuji, tapi di satu sisi, dia takut jika Shandy akan dimarahi akibat keterangannya. Dia lalu melangkah ke dalam ruang inap Maliq dan meninggalkan mereka berdua.

     Setelah Stevi masuk ke ruangan, Pak Fauzi melanjutkan untuk mengintrogasi Shandy. "Sekarang apa penjelasan darimu? Kamu lihat, seluruh wajahmu memar. Apa yang terjadi?"

    Shandy menunduk, warna wajahnya berubah putih hingga tidak berani menujukkan muka ke papanya.

    "Jika kamu seorang laki-laki, kamu harus berani bertanggung jawab atas perbuatanmu. Lihat wajah Papa!"

     Shandy masih ragu, tapi dia harus bertanggung jawab atas tindakannya. Dia melihat wajah papanya dan berkata, "Maafkan Shandy, Pa! Shandy dalam keadaan yang membingungkan saat itu. Shandy harus memilih dengan cepat dan akhirnya memilih untuk pergi menolong Raisa. Dia mendapat masalah malam ini dengan seorang pria. Jika Shandy datang terlambat, maka hal buruk akan terjadi padanya. Shandy sudah menitipkan adik-adik ke Stevi, tapi kami juga tidak menyangka bakalan terjadi hal seperti ini."

     Pak Fauzi menghela napasnya, anak-anaknya sudah dewasa sekarang. "Kalau itu pilihanmu, maka Papa juga bangga pada pilihanmu!"

     Shandy merasa lega setelah papanya mengatakan itu. "Benarkah, Pa? Papa tidak marah dengan Shandy?"

     Pak Fauzi tersenyum. "Setiap tindakan pasti akan menimbulkan masalah, itu sebabnya ada hukum sebab akibat. Kamu hanya perlu mengeliminasi beberapa faktor dari dampak tersebut dan substitusikan faktor lain untuk mendapatkan hasil yang lebih baik." Pak Fauzi menepuk pundak Shandy, "Maliq pasti juga punya alasan melakukan tindakan seperti itu, mungkin dia merasa bangga karena meniru Superman dalam dunia khayalnya."

     Mereka berdua lalu tertawa. Masalah harus segera diselesaikan dengan pikiran yang jernih, Pak Fauzi sudah memilih untuk memuji anak-anaknya walaupun terjadi masalah. "Sebaiknya kamu mengobati luka memarmu dan mengantar gadis itu pulang, ini sudah larut malam. Kamu bisa membawa mobil Stevi untuk mengikutinya dari belakang. Papa akan pulang ke rumah mengantar Stevi dan Sherly, lalu kembali lagi mengantar pakaian ganti untuk mama dan Maliq."

    Ketiga anaknya pamit pulang ke Bu Asri, begitu juga Raisa. Pak Fauzi juga pamit dan berjanji akan kembali lagi membawakannya pakaian ganti. Bu Asri setuju dan melepaskan kepergian mereka di depan pintu. Karena semua orang sudah pergi, Bu Asri beristirahat duduk di sebelah Maliq yang sedang tertidur. Dia lalu menelepon Bi Iyem untuk menyiapkan sarapan esok hari.

    Maliq terbangun karena suara mamanya yang sedang menelepon. Lalu melihat seluruh ruangan, hanya ada dia dan mamanya saja. Dia merogoh saku celananya dan kalung itu masih berada di sana. "Ma .... " panggilnya.

     "Kamu terbangun, Sayang. Maafkan Mama karena berbicara terlalu keras!"

     Maliq tersenyum. "Maliq mau ngasih ini ke Mama!" Maliq memberikan kalung itu ke tangan mamanya.

     Bu Asri terheran melihat kalungnya yang hilang sudah berada di tangan Maliq. "Dari mana kamu mendapatkan ini, Sayang?"

     "Maliq menemukannya di atas rak piring," katanya dengan wajah senang.

     Bu Asri akhirnya mengerti kenapa Maliq bisa terjatuh dan tertimpa rak piring. Dia lalu menangis membayangkan perbuatan anaknya itu.

     Maliq heran. "Kenapa Mama menangis? Harusnya Mama senang dong kalungnya sudah ketemu."

     Bu Asri menyapu air matanya, "Mama menangis karena bahagia, Sayang. Mama bahagia punya anak yang baik hati dan imut seperti kamu." dia langsung mencium pipi Maliq dan tertawa bersama setelahnya, "esok pagi, kita akan sarapan berdua di rumah sakit."

How do you feel about this chapter?

0 0 0 1 0 0
Submit A Comment
Comments (29)
  • yurriansan

    keren, cerita dan diksinya

    Comment on chapter Prolog
  • lanacobalt

    @ReonA Terima kasih ????????

    Comment on chapter Prolog
  • ReonA

    Ceritanya keren kak, aku suka diksinya xD

    Comment on chapter Prolog
  • Nurull

    Nice. Happy ending.

    Comment on chapter Hadiah Terbaik
  • muhammadd

    Ceritanya renyah. Enak dibaca. Sarannya apa yah? Mungkin akan seru kalau dimasukin unsur daerah. Logat2nya gitu. Hehe

    Comment on chapter Prolog
  • lanacobalt

    iya nih, percakapan emang dibuat ala kids zaman now @Zzakyah nanti akan coba saya pertimbangkan sarannya. Terima kasih atas supportnya.

