Meet The Parents
“Saat ini, karena apa yang telah kupelajari darimu tiap pilihan yang ku buat menjadi berbeda dan hidupku sepenuhnya berubah. Aku telah belajar bahwa jika kau melakukan itu, kau menghidupi hidupmu sepenuhnya, tak peduli apakah hidup itu cuma lima menit atau lima puluh tahun. Jika tidak untuk hari ini, jika tidak untukmu, aku tak akan pernah mengenal cinta sama sekali. Maka itu, aku berterima kasih kau mau menjadi orang yang mengajariku untuk mencintai dan di cintai”. Sebuah dialog dalam film “If Only” (2004).
Di teras belakang rumah, menghadap kebun kecil, Igo dan Bapaknya Maryam berbincang, ngobrol di bangku rotan panjang. Sementara di kebun kecil, Maryam dan Ibunya yang berbincang sambil menyemprot tanaman obat-obatan dan bunga hias. Sesekali Maryam memandang ke arah Bapaknya. Mereka bercakap-cakap seperti sahabat lama saja yang sekian lama tidak pernah bertemu. Mereka terlihat sangat akrab satu sama lain. Padahal Igo baru beberapa jam di rumah Maryam.
Di tangan Ibu Maryam, menggenggam botol semprotan berisi pupuk cair, terus menyemprotkan ke bunga-bunga, dan tanaman hias yang juga berfungsi untuk tanaman obat-obatan yang tumbuh di kebun. Maryam terus mengamati mereka dari tempatnya. Obrolan mereka semakin hangat dan akrab, terkadang terlihat mereka terlibat obrolan yang serius, kadang-kadang konyol, terkadang kening keduanya berkerut-kerut, namun ada kalanya mereka terlihat terpingkal-pingkal.Tidak bisa Maryam pungkiri, hatinya senang melihat mereka berdua tampak akrab.Saling cocok satu sama lain. Bapaknya Maryam juga terlihat suka dengan kedatangan Igo dirumah. Kata beliau, Igo adalah sosok pemuda kota yang tampan dan santun, berpendidikan pula. Orang jawa bilang Lelaki seperti dia dalam hal bibit, bobot, bebet adalah sempurna. Hmmmm…
Maryam dan Ibunya sekarang berjalan menuju tempat mereka mengobrol. Mereka langsung mengambil tempat duduk di antara sela-sela Igo dan Bapak.
“Nak Igo, kata Maryam, Nak Igo ini selain seorang Hafiz juga pandai membuat kaligrafi, ya ?” Ibu Maryam melontarkan percakapan sambil menyeka keringat dipelipisnya.
" Betul, Nak Igo ?" Ayahnya Maryam menimpali seraya ditaruhnya koran sore yang baru di bacanya di atas meja. Melepaskan kaca matanya, alat bantunya untuk memuaskan hobinya : membaca. Maklum usia Bapak Maryam sudah tidak muda, sudah hampir setengah abad.
"Alhamdulilah, Ibu, Bapak...Kebetulan karena hasil latihan di pondok dan untuk kaligrafi Igo belajar autodidak.” Igo menjawab dengan suara hati - hati dan tertata dengan santun.
“ Oh ya, Maryam tadi bilang, kalian pernah mondok di pesantren yang sama di Solo - Krapyak.”
" Iya, Ibu, Maryam benar."
“ Beginilah Nak, rumah Maryam, sederhana. Maryam sejak mendapatkan beasiswa kuliah di Norwegia. Rumah ini semakin sepi. Apalagi, Saya selalu di tinggal Bapak ke sawah dari pagi sampai setengah hari. Pulang sebentar, makan siang, sholat, tidur siang sejenak, sesudah itu balik lagi ke kantor.Maksud Ibu, ke sawah.”Ibu Maryam tertawa kecil, Igo terlihat tersenyum mendengar curcol Ibu Martam barusan, sementara reaksi Bapak hanya diam mendengar curhatan Istrinya.
