Read More >>"> Varian Lara Gretha (6) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Varian Lara Gretha
MENU
About Us  

Hari itu Gretha puas sekali. Selain meminta tanda tangan Nada, dia juga berfoto bersama perempuan berusia 25 tahun tersebut. Sungguh pengalaman yang luar biasa. Dilihat dari dekat, ternyata Rudolf lebih tampan dari yang ia lihat di televisi.

“Makasih banyak ya, Al, sudah bikin aku ketemu idola. Makasih juga sudah antar sampai di depan rumah.”

Alberth tersenyum manis. Ia juga sangat puas karena dapat berlama-lama menatap wajah Gretha dari jarak dekat tanpa canggung karena ada ibunya atau terganggu karena ada Noel.

“Sama-sama, Mar. Lain kali kita jalan lagi, ya?”

Gretha mengangguk antusias, “Boleh. Tapi, sesekali bareng Noel boleh?”

Kesenangan Alberth sedikit terganggu mendengar nama cowok berkacamata yang selalu menempel pada Gretha bak perangko pada amplop. “Asal Noel mau, boleh.”

“Oke, kalau gitu, aku mau masuk dulu ya, Al?”

“Iya, jangan lupa bahagia ya, Mar.”

Gretha sedikit tertegun. Memasuki rumah, sama saja kembali memasuki dunia nyatanya. Kenyataan pahit yang ia telan sejak dulu. Baiklah, selamat datang lagi.

PRANG!

Suara pecahan dari dalam rumah membuat Gretha menegang. Cewek itu berlari masuk ke dalam rumah, diikuti Alberth yang sejak tadi belum pulang dan mendengar bunyi itu juga.

“Bu? Ibuuuuuu!” teriak Gretha cemas.

Cewek berambut ikal itu bergerak menuju dapur, mendapati ibunya terdiam dengan mangkok berisi adonan yang pecah di lantai. Pandangan Gretha tertuju pada sosok pria yang duduk di meja makan. Ayahnya.

Gretha yakin, ayahnya sudah memberitahu kebenaran. Mau tidak mau, Gretha melihat wajah kekecewaan yang ada pada ibunya. Hal itu menyakitkan hati cewek usia remaja tersebut. Seakan oksigen di sekitarnya raib sebagian, ia merasa sesak ketik melihat orang yang paling ia sayangi perlahan menitikkan air mata.

“Silakan keluar dari rumah ini sampai surat dari pengadilan kamu dapatkan, Tio.” Prada berbicara dengan sedikit bergetar, sambil berusaha menguasai emosinya. Wanita itu menutup pelan matanya, membiarkan air mata lolos begitu saja agar tak lama panas ketika menggenang.

Tanpa balasan, Tio berdiri, bergerak keluar. Berpapasan dengan anak semata wayangnya, pria itu melirik sekilas ke mata Gretha yang menyiratkan kebencian. Senyum tipis tanda pamit menghiasi wajah Tio, yang hanya dibalas tatapan datar anaknya.

Alberth yang berdiri di belakang Gretha sama sekali tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Hendak bertanya, tapi siapa dirinya? Kenal pun baru masuk hitungan bulan.

“Al, maaf, kamu bisa pulang,” pinta Gretha pelan.

Alberth sadar, ia memang sebaiknya pulang saja, “Iya, Mar, aku pulang,” ujarnya menepuk bahu remaja berambut ikal itu.

Seperginya Alberth, Gretha meletakkan ranselnya di lantai kemudian mendekati tempat Prada berdiri mematung. Cewek yang masih mengenakan seragam sekolah itu memungut pecahan mangkok dengan hati-hati, setelah sebelumnya mencari kantong plastik sebagai wadah pecahan kacanya.

“Tha, udah. Kamu–“

“Ibu duduk aja, biar aku yang urus semuanya.”

Dengan telaten, Gretha membersihkan semua kekacauan yang ada. Prada duduk dengan dada yang sesak di kursi meja makan. Wanita itu memeriksa ekspresi anaknya. Kenapa wajah anak itu datar saja?

