Gretha mematut dirinya di depan cermin tanpa ekspresi. Cewek yang sudah duduk di bangku sekolah menengah atas itu memeriksa apakah seragamnya sudah rapi atau masih ada kekurangan. Setelah dirasa rapi dan siap berangkat, Gretha keluar dari kamarnya, menuju dapur karena dijamin ibunya sudah menyiapkan sarapan yang menggiurkan.
“Ibu, sarapan apa kita hari ini?” tanya Gretha ceria, berbeda dengan wajah tanpa ekspresinya tadi di kamar.
Prada tersenyum hangat melihat putri semata wayangnya datang untuk sarapan, “Ibu cuma bikin roti panggang isi sosis dan keju mozarella.”
Gretha bersemangat melahap roti isi yang sudah ada di hadapannya. Prada lagi-lagi tersenyum melihatnya. Berbeda dengan Prada yang masih tersenyum lebar, senyum Gretha sedikit memudar melihat ayahnya datang dan ikut duduk, sarapan bersamanya.
“Bu, Gretha pergi dulu, ya? Takut telat, soalnya harus nyari angkot dulu.” Gretha somtak berdiri, kemudian berpamitan dengan ibunya. Walau ada rasa kesal dalam hatinya terhadap sang ayah, cewek berusia enam belas tahun itu tetap berpamitan dengan pria tersebut.
“Gretha kenapa sih, Bu? Makin hari makin jutek, gitu?” tanya Tio pada istrinya setelah Gretha benar-benar pergi.
Prada mengedikkan bahu, “Nggak jutek, kok. Perasaan Ayah aja.”
**
“Hai, Tha!” seorang cowok berperawakan tinggi dengan kulit sawo matang dan berkacamata merangkul bahu Gretha dari arah belakang.
Gretha menoleh sekilas, selanjutnya mengabaikan sapaan singkat dari sahabatnya itu. Cewek itu lebih memilih melanjutkan langkahnya menuju kelas. Cowok yang masih merangkul dan mengikuti langkahnya itu pun memasang wajah kesal, kemudian beralih posisi dari di samping, menjadi di depan, menghalangi langkah Gretha. Noel, nama cowok itu.
“Kamu kok gitu sih, Tha? Aku dicuekin.”
Gretha mengangkat sebelah alisnya, “Biasanya?”
Noel menurunkan bahunya, lunglai, “Dicuekin.”
Gretha manggut-manggut masih tanpa ekspresi, berjalan melewati Noel setelah memberi sedikit senggolan di bahu cowok itu. Beberapa siswa lain yang melihat adegan sehari-hari dari dua sahabat itu mulai saling berbisik, memberikan pendapat. Ada yang berpikir, kenapa Noel dan Gretha tidak pacaran saja, tapi ada pula yang berpikir, kenapa Noel mau dekat-dekat dengan cewek seaneh Gretha yang tidak ada ramah-ramahnya sama sekali. Jelas, kalau bagian membicarakan hal negatif, itu sudah porsi cewek-cewek penggosip di sekolah.
Sesampainya di kelas, Gretha duduk di bangkunya, posisi dua dari belakang, di sudut dekat dinding. Bagian mantap untuk dirinya tidur saat pelajaran Pak Samsul, guru kesenian yang rambutnya semi botak dengan kumis tebal dan dahi lebar. Gretha tidak suka menggambar, jadi dia akan lebih memilih tidur di sudut, ditutupi oleh Silvi, sahabatnya yang memiliki tubuh subur, yang duduk di bagian kiri depannya.
“Awas deh, Tha! Itu kan posisi aku, ngapain kamu yang duduk di situ? Udah tadi dicuekin, malah ambil alih tempat orang,” rutuk Noel tak mau terima.
Gretha memberikan senyuman lebar ekstra gigi putih bersih yang tersusun rapi , “El, nanti ada pelajaran Pak Samsul. Gantian ya? Please?”