“Ibu, katanya tadi merebus ubi, mana kok dari tadi Bapak di anggurin.”
“Oh ya Pak , Ibu baru ingat, sebentar Ibu tinggal ke dapur dulu, Saya ambilkan Pak.”Ibu beranjak dari duduknya. Maryam ikut bangkit Ibu dan anak itu sudah berjalan beriring menuju dapur. Sebuah dapur yang sederhana namun bersih.
“Sekalian tolong Bapak di bikinkan teh Buk ya…”Suara Bapak sedikit keras dari tempat duduknya.
“Ya Pak…”Jawab Ibu tanpa menoleh.
“ Maryam, Ibu kok rasa-rasanya cocok dengan Igo. Piye Nduk’ nek awakmu ambi Igo.Tak kirogo juga mau sama kamu.” ucap Ibu Maryam sembari mengambil beberapa potong ubi di kuali menaruhnya di piring.
“Ach, Ibu ini, pelan-pelan bu, nanti Igo dengar, ‘kan Maryam malu kalau Ia dengar.” Maryam samar tersenyum sembari sibuk membuat teh. Dalam hatinya bertepuk, karena Ibunya sepertinya setuju dia diperistri Igo. Signal-nya jelas sekali semenjak Igo di sini, di rumah ini. Tak akan kesulitan bagi Maryam bila menceritakan hubungan ta'aruf mereka ke orangtuanya.
“Eee…lah, kok malah mesam mesem dewe koyo bocah gendeng, bocah iki.” Ibunya ternyata melihat senyum di wajah anak perempuanya itu.
….
“Nak Igo pasti ‘ntar ketagihan dengan teh buatan saya.Teh special dari racikan Ibu sendiri. Pakai 3 jenis rempah dan empat macam bunga.”
“Hemm, bener-bener wangi, harum banget baunya, ya buk.” Igo mencium kepulan asap dari teh yang baru di buat, yang berada di atas nampan yang telah terhidangkan oleh empunya.
"Monggo, Nak Igo di icip ubi rebusnya, polo pendem ala kadarnya khas desa " Ayah Maryam mempersilahkan tamunya sembari terlihat mulai makan sepotong ubi.
" Monggo, monggo, Nak Igo " Ibu Maryam menimpali.
" Terima kasih, Pak, Buk ." Igo meraih sepotong ubi rebus di piring. Memakannya.
“Wah-wah bener-bener nikmat, sore-sore gini dengan suguhan ubi rebus dan segelas teh.”Bapakku sumringah menikmati hidangan. Istrinya tersenyum.
Igo meraih segelas teh yang dihidangkan tepat di depannya.
“Hem, wanginya teh ini.” Igo mendekatkan hidungnya pada kepulan teh yang masih panas. Di tiupkan udara pada bibir gelas, berharap cepat dingin.
“Auw…panas.”Tanpa sengaja bibirnya menyentuh bibir gelas, refleks lelaki itu mengaduh. Maryam tersenyum ke arahku.
" Hati - hati Igo, teh masih panas." Bapakku mesem sambil pura-pura serius membaca. Ibuku segera masuk dalam rumah mengambil kain lap.
Igo terlihat keki.
Sore itu, di temani secangkir teh yang masih mengepul asap, pertanda masih panas dan juga sepiring ubi rebus yang hangat, di belakang teras rumah menghadap kebun kecil dengan berbagai tanaman obat-obatan, kami terus saja terlibat percakapan, yang terkadang serius, terkadang konyol, terkadang membuat kening berkerut-kerut, tapi tidak jarang juga membuat kita tertawa terpingkal-pingkal bersama. Keakraban yang hangat. Terlihat, Igo semakin akrab dengan keluarga Maryam. Maryam sangat senang melihatnya. Sementara senja telah mengepung sempurna maya pada, melengkapi perputaran hari yang sebentar lagi berganti malam.
Pekat mulai turun perlahan. Suara muadzin dari Masjid dari ujung desa telah terdengar. Mereka bergegas masuk ke dalam rumah untuk melaksanakan sholat magrib berjama’ah.
