Read More >>"> Varian Lara Gretha (3) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Varian Lara Gretha
MENU
About Us  

“Ya udah kamu pura-pura jadi penggemar aku aja gitu di pinggir panggung, Tha, daripada nggak ngapa-ngapain, kan?” tawar Noel pada Gretha. Cewek itu bingung dan benar-benar lupa kalau Sabtu ini ada pentas seni dalam rangka ulang tahun sekolah.

Noel akan tampil mengisi acara dengan bandnya. Cowok itu di posisi gitaris. Silvi sudah jelas sebagai panitia, karena dia salah satu anggota OSIS, tepatnya bendahara. Gretha benar-benar bingung harus apa karena kedua sahabatnya akan sibuk Sabtu ini. Tahun lalu, Silvi belum ikut OSIS, jadi Gretha masih bisa berdua dengan cewek bertubuh subur tersebut. Tapi sekarang?

“Aku nggak mau datang aja kalau gitu,” sungut Gretha sebal. Dia memang mengenal semua murid di sekolah itu, tapi dia tidak akrab dengan mereka. Gretha itu salah satu manusia yang gengsinya tinggi untuk sekedar menegur orang lain, ditambah lagi dia jarang tersenyum. Siapa yang berani mendekati?

“Ih jangan, dong. Bakal seru tau, besok itu.”

Gretha menggembungkan pipinya sebal. Siapa peduli mengenai keseruannya kalau teman-temannya sibuk?

“Tha.” Noel memegang kedua sisi bahu Gretha, “Kan kalau aku selesai tampil, bisa sama kamu. Lupa atau emang bloon, sih?”

Gretha menepuk pelan dahinya, memberikan cengiran kuda, “Oh iya yah, El. Aku pikir kalau kamu nampil, kamu bakalan sama teman-teman band kamu, ninggalin aku, kayak tahun lalu,” ujarnya kemudian menyipitkan mata.

Memang, tahun lalu Noel juga mengisi acara sekolah, tampil bersama bandnya juga, dan cowok itu lebih memilih untuk bergabung dengan anggota bandnya daripada bersama Gretha. Keasyikan, katanya beralasan. Cowok itu memang lupa untuk kembali bersama Gretha dan Silvi saat itu, karena terlalu asyik membahas musik dan perempuan bersama anggota band barunya.

“Ya elah, Tha, yang sudah lalu biarlah berlalu, usah kau kenang,” ujar Noel sambil menaikturunkan alisnya. “Aku janji besok nggak bakal tinggalin kamu. Bakal nemanin kamu aja sampai acara selesai.”

Gretha terdiam beberapa saat. Wajahnya memanas. Kalau cewek itu es krim, dijamin sudah mencair. 

 

**

 

Sepulang dari sekolah, Gretha sudah berjanji untuk menemani Noel membeli kebutuhan cowok itu yang sudah habis. Kadang Gretha heran, kenapa ada manusia seperti Noel. Bagaimana tidak, cowok itu selalu meminta Gretha yang memilihkan barang yang ia perlukan untuk mandi, seperti facial wash, body wash, sikat gigi, pasta gigi, atau barang yang ia perlukan untuk penampilannya seperti parfum, gel rambut, dan lain sebagainya.

Noel awalnya mengaku tidak begitu telaten dalam memilih merk yang bagus. Dan juga dia senang kalau Gretha yang mengerjakan semuanya. Seakan-akan Gretha adalah bawahannya yang gampang disuruh-suruh. Gretha tentu saja keberatan di awal, tapi sekarang semuanya ia lakukan secara ikhlas karena Noel akan membelikanya apa pun yang ia mau, asal masih bisa dijangkau dompet cowok itu.

“Sabun cair kamu juga habis, El?” tanya Gretha memastikan, sebelum mengambil sebuah sabun mandi cair.

Noel berpikir sejenak kemudian menggeleng, “Kayaknya kalau sabun, aku baru beli dua hari lalu, titip sama Mama.”

