Gretha langsung menceritakan semua soal Rhea setelah bertemu dengan Noel. Cewek itu juga menceritakan perihal ayahnya yang berselingkuh sejak dulu. Saat ini, mereka berencana mencari tahu tentang Rhea. Dari informasi orang di sekitar lingkungan bakery, di mana Rhea biasa lewat, ibu muda tersebut setiap pagi mengantarkan anaknya ke sebuah sekolah anak usia dini dengan jarak sepuluh menit dari sana.
Sepanjang jalan yang singkat, jantung Gretha berdegup kencang. Dia hanya takut dengan fakta yang akan diterimanya. Ini lebih mendebarkan dari saat ia sering memergoki ayahnya dengan perempuan lain. Juga lebih mendebarkan dari ulangan tanpa belajar di malam hari.
“Tha?” panggilan Noel membuyarkan lamunan cewek berambut ikal itu.
“Eh, iya?”
“Kita udah sampai. Ayo turun!” ajak Noel pada Gretha. Dua anak sekolahan itu memasuki sekolah anak usia dini yang sudah sepi itu. Tentu saja sepi, kan ini sudah sore.
“Kamu yakin, kita bisa dapat informasi sesore ini?” tanya Noel ragu.
Gretha mengangguk mantap, “Bapak tadi kan bilang, kepala sekolahnya pulang selalu sore, jadi masih ada harapan, walau sedikit.”
Noel menggaruk tengkuknya yang tak gatal, “Lagian ngapain kepsek pulang sore-sore?”
Gretha mengedikkan bahunya kemudian memasuki pekarangan PAUD tersebut. Tempatnya sangat asri, karena dipenuhi bunga aneka warna. Mungkin bertujuan merangsang semangat anak-anak di sana. Alis cewek yang masih berseragam sekolah itu mengkerut melihat ada rumah yang berada di sebelah PAUD tersebut.
“Rumah siap–“
“Ada perlu apa ya?”
Seorang wanita paruh baya dengan wajah teduh menyapa Noel dan Gretha, membuat dua remaja itu agak terkejut namun tersenyum kemudian.
“Hmm, Ibu ini ... kepala sekolah?”
Wanita itu mengangguk, “Iya. Saya kepala sekolah sekaligus yang punya sekolah,” ujarnya kemudian menunjuk ke arah rumah yang tadi menarik perhatian Gretha, “Itu rumah saya.”
Gretha membulatkan mulutnya, “Oh, pantas kata Bapak yang tadi, kepala sekolahnya pulang sore. Kalau kayak gini sih, pulang malam juga nggak masalah.”
“Nama saya Hema. Kalian ada perlu apa ya?” tanya wanita paruh baya itu pada Gretha dan Noel.
“Oh, maaf, Bu, lupa bilang. Jadi, kami kesini mau bertanya soal anak yang sekolah di sini. Kalau nggak salah, namanya Lina. Anak dari Bu Rhea. Apa benar?” tanya Noel.
Hema sedikit menyipitkan matanya, menatap curiga ke arah dua remaja di hadapannya. “Ada perlu apa dengan Lina? Kalian siapanya? Adik dari Bu Rhea?”
Gretha tersenyum sendu, “Sepertinya Lina itu adik saya, Bu. Adik tiri. Jadi, saya mau cari tahu kebenarannya.”
Noel menatap sahabatnya itu. Cowok yang tidak sedang bermata empat itu takjub dengan perkataan Gretha.
“Saya nggak bohong, Bu. Masa Ibu tega lihat saya terpisah dengan adik saya?” ujar Gretha masih dengan wajah sendu, karena merasa Hema masih curiga atas kedatangannya bersama Noel.
Gretha membuka tasnya, mengeluarkan kartu pelajar dari dalam dompet bergambar Snoopy kemudian menunjukkannya pada Hema, “Saya murid SMA Bahari. Saya nggak bohong kok, Bu. Nggak ada niat mau menculik atau niat buruk lainnya. Buktinya juga, saya masih pakai seragam.”