*******
Di teras depan rumah selepas makan malam bersama. Maryam dan Igo sedang duduk berhadap-hadapan. Igo dengan gitar akustik bapak yang sudah lecet sana sini. Gitar tua yang satu - satunya dimiliki bapak sejak dulu ketika Maryam masih kecil. Bapaknya juga pernah mengajari Maryam main gitar, tapi ia belum begitu bisa sampai sekarang. Dulu, Maryam dan ibunya sering menghabiskan malam minggu dengan menyayi bersama diiringi permainan gitar bapaknya di beranda rumah. Sampai larut.
Igo memainkan sebuah lagu seraut wajah - Ebit G Ade di depan Maryam. Gadis itu tampak teramat menikmati suara merdunya. Sementara, bapak dan Ibunya berada di ruang tamu menonton berita di salah satu stasiun TV swasta, yang lagi menyiarkan secara langsung penyergapan teroris. Mereka nampak serius mengikuti berita.
Wajah Igo yang putih, bersih dan tampan dinikmati Maryam, diam – diam. “Selagi dia menyanyi untukku”, pikir Maryam. Sesekali Maryam menimpali dengan hadiahi senyum manis di bibirnya yang tipis, sembari ikut bernyanyi berbisik dalam iringan petikan gitarnya.
Igo kali ini sedangan menyayikan sebuah lagu milik Anda Bunga.
Wajahmu selalu terbayang dalam setiap angan
Dan tak pernah aku lepas enggan hati berpisah
Larut dalam dekapanmu, setiap saat…
Gemulai setiap gerakanmu, membuatku selalu rindu
Ingin ku kecup bibirmu, ku sayang padamu..
Oh kasih jangan kau pergi ,jangan biarkan diriku sendiri
Larut di dalam sepi, larut di dalam sepi…
Kasih Jangan Kau Pergi-Anda ( Bunga )
Mendekati pukul delapan malam. Di langit nampak cerah, dengan bulan purnama sempurna. Setelah di rasa telah cukup jenuh dengan melewatkan malam hanya dengan bermain gitar di depan teras. Maryam mengajak Igo jalan-jalan malam sekedar menikmati suasana desa. Setelah pamitan dengan kedua orang tuanya, Mereka pun bergegas jalan. Banyak komitmen dan penyamaan visi mereka lakukan dalam perjalanan malam itu. Sebuah konsolidasi hati untuk hidup ke depan yang lebih berarti. Igo kembali mengulang mempertanyakan maksud dirinya untuk mmpersunting Maryam. Selagi mereka masih di Indonesia. Banyak bisa dilakukan bersama apabila memang keluarga menyetujui. Bukan urusan mudah menikahkan dua keluarga. Maka tak ada salahnya untuk dapat diutarakan dan segera dimulakan. Maryam hanya tercenung dan mencoba menghayati semua perkataan Igo. Ia memberanikan diri minta waktu barang beberapa hari untuk dapat menegaskan hal itu. Entah mengapa pertimbangan bapak, ibunya. Ukuran kaca mata mereka dalam mengelupas sisi lain Igo sangat diharapkannya.
***********************************************
Pagi harinya. Pukul 10.00 WIB
Sepanjang jalanan dipadati warga desa. Hari ini warga merayakan sedekah bumi dengan menggelar pawai budaya keliling desa. Terdengar alunan angklung yang riuh, mengiringi barisan perempuan yang menari jathilan, berjejer barisan panjang di belakangya iringan pawai budaya : ada yang memakai kostum berbagi adat nusantara, replika candi, replika burung garuda pancasila, sepeda hias, dan lain - lain. Iringan panjang itu menuju alun-alun desa, sebuah lapangan luas. Di tengah lapangan, telah berdiri sebuah panggung besar. Rencananya nanti malam akan di gelar pementasan wayang di puncak rangkaian acara sedekah bumi kali ini.