“Nah selesai.” Gretha tersenyum kemudian mengambil ranselnya yang tadi ia jatuhkan asal di lantai. “Bu, aku lapar, tapi aku mandi dulu, ya?”

Baru satu langkah Gretha bergerak, panggilan Prada menginterupsinya, “Gretha?”

Cewek berkuncir satu itu berbalik, “Iya, Bu?”

Prada menatapnya lurus, serius, dengan mata yang masih berair, “Berapa lama kamu diam, Nak?”

Seakan menelan batu, ludah Gretha terasa berat. Cewek itu bersusah payah menelan rasa sakitnya sekarang. Dia memejamkan mata dan menghela napas pelan, “Bu, badanku lengket,” ujarnya pelan sedikit bergetar.

“Kenapa kamu sakit sendiri selama ini?” tanya ibunya lagi.

Gretha masih berusaha menahan gejolak emosinya.

Prada kembali buka suara, “Dengan menyimpan semua itu sendiri, kamu pikir kamu kuat, Tha? Kamu kira Ibu lemah?”

Runtuh sudah dinding pertahanan dalam hati Gretha. Emosi cewek itu akhirnya bergejolak. Aksi unjuk rasa dari emosinya tampak dari bahunya yang perlahan berguncang dan isakan yang mulai terbuat.

Ransel yang tadi disampirkannya asal di bahu kanannya, kini jatuh begitu saja ke lantai. Isakan pelan Gretha berubah menjadi tangis yang deras. Selama ini ia menyimpan semua isak memalukan itu rapat-rapat. Tapi hari ini, semuanya keluar begitu saja akibat perkataan ibunya yang menyiratkan bahwa Gretha sok tegar.

Prada berdiri menuju Gretha dan memeluk erat anaknya, “Nggak papa, sayang. Puas-puasin aja. Kamu pasti sudah berusaha bertahan selama ini. Untuk malam ini, luapin semuanya.”

“Ma-maafin aku, Bu. Aku ... bingung. Aku cuma nggak tau ... ha-harus apa.”

Prada mengelus kepala Gretha dengan lembut, membiarkan anaknya meluapkan semua emosi malam itu, begitu pula dirinya.

 

**

 

Sembab. Nasib mata Greta naas sekali pagi itu. Setelah acara saling menumpahkan emosi bersama ibunya, Gretha kembali menangis di dalam kamarnya semalam. Dan pagi ini, jadilah matanya seperti habis dicium pantat lebah.

“Tha, kamu kenapa? Diputusin pacar?” tanya Silvi dengan pertanyaan yang tidak mungkin. Gretha itu belum pernah pacaran, siapa yang mau mutusin?

Gretha menggeleng, “Semalam nonton film India, sedih banget sampai aku nangis berlebihan,” bohongnya.

Cewek itu tidak mau sembarang bercerita karena tak ingin dikasihani. Cukup dirinya saja yang tahu, dan Noel tentunya, karena dia dan Noel sudah seperti saudara kembar yang tak terpisahkan.

Sama seperti Silvi, Noel turut terkejut dengan mata Gretha yang sembab. Rasa ingin tahunya mengalahkan rasa kesal yang ia peroleh kemarin saat melihat sahabat sejatinya itu pergi bersama Alberth.

“Kamu kenapa Tha?”

“Nonton film India sampai nangis,” jawab Silvi tak diminta.

Noel melempar pandangan ke Gretha, cewek itu menggerakkan mulutnya membentuk kata Ayah sambil mengangguk. Untung dia cepat tanggap, jadi Noel langsung mengerti maksud dari Gretha. Sudah dipastikan, ada sesuatu yang terjadi kemarin berkaitan dengan ayah Gretha yang beselingkuh. Dan hal ini pasti tidak bagus. Noel segera membuang kekesalannya pada Gretha mengenai Alberth, tanpa sisa.

 “El?”

“Tha?”

Keduanya serentak menutup mulut. Gretha hendak memberi foto-foto Nada yang kemarin dia dapatkan saat pergi ke M&G Nada Amira. Sama seperti Gretha, Noel juga ingin melakukan hal yang sama. Dia menerima ajakan Caya kemarin demi mendapatkan tanda tangan Nada di novelnya.