Cewek berambut ikal itu menepuk bahu Noel, “Nah kalau ini teman sekelas saya, sebangku malah. Sahabat saya dari SD. Kalau Ibu masih ragu, bisa telfon sekolah kami.”
Hema perlahan mulai percaya setelah Gretha menunjukkan semua bukti kalau dia tidak ada niat berbuat jahat.
“Kalau begitu, apa yang kalian perlukan?”
Senyum mengembang lebar di wajah Gretha, “Alamat rumah Lina, Bu.”
**
Gretha menatap secarik kertas dan nomor rumah di hadapannya secara bergantian sejak lima menit yang lalu, membuat Noel gemas sekali.
“Coba ketuk deh, Tha.”
Gretha menggeleng, “Besok aja gimana? Biar aku siapin hati dulu.”
Noel menghembuskan napas berat, “Kalau kamu tunda, nanti malam nggak bisa tidur loh. Udah ayo cepat ketuk, ini Mama udah nanya kapan aku pulang, soalnya sudah janji dengan Nata mau antar dia ke pesta ulang tahun temanya.”
Gretha jadi tak enak hati. Noel yang baru pulang dari luar kota, harus sibuk menemaninya, dan setelah ini ada janji dengan adiknya. “Kamu pulang duluan aja, El. Aku yang masuk sendiri. Kayaknya bakal lama.”
Noel melirik jam tangannya, “Masih jam setengah lima. Masih ada waktu, Tha. Nata perginya jam tujuh. Aku tuh cowok, nggak perlu dandan,” canda Noel.
Cewek berambut ikal tersebut mengangguk mantap kemudian mengetuk rumah yang tidak tampak mewah tapi juga tak terlalu sederhana itu. Tidak berbeda jauh dengan rumah Gretha, bahkan mungkin lebih baik dengan atap yang jarang bocor.
Tak perlu menunggu lama, Rhea membukakan pintu. Benar, ini rumah perempuan itu. Keterkejutan terpasang di wajah perempuan berusia dua puluhan itu melihat kasir bakery yang menjadi tempat favoritnya, sekaligus orang yang sudah memukulinya, saat ini datang.
“Kalau mau minta maaf, saya nggak mau ya,” ujar Rhea sombong saat Gretha bahkan belum sempat membuka mulut.
“Yang ada itu seharusnya Anda yang minta maaf, khususnya sama Ibu saya,” geram Gretha. Cewek itu berusaha menahan emosinya, jadi nada bicaranya masih cukup rendah.
Rhea terkekeh kecil. “Apa sih? Nggak jelas kamu. Datang ke rumah orang, bukannya minta maaf setelah kejahatan yang diperbuat, malah nyuruh orang minta maaf. Sama ibunya lagi. Kenal juga nggak.”
“Siapa sih, Ma?” sebuah suara penasaran dari belakang punggung Rhea membuat Gretha dan Noel menegang.
“Itu loh, Mas, cewek aneh yang mukul aku di mall waktu itu. Selagi orangnya ada di sini, lapor polisi deh atas tuduhan kekerasan.” Rhea menyingkir sedikit ke samping, membuat sosok Tio yang sedang menggendong seorang anak kecil terpampang jelas di hadapan Gretha dan Noel.
Gretha masih bisa mengontrol emosinya. Dirinya juga cukup kuat untuk menahan tangis dan kecewa.
“Jelasin semuanya, Yah.”
Rhea mengerutkan dahinya mendengar Gretha menggunakan panggilan Yah pada pria di sampingnya. Sementara itu, Tio hanya bisa terpaku di tempatnya, bingung hendak bereaksi bagaimana. Di hadapannya ada puteri semata wayangnya bersama laki-laki yang sudah sejak kecil mengenalnya.
“Ini Andrhea, i-istri Ayah.”
Tak ada ekspresi. Begitulah yang dilihat Noel di wajah Gretha. Cowok itu takut kalau Gretha menahan semuanya dan menangis sendiri nanti malam.