Alun-alun, begitu berjejal penonton yang memadati, menyaksikan pertunjukan wayang. Maryam dan Igo mencari tempat yang pas untuk menonton. Pertunjukan Wayang sepertinya baru di mulai.
Terlihat Sang Dalang baru memainkan 2 kelir. Setelah itu, memunculkan tokoh-tokoh pewayangan, mencabutnya satu per satu dari tancapannya pada sebuah gedebog pisang, tokoh-tokoh wayang yang akan dimainkannya cukup beragam. Sang dalang membawakan sebuah lakon : Ramayana (Setubandha).
Ramayana (Setubandha) menceritakan tentang percintaan Sang Rama kepada Dewi Shinta yang teruji oleh pihak ketiga, yaitu kehadiran tokoh Rahwana, yang juga terpikat kecantikan Dewi Shinta, yang menjadikan Sang Rahawana gelap mata, membabi buta dengan tipu muslihat menjerat Si Rama dalam akal-akalanya, demi bisa menculik Shinta, membawanya ke kerajaan Alengka, untuk di jadikan menjadi permaisurinya.
Di kisahkan, pada suatu ketika Shinta yang sedang berada di dalam Kaputren, tiba-tiba matanya menangkap kehadiran seekor kijang kencana. Dewi Shinta terpikat kecantikan Si kijang kencana, yang sebenarnya adalah jelmaan Marica, pengikut Rahwana. Moment ketika Si Rama mengejar, mencoba menangkap kijang kencana sampai tersesat masuk hutan, di gunakan oleh Rahwana untuk menculik Dewi Shinta dan membawanya ke Alengka. Si Rama pun kehilangan cinta-nya. Namun, Sri Rama, dengan bantuan Hanoman dan bala tentara kera berhasil merebut kembali Dewi Shinta dari Alengka.
Terpaparkan cerita bahwa untuk mencapai Alengka, ribuan kera membangun jembatan yang kemudian di kenal dengan nama Jembatan Setubandha.
Jembatan Setubandha adalah simbol jalan yang mengantarkan Si Rama ketemu kembali dengan cintanya. Simbolisasi Jembatan Setubandha menyiratkan pesan mengenai kekukuhan rasa (cinta) yang di bangun atas dasar kekuatan. Ketika mencintai, kita berangkat dari apa yang menjadi kekuatan kita dan menyatukan kekuatan itu dengan apa yang menjadi pasangan jiwa kita. Dalam berbagai kasus, cinta kerap terjebak pada soal menikmati yang hedonic dan kemudian itu dimaknai atau di labeli sebagai cinta.
Mereka yang mencintai tanpa sadar terjerat dalam term-term : kekusaan, kepemilikan, kebutuhan yang menyebabkan cinta tejebak dalam sempitnya esensi makna cinta, bahkan kehilangan makna karenanya.
Kisah Jembatan Setubandha menggambarkan jalan yang terbangun, karena memang harus di bangun, bukan karena keinginan memiliki, kekuasaan, atau rasa kekurangan, tercermin pada cinta Rahwana kepada Dewi Shinta. Cinta Rahwana menyebabkan yang di cintai tidak merasa aman dan nyaman, karena penuh rasa kemurkaan ingin menguasai, kepemilikan. Sementara cinta Sri Rama kepada Dewi Shinta adalah cinta yang tumbuh dengan kekuatan cinta itu sendiri. Sri Rama melakukan apapun dengan cinta, cinta yang membebaskan, lepas dari persoalan memiliki, menguasai, timbal balik (hak), dan sejenisnya, yang ada ketulusan mencintai yang menjadi penguat tali cinta kepada pasangan jiwanya, soulmate. Ketika mencintai, urusan kita hanya mencintai itu sendiri.
Di situlah ”setubandha” yang menghubungkan setiap jiwa dengan cintanya terbangun. Sebuah jembatan yang tidak gampang ambrol, karena di bangun dengan kekuatan luar biasa.