Noel hendak memberitahu Gretha saat ia pulang dari luar kota mengenai ajakan Caya tersebut, namun diurungkannya karena cewek berambut ikal itu sedang memiliki masalah. Noel tidak bisa begitu saja memberitahu, biarlah menjadi kejutan agar kesedihan sahabatnya itu sedikit berkurang.

“Kamu aja dulu,” ujar Noel tersenyum.

Gretha menghembuskan napasnya, kemudian mengeluarkan ponsel dan memamerkan semua foto Nada Amira yang sendirian ataupun bersama remaja ikal itu. Noel menyembunyikan rasa terkejutnya saat ini.

“Maaf, El, aku kemarin pergi dengan Alberth, yang soal janji itu,” Gretha mengaku dengan jujur. “Aku pikir dia cuma ajak nonton ke bioskop, ternyata ngajak nonton Nada yang ngadain M&G. Aku tahu kamu pasti pengin kesana juga, tapi tiketnya kan satu berdua. Maaf, ya.”

Noel menggeleng. Seharunya dia yang meminta maaf, karena sudah hampir memusuhi Gretha karena membohonginya. Bahkan Gretha masih mengingatnya saat jalan dengan cowok lain. Tunggu, apa-apaan sih? Jalan dengan cowok lain? Seperti dirinya dan Gretha itu pasangan saja.

“Tha, santai aja, nggak usah minta maaf. Mana liat foto Nada,” pinta Noel sedikit manja. Dia tidak mau mematahkan semangat Gretha dengan berkata kalau dirinya juga pergi ke acara Nada kemarin bersama Caya.

“Ini, liat deh. Aku sempat foto juga sama Nada, bahkan selfie. Ternyata Nada Amira itu selain cantik, juga baik dan ramah, El.” Gretha memasang senyum termanisnya, walau tampak tidak sinkron dengan matanya yang sembab.

Noel mendengarkan semua cerita Gretha mengenai Nada, mengenai bagaimana acaranya, seakan dia tidak melihat. Kali ini keduanya persis seperti ayah dan anak yang sedang asik bercerita.

“Nada siapa sih?” tanya Silvi yang sejak tadi di depan mereka hanya mengamati dan mendengarkan.

 

************

 

Sudah seminggu sejak kejadian ayahnya yang diusir oleh ibu dan selama seminggu itu Gretha berusaha menjadi orang lain. Maksudnya, dia mulai berusaha menyibukkan diri dengan hal-hal yang jarang ia lakukan. Gretha mulai mau menerima ajakan Alberth untuk pergi makan atau bermain. Di sore atau malam hari, Gretha akan berkunjung ke rumah Noel untuk belajar bersama.

Noel merasa Gretha terlalu memaksakan. Cewek itu punya alasan sendiri. Dia tidak ingin pulang cepat ke rumah dan ibunya akan melihat wajah muramnya. Selain itu, Prada melarang anaknya untuk ke bakery dengan alasan sebentar lagi ujian kenaikan kelas. Itulah sebabnya ibunya meminta dia lebih sering belajar bersama Noel.

“Kak Gretha sering-sering kesini ya, Kak. Nanti pas libur kenaikan kelas juga ke sini aja, main sama aku.”

Gretha seolah berpikir sebelum menjawab ajakan Nata, “Hm gimana ya, Kakak harus bantu Ibu di bakery. Kenaikan kelas nanti kan masuk puasa, jadi pegawai bakery bakal mudik.”

“Mudik itu apa?” tanya Nata polos.

“Mereka pulang ke kampung masing-masing buat ketemu keluarganya, terus kumpul deh kayak kita sekarang.” Noel menjawab pertanyaan adiknya sambil membawa tiga gelas jus alpukat.

Gretha mengangguk setuju dengan jawaban sahabatnya. Kadang, Noel bingung, Gretha selalu bersedia meladeni cerewetnya Nata. Gadis kecil yang masih duduk di bangku sekolah dasar itu sejak sudah mulai bisa berbicara lancar menjadi sangat cerewet. Untunglah Hera, ibunya, dan Gretha, bersedia meladeni.