Noel tidak tega untuk menolak. Bukanya tidak tega dengan Gretha, tapi tidak tega kalau nanti perut, wajah, atau bagian mana pun dari tubuhnya menjadi korban amukan cewek berambut ikal itu. Noel mengangguk setuju, membuat Gretha bertepuk tangan senang.
Gretha hanya akan lebih ekspresif di hadapan tiga orang yang ia percaya. Ibu, Silvi, dan Noel. Silvi adalah sahabatnya sejak awal masuk SMA, sedangkan Noel sahabat sejak SD. Mereka bertiga, biasa dijuluki 110, karena Silvi yang subur, Noel yang tinggi, dan Gretha yang kurus.
“Tha, hari ini aku mau ketemuan sama cewek yang aku kenal di Facebook minggu lalu. Katanya dia sekolah di SMA Garuda, nggak jauh dari bakery Ibu.” Noel bercerita dengan antusias.
“Hm.”
“Jadi, nanti pulang sekolah, kamu bareng aku aja, nggak usah naik angkot. Nggak ada alasan untuk nolak, soalnya kali ini kan aku searah sama kamu.”
“Hm.”
“Tapi, nanti aku nongkrong dulu ya di bakery? Soalnya mau beli roti, sekalian ganti baju. Aku bawa salinan.”
“Hm.”
Noel menghela napas, “Kamu dengar nggak sih, Tha?”
“Hm,” sahut Gretha yang sibuk memainkan ponselnya.
Noel yang gemas merampas ponsel Gretha, menghasilkan terjadinya adegan saling rebut antara keduanya. Gambar seorang chef yang memberengut dengan emoji hati patah di layar ponselnya membuat Gretha marah besar.
“Gara-gara kamu, hati aku patah!” teriak Gretha, membuat beberapa penghuni kelas yang sudah hadir melirik ke arahnya. Silvi yang sejak tadi fokus membaca novel keluaran terbaru pun menghentikan kegiatannya.
Noel terdiam beberapa saat. Gretha memasang ekspresi kesal, seakan cowok di hadapannya ingin dia telan saja. Dengan sedikit gemetaran, Noel menyerahkan kembali ponsel cewek itu. Gretha mengambil kasar ponselnya dan duduk, kemudian menatap nelangsa hatinya yang tadi hanya tersisa satu di layar ponsel, kini sudah habis.
“Gara-gara kamu nih, aku harus nunggu lagi biar hatinya nongol!” Gretha mengangkat ponselnya, memperlihatkan hati yang berguna untuk nyawa di permainannya yang sudah habis pada Noel.
Ketegangan di wajah Noel seketika hilang, begitu pula ketegangan yang dirasakan Silvi dan penghuni kelas. Sempat tadi cowok itu mengira Gretha patah hati karena dia akan bertemu dengan seorang cewek yang dikenalnya dari sosial media. Ternyata patah hati di permainan. Dasar Gretha!
**
“Eh, ada Noel.” Prada mengambil beberapa potong kue dan memberikannya pada sahabat putrinya tersebut. Tak lupa, ibu dari Gretha itu turut menghidangkan minuman untuk Noel.
“Wah Ibu, repot-repot banget, padahal nggak perlu segininya.”
Gretha mencibir, “Alah, gaya banget sok-sok bilang repot, padahal sendirinya udah niat pengin dijamu kayak gitu.”
Wajah Noel memerah, “Apaan sih, Tha!”
“Gretha, nggak boleh gitu sama Noel.”
Gretha tidak menghiraukan perkataan ibunya, dia malah fokus ke bakery yang cukup ramai, “Bu, bakery kita tahun ini makin ramai, ya? Kalau kayak gini, nanti pas pegawai libur lebaran, gimana, dong, Bu?”
Sebentar lagi memang memasuki bulan puasa, bahkan dari lima pegawai Prada, satu di antaranya berniat berhenti karena harus kembali ke kampung halaman, sebab baru saja lulus kuliah. Tiga dari lima pegawai Prada adalah mahasiswa yang mencari kerja sampingan, sisanya adalah pegawai tetap yang bertugas di dapur, membantu mengadon dan memanggang.