“Oke,” jawab Gretha, “Jelasin semuanya, Ayah.”
“Apa-apaan sih, Mas?” Rhea tampak tidak terima saat mengetahui cewek di hadapannya adalah anak dari Tio.
“Rhea, aku bakal jelasin semuanya ini–“
“Ini apa? Kenapa manggil Ayah? Dia anak kamu? Katanya, kamu nggak punya anak dari istri kamu yang sudah meninggal.”
Gretha membuka mulutnya, “Apa? Ayah bilang Ibu sudah meninggal?” tanyanya emosi. Ini sudah di luar batas. Gretha masih bisa menahan emosinya melihat ayahnya bersama selingkuhan sambil menggendong anak. Tapi, berbohong mengenai kematian ibunya?
“Ayah punya akal nggak sih? Ibu masih hidup. Kerja setiap hari, untuk hidup kita, Yah. Bahkan Ayah cuma bisa kasih aku uang pas-pasan untuk naik angkot. Semua kebutuhan aku, aku minta ke Ibu.”
Tio menurunkan Lina dari gendongannya, hendak meraih Gretha yang matanya sudah mulai berkaca-kaca. “Gretha, Ayah–“
Gretha menepis tangan ayahnya, “Ceraikan Ibu aku sekarang juga. Aku nggak mau tau gimana caranya, cepat cerai dari Ibu aku. Tinggalin kami berdua. Silakan hidup dengan dua manusia ini,” tunjuknya pada Rhea dan Lina.
“Jaga sopan santun kamu ya, jangan seenaknya nunjuk-nunjuk orang yang lebih tua,” amuk Rhea tidak terima.
“Kalau saya tidak sopan, Anda disebut apa? Bisa-bisanya ngerusak rumah tangga orang.”
Rhea terdiam sejenak, sampai akhirnya bersuara, “Eh anak kecil! Dari setahun yang lalu juga Mas Tio ngaku udah duda, nggak punya anak. Ngapain jadi aku yang salah?”
Gretha menghapus tetesan air matanya yang jatuh, “Lina bukan anak Ayah?”
Tio menggeleng.
“Aku juga sudah nggak perduli. Ayah sama mereka aja. Jangan pulang ke rumah. Urus perceraian Ayah dengan Ibu. Aku nggak mau Ibu ngabisin uang untuk ngasih makan orang kayak Ayah, yang cuma numpang hidup dengan kami.”
Gretha menarik sudut bibirnya, tersenyum sinis, “Jangan-jangan, selama ini Ayah bukannya nggak punya cukup uang, tapi uangnya sudah disetor ke selingkuhan– ah maaf, ke istri Ayah ini.”
Tio benar-benar terdiam dengan keringat dingin yang mengalir di sekujur tubuhnya. Di sampingnya, Rhea tampak hendak bersuara, namun dengan cepat Gretha membuka mulut kembali.
“Jangan emosi dulu, Nyonya Tio yang terhormat. Anda bisa bayangkan kalau jadi saya. Kalau Anda tidak marah, berarti akal Anda sudah rusak.”
Tiga kalimat dari Gretha cukup membungkam Rhea. Perempuan itu memilih diam sambil mengusap pelan puncak kepala Lina yang sedang memeluk erat pinggangnya.
Gretha menghela napas, lelah karena sejak tadi rasanya hanya dirinya yang berkoar-koar. “Aku nggak bakal kasih tau ke Ibu, karena Ayah yang harus jelasin semuanya. Permisi.” Gretha menarik lengan Noel, mengajaknya meninggalkan tempat itu.
Baru dua langkah, Gretha menghentikan langkahnya, berbalik sebentar untuk mengatakan satu kalimat pada ayahnya.
“Jangan lupa, urus perceraian Anda dengan Ibu saya.”
**
Noel bingung harus membuka percakapan yang seperti apa dengan sahabat sekaligus teman sebangkunya ini. Sejak kemarin, saat dia mengantar Gretha pulang ke rumah, cewek itu hanya diam.