 

**********

 

“Udah deh kalian berdua, jangan berantem lagi,” lerai Silvi yang sudah mulai stres dengan tingkah dua sahabat yang duduk di belakangnya.

Hari ini lagi-lagi Noel dan Gretha kumat bertengkar. Ini kejadian yang sudah lama tidak terjadi. Biasanya, Noel akan mengalah saja daripada harus cari ribut, tapi kali ini tidak. Hal ini pemicunya adalah terbongkarnya rahasia mengenai Noel yang pergi dengan Caya.

“Terserah kamu mau percaya atau nggak, intinya aku udah capek ngejelasin,” amuk Noel kemudian fokus ke depan untuk mencatat rumus matematika yang ditulis Pak Kus di papan tulis.

“Oke terserah aku emang. Mulai sekarang kita berantem,” ujar Gretha tertahan agar Pak Kus tidak mendengar.

“Hm.”

Gretha kesal dengan balasan Noel yang hanya deheman. Seharusnya itu bagiannya sebagai cewek. Remaja berambut ikal itu mengambil pensil dan menggaris bagian tengah meja, setelah sebelumnya merapikan semua barang-barangnya. Walau garisnya samar-samar, itu masih bisa dilihat oleh Gretha dan Noel yang bermata empat.

“Ini batas kita, jangan sampai ada yang ngelewatin. Nggak ada pinjam meminjam alat tulis. Paham?”

“Hm.” Lagi-lagi Noel haya membalasnya dengan deheman dan fokus pada catatannya.

Gretha kesal bukan main.

Setelah selesai memindahkan rumus Pak Kus ke buku catatan, Gretha malah bosan sendiri. Biasanya, dia akan bermain sos dengan Noel, atau kalau tidak melakukan hal lain yang tak ada faedahnya sama sekali. Berbeda dengan Gretha yang sudah selesai, Noel masih secara bergatian menatap bukunya dan papan tulis.

Selain Noel, juga masih banyak murid yang belum menyelesaikan catatan mereka. Hal ini bukan karena mereka terlalu lamban menulis, tapi karena tulisan Pak Kus yang menyebalkan, yang seakan berniat menyusahkan murid-murid di kelas itu. Tulisan guru matematika itu hanya sebesar biji jagung. Kau harus menyipitkan mata atau melebarkannya agar dapat membacanya dengan benar.

Efek bosan, Gretha memilih untuk meletakkan kepalanya di atas tangannya yang ia lipat di atas meja. Rasanya nyaman, ditambah dengan suasana kelas yang hening dan angin sepoi yang masuk melalui jendela kelas.

“Heh! Siapa itu yang tidur?” Pak Kus, alias Kusno Sinaga, menegur Gretha. Sialnya murid yang ditegur malah tak dengar.

“Hei perempuan pemalas!” gertak Pak Kus lagi, membuat Gretha terganggu dan dengan kesal mengangkat kepalanya demi melihat siapa yang membuat si tuan pemarah mengamuk di kelas.

Gretha melirik sekelilingnya dan menegang kemudian karena semua mata tertuju padanya. Dengan takut, dia menghadap ke depan, tepat ke meja guru. Pak Kus sudah murka.

“Sudah kusuruh kau mencatat, tapi apa yang kau buat? Malah tidur kau di sana. Sini kau! Maju ke depan, berdiri sampai jam pelajaran selesai!” amuk Pak Kus.

Dengan ogah-ogahan, Gretha berdiri dan maju ke depan kelas. Tak ia sangka, Caya juga turut berdiri karena barusan ketahuan menertawainya. Syukurin.

Gretha mengedarkan pandangannya, berhenti di Noel. Cowok itu memamerkan sederet giginya yang putih dan rapi ke arah Gretha kemudian tangannya dengan sengaja melewati batas yang tadi digambarkan oleh cewek ikal tersebut.

“Awas kamu Noel,” bisik Gretha.

 

********

 

“Udah deh, baikan gih! Benci jangan banyak-banyak, nanti berubah jadi cinta,” ujar Silvi asal sambil menyuapkan baso ke mulutnya.

Gretha dan Noel saling pandang, “Cih!” desis keduanya bebarengan.

