Norwegia
12 Tahun Sebelumnya
Igo Garuda masih merasakan efek jetlagged sebenarnya. Sebelah tangannya yang bebas ia gunakan untuk menekan saklar, menyalakan lampu kamar hotel. Sementara tangan satunya memegangi Smartphone-nya untuk tetap dekat di daun telinganya. Suara ibunya di ujung sana menanyakan bagaimana kabar perjalanan udara-nya. Juga apakah dirinya nyaman dengan biro travel yang mengurus perjalanannya kali ini. Perjalanan pelarian-nya dari rasa frustasi. Iya, Igo ke Norwegia dalam keadaan frustasi.
Igo mendekati jendela kamar hotel itu. Membuka tirai. Igo itu menatap bayang samar dirinya yang terpantul di kaca jendela. Rambut ikal di potong pendek, tapi tetap terlihat profesional. Bahu bidang dan tubuh atletisnya di balut satu setel jas dan kemeja berwarna hijau muda, serasi dengan skinny tie hitam-pemberian Sabrina waktu hari ulang tahunnya setahun yang lalu.
Dalam hati, dia sempat merutuki diri. Memalukan, hardik suara hatinya. Patah hati begitu saja sudah langsung nggak bisa konsentrasi. Ingin menyendiri segala... seperti perempuan saja, cengeng. Tapi, Igo tidak peduli. Untuk pertama kali dalam hidup, kisah tragis cintanya dengan Sabrina membuat Ia mengambil langkah ke Norwegia. Namun kepergiannya ke Norwegia kali ini sebenarnya lebih ingin menguapkan kesedihannya, melupakan mantan terindahnya; Sabrina, yang seminggu lagi melangsungkan pernikahan dengan Dhani Abimanyu. Mengingat itu semua hati Igo semakin terluka.
Ia jatuhkan tubuhnya di tengah kasur yang empuk. Matanya menerawang ke langit - langit kamar. Hening.
Igo mendengus. Di telinganya terngiang percakapan terakhir dirinya dengan Sabrina di sebuah gerai makanan cepat saji, tempat mereka sempat bersitegang, lalu dirinya mengucapkan selamat tinggal untuk selamanya kepada perempuan itu, yang menangis sesunggukan kala itu. Igo memilih mengalah dari Dhani Abimanyu, mantu pilihan orang tua dan kakeknya Sabrina.
Perjalanan di pesawat tidak terasa lama karena Igo menghabiskan waktu lowongnya dengan tidur dan menatap lama ke luar jendela. Hanya awan...dan sisanya kosong-seperti hidupnya saat ini.
Dia tidak mau terdengar seperti pecundang, tapi memang begitulah kenyataan yang sedang terjadi di dalam hidupnya. Sabrina Rinjani adalah warna hidupnya yang serba abu-abu. Dirinya yang kutu buku, tidak mudah bergaul, santri introvert, yang setiap waktunya di habiskan dengan kanfas dan membuat kaligrafi, sampai dirinya telah lulus kuliah di Ilmu designer grafis, mana mungkin dia ada waktu untuk cinta? Tapi Sabrina membuat semuanya mungkin. Terlepas dari status mereka yang terhalang restu orang tua Sabrina, awalnya perjalanan cinta mereka terasa sempurna meski harus backstreet. Sabrina yang super perhatian kepada dirinya, demikian sebaliknya dirinya yang selalu memanjakan gadis itu. Kini harus berpisah tanpa mungkin kembali bersama.
Begitu banyak romansa indah yang telah terlewati selama ini. Terutama romansa hujan kala itu. Semua membuat Igo semakin tidak bisa begitu saja melupakan sosok Sabrina, cinta pertamanya. Mengenang Sabrina dan semua hal tentang perjalanan rasa sewaktu masih bersama menjalani hari- hari di pesantren, alun - alun taman kota, semakin mendekatkan dirinya kepada luka cinta yang semakin menganga.
Igo menutup mukanya dengan bantal, Seakan ingin membuang segala kesedihan hatinya. Hening. Dengan ujung jempol kaki, dia mendorong lepas panthofel yang seharian itu dipakainya. Matanya terpejam. Bermil-mil jauhnya dia meninggalkan Sabrina dan Jogjakarta, tapi sosok Perempuan itu tetap lekat di kornea, membakar matanya dengan rasa rindu dan kemarahan karena ingat kalau Sabrina kini bukan miliknya. Koreksi, bahkan sejak awal Sabrina bukan miliknya, semenjak restu cinta itu tidak pernah ada. Dianya saja yang terlalu bodoh baru menyadarinya sekarang.