Prada akan mempersilakan pegawainya yang merayakan Idul Fitri untuk libur mulai dari minggu ketiga puasa hingga satu minggu setelah lebaran, semenjak bakery itu dibuka dua tahun lalu. Selama dua tahun belakangan, Gretha yang akan membantunya sebagai pelayan, dan Prada bertugas di dapur. Namun, sepertinya, tahun ini, bakery mereka mengalami kenaikan jumlah pengunjung, membuat mereka harus kerja ekstra.
Noel menepuk-nepuk dadanya, “Tenang, Bu, ada Noel di sini.”
Prada mengusap pelan kepala Noel, “Nanti ngerepotin kamu, El.”
Cowok beralis tebal itu menggeleng, “Nggak sama sekali kok, Bu. Daripada aku di rumah nggak ada kerjaan, yang ada aku dikerjain Nata. Sekolah pasti pulangnya lebih cepat juga, kan.”
Gretha tertawa mendengar nama Nata. Nata adalah adik Noel yang masih berusia sebelas tahun, tapi tingkahnya lucu sekali, hobinya mengusili Noel. Ah iya, sepertinya, selain Noel, Silvi, dan Ibu, Gretha juga bisa lebih ekspresif di depan keluarga Noel.
“Kamu mending pergi sekarang deh, El.” Gretha mengingatkan, “Janjian kamu waktunya sepuluh menit lagi. Sana temui bidadari impian kamu itu.”
Noel menepuk dahinya, “Astaga iya,” ujarnya panik lalu permisi ke toilet untuk bertukar pakaian. Seragam berganti dengan kaos oblong berwarna putih yang ditutupi bomber jacket warna khakhi dan celana jeans hitam.
“Bu, aku pergi dulu,’ ujar Noel pada Prada, kemudian beralih ke Gretha, “Doain aku, Tha!”
**
Mentega
Cokelat batang
Keju
Gula pasir
Gretha mengingat-ingat bahan yang akan dibelinya sambil bersenandung kecil, menjadikan bahan itu sebagai pengganti lirik asli dari lagu yang ia senandungkan. Cewek itu masuk ke sebuah swalayan yang berada tak jauh dari bakery ibunya.
“Mas, aku mau eskrim yang besar,” rengek seorang perempuan berpakaian kurang bahan pada seorang pria.
Gretha bergidik geli mendengar suara perempuan itu. Dia tak mengacuhkannya, fokus pada apa yang hendak dibeli. Setelah semua yang diperlukan sudah ia dapat, Gretha menuju ke kasir. Di meja kasir, cewek itu lagi-lagi mendengar rengekan perempuan berpakaian minim tadi.
“Mas, kan aku bilang eskrimnya aja yang besar, cokelatnya jangan. Aku takut tambah gendut!”
Gretha menaikkan sebelah bibirnya. Tambah gendut? Helo! Badan perempuan itu saja lebih kurus dari badan Gretha yang rasanya sudah seperti ranting pohon.
“Nggak papa, nanti Mas bantu habiskan.”
DEG!
Suara ini.
Gretha memang tidak bisa melihat siapa pria yang bersama perempuan cengeng itu karena hanya bisa menatap punggungnya saja. Pria itu mengenakan topi kupluk berwarna navy dan hoodie berwarna senada, membuat cewek itu tidak mengenalinya dari penampilan. Tapi, suara itu familiar, membuat Gretha mengenalinya.
Gretha berdehem, agar pria di depannya berbalik. Namun, bukan seperti yang cewek itu harapkan, yang merasa tersindir dengan deheman Gretha malah perempuan centil tersebut.
“Eh, anak kecil, sabar, ya,” ujar perempuan yang ternyata memakai make up berlebihan itu pada Gretha, dengan wajah tidak suka. Dia mengira Gretha tidak sabar mengantre di belakang mereka.