Gretha manggut-manggut kemudian mendorong troli ke bagian makanan. Kebutuhan Noel sudah terpenuhi, sekarang giliran kebutuhan Gretha. Makanan.

Cewek yang masih mengenakan seragam sekolah, lengkap dengan dasinya itu bersemangat mendorong troli ke bagian kerupuk. Gretha tidak bisa makan nasi tanpa kerupuk. Katanya bagai Noel tanpa Gretha, karena Gretha masih bisa tanpa Noel. Apa yakin?

Senyum yang ceria dan berbinar lagi-lagi pudar karena bertemu dengan sepasang manusia yang selalu membuat mood Gretha hancur. Ayahnya dan perempuan lain. Hebatnya kali ini ayahnya masih dengan perempuan yang tempo hari membeli roti tawar di bakery. Rhea.

“Tha, aku juga mau ... kerupuknya.” Noel menghentikan langkahnya melihat sahabatnya tiba-tiba diam dan mengikuti arah pandang cewek di depannya itu.

Noel melihat. Memalukan. Gretha tidak tahu harus bagaimana lagi. Sahabatnya melihat ayahnya berselingkuh. Kenapa harus di depan sahabatnya? Pasangan yang sudah menyebabkan mood Gretha hancur itu akhirnya sadar sedang diperhatikan oleh dua anak SMA.

“Gretha?” bisik Tio tertahan.

Rhea mengernyit melihat Gretha, “Lah, kasir toko roti, kan?” tanyanya mendekati Gretha, masih dengan tatapan menghina seperti biasanya.

Gretha bergeming, begitu pula Noel yang merasa canggung dan bingung harus bagaimana. Tio yang seakan tersangka di sini hanya mematung di tempatnya berdiri, sedangkan Rhea sudah berdiri tepat di depan Gretha. Perempuan itu saat ini mengenakan sepatu bertumit tinggi, membuat Gretha mendongak malas. 

“Kamu masih sekolah?” tanya Rhea, memperhatikan seragam yang dikenakan Gretha.

Gretha mengangguk pelan, menarik mundur trolinya, “Permisi,” ujarnya.

Rhea menahan troli anak SMA itu, membuat Gretha turut menghentikan langkahnya. “Kamu kenapa sih kaget tiap liat aku? Aku tersinggung. Apalagi kamu itu anak kecil, yang semuanya kecil,” kekehnya sambil melirik tubuh Gretha dari atas sampai bawah, seakan tengah memindai.

“Terserah.” Gretha kembali menarik trolinya menjadih dari Rhea. Perempuan berbibir merah itu merasa anak SMA yang dihadapinya ini tidak memiliki sopan santun.

“Heh anak kecil! Nggak sopan banget, sih? Pasti orang tuanya nggak benar.” Rhea sedikit berteriak, membuat beberapa pengunjung mall melirik mereka. 

Gretha menghentikan lagi langkahnya. Orang tua pasti merangkup ayah dan ibu. Tidak ada yang boleh merendahkan ibunya. Tidak ada satu orang pun yang boleh berkata hal yang tidak benar mengenai pahlawannya itu.

Noel memberi kode Gretha untuk sabar, membuat amarah cewek itu sedikit mereda. Dia berniat melempar Rhea dengan satu botol soda ukuran besar di troli yang tadi sempat dia ambil. Terima kasih Noel sudah mengurungkan niat jahat cewek itu.

“Bilang mamanya ya, ajarin anaknya sopan santun.” Rhea kembali bersuara, “Yah itu pun kalau mamanya ngerti sopan santun.”

DEG.

Amarah Gretha sudah di ubun-ubun. Ini salah. Perempuan itu salah karena sudah menyulut api emosi anak SMA yang terkenal sensitif itu. Gretha menyambar botol berisi soda 1,5 liter dari trolinya, kemudian memukul Rhea menggunakan botol tersebut.