Tangannya meraih Blackberry yang tergeletak di dekat lengannya. Meskipun sempat ragu, akhirnya dia memutuskan untuk mengakses akun Twitter-nya.
@Igogaruda Menumbuhkan cinta lalu menjaganya dengan kesetiaan adalah hal yang mudah, hal tersulit adalah ketika bertahan dengan cinta yang setengah-setengah.
@igogaruda
Sementara melepasmu atau bertahan mencintaimu adalah dua hal yang menyakitkan.
Dua postingan di akun twitter-nya tetap tidak memberi kelegaan apapun di dadanya. Seratus empat puluh karakter yang menjadi rumah curcol bagi ketegangan-ketegangan pikiran Igo sama sekali tidak memberikan rasa nyaman saat ini. Serasa sebuah chaos dalam pikiran Igo. Kuldesak.
Stress sendiri dengan arus pikirannya, Igo akhirnya memaksakan diri untuk bangun dan menyeret tubuhnya ke kamar mandi. Sambil berjalan linglung seperti zombie, jari-jarinya lincah melepas satu per satu kancing kemejanya, lalu melepasnya begitu saja dalam perjalanan menuju kamar mandi. Celana panjang. Hingga tertinggal celana boxer-nya
Setibanya di dalam kamar mandi, cermin besar di depan wastafel memantulkan bayangan tubuh atletisnya. Dia bisa melihat gerakan liat otot-otot tangannya saat memutar kran shower dan mengatur supaya suhu airnya suam-suam kuku-seperti keinginannya. Sebentar saja, cermin itu langsung berembun dan bayangan dirinya yang tadinya terlihat, perlahan-lahan menjadi samar-samar bahkan nyaris hilang di sana. Igo menggeram di dalam mulutnya saat membiarkan kucuran deras air dari pancuran menyeret turun semua rasa lelah dan penat dalam dirinya. Seandainya saja bisa, Igo ingin sekali menggosok keluar rasa sedih dan patah hatinya juga, tapi yang seperti itu tentu saja hanya terjadi sebatas khayalan saja. Igo menghela nafas kecewa, lalu mengambil botol shampo yang bersisian dengan botol sabun cair yang terletak di ceruk kecil di dinding.
Rambutnya yang kini bersalut sampo dikucek-kuceknya hingga berbusa, lalu membiarkan semprotan pancuran shower membilas semuanya sampai bersih. Tangan kanannya meraih tutup botol sabun cair. Ditekannya beberapa kali untuk mendapatkan cukup sabun di telapak tangannya. Igo menggosok-gosok dada mulusnya, dilanjutkan dengan perutnya yang sixpack. Napas Igo kian terasa berat. Sekujur tubuhnya bereaksi terhadap bayangan sensual mantan kekasihnya itu, terhadap kenangan atas serangan bertubi-tubi perlahan di kala hujan lebat itu, ketika mereka menari dalam hujan. Menyedihkan. Semua hanya kenangan. Dia tak akan pernah bertemu dengan orang aslinya. Meski dia juga belum tahu pasti benarkah Dhani telah memiliki (mantan) kekasihnya itu. Sebab pernikahan mereka masih seminggu lagi. Who knows ? Dalam seminggu kedepan siapa yang tahu akan bakal terjadi apa. Masih misteri.
Setelah benar-benar merasa bersih, Igo akhirnya memutar kran shower dan kucuran airpun berhenti. Tubuh Igo masih nampak mengkilap karena basah oleh air ketika sebelah kakinya melangkah keluar dari bathtub. Saat itulah ia teringat kalau tadi lupa membawa masuk handuk. Bahkan handuk itu masih ada di dalam tas kopernya yang belum sempat ia bongkar. Beberapa hari dihotel persinggahan akhirnya Igo menuju tempat tujuan utamanya. Gedung sacral tempat melabuhkan perasaan tenangnya, sumber rezeki dan menggantungkan masa depannya kelak.
Malam pertama di The Islamic Cultural Centre (ICC) Norwegia.
Mencari Kejora Dilangit Norwegia.
