Aku menatap marah pada gadis kecil yang tengah terduduk menangis di hadapanku. Dengan ujung mulut yang sedikit robek dan membiru aku berteriak padanya, “LO TAU GAK SIH?! SELAMA INI LO UDAH BIKIN GUE MALU!”
“Gara-gara lo yang lemah ini gue selalu diejek sama temen-temen gue. Mereka selalu bilang kalau gue itu cuman bisa main sama cewek, gak maco, lemah! Lo gak tau kan?!”
Gadis itu masih terduduk dan menangis. “Dan udah berapa kali gue bilang sama lo! GAK USAH IKUT CAMPUR!”
Aku menutup pagar itu dengan keras meninggalkan gadis itu yang terus menangis. Aku sudah memperingatkannya berulang kali untuk tidak ikut campur dengan apa yang aku lakukan.
~
Aku tersenyum menatap Ayu yang kini sedang fokus pada apa yang guru terangkan di depan. Dengan begitu semangatnya ia meyalin materi yang ada di whiteboard. Setidaknya di sini Ayu bisa sedikit melupakan masalahnya.
“Ehem, gurunya di depan, bukan di samping,” Tegur Indra yang duduk di sampingku. Aku mengalihkan tatapanku dari Ayu.
“Gue juga tau kali,” Aku kembali menyatat.
“Kalem aja kali, si Ayu gak bakalan diapa-apain sama si Esti.”
“Apaan coba?” Kilahku.
“Ck! Gue tau lo khawatir masa si Ayu.”
“Hem, keliatan, ya?”
“Banget,” Jawab Indra dengan penuh penekanan.
“Kalian!” Aku dan Indra terperenjat kaget. Kami langsung menatap ke sumber suara. “Dari tadi saya perhatikan kalian mengobrol terus!”
“Mampus pak Bambang murka,” Gumam Indra.
Dengan wajah yang menyeramkan pak Bambang menghampiri kami. bel peringatan terdengar nyaring, maksudku bel tanda istirahat berbunyi nyaris yang artinya hukuman dimulai.
~
Di bawah sinar matahari yang menyengat, aku dan Indra terpaksa berdiri di tengah lapangan menjadi tontonan gratis pasa siswa yang melewat atau bahkan sengaja menonton kami yang tengah melakukan hal nasionalisme dengan menghormat pada bendera.
“Ini bel kemerdekaan kapan bunyinya?” Keluh Indra.
“Nanti pasti tujuh belas Agustus,” Jawabku.
“Gila aja gue di suruh hormat sampe tujuh belas Agustus,” Aku terkekeh pelan mendengar ucapannya.
Suara kekehanku berhenti dan berubah menjadi sebuah senyuman lebar untuk sesorang yang sedang menungguiku. Ia duduk di lantai koridor depan kelasku yang kebetulan berada tepat di depan tempat aku di hukum.
Dengan jari kurusnya ia memberitahukan jika lima menit lagi bel akan berbunyi. Aku menganggukkan kepala dan melanjutkkan hukuman.
“Yaelah, romantis amat. Gue aja yang punya pacar gak gitu amat, menyedihkannya diriku.”
“Malu kali punya pacar kayak lo,” Bisikku memanas-manasi Indra.
“Sialan lo.”
Tak lama setelahnya terdengar suara bel yang membuat akami menghela napas lega. Dengan tubuh yang bercucuran keringat, kami melangkah gontai menuju tempat Ayu duduk sedari tadi. Beberapa teman kami yang sedari tadi menertawakan nasib sial kami, kembali berulah dengan mengejek kami. Sialan memang, tetapi mereka juga mengipasi tubuh kami yang sepertinya sudah bau panggangan.
Aku membaringkan tubuhku di atas lantai koridor, Ayu menyodorkan sebotol air mineral dingin dan meletakkannya di sampingku.
“Gue kagak dikasih nih? Gue juga haus kali,” Cemburu Indra, yang dibalas ejekan yang lainnya dan disusul gelak tawa semuanya.
Diantara semua tawa yang ada, hanya satu tawa yang menjadi fokusku. Sebongkah rindu kini telah lenyap, melihat Ayu kembali tertawa.