    Comment on chapter Prolog
  • Zzakyah

    Sebuah kisah yang inspiratif. Saya suka ide dan judul ceritanya. Menarik. Terus jaga konsistensi tokohnya. Karakternya sudah bagus. Alurnya lumayan. Meski ada beberapa adegan yang terlalu populer digunakan. Gaya bahasanya renyah. Cuma agak sedikit lebay di beberapa dialog tagnya. Sarannya, lebih baik gunakan bahasa indonesia yang baik. Bukan ala kids zaman now. Biar masuk sama pemilihan diksinya.

    Comment on chapter Prolog
  • lanacobalt

    Baik emak @PancaHerna akan saya perbaiki bagian yang klise.

    Comment on chapter Prolog
  • PancaHerna

    Sebernya si Uji lbih tau soal teknis. Jadi soal teknis nnti ty lngsung saja ke orangnya. Mnurut saya sebagai emak2 awam, ceritanya cukup inspiratif. Gaya bahasanya, tematiknya ringan. Cocok untuk semua pmbca. Tetapi ada beberapa sekenrio yang menurut emak, perlu di perbaiki. Dan ... hati2 dengan jebakan klise. Alih2 kamu ingin detail, kamu mnjelaskan tokohmu dari a sampai z. Dari bangun tidur sampai tidur lagi. Untuk ekspresi gerak, cukup seperlunya saja. Itu saja sih saran dari emak.

    Comment on chapter Prolog
  • lanacobalt

    @Zeee hahaha setelah baca chapter berikutnya akan kelihatan kekurangannya. Itu 'kan kelihatan dari fisik aja. :D

    Comment on chapter Kartu Keluarga
Similar Tags
Error of Love
1321      634     2     
Romance
Kita akan baik-baik saja ketika digoda laki-laki, asalkan mau melawan. Namun, kehancuran akan kita hadapi jika menyerah pada segalanya demi cinta. Karena segala sesuatu jika terlalu dibawa perasaan akan binasa. Sama seperti Sassy, semua impiannya harus hancur karena cinta.
Me vs Skripsi
1855      764     154     
Inspirational
Satu-satunya yang berdiri antara Kirana dan mimpinya adalah kenyataan. Penelitian yang susah payah ia susun, harus diulang dari nol? Kirana Prameswari, mahasiswi Farmasi tingkat akhir, seharusnya sudah hampir lulus. Namun, hidup tidak semulus yang dibayangkan, banyak sekali faktor penghalang seperti benang kusut yang sulit diurai. Kirana memutuskan menghilang dari kampus, baru kembali setel...
100%-80%
9671      1585     4     
Romance
Naura merasa dirinya sebagai seorang gadis biasa -biasa saja dan tidak memiliki kelebihan tertentu bertemu dengan Tsubastian yang bisa dibilang mendekati sempurna sebagai seorang manusia. kesempurnaan Tsubastian hancur karena Naura, bagaimana Naura dan Tsubastian menghadapinya
Kyna X Faye
4268      1246     2     
Romance
Keiko Kyna adalah seorang gadis muda pemilik toko bunga. Masa lalu yang kelam telah membuat gadis itu menjauhi dunia keramaian dan segala pergaulan. Namun siapa sangka, gadis pendiam itu ternyata adalah seorang penulis novel terkenal dengan nama pena Faye. Faye sama sekali tak pernah mau dipublikasikan apa pun tentang dirinya, termasuk foto dan data pribadinya Namun ketika Kenzie Alcander, seo...
Alfabet(a) Cinta
12984      2169     2     
Romance
Alfa,Beta,Cinta? Tapi sayangnya kita hanya sebatas sahabat. Kau yang selalu dikelilingi wanita Dan kau yang selalu mengganti pacarmu setiap bulannya
Unthinkable
13075      2294     6     
Romance
Cinta yang tidak diketahui keberadaannya, namun selalu mengawasi di dekat kita
IDENTITAS
702      478     3     
Short Story
Sosoknya sangat kuat, positif dan merupakan tipeku. Tapi, aku tak bisa membiarkannya masuk dan mengambilku. Aku masih tidak rela menjangkaunya dan membiarkan dirinya mengendalikanku.
Love Dribble
10596      2042     7     
Romance
"Ketika cinta bersemi di kala ketidakmungkinan". by. @Mella3710 "Jangan tinggalin gue lagi... gue capek ditinggalin terus. Ah, tapi, sama aja ya? Lo juga ninggalin gue ternyata..." -Clairetta. "Maaf, gue gak bisa jaga janji gue. Tapi, lo jangan tinggalin gue ya? Gue butuh lo..." -Gio. Ini kisah tentang cinta yang bertumbuh di tengah kemustahilan untuk mewuj...
Unexpected You
487      347     0     
Romance
Pindah ke Indonesia dari Korea, Abimanyu hanya bertekad untuk belajar, tanpa memedulikan apapun. tapi kehidupan tidak selalu berjalan seperti yang diinginkannya. kehidupan SMA terlalu membosankan jika hanya dihabiskan untuk belajar saja. sedangkan Renata, belajar rasanya hanya menjadi nomor dua setelah kegemarannya menulis. entah apa yang ia inginkan, menulis adalah pelariannya dari kondisi ke...
Intuisi
3991      1240     10     
Romance
Yang dirindukan itu ternyata dekat, dekat seperti nadi, namun rasanya timbul tenggelam. Seakan mati suri. Hendak merasa, namun tak kuasa untuk digapai. Terlalu jauh. Hendak memiliki, namun sekejap sirna. Bak ditelan ombak besar yang menelan pantai yang tenang. Bingung, resah, gelisah, rindu, bercampur menjadi satu. Adakah yang mampu mendeskripsikan rasaku ini?