“Nggak usah kayak orang bego deh, El. Aku nggak papa, kok.” Gretha bersuara, membuat Noel menghela napas lega.
“Aku pikir, seharian ini, aku bakal diam kayak orang bego benaran di sekolah. Mentok-mentok cuma liatin Silvi yang kerjanya makan roti sobek.”
Silvi yang merasa terpanggil menoleh ke belakang dengan tatapan sinis ke arah Noel, “Tapi kamu mintain juga rotinya.”
“Ya habis, rasa cokelat keju. Siapa yang nggak doyan?”
Gretha tertawa kecil melihat perdebatan mengenai roti sobek antara dua sahabatnya itu. Sedetik kemudian, ia kembali mengingat kejadian kemarin sore. Hal yang paling ia takuti akhirnya terjadi, walau tidak seratus persen. Walau Lina bukan anak dari ayahnya, kenyataan bahwa ayahnya berbohong mengenai kematian ibu sangat membuat Greth terpukul.
“Katanya nggak papa, kok diam?” Noel menyenggol bahu Gretha dengan bahunya.
Gretha tersenyum tipis, bingung hendak menanggapinya bagaimana. Dia tadi hanya merasa tak enak dengan Noel karena sejak kemarin diam. Bahkan tak ada ucapan terima kasih karena sudah menemaninya mencari tahu kebenaran mengenai ayahnya.
“Makasih ya, El,” ucap Gretha tulus.
“Kalau orang lain bilang, dalam pertemanan nggak ada terima kasih dan maaf. Tapi kalau kata aku, harus ada, biar perasaan saling menghargai selalu tertanam dalam ikatan ini. Jadi, sama-sama ya, Tha.” Noel tersenyum. Manis sekali, walau saat ini dia sudah mengenakan lagi kacamatanya. Karena kemarin Gretha diam, Noel jadi tidak berani untuk meminta kacamata miliknya. Untunglah, Gretha membawanya pagi ini.
Noel mengeluarkan ponselnya, membuka galeri dan memutar sebuah video lucu yang semalam sudah ia unduh dari youtube. “Kamu nonton deh ini, lawakan receh, tapi semoga kamu terhibur.”
Gretha mengambil ponsel Noel dan menonton video itu dalam diam. Sesekali, cewek berambut ikal itu tertawa kecil, membuat Noel yang duduk di sebelahnya gemas. Cowok berkacamata itu menopang kepalanya dengan tangan, fokus menatap Gretha yang juga fokus dengan video yang ia tonton.
1 new chat.
Pemberitahuan ada obrolan masuk membuat Gretha menghentikan tontonannya, kemudian mengembalikan ponsel pada Noel.
“Ada chat masuk, tuh. Buka dulu, siapa tahu penting. Lagian jam istirahat sebentar lagi habis.”
Noel mengangguk.
Sama seperti ponsel Noel, rupanya ponsel Gretha pun ada satu pesan yang masuk. Itu dari Alberth. Sepulang dari rumah Rhea, Gretha menyempatkan diri untuk mengirimi pesan pada Alberth agar cowok itu tahu kontaknya.
Pulang sekolah aku jemput. Kita nonton.
Sebenarnya Gretha berniat hanya akan mengurung diri di kamar saja sambil mendengarkan lagu. Apa dia menuruti ajakan Alberth? Hitung-hitung untuk hiburan. Cewek itu pun mengetikan sebuah kalimat yang berisi persetujuannya mengenai ajakan Alberth.
“Wah, senyum-senyum, nih?” goda Noel.
Gretha mengulum senyumnya, “Apaan sih, El.”
**
Alberth mencari-cari seseorang di balik punggung Gretha, membuat cewek itu kebingungan.
“Ngapain sih, Al?”
Alberth menggeleng, memberikan tatapan kagumnya, “Ini mukjizat. Masih di sekolah, tapi aku nggak ngeliat ada si pacar berkedok sahabat kamu itu di sekitar sini, Mar.”