Menjerit kaget, perempuan itu terhuyung ke belakang, nyaris jatuh kalau Tio tak sempat menangkapnya. Sudut bibir Rhea berdarah dan rahang sebelah kirinya berdenyut. Tio menatap tajam Gretha, mendekati cewek itu setelah melepas pelukannya dari Rhea.

“Minta maaf,” ujar Tio berusaha menahan emosi. 

Gretha menggeleng, meletakkan kembali botol yang ia gunakan sebagai senjata tadi kemudian mengajak Noel pergi dari sana. Napas cewek itu tersengal. Cowok di sebelahnya takut untuk bersuara, memilih diam. 

“Ayo pergi, Mas. Amit-amit punya anak kayak gitu. Siapa sih orang tuanya?” sungut Rhea sambil memegangi pipinya dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya merangkul lengan Tio.

 

**

 

Sudah sekitar lima belas menit Gretha duduk terdiam di atas kasur dalam kamar Noel. Sebelumnya, Gretha meminta sahabatnya untuk merahasiakan semua yang tadi terjadi dan apa yang ia lihat dari Hera. Noel bingung apakah dia harus menenangkan cewek itu atau tidak, karena Gretha tampak sangat tenang sejak keluar dari mall. Seakan apa yang ia lihat adalah makanan sehari-hari.

“Aku malu, El,” ujar Gretha akhirnya, membuka suara.

Noel duduk di sebelahnya, tidak menjawab, hanya menunggu cewek itu kembali bersuara.

“Aku malu. Keadaan keluarga aku bertolak belakang dengan keluarga kamu. Papa baik, setia, dan bertanggung jawab, nggak kayak Ayah yang nyari uang seadanya, ngasih ke keluarga seiritnya, dan nggak setia. Nggak ada tanggung jawab. Malu-maluin.” Tak ada tangisan, bahkan geraman. Gretha mengatakan semuanya dengan sangat santai, namun hatinya sangat sakit dan perasaannya terluka. Malu sekali. Kecewa.

Karena tak ada tangisan, Noel malah tambah khawatir. Ia takut membayangkan bagaimana perasaan Gretha yang sebenarnya. Walau tidak tahu bagaimana rasanya, Noel bisa membayangkan berada di posisi Gretha.

“Ibu mati-matian cari uang untuk buka bakery waktu itu, sedangkan Ayah mati-matian cari perempuan baru.” Gretha kembali membuka kenangannya saat pertama kali menemukan ayahnya bersama perempuan lain.

“Kamu.” Gretha menoleh, menatap Noel tepat pada matanya, “harus setia. Jangan sakiti hati cewek ya, El. Janji sama aku?” 

Noel melihat kesedihan yang dalam pada mata cewek yang duduk di sebelahnya itu. Perlahan, mata yang jernih itu berair. Pertahanan Gretha runtuh. Air mata sialan itu jatuh lagi. Namun tetap sama, tak ada isakan. Hanya air yang mengalir, tanpa isakan bahkan ekspresi.

Cowok beralis tebal itu membawa Gretha ke dalam pelukannya. Pintu kamar yang memang sengaja terbuka, membuat Hera menyaksikan semuanya. Hera memang tidak mendengar jelas apa yang dua siswa SMA itu bicarakan, tapi ibu rumah tangga itu tahu kalau Gretha sedang dalam masa berat. Bahkan amat berat untuk anak seusianya.

 

**

 

Selepas maghrib, Gretha pulang ke rumahnya. Dengan lunglai, ia melangkahkan kakinya ke dalam rumah sederhana yang terkadang mengalami kebocoran atap di musim hujan itu. Bakery milik ibunya memang laris, tapi uang yang mereka kumpulkan harus terbagi dua untuk membayar hutang. Belum lagi gaji ayahnya yang diberikan pada Gretha hanya cukup untuk digunakan sebagai ongkos Gretha ke sekolah.

Gretha tidak menemukan ibunya di ruang mana pun di rumahnya, termasuk di kerajaannya, dapur. Cewek itu keluar dari rumah dan berlari menuju bakery yang berjarak 800 meter dari rumahnya. Sekitar kurang lebih sepuluh menit, ia sampai di toko roti ibunya. Gretha mengatur napas sebelum masuk.