Silvi hanya tertawa, “Tuhkan.”

“Aku? Suka sama cewek kayak Gretha? Nggak mungkinlah, Sil. Liat aja dia baik-baik. Bagian mana yang bisa bikin aku suka sama dia? Nggak. Aku nggak mungkin suka sama Gretha. Kamu gila kali Sil, masa–“

“Ya udah sih kalau nggak suka diam. Cerewet kayak gitu malah keliatan,” ujar Gretha kalem.

“Udah intinya kalian baikan.” Silvi menyeruput es tehnya, “Kamu gimana Tha, sama Alberth? Ada perkembangan?”

Gretha merona seketika, “Perkembangan apaan sih? Orang cuma jalan biasa doang.”

Noel mencibir. Ia tak tahan melihat wajah Gretha merona seperti itu.

“Tha, orang gila aja kalau liat Alberth itu naksir. Nggak mungkin kamu nggak, kan? Aku aja kalau nggak ingat kamu, Al bakalan aku embat. Belum lagi setiap malam kamu chat aku buat ceritain semua kisah perjalanan kamu hari itu sama Al. Ngaku aja, Tha, sebelum ditikung.”

Gretha tersedak basonya sendiri, membuat Silvi geleng-geleng dan Noel cemas seketika. Cowok berkacamata itu dengan cekatan menyodorkan jus jeruknya pada Gretha, karena minuman cewek ikal itu belum diantar. Bahkan, Noel membantuk mengelap tumpahan kuah baso yang mengenai rok cewek itu.

Silvi menggelengkan kepalanya kembali. Dia heran kenapa dua manusia di hadapannya ini tidak meresmikan hubungan saja. Tadi bertengkar, sibuk menyangkal perasaan satu sama lain. Giliran yang satunya celaka, yang satunya cemas tak tentu arah.

“Aku suka sama Al, tapi nggak tahu dianya gimana,” ujar Gretha lemah. Sapuan tisu di roknya oleh Noel terhenti.

“Kamu ... suka sama Alberth?” tanya Noel memastikan. Cowok itu sudah menduga ini akan terjadi.

Selama seminggu belakangan, Noel memang membiarkan begitu saja Alberth membawa Gretha untuk hangout tapi dengan alasan agar cewek berambut ikal itu agak tenang dari masalah yang ia terima selama ini. Sayangnya, cowok berahang tegas itu tidak menyangka kalau Gretha akan menyukai Alberth secepat ini.

Noel merasa ada yang mengganjal hatinya. Apa dia cemburu?

“Alberth itu baik banget. Alis matanya tebal kayak cowok-cowok yang biasa dideskripsikan di novel-novel. Rapi banget pula.” Gretha membayangkan rupa Alberth.

“Bulu matanya lentik, dia punya lesung pipi di bagian kiri, dagunya juga kebelah, dan ...” Gretha sengaja menggantungkan ceritanya, membuat kedua sahabatnya penasaran.

“Dan?” tanya Silvi tak sabaran.

“Dia tinggi. Yah intinya aku kan suka sama cowok yang tinggi terus alisnya tebal.”

Silvi terkekeh, “Noel tuh alisnya tebal,” tunjuknya pada Noel yang berpura-pura khidmat dengan nasi goreng di hadapannya.

“Ah, Noel pengecualian. Lagian, kalau liat Noel udah bosan.” Gretha mengibaskan tangannya di depan wajah.

Noel melirik tajam ke arah Gretha.

Gretha memberi cengiran, “Tapi Noel juga ganteng, kok. Apalagi kalau kacamatanya dilepas. Seksi,” ujarnya gemas sambil menepuk pelan pipi Noel membuat pipi cowok itu bersemu merah.

Silvi yang melihat perubahan raut wajah Noel hanya tersenyum dalam diam. Dasar, cinta pake gengsi!

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • cnuel_

    Bagus kak crita nya, saya suka????