Kejora jauh diangkasa, seperti enggan melirik sedikitpun ke bumi. Padahal Igo sangat ingin menatapnya sesaat saja. Rasa sepi itu hadir. Menggeletarkan setiap urat saraf dan sendinya. Jauh. Sangat jauh terdampar di negeri yang dikenal benderanya sebagai mother of flags. Meninggalkan ibu yang menangis dalam segukan. Menitipkan harapan pada adik-adik terbaiknya, untuk menjaga ibu dan ayahnya di Indonesia. Berbekal keberanian dan utopis ingin menjadi kaya. Betapa sialnya menjadi si papah. Yang harus selalu menerima kepahitan hidup.
Lama Igo berada di lantai 4 Mesjid Pusat Kebudayaan Islam, tepat di sentral kota Oslo. Ia berdiam sambil mendekap beberapa buah buku yang diambilnya di ruang perpustakaan sebelum duduk dengan tenang di Lantai 4 dan mencari pandang keluar jendela. Terus berusaha menjelajah kejora. Tapi malam ini sangat tidak kelihatan. Keramaian Oslo masih melingkupi pandangannya apabila ia menatap ke bawah. Banyak cahaya dari kilatan lampu berbagai transportasi dan gedung yang berjejer rapi. Tapi bukan cahaya itu yang ia cari. Ia masih sangat rindu kejora. Menurutnya hanya kejora yang mampu memberi kekuatan bahwa ia masih pantas bertahan ditengah pelariannya. The Islamic Cultural Centre (ICC) Norwegia. Sebuah mesjid pertama yang dibangun Tahun 1974. Menjadi tempat pilihannya.
Entahlah. Rasa iseng waktu itu. Mendaftar pada sebuah tawaran menjadi guru pembaca Alquran bagi anak-anak imigran muslim yang tinggal disekitarnya. Hanya untuk sebuah kondisi keluar dari himpitan beratnya harus melepas dan menyadari seorang Sabrina, yang sangat merajai hatinya, harus menjadi milik orang lain. Kejora yang terkias di mata indah Sabrina takkan mungkin lagi bebas ditatapinya, dimilikinya. Waktu demi waktu harus dia akui. Seorang Igo hanya pantas bersenda gurau dengan sapu, kemoceng, pengharum ruang dan alat pel dalam bertahan hidup. Bagaimana mungkin selama ini ia terjebak dalam paradoks mimpi ingin kuasa merajai kehidupan Sabrina. Na'as tiada bisa tertolak.
Ah, semua harus diselesaikan. Lamunan ini harus menjadi sebuah fiktif masa depan. “Kejora, aku akan mencarimu lagi besok. Jika engkau masih sembunyi dan enggan bersamaku malam ini.”
Kuat batinnya berbalik menuju peraduan sambil meremas secarik kertas yang telah membawanya pergi jauh dari Indonesia. Terima kasih kertas kau akan telah berperan sebagai penyelamatku. Selamanya.
Kertas remasan itu urung dibuangnya. Segera dia lekatkan pada sebuah Buku Catatan Pribadinya.
Dibacanya lagi sekilas sambil tersenyum tipis. Dengan ligat ditempelkannya dilembar halaman terakhir dari beberapa lembar yang sudah dicoretinnya. Cairan perekat yang terletak di sisi meja tulis kamar, pada mesjid tersebut, menjadi saksi betapa kuat harap itu bergelora. Di sebuah negara bernama Norwegia. Hidupmu harus dimulai dari Nol dengan melalui titik ini Igo. Batinnya.
-----
DIBUTUHKAN SEGERA
10 GURU BACA TULIS AL-QURAN
Syarat-syarat:
1. Lulusan Madrasah Aliyah, Lebih Disukai Tamatan Pesantren;
2. Laki-laki usia 22-35 tahun;
3. Mahir membaca dan menulis teks al-Quran;
4. Bersedia ditempatkan di Perkampungan Muslim Norwegia;
5. Lulus seleksi baca tulis al-Quran.
Fasilitas:
1. Honor per bulan Rp 16.000.000,00 - Rp 17.000.000,00 ;
2. Tempat tinggal di mesjid tempat bertugas;
3. Transport p.p. dari tempat asal ke tempat tugas dijamin.
Barangkali ada sanak sdr yang berminat dan memenuhi syarat silakan mendaftar dengan
Contact person: Tb. H. Azhari, Lc. (085 999 333 000).