“Ibu?” panggilnya memasuki bakery. Tak ada jawaban.

Cewek berkuncir satu yang masih mengenakan seragam itu menuju dapur, menemukan ibunya di sana. Gretha menatap lelah Prada yang membelakanginya. Wanita itu tampak sedang memeriksa kue yang sejak tadi ia masukkan ke dalam oven. Gretha mendekat dan memeluknya dari belakang.

“Eh anak Ibu kenapa tiba-tiba meluk?” Prada sedikit terkejut dengan pelukan mendadak yang dihadiahi anaknya.

Gretha menggeleng, menahan tangis haru, “Aku sayang Ibu. Sayang banget, Bu.”

Prada berbalik, balas memeluk anaknya, “Ibu juga sayang kamu kok, Tha. Tapi jelasin dong, kenapa ini meluk tiba-tiba?” tanyanya sambil membelai rambut Gretha membuat anak SMA itu merasa nyaman.

“Nggak ada alasan untuk meluk orang yang kita sayangi, Bu.”

Prada tersenyum mendengar itu. Dalam hati ia bersyukur pada Tuhan karena hidupnya yang tak sempurna dan kacau balau, terasa disempurnakan oleh Gretha, anaknya.  Sama dengan yang dilakukan ibunya, Gretha pun bersyukur karena lahir sebagai anak wanita berusia akhir tiga puluh itu.

“Jadi, anak Ibu satu ini darimana, hm? Kenapa bau, belum mandi, dan masih pakai seragam? Tahu kan kalau nyucinya susah?” Prada melepaskan pelukannya, berkacak pinggang, pura-pura memarahi anaknya.

Gretha memberikan cengiran, “Maaf, Bu, tadi aku sibuk ngurusin anak aku, sampai lupa kalau belum mandi,” ujarnya sambil terkikik. 

Prada tertawa, “Kamu ini lama-lama nikah benaran loh nanti sama Noel,” ujarnya lalu kembali melihat kuenya, apakah sudah matang atau belum.

“Ih nggak mau, Bu. Noel itu gila kebersihan. Yang ada nanti dia bakal ngamuk-ngamuk tiap hari kalau aku malas mandi.”

“Loh, itu salah kamu, dong. Lagian anak gadis kok malas mandi.” Prada mengambil pudding vanilla yang ia simpan khusus untuk Gretha dari kulkas.

Mata Gretha berbinar menerima pudding tersebut, “Lagian ya, Bu. Namanya persahabatan, nggak boleh dinodai dengan tragedi jatuh cinta,” ujarnya sok bijak kemudian menyantap pudding dalam diam.

Jatuh cinta ya? Pikir Prada, sambil menerawang ke masa lalu, kemudian tersenyum kecut.

“Kamu kalau jatuh cinta, atau suka sama seseorang, jangan disimpan ya, Tha, nanti kecewa.”

 

**

 

Hari yang dinantikan semua murid SMA Bahari akhirnya tiba. Pentas seni sekolah. Hal ini dijadikan pula sebagai hiburan sebelum ujian nasional oleh anak kelas dua belas.. Seluruh siswa perempuan mengenakan pakaian berwarna merah, sedangkan siswa laki-laki mengenakan pakaian berwarna putih. Anggota OSIS selaku panitia mengenakan rompi kebesaran mereka untuk membedakan mereka dengan anak yang lain, agar mudah dicari jika diperlukan. 

Gretha menghela napas karena saat ini Noel membawanya ke tempat duduk yang berada tepat di depan panggung, di belakang kursi para guru dan kepala sekolah, yang sudah dijaga oleh Cello, drummer tinggi berwajah kalem. 

“Kamu duduk di sini, liat aku tampil. Selesai tampil aku ke sini lagi, habis itu kita cari es krim. Jangan kemana-mana, jangan kabur, di sini aja. Ngerti?” pinta Noel.