*******************************************************
Pukul 02.00 WIB dini hari, waktu malam sebentar lagi akan berakhir. Mereka baru saja pulang. Maryam terlihat ngantuk sekali, langsung Igo menyuruhnya tidur, untuk cepat bisa istirahat. Sebenarnya Igo telah mengajak pulang Maryan dari jam 00.00 WIB, tapi Ia menolak karena aIasan sangat tertarik dengan lakon wayang yang baru pertama kali Ia tonton. Meski sambil menahan kantuk, Ia bertahan sampai pagelaran wayang selesai. Letih, capek, kantuk jelas nampak di wajahnya, tapi semua terkalahkan dengan rasa yang terpuaskan menikmati tontonan wayang.
Igo masih belum bisa memejamkan mata. Nanar menatap langit-langit kamar. Dekat rasa hatinya di rumah kelahiran Maryam ini. Ingin rasanya segera mengutarakan semua pada orangtua gadis pujaannya. Sepertinya Igo merasa kesan yang dalam pada setiap pembicaraan dengan kedua orangtua Maryam. Hatinya makin mantap. Namun karena perlahan rasa kantuk menyerang hebat, tidak tertahankan lagi. Mata Igo terpejam. Seliweran sisa-sisa pikiran melintas untuk terakhir kali. Berganti gelap. Benar-benar gelap. Sunyi. Membawa dirinya pada sebuah kenyamanan berada ditengah keluarga Azzhur.
Sambil mengingat kembali cerita demi cerita Maryam. Dalam menjelang tidur malamnya. Senyumnya mengembang. Lemah. Namun semua masih jelas terekam.
Maryam berlari-lari mengejar kupu-kupu yang banyak berterbangan di halaman rumahnya. Teras rumah Maryam penuh dengan tumbuhan dan bunga sepatu. Pagi itu kupu-kupu kuning berterbangan memenuhi kebun kecil didepan rumah Maryam. Maryam berlari-lari kecil tanpa memakai sandal. Sesekali jatuh saat mengejar kupu-kupu tapi Maryam tetap bersemangat. Ibunya memasak di dapur dan ayah Maryam lagi bekerja di sawah tetangga.
"Nduk mriki Nduk ewangi ibumu riyen ojo dolanan sik," kata ibu Maryam.
"Nggih Bu, Maryam ajeng teng dapur, " kata Maryam.
Maryam tanpa memakai sandal berjalan ringan ke dapur yang sederhana sekali. Alas ruangan tamu sampai dapur masak tidak ada ubin. Semuanya rata tanah. Otomatis kaki Maryam kotor tapi Maryam menikmati hal itu.
"Ibu diewangi yo Nduk, potong-potong sayur," nggih ibu.
"Kencot mboten, Nduk," kata Ibu.
"Dereng kencot Bu, " kata Maryam.
Hari itu ibu Maryam membuat keong sawah khas Banyumas Purwokerto namanya Kreco. Aroma wangi dari keong itu sudah menyeruak seisi ruang dapur itu. Bumbu kuah kuning dan cabe membuat masakannya bertambah cita rasa. Makanan ini kesukaan bapak dan Maryam. Ibu hampir tiap Minggu bisa membuat masakan Kreco ini. Masakan yang agak mahal untuk ukuran Maryam yang hidup sederhana. Namun sebenarnya masakan yang agak mahal itupun, bahan baku utamanya, keong, itupun tidak beli. Ketika ayahnya bekerja di sawah tetangga. Bapak akan mencarikan keong itu disawah dan nanti dimasak ibunya.
Seisi rumah pasti senang sekali karena masakan Ibu Maryam sangat enak. Ibu Maryam akan mengajari dengan tekun semua cara membuat masakan Kreco.
"Nduk nanti semua keong itu dicuci dahulu, yang bagian belakang dipecahkan kecil, ada kotoran disitu, kemudian setelah direbus airnya dibuang. Masukkan bumbu kuning itu yang sudah ibu siapkan, mudahkan buatnya Maryam," kata Ibu.
