Aku mengantar Ayu hingga ke depan pintu kamar yang sudah dua minggu ini ia tempati. “Istirahat,” Ujarku seraya mengusap kepalanya dan membukakan pintu.
Ayu tidak menjawab dan masih berdiri di tempatnya. Menatap kosong ke arah kamar. Kugenggam tangannya dan membawanya masuk ke dalam kamar. Mendudukannya di tepian ranjang. Aku berjongkok di depannya, mengenggam seluruh jari kurus milik Ayu. “Kenapa?”
Ayu masih tetap diam. Kepalanya menunduk, membuat rambut sebahunya yang tidak diikat berjatuhan. Kurasakan jari-jarinya yang mendingin.
“Ayu lapar?” Tanyaku saat ingat jika tadi Ayu belum sempat makan apapun.
Ayu menatapku. Perlahan kedua tangannya yang berada di dalam genggamanku ditarik olehnya. Kedua tangan itu kini mendarat di kedua pipiku. Rasa dingin langsung kurasakan di kedua pipiku.
“Makasih,” Ucap Ayu tanpa suara. Kupegang kedua tangannya yang berada di kedua pipiku. “Makasih Farhan udah mau nemenin Ayu selama ini,” Ujarnya dengan suara yang nyaris hilang.
Aku berlutut di depannya, membuat posisi tubuh kami sejajar. Melepas kedua tangannya dari pipiku dan beraling menggenggamnya. Kutatap lurus Ayu. “Ini belum apa-apa, Yu. Selama ini Ayu yang selalu jagain Farhan,” Sudah lama aku tidak menggunakan namaku ketika berbicara dengan Ayu. “Jadi temen Farhan yang paling baik, yang paling hebat. Bahkan Ayu rasanya udah jadi kakak yang baik buat Farhan. Ayu juga selalu bantuin bunda. Bikin rumah ini makin ramai.”
~
Aku menatap tajam ke arah seorang gadis yang berada satu langkah di depanku. Dengan napas yang masih tersengkal-sengkal, aku berteriak padanya. “LO! GAK USAH IKUT CAMPUR! Ini urusan gue. Dan asal lo tau! Tadi itu lo udah malu-maluin gue!”
Gadis di depanku memilih menundukkan kepalanya. Kulihat kedua kakinya sedikit bergetar. “Udah sana! Gak usah ikut campur!” Aku membalikkan badan dan kembali kea rah keramaian.
“Farhan,” Aku berhenti melangkah. “Jangan ikut tawuran, bahaya.”
Aku membalikkan tubuhku kembali. “Lo denger gak sih?! GAK USAH IKUT CAMPUR!”
~
Suara dentingan sendok dengan garpuh mengisi ruang makan. Semuanya tengah menikmati makan malam buatan bunda. Ayah yang masih mengenakan setelan kantorannya, karena ayah baru saja sampai saat makan malam akan dimulai.
“Besok kalian sekolah?” Tanya Ayah padaku dan Ayu. Aku yang tengah mengunyah makanan hanya mengangguk.
“Iya,” Jawab Ayu
“Emang Ayu udah baikan?” Tanya Ayah khawatir mengingat akhir-akhir ini Ayu sering tidak enak badan.
“Udah baikan kok, yah.”
Kondisi kembali hening. Kak Baba yang biasanya bertengkar dengan Ayu kini ikutan diam.
“Ayu udah selesai,” Aku melirik Ayu yang duduk di sampingku. “Ayu ke kamar dulu,” Ayu bangkit dan meninggalkan ruang makan.
“Farhan juga udah selesai,” Aku mendorong piring yang sudah tandas isinya. Bangkit dan berjalan meninggalkan ruang makan.
Kulangkahi setiap anak tangga yang menuntunku ke lantai dua. Langkahku terhenti di depan lorong kamarku. Di sana, seorang perempuan tengah berdiri menunduk. Tangan kurusnya tengah sibuk memelintir baju tidurnya. Wajahnya yang ia sembunyikan di balik rambut sebahu yang berjatuhan karena menunduk terlalu dalam. Aku berjalan perlahan menghampirinya. Saat telah sampai, kuraih rambut sebahunya dan menyelipkannya ke balik telinga. Ia menatapku dengan lugu, dan kubalas dengan sebuah senyuan tulus. “Katanya mau istirahat?”
Ayu menegakkan tubuhnya, kedua matanya yang bulat menatapku. Dalam sedetik, dirinya telah memelukku yang tengah terkejut dengan apa yang ia lakukan. “Ayu takut,” Ujarnya dengan suara yang merintih.
Beberapa kali aku mengedipkan mata. Kuusap kepalanya yang ia tenggelamkan di dadaku dengan perlahan. “Kenapa takut? Bukannya Ayu berani?”