Pria yang bersama perempuan cengeng itu berbalik, ingin tahu pacarnya berbicara dengan siapa, “Sayang ngomong sama si–“
Gretha sudah tidak kaget lagi. Tebakannya dari suara yang familiar sudah benar, dan Gretha pasrah melihat siapa yang berhadapan dengannya. Ayah.
Tio salah tingkah karena tertangkap basah oleh anaknya sedang berdua dengan perempuan lain. Pria itu baru saja hendak buka mulut, namun terhenti karena perempuan yang datang bersamanya bergayut manja di lengannya, mengajak keluar karena transaksi pembayaran telah selesai.
Tak ada ekspresi dari Gretha. Cewek itu bahkan tadi hanya menoleh sekilas ke ayahnya, kemudian beralih pada kasir yang sedang menghitung barang belanjaannya. Tio ketakutan. Takut kalau hal ini diadukan oleh Gretha ke ibunya. Bisa-bisa Tio diusir dari rumah. Rumah yang mereka tempati saat ini adalah warisan dari orang tua Prada. Belum lagi Tio itu kerjanya serabutan, jadi sejauh ini uang makan dan sekolah Gretha, rata-rata ditanggung oleh Prada.
Saat Gretha keluar dari swalayan, cewek itu mendapati ayahnya berdiri menunggu, bersama dengan perempuan berpakaian minin yang kalau ditelisik, usianya baru memasuki awal tiga puluhan.
“Kamu mau ngadu ke Ibu?” tanya Tio lemah, dengan nada pasrah.
“Ngadu apa, Mas? Dia ini siapa sih? Kenapa kita harus nungguin dia?” tanya perempuan di sebelah Tio beruntun.
Gretha mengangkat kepala, menatap ayahnya tanpa ekspresi, “Maaf, Anda siapa? Saya sibuk.” Cewek itu meninggalkan ayahnya yang tertegun. Tio terdiam, kaget dengan perilaku anaknya sendiri.
Tidak acuh bukan berarti Gretha tidak kecewa perihal kelakuan ayahnya. Ketika pertama kali dia melihat ayahnya dengan perempuan lain saat kelas 2 SMP dulu, Gretha menangis sejadi-jadinya saat di sekolah keesokan harinya, membuat Noel kelabakan menghadapi cewek itu. Sesampainya di rumah, saat ibu bertanya mengapa matanya sembab, Gretha berbohong kalau dia baru selesai latihan drama dan mendapat peran anak cengeng.
Kali kedua Gretha mendapati ayahnya dengan perempuan yang berbeda lagi, adalah satu minggu sebelum dia mengikuti ujian akhir sekolah menengah pertama. Hari itu adalah minggu tenang sebelum ujian, maka Gretha dan Noel memiliki rencana ke bioskop. Saat mengarah ke bioskop yang berada di dalam mall, Gretha mendapati ayahnya bersama perempuan berbibir merah merona baru keluar dari pintu keluar bioskop. Kelihatannya, mereka baru saja selesai menonton. Alhasil, selama di dalam studio, Gretha tidak fokus pada film di layar. Dia hanya ingin muntah saat itu.
Ketiga, sekitar tujuh bulan yang lalu, Gretha melihat ayahnya bersama dengan perempuan berwajah timur tengah, keluar dari restoran cepat saji. Saat itu, lagi-lagi Gretha sedang bersama Noel. Untungnya, Noel tidak melihat apa yang dilihat oleh Gretha selama ini, karena itu akan terasa sangat memalukan.
“Awas!”
Sebuah tarikan yang lumayan kuat membuyarkan lamunan Gretha mengenai empat kali mendapati ayahnya berselingkuh dengan empat perempuan yang berbeda.
Gretha menegang di dalam sebuah pelukan. Dia hampir tertabrak mobil tadi. Kenapa dia bodoh sekali? Bagaimana kalau dia melukai dirinya sendiri? Bagaimana kalau Ibu kehilangan dirinya? Siapa yang akan membuat Ibu tersenyum? Siapa yang akan membahagiakan Ibu nanti?