"Iya Bu, mudah sekali," kata Maryam.
"Membuat sedap masakan ini adalah dicampur cabe sehingga berasa pedasnya Nduk, " kata Ibu Maryam.
"Kelak pasti bisa membuat ini Nduk, mudah sekali," kata ibu.
Begitulah ibu Maryam setiap hari sejak kecil, mendidik Maryam untuk tidak manja. Semua masakan diajarkan ibunya. Diajari cara memasak, menggoreng, menimba air, menyapu. Sedari usia 5 tahun Maryam sudah bisa membantu ibunya di dapur dengan cekatan dan Maryam tidak pernah mengeluh, karena nanti pasti akan mendapat masakan yang enak buatan ibunya.
"Nah sudah selesai semua sekarang bantuin bawa makanan ini ke meja itu, sebentar lagi bapakmu pulang Nduk," kata Ibu.
"Nggih Bu, nanti Maryam siapkan semua kagem Bapak," kata Maryam.
Sebelum bapak pulang semua makanan disiapkan oleh ibu Maryam. Khas perempuan Jawa Banyumas-an Purwokerto. Dimana seorang perempuan mengabdi suaminya, dengan memasakkan masakan kesukaan suaminya. Ibu Maryam ikhlas menjadi ibu rumah tangga yang baik tanpa menuntut lebih.
Siang itu bapak Maryam pulang dari sawah juga membawa Keong sawah, ikan kecil-kecil, belut semuanya didapat dari sawah.
"Bu ini hasil disawah tadi. Besuk dimasak ya Bu, sekarang bersihkan dulu, direbus, "kata Bapak.
Begitulah keseharian Maryam, bapaknya hanya membantu mengerjakan sawah milik tetangga. Ibunya membuka warung makan dan makanan kecil anak-anak hanya dirumah saja. Keluar bila ada undangan menikah disuruh masak. Bakat memasak ini diturunkan kepada Maryam otomatis karena setiap ibunya memasak ditetangga, mau tidak mau Maryam pasti diajak. Pasti Maryam mau dan sangat menyukai belajar memasak. Tiap hari Maryam wajib membantu ibunya untuk menyiapkan semua keperluan warung makan. Sederhana sekali warung makan itu. Yang dijual antara lain : kreco, Krupuk, gorengan mendoan, bakwan, snack anak-anak, mie goreng, sate keong, es dawet dll. Tiap hari ibu Maryam berjualan dari jam 9 pagi sampai dengan jam 4 sore. Tiada lelah Maryam turut membantu sampai masa kelak bersekolah ia terus membantu dan mampu menabung untuk biaya sekolahnya.
Bapak Maryam kulitnya tampak kehitam-hitaman karena setiap hari harus bermandi cahaya siang hari. Tampak lelah setelah pulang dari sawah. Ibu Maryam dengan cekatan akan membantu menyiapkan semua piring berisi nasi sehingga Bapak tinggal makan dan minum teh anget kesukaannya.
Semua masakan terhidang rapi, menunya sederhana khas desa, jarang membeli dipasar. Semua lauk dapat dari sawah dan sungai dekat rumah Maryam. Untuk sayur, Bapak Maryam sangat rajin semua tanaman ada semua dikebunnya.
Ada daun singkong, daun Papaya, daun ubi rambat, daun kenikir, daun bayam, ada pohon petai, petai cina dll. Semua tumbuh baik didepan teras itu. Tinggal memetik sehingga jarang mengeluarkan uang untuk beli sayur dan lauk.
Yang beli biasanya garam, penyedap rasa, gula. Keperluan lain yang tidak penting, keluarga Maryam tidak beli. Dirumah Maryam tidak ada televisi, hanya radio satu kalau pagi bapak Maryam mendendangkan lagu Jawa. Maryam sampai hafal kebiasaan Bapaknya. Radio itu hiburan ibu dan Maryam. Oleh karena itu Maryam suka bermain, berlarian dan mengejar kupu-kupu dengan temannya karena dirumah tak ada TV.