Ayu menggelengkan kepalanya dan mempererat pelukannya. “Ayu takut Farhan.”
“Takut apa?”
“Takut, Ayu takut.”
“Gak usah takut, kan ada Farhan.”
“Ayu takut pisah sama Farhan,” Aku menghentikan tanganku yang tengah mengusap kepalanya. Terdiam kaku mendengar kalimat yang baru saja diucapkannya. “Ayu butuh Farhan.”
~
Kami sampai di pelataran parkir sekolah. Keadaan masih tetap sama seperti minggu kemarin. Beberapa orang masih sering kali menatap Ayu lama. Menjadi pusat perhatian memang bukan hal baru untuk kami yang biasa melakukan hal konyol di depan umum, tetapi mengingat alasan mereka memerhatikan Ayu, membuatnya semakin menundukkan kepalanya dalam.
Dengan tubuh yang semakin mendempet pada punggungku, Ayu menyembunyikan wajahnya. Rasanya aku ingin menghakimi semuanya. Yang salah dalam hal ini bukanlah Ayu akan tetapi kedua orang tuanya. Kenapa harus Ayu yang terus-terusan menanggung apa yang mereka perbuat.
Kuraih bahu Ayu agar tidak bersembunyi dibelakangku. Kurangkul dirinya agar berjalan berdampingan dengan diriku. Kami terus berjalan hingga sampai di depan kelas. Masih dengan merangkul Ayu, aku menuntunnya untuk duduk di kursinya. Saat sampai di kursinya Ayu langsung menelengkupkan pelanya di antara kedua tangannya yang ia lipat. Aku menghela napas lelah. Beberapa teman perempuan Ayu menghampirinya, mereka menyalurkan semangat yang tidak diberikan respon apapun dari Ayu. Sedangkan aku diseret keluar oleh teman-temanku yang lain.
Aku melangkah dengan kepala tertunduk menatap lantai koridor. Hilangnya keceriaan Ayu sama dengan menghilangnya semangatku. Beberapa temanku terus saja mengoceh, mungkin mencoba menghiburku yang ikut murung seperti Ayu.
“Han, lo gak boleh ikut-ikutan kayak si Ayu. Kalo lo kayak gini terus, gue jamin si Ayu bakalan terus murung,” Ucap Gaga.
Aku mengangkat kecil ujung bibirku. “Bukan itu yang jadi masalahnya. Sedari awal gue gak pernah mau nyerah sama dia. Cuman sekarang masalahnya lain.”
Suara riuh kantin di pagi hari menyambut langkah lesuku yang terseret teman-temanku. “Lo mah gitu, suka pendem masalah sendiri.”
Kami duduk di salah satu kursi panjang yang berada di depan salah satu warung. “Mbak jus jeruknya lima, yang satu ekstrak gula biar temen gue yang satu mukanya gak asem mulu,” Ujar Toni yang mengundang gelak tawa sang pemilik warung yang sudah akrab dengan kami.
“Siap,” Balasnya.
“Satu minggu lagi, keluarga Ayu bakalan bawa dia pergi,” Tidak ada sepatah kata yang keluar dari mulut keempat temanku. Aku mengusap wajahku dengan kedua telapak tanganku.
“Bukannya itu bagus, buat dia. Biar dia bisa kumpul sama keluarganya?” Ucap Rano, salah satu teman dekatku dan Ayu.
“No, lo tau, kan?” Kutatap Rano. “Sedari kecil Ayu sering ditinggal sendiri sama orang tuanya. Gak ada tuh keluarga yang nengok dia. Gak ada satu orang pun. Gimana gue yakin kalo mereka beneran mau rawat Ayu.”
Dengan kompak kudengar helaan napas pelan dari keempat temanku. Dalam hati aku bersyukur karena mereka telah menjadi teman yang baik untuk Ayu, walaupun kedua orang tuanya kini tengah terlilit masalah, mereka tetap menjadi teman yang baik karena menurut mereka Ayu adalah orang yang harus mereka lindungi.
“Masih ada satu minggu lagi, kan?” Semuanya menatap ke arah Gaga.
“Ini jusnya,” Mbak Ama memberikan jus itu pada Rano yang ia estafetkan pada yang lainnya.
“Kita gunain kesempatan satu minggu itu buat balikin Ayu kayak dulu lagi,” Kami mendengarkan apa yang Gaga ucapkan dengan serius sambil menyeruput jus. “Bikin Ayu ngerasa jika dia gak cuman sendiri. Buat dia terbuka sama masalahnya. Kasih dia sesuatu yang bakalan bikin dia senyum lagi. Pokoknya kita harus manfaatin waktu satu minggu itu buat ngembaliin Ayu yang ceria.”
Semuanya mengangguk setuju, termasuk diriku. Beragam hal sudah aku susun untuk mengembalikan Ayu seperti dulu.
Oleh Luthfita