Semua pikiran negatif bermain-main di dalam kepala Gretha. Cewek itu berusaha mengatur napasnya yang tersengal. Ketakutan.
“Kamu nggak papa?” tanya sosok yang tadi menyelamatkannya, yang tadi membawa Gretha ke dalam pelukan.
Gretha melepas pelukan orang itu, menatapnya sebentar kemudian menggeleng. Tanpa ia sadari, pertahanannya runtuh. Gretha menangis. Air mata mengalir begitu saja membasahi pipinya. Kenapa semuanya harus seberat ini?
“Kamu ketakutan banget ya sampai nangis kayak gini?” tanya penyelamat yang sudah meloloskan Gretha dari maut.
Gretha menggeleng. Cewek itu menangis tanpa suara. Tak ada isakan, hanya air mata yang jatuh begitu saja membanjiri pipinya.
“Kamu mau ke arah mana? Biar aku antar.”
Gretha menghapus kasar air matanya kemudian mengulurkan tangan pada cowok yang masih berdiri di hadapannya, “Margaretha.”
Cowok itu tersenyum, “Alberth. Panggil aja Al,” ujarnya menyambut uluran tangan Gretha. “Gimana kalau kita pindah posisi?” tanyanya sambil menunjuk ke sekitar.
Gretha tersadar, mereka masih berada di pinggir jalan raya. Memalukan.
“Aku traktir roti mau?” tawar Gretha pada Alberth.
Cowok itu mengangguk, mengiyakan tawaran cewek manis yang baru ia selamatkan itu.
**
“Anak Ibu kenapa kok awut-awutan gini? Padahal Ibu cuma suruh beli bahan kue, bukan perang.” Prada menghampiri Gretha yang rambutnya sedikit acak dan mata lembab habis menangis.
“Tadi Gretha melamun Bu, hampir ditabrak mobil,” sahut Gretha lemah, mengingat apa yang ia lamunkan.
Prada menutup mulutnya dengan tangan, kaget, kemudian memeluk anak semata wayangnya tersebut. "Ya ampun, Nak, untung kamu nggak kenapa-napa. Besok hati-hati, jangan ceroboh kayak gitu, Tha," ocehnya dengan nada khawatir.
Alberth tersenyum melihat kehangatan di hadapannya. Gretha beruntung memiliki Ibu yang sangat perhatian seperti itu, berbeda dengannya yang harus menerima kenyataan pahit kalau ibunya sudah tidak ada lagi. Hanya ada ayah. Tapi, bukan berarti cowok itu tidak bersyukur, karena ayahnya adalah paket komplit. Ayah sekaligus Ibu, saudara, dan sahabat.
“Al, ini Ibu aku. Ibu, ini Alberth, yang tadi nyelamatin aku.” Gretha memperkenalkan Alberth yang datang bersamanya.
Prada baru menyadari kalau anaknya datang dengan seorang cowok. Wanita itu awalnya hanya fokus pada anaknya yang kacau saja. “Ah, terima kasih Alberth, kamu sudah menyelamatkan anak Ibu. Ayo duduk, Ibu siapkan makanan. Di sini yang ada cuma roti dan kue, semoga kamu suka.”
Prada pamit ke dapur untuk menyiapkan makanan. Gretha mempersilakan Alberth untuk duduk di bangku bakery. Bakery sudah agak sepi dari sebelum ia pergi ke swalayan.
“Kamu masih sekolah ya, Mar?” tanya Alberth membuka percakapan.
Gretha mengangguk, “Kelas sebelas. Kamu? Ah iya, panggil aku Gretha, Al. Semua orang manggil aku kayak gitu,” jelas cewek ikal itu.
“Kuliah, semester dua. Biar anti mainstrem aku panggil kamu Mar aja.”
Bagus kak crita nya, saya suka????
Comment on chapter Prolog