Gretha tertawa kecil, “Hahaha. Kamu ada-ada aja sih, Al. Noel ada urusan katanya, jadi pulang duluan. Aku juga sudah bilang kalau ada janji sepulang sekolah.”
“Bilang nggak kalau janjinya sama aku?”
Gretha menggeleng, “Tahu sendiri Noel gimana. Jadi, kita mau nonton apa, nih?”
“Hm, kamu mau kenaikan kelas, kan, sebentar lagi? Gimana kalau kita ke toko buku?”
Bahu Gretha lunglai seketika, bibirnya maju beberapa senti. “Kok ke toko buku sih, Al? Katanya tadi mau nonton.”
Alberth tersenyum penuh arti, “Udah, ini termasuk nonton, kok. Ayo ke toko buku, sebelum terlambat.”
“Apaan sih?”
Alberth menarik tangan Gretha, membawa cewek itu menuju mobilnya dan melesat seketika. Tak jauh dari tempat keduanya berdiri tadi, Noel memperhatikan. Cowok berkacamata itu memang ada janji sepulang sekolah, dan saat ini sedang menunggu seseorang. Tanpa sengaja, matanya yang dihiasi kacamata menangkap kejadian yang sedikit membuatnya kesal.
Noel baru sadar kalau orang yang berjanji dengan sahabatnya itu adalah Alberth.
“Ayo, Noel?” seorang cewek berbandana pink muncul mendadak di belakang Noel.
“Ah, iya,” jawab Noel singkat lalu mengajak cewek itu segera pergi dari sana.
**
Mata Gretha berbinar takjub. Hari ini ada acara M&G Nada Amira di toko buku ternama di kotanya. Nada adalah seorang penulis yang tiga bukunya sudah difilmkan, bahkan dirinya sendiri turut mengisi peran.
“Kamu ajak aku ke sini? Kok kamu tahu kalau aku penggemar Nada? Kamu dapat dari mana tiketnya?” Gretha tampak sangat antusias.
Alberth tersenyum penuh kemenangan. Senyuman manis itu akhirnya bisa ia dapatkan dengan mudah. “Paman aku pemilik toko buku ini, jadi aku dikasih tiket gratis untuk lihat Nada. Tiket itu berlaku untuk dua orang, jadi aku ajak kamu aja. Remaja mana sih yang nggak suka Nada?”
Gretha mengangguk semangat, “Iya. Tapi, Noel juga suka Nada loh. Dari sebulan yang lalu, kami berdua sudah kumpulin uang untuk beli tiketnya, tapi keburu habis karena yang dijual cuma 15 tiket.”
“Kalian nggak ikut kuisnya di radio?”
Gretha menghela napas pelan, “Sudah, tapi kalah cepat dengan penelfon yang lain. Kuis di sosial media juga. Tapi, aku beruntung bisa kenal sama kamu, jadi kebagian ketemu Nada. Hehehe.”
“Mau foto pun bisa kok, Mar. Nanti kita tinggal minta tolong dengan penyelenggara. Gampang, pakai sistem orang dalam. Nanti aku bilang kalau aku keponakan pemilik toko buku ini.”
Gretha mengacungkan dua jempolnya, “Keren kamu. Ah iya, aku harus ambil foto Nada sebanyak-banyaknya, untuk Noel. Seandainya dia juga ada di sini.”
Mata Alberth menangkap sosok yang sejak tadi dibahas oleh Gretha. Apa doa cewek itu terkabul ketika dia meminta?
“Mar, kita duduk di bagian depan sana aja yuk, sisa dua kursi. Pas,” Alberth segera mengajak Gretha pergi dari sana agar cewek itu tidak bertemu sahabatnya, Noel.
Sementara itu, Noel bersama Caya, cewek berbandana pink yang tadi mengajaknya, memilih kursi nomor dua dari belakang, membuat cowok berkacamata itu tidak melihat, bahkan menyadari, kalau Gretha juga ada di sana.
Bagus kak crita nya, saya suka????
Comment on chapter Prolog