    Comment on chapter Prolog
Similar Tags
Seseorang Bernama Bintang Itu
470      322     5     
Short Story
Ketika cinta tak melulu berbicara tentang sepasang manusia, akankah ada rasa yang disesalkan?
Good Art of Playing Feeling
345      257     1     
Short Story
Perkenalan York, seorang ahli farmasi Universitas Johns Hopskins, dengan Darren, seorang calon pewaris perusahaan internasional berbasis di Hongkong, membuka sebuah kisah cinta baru. Tanpa sepengetahuan Darren, York mempunyai sebuah ikrar setia yang diucapkan di depan mendiang ayahnya ketika masih hidup, yang akan menyeret Darren ke dalam nasib buruk. Bagaimana seharusnya mereka menjalin cinta...
BlueBerry Froze
3436      1071     1     
Romance
Hari-hari kulalui hanya dengan menemaninya agar ia bisa bersatu dengan cintanya. Satu-satunya manusia yang paling baik dan peka, dan paling senang membolak-balikkan hatiku. Tapi merupakan manusia paling bodoh karena dia gatau siapa kecengan aku? Aku harus apa? . . . . Tapi semua berubah seketika, saat Madam Eleval memberiku sebotol minuman.
Summer Rain
174      140     0     
Fan Fiction
Terima kasih atas segala nya yang kamu berikan kepada aku selama ini. Maafkan aku, karena aku tak bisa bersama dengan mu lagi.
Si 'Pemain' Basket
3197      948     1     
Romance
Sejak pertama bertemu, Marvin sudah menyukai Dira yang ternyata adalah adik kelasnya. Perempuan mungil itu kemudian terus didekati oleh Marvin yang dia kenal sebagai 'playboy' di sekolahnya. Karena alasan itu, Dira mencoba untuk menjauhi Marvin. Namun sayang, kedua adik kembarnya malah membuat perempuan itu semakin dekat dengan Marvin. Apakah Marvin dapat memiliki Dira walau perempuan itu tau ...
Triangle of feeling
425      298     0     
Short Story
Triangle of feeling sebuah cerpen yang berisi tentangperjuangan Rheac untuk mrwujudkan mimpinya.
Stuck On You
283      228     0     
Romance
Romance-Teen Fiction Kisah seorang Gadis remaja bernama Adhara atau Yang biasa di panggil Dhara yang harus menerima sakitnya patah hati saat sang kekasih Alvian Memutuskan hubungannya yang sudah berjalan hampir 2 tahun dengan alasan yang sangat Konyol. Namun seiring berjalannya waktu,Adhara perlahan-lahan mulai menghapus nama Alvian dari hatinya walaupun itu susah karena Alvian sudah memb...
Somehow 1949
8442      2027     2     
Fantasy
Selama ini Geo hidup di sekitar orang-orang yang sangat menghormati sejarah. Bahkan ayahnya merupakan seorang ketua RT yang terpandang dan sering terlibat dalam setiap acara perayaan di hari bersejarah. Geo tidak pernah antusias dengan semua perayaan itu. Hingga suatu kali ayahnya menjadi koordinator untuk sebuah perayaan -Serangan Umum dan memaksa Geo untuk ikut terlibat. Tak sanggup lagi, G...
Silver Dream
7606      1855     4     
Romance
Mimpi. Salah satu tujuan utama dalam hidup. Pencapaian terbesar dalam hidup. Kebahagiaan tiada tara apabila mimpi tercapai. Namun mimpi tak dapat tergapai dengan mudah. Awal dari mimpi adalah harapan. Harapan mendorong perbuatan. Dan suksesnya perbuatan membutuhkan dukungan. Tapi apa jadinya jika keluarga kita tak mendukung mimpi kita? Jooliet Maharani mengalaminya. Keluarga kecil gadis...
Gareng si Kucing Jalanan
6296      2755     0     
Fantasy
Bagaimana perasaanmu ketika kalian melihat banyak kucing jalanan yang sedang tertidur sembarangan berharap ketika bangun nanti akan menemukan makanan Kisah perjalanan hidup tentang kucing jalanan yang tidak banyak orang yang mau peduli Itulah yang terjadi pada Gareng seekor kucing loreng yang sejak kecil sudah bernasib menjadi kucing jalanan Perjuangan untuk tetap hidup demi anakanaknya di tengah...