Maryam gadis desa sepertinya. 21 tahun yang lalu. Besar di kota rantau sebab mondok dikota gudeg. Kala itu. Setiap sabtu, ketika mendapat hari libur dari pondok, Maryam tidak menghabiskan waktu untuk pulang ke rumah, sebab mengirit ongkos dan uang saku. Maryam kecil sadar diri, dari mana Ia berasal. Maryam harus bisa menghargai setiap buliran keringat yang jatuh dari kening sang ayah, sebab terpanggang mata hari sebagai petani penggarap sawah orang.
Sampai kini, Maryam selalu merasa dejavu kepada masa kecilnya dahulu, setiap mengenangkan diri pada puzzle - puzzle masa lalunya; kenakalan khas anak-anak desa, anak dusun, anak kampung membuatnya kembali terkenang; mencuri tebu, bermain suda manda, bantengan, bermain hujan, bermain loncat ke dasar sungai desa yang dalam, lalu berenang sepuasnya, bermain kecipak air, lalu pulang ke rumah ketika bibir telah membiru, badan dingin dan adzan dari surau memanggil menyuruh pulang. Masih banyak lagi hal kecil tapi adalah hal manis yang sampai kini, mampu membuat dirinya mengenang dalam ingatan. Bila malam purnama tiba, di pelataran rumah, ramai dengan tingkah-tingkah bermain gerobag sodor, suda manda, sampai larut, dan lalu lelap setelah mata kantuk. Belum lagi hamparan padi menguning di sepanjang sisi jalan desa-desa adalah sekian hal yang mempesonanya di waktu kecil dulu. Meski ayahnya tidak memiliki sawah kecuali sebidang tegalan dan pekarangan, itu pun sempit dan warisan kakeknya untuk ayah dan ibunya.
Kala itu, Maryam setiap liburan dari mondok, ia yang menghantar rantang nasi sarapan. Ayahnya mengambil sebagai penggarap sawah lepas harian, supaya upah yang di terima lumayan banyak dan dapat menopang kehidupan mereka sendiri. Maka kenapa Ibu Maryam selalu rajin membuat masakan untuk suaminya dengan memanfaatkan tanaman sayur- sayuran di pekarangan dan hasil ikan suaminya setiap pulang dari sawah. Maryam sendiri, bergantian dengan ibunya mengirim rantang sarapan, sembari menghalau burung-burung emprit dengan orang-orangan sawah yg terhubung tali-tali yg mengular sepanjang luas sawah milik tetangga, dia mendapat upah setelahnya. Maryam kecil dengan berbekal suara radio dengan gelombang RRI menemani sepanjang hari menjaga padi di sawah tetangga, buruh jaga, tengah hari terkirim nasi siang di sebuah rantang.
Menikmati bersama ayah dan ibunya di tengah sawah, di atas Gubuk. Sejenak nyanyian tingkah burung emprit berhenti. Berganti denting sendok makan di piring mengisi siang yg terik. Gemericik alir sungai mengalir. Ketika petang hari tiba, dengan senyum lelah dengan hati yang lapang serupa peladang, kembali ke rumah.
“Ah, desaku. Tak banyak yang berubah juga di hingga kini, semenjak 14 tahun lalu aku meninggalkannya. Jalan masih berbatu, sana-sini berlobang dan serupa baju compang camping di mana-mana, becek bila habis bermandi hujan. Namun, begitu, desaku adalah sebuah rumahku, home sweet home, yang selalu menghantarkan rinduku untuk selalu pulang ke rumah.”
Bapak Maryam adalah semesta cinta yang raya, demikian juga Ibu, adalah rumah tumbuh bagi Maryam yg penuh dengan gelimang kasih, sepanjang masa, meski dengan cinta sederhana namun mewah baginya. Sebuah cinta tak bersyarat dari keduanya untuk anak-anaknya. Selalu memberi tak harap kembali, bagaikan surya menyinari dunia.