Gretha mengangguk, “Iya, aku di sini nungguin kamu sampai kamu balik lagi ke sini.”

“Bagus.”

Noel bergerak menuju belakang panggung untuk bersiap diri bersama teman satu bandnya yang lain, sedangkan Gretha menuruti permintaan Noel tadi. Diam, tidak kemana-mana. Sungguh patuh.

“Halo, Nona Margaretha,” sapa Alberth yang datang dari samping kiri Gretha kemudian meminta siswa yang tadinya duduk di samping cewek itu untuk berganti posisi dengannya. Rupanya Alberth duduk di belakang cewek berambut ikal tersebut sejak tadi, namun tidak ada yang menyadari, baik Noel atau pun Gretha.

“Al!” pekik Gretha tertahan. “Untung ada kamu. Kalau nggak, semuanya bakal ngebosanin,” sungutnya sambil menggembungkan pipi.

“Loh, memangnya pacar kamu mana?”

Gretha mengerutkan dahi, “Aku mana pernah pacaran, Al,” jelasnya.

Alberth mengangkat kedua alisnya, “Wah bagus dong, buka lowongan berarti,” candanya. “Jadi, si El itu bukan pacar kamu?”

Gretha tertawa geli, “Noel? Nggaklah. Ngapain pacaran sama sahabat sendiri?”

“Lah, pacaran sama sahabat sendiri itu lagi trend loh, Mar.”

“Ih mana ada trend kayak gitu.”

“Hahaha. Persahabatan antara cewek dan cowok itu jarang yang tanpa adegan jatuh cinta, Mar.”

Gretha tertegun sesaat, membuang pandangannya ke arah Noel dan yang lainnya yang sedang menyetel alat musik mereka di atas panggung. Tak sengaja, pandangan keduanya beradu. Noel tersenyum menatap sahabatnya itu, namun langsung merubah ekspresi ketika sadar di sebelah Gretha ada Alberth.

Gretha menunduk, “Persahabatan nggak boleh dinodai dengan tragedi jatuh cinta,” ujarnya pelan kemudian mendongak dan tersenyum ke arah Alberth.

Noel mengeraskan rahangnya melihat Gretha tersenyum lembut ke cowok berambut cokelat itu. 

“Baiklah, mari kita sambut band sekolah kita. Andromeda!” teriakan MC membuat Gretha dan Alberth serentak menghadap panggung. Siswa perempuan terdengar riuh dan bising menyoraki. Semuanya berteriak karena Andromeda adalah band yang berisi cowok-cowok kece di sekolah.

Pertama, sudah jelas ada Immanuel alias Noel sebagai gitaris sekaligus vokalis, kedua ada Cello sebagai drummer yang kalem tapi semua perempuan bisa gila saat ia menabuh drumnya. Ketiga ada Attar si cowok berambut ikal keturunan Arab idaman semua perempuan, sebagai pianis. Dan terakhir, yang keempat ada Dirga, sebagai bassist

"Seberapa pantaskah kau untuk kutunggu?”

Gretha sedikit tersentak mendengar kalimat pertama dalam lirik lagu yang dinyanyikan Noel. Bahkan lirik selanjutnya lagu Seberapa Pantas dari Sheila On 7 itu mampu membuat jantung cewek berkuncir satu itu berdetak tak karuan. Hal itu didukung dengan tatapan Noel yang seakan-akan tidak berpaling darinya.

“Bagus juga suara sahabat kamu itu, Mar,” puji Alberth dengan menekankan kata sahabat.

Gretha tersenyum, “Dia emang doyan nyanyi dari dulu.”

Sepanjang lagu, Gretha terus memperhatikan Noel. Tidak bisa ia elakkan bahwa sahabatnya itu memiliki paras yang tidak bosan untuk dipandang. Namun, setiap hari Gretha harus memastikan pada dirinya sendiri bahwa persahabatan tidak boleh dinodai dengan tragedi jatuh cinta.