~
Hujan turun dengan lebatnya, membuat kami berlarian turun dari dalam angkot. Beberapa gelak tawa terdengar memecah suara hantaman air hujan pada aspal. Kami sepakat untuk memanfaatkan waktu satu minggu ini untuk mengembalikan Ayu yang ceria. Dan sekarang di sinilah kami di depan mall dengan keadaan setengah basah. Aku menatap Ayu yang masih mempertahankan senyumnya. Rambut sebahunya basah dan sepatunya juga, beruntung tadi aku memaksanya untuk memakai jaket.
“Keliatan banget kayak yang baru aja hujan-hujanan,” Ujar Gaga yang disambil tawa kecil oleh yang lain termasuk Ayu.
Kami melangkah masuk ke dalam mall, yang sukses menyedot perhatian banyak orang di dalam. Dengan tidak tahu malu, kami melangkah menyusuri mall yang nampak menjadi ramai karena sepertinya banyak yang terjebak hujan dan memilih berteduh di dalam mall.
“Kita mau kemana dulu?” Tanya Esti yang diangguki oleh yang lainnya.
Gaga selaku ketua dalam tour ini menatap sekitar. “Makan?”
“Eits dah, tau aja kalo gue lagi lapar. Tapi lo yang teraktir,” Indra langsung melesat ke arah tempat makanan berada.
“Yes! Gaga teraktir!” Teriak semuanya sambil mengikuti Indra. Gaga yang mendengar demikian hanya menghela napas, aku yang masih berdiri di sampingnya menepuk pundaknya pelan dan ikut menyusul yang lainnya.
~
Aku mengepalkan tanganku di bawah meja. “Ayah gak ngajarin kamu buat tawuran. Harusnya kamu bisa contoh kakak kamu, contoh Ayu.”
Ayu, ulangku dalam hati.
Aku mengangkat kepalaku yang sedari tadi tertunduk. Kutatap dengan berani orang yang duduk tepat dihadapanku, ayah. Kukumpulkan keberanianku.
“Ini semua salah Ayu, yah!”
“Ayu yang selama ini jadi alasan temen-temen Farhan buat bully Farhan,” Belaku dengan nada penuh amarah. “Ayah gak akan tau gimana temen-temen Farhan nge-bully Farhan.”
“Dan lagi selama ini ayah sama bunda selalu peduli sama Ayu, bukannya sama Farhan, anak kandung ayah sama bunda!” Aku bangkit dan berlari kearah kamarku.
Kututup pintu dengan keras. Membanting tubuhku ke atas kasur. Menatap langit-langit kamar. Dengan kesal aku melempar segala yang mampu aku jangkau.
Dengan napas yang masih tersengkal-sengkal aku menatap keadaan kamarku yang berantakan. Mengambil napas yang panjang, aku melangkah ke balkon kamar. Hujan lebat langsung menyambutku. Aku berjalan menuju pagar balkon. Kuulurkan tanganku pada hujan. Mengusapkan kedua tanganku yang basah pada wajahku. Aku meringis pelan saat air tersebut mengenai luka di wajahku.
Kupegang erat pagar balkon dan menatap ke depan. Samar-samar aku mendengar suara derung mesin diantara derasnya hujan. Kualihkan tatapanku pada rumah yang bersebrangan dengan rumahku.
Di sana seorang pria tua tengah mendorong pagar rumah. Nampak seorang gadis kecil tengah memohon padanya dengan sebuah boneka beruang di salah satu tangannya. Pria tua itu tidak menggubris apa yang tenagh di lakukan gadis kecil itu. ia melenggang masuk ke dalam mobil yang mesinnya telah menyala. Seolah tak kehilangan akal, gadis kecil itu memilih berdiri di depan mobil sambil terus memohon. Suara keras klakson tidak membuatnya menyingkir dari sana.
Aku menegakkan tubuhku, saat melihat mobil itu memilih menabrak pelan gadis kecil itu hingga terjatuh. Ini namanya sudah keterlaluan. Saat aku hendak beranjak dari balkon, suara pintu mobil terbuka menghentikanku. Kupikir wanita tua itu akan mengecek keadaan Ayu dan memelukknya hangat, tetapi yang dilakukannya malah semakin menyulut emosiku.
Aku melangkah keluar kamar dengan terburu-buru. Berlari menuruni tangga dan segera menuju pintu utama. Saat pintu berhasil kubuka suara teriakan pilu sambutanku.
“Mamah! Papah! Ayu pengin ikut !! ”
OLEH LUTHFITA