“Kalau kamu bersikeras dengan prinsip kamu mengenai sahabat, aku dukung, Mar.” Alberth tersenyum namun tidak menatap Gretha yang diajaknya berbicara. Cowok itu tetap fokus pada Noel yang sudah selesai bernyanyi dan turun dari panggung.

Gretha menoleh.

Alberth melanjutkan, “Biar kamu jatuh cintanya sama aku aja, jangan sama dia. Dia cukup jadi sahabat kamu.”

Gretha mengerjap beberapa kali. Baru saja cewek itu hendak membalas perkataan Alberth, Noel menegurnya, membuatnya berpaling dari Alberth.

“Aku udah selesai. Gimana tadi, keren nggak?” tanya Noel.

“Nggak. Biasa aja,” ujar Gretha sambil tersenyum.

Alberth bisa melihat kalau dua manusia di dekatnya ini saling menyukai, tapi ntah kenapa mereka seakan saling menutup diri. Kesempatan ini tentu saja dapat ia gunakan untuk mendekati Gretha.

“Ah, kapan sih aku kerennya kalau di depan kamu, Tha? Biasa aja mulu,” keluh Noel kemudian menoleh ke arah Alberth, “Kamu ngapain di sini?”

Alberth menaikkan bahunya, “Yah, kan aku penanggung jawab panggungnya, jadi nggak masalah dong ikut acara anak sekolahan kayak kalian.”

Noel menatap Alberth tidak suka, kemudian mengajak Gretha pergi dari situ, “Ayo Tha, aku tadi janjiin es krim, kan?” ajaknya sambil menarik tagan cewek itu.

“Aku ikut ya? Aku kan kenalnya sama kalian. Biar aku deh yang traktir es krimnya.”

Gretha mengangguk bersemangat, “Boleh. Ayo Al, El!” ujarnya sambil merangkul Alberth dan Noel di kiri dan kanannya, persis seorang anak kecil yang diajak bermain oleh kedua saudara laki-lakinya. 

Setelah membeli es krim, ketiganya duduk di bangku penonton bagian paling belakang untuk menikmati es krim tersebut. Alberth sesekali bercerita hal-hal yang lucu, membuat Gretha tertawa. Hal itu tentu saja tampak menyebalkan bagi Noel, karena biasanya bagian membuat Gretha tertawa adalah tugasnya.

“Tha, kamu masih ingat nggak di mana aku taruh gantungan kunci bentuk kelinci yang kita beli couple waktu SMP? Kan kamu yang nyimpan waktu kamu ke rumah aku.” Noel berusaha mengalihkan perhatian Gretha dari Alberth.

Gretha berpikir sebentar, “Lah, kan kamu pakai untuk gantungan kunci kamar, El, masa lupa? Kan tiap hari pasti buka tutup kamar.” Cewek itu berusaha cepat menjilati es krim yang mencair, membuat es krim tersebut belepotan di dekat pipi dan dagunya.

“Kamu kayak anak kecil, Mar. Makan kok belepotan,” tunjuk Alberth pada bagian wajah Gretha yang dikotori es krim.

Cewek itu memberi cengiran dan menyodorkan wajahnya pada Noel, “Kayak anak kecil ya, El?”

Noel menoleh malas kemudian mengangguk. Alberth mengeluarkan sapu tangan dari kantongnya, berniat membersihkan es krim yang ada di wajah Gretha, namun cowok itu kalah cepat. Noel sudah lebih dulu membersihkan noda es krim itu dengan tangannya sendiri.

Melihat adegan yang baru saja terjadi, Alberth sadar, membuat Gretha jatuh cinta padanya tak akan semudah itu. Kedua siswa SMA di hadapannya itu saling menjaga dan menyayangi tanpa mengganti status hubungan mereka.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 1 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • cnuel_

    Bagus kak crita nya, saya suka????

    Comment on chapter Prolog
Similar Tags
The Last Mission
548      317     12     
Action
14 tahun yang silam, terjadi suatu insiden yang mengerikan. Suatu insiden ledakan bahan kimia berskala besar yang bersumber dari laboratorium penelitian. Ada dua korban jiwa yang tewas akibat dari insiden tersebut. Mereka adalah sepasang suami istri yang bekerja sebagai peneliti di lokasi kejadian. Mereka berdua meninggalkan seorang anak yang masih balita. Seorang balita laki-laki yang ditemuka...
Ojek
779      530     1     
Short Story
Hanya cerita klise antara dua orang yang telah lama kenal. Terikat benang merah tak kasat mata, Gilang dihadapkan lagi pada dua pilihan sulit, tetap seperti dulu (terus mengikuti si gadis) atau memulai langkah baru (berdiri pada pilihannya).
Dialogue
8161      1681     1     
Romance
Dear Zahra, Taukah kamu rasanya cinta pada pandangan pertama? Persis senikmat menyesapi secangkir kopi saat hujan, bagiku! Ah, tak usah terlalu dipikirkan. Bahkan sampai bertanya-tanya seperti itu wajahnya. Karena sesungguhnya jatuh cinta, mengabaikan segala logika. With love, Abu (Cikarang, April 2007) Kadang, memang cinta datang di saat yang kurang tepat, atau bahkan pada orang yang...
Who You?
696      454     2     
Fan Fiction
Pasangan paling fenomenal di SMA Garuda mendadak dikabarkan putus. Padahal hubungan mereka sudah berjalan hampir 3 tahun dan minggu depan adalah anniversary mereka yang ke-3. Mereka adalah Migo si cassanova dan Alisa si preman sekolah. Ditambah lagi adanya anak kelas sebelah yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan untuk mendekati Migo. Juya. Sampai akhirnya Migo sadar kalau memutuskan Al...
Rain, Coffee, and You
490      338     3     
Short Story
“Kakak sih enak, sudah dewasa, bebas mau melakukan apa saja.” Benarkah? Alih-alih merasa bebas, Karina Juniar justru merasa dikenalkan pada tanggung jawab atas segala tindakannya. Ia juga mulai memikirkan masalah-masalah yang dulunya hanya diketahui para orangtua. Dan ketika semuanya terasa berat ia pikul sendiri, hal terkecil yang ia inginkan hanyalah seseorang yang hadir dan menanyaka...
My Big Bos : Mr. Han Joe
589      347     2     
Romance
Siapa sih yang tidak mau memiliki seorang Bos tampan? Apalagi jika wajahnya mirip artis Korea. Itu pula yang dirasakan Fraya ketika diterima di sebuah perusahaan franchise masakan Korea. Dia begitu antusias ingin segera bekerja di perusahaan itu. Membayangkannya saja sudah membuat pipi Fraya memerah. Namun, apa yang terjadi berbeda jauh dengan bayangannya selama ini. Bekerja dengan Mr. Ha...
Mencari Virgo
444      309     2     
Short Story
Tentang zodiak, tentang cinta yang hilang, tentang seseorang yang ternyata tidak bisa untuk digapai.
Innocence
4334      1452     2     
Romance
Cinta selalu punya jalannya sendiri untuk menetap pada hati sebagai rumah terakhirnya. Innocence. Tak ada yang salah dalam cinta.
The Diary : You Are My Activist
12789      2223     4     
Romance
Kisah tentang kehidupan cintaku bersama seorang aktivis kampus..
Ellipsis
1939      806     4     
Romance
Katanya masa-masa indah sekolah ada ketika kita SMA. Tidak berlaku bagi Ara, gadis itu hanya ingin menjalani kehidupan SMAnya dengan biasa-biasa saja. Belajar hingga masuk PTN. Tetapi kemudian dia mulai terusik dengan perlakuan ketus yang terkesan jahat dari Daniel teman satu kelasnya. Mereka tidak pernah terlibat dalam satu masalah, namun pria itu seolah-olah ingin melenyapkan Ara dari pandangan...