“Farhan?” Panggil Ayu sambil menggoyongkan tanganku.
“Hem??” Aku menatapnya.
“Bunda gak bakalan marah kalo kita gak langsung pulang?” Tanya Ayu sambil menatap ke depan.
“Enggak.”
“Kok bisa?” Tanya Ayu sambil kembali menggoyangkan tanganku, lucu.
Aku tersenyum padanya dan merapihkan anak rambut yang menempel pada pipi dan pelipisnya. “Udah ijin kok sama bunda.”
“Kapan? Kok Ayu gak tau,” Ayu mengerutkan dahinya.
“Tadi malem, abis ngerjain tugas matematika.”
“Oh, waktu itu Ayu ketiduran, ya?” Aku mengangguk sebagai jawaban.
“Terus sekarang kita mau kemana? Kok jalan kaki terus? Mana panas lagi,” Ayu mengibas-ngibaskan tangannya pada wajahnya yang memerah, kepanasan.
“Bentaran lagi juga sampai, tenang aja,” Jawab Esti yang kini menjadi pemandu.
Sore ini hanya ada aku, Ayu, dan Esti. Sedangkan yang lain tidak bisa ikut karena kepentingan masing-masing. Rencananya hari ini Esti ingin mengajak Ayu ke sebuah tempat sederhana, tidak terlalu bising, dan katanya cukup menyenangkan.
Aku mengerutkan keningku saat nampak ada beberapa pedagang yang berjejer di pinggiran jalan. Beberapa anak juga tengah mengerumuni para pedagang itu, di samping mereka ada orang tua mereka. Saat melihat lebih dekat, aku tahu kemana Esti ingin membawa kami.
Sampai di depan gerbang masuk, Esti merentangkan tangannya dan berkata, “Selamat datang di wanaha paling mengasyikan,” Ujarnya demikian. Ayu yang melihatnya tertawa kecil.
Esti memimpin kami untuk memasuki taman. Walaupun sudah cukup sore, tapi taman ini masih ramai. Ayu menatap senang sekitarnya. Aku mengulurkan tanganku menepuk pelan kepalanya. Ayu menatapku dan tersenyum lebar. Aku ikut tersenyum.
Perlahan suara bising di sekitar kami lenyap. Tak ada yang memulai dengan sadar, aku yang semakin mengeratkan rangkulan dan Ayu yang terus saja menatapku dan tersenyum lebar.
Untuk beberapa saat kami saling menatap sebelum, “Ayu?” Panggil Esti.
Ayu yang lebih dulu memutuskan kontak mata kami. Aku mengerjapkan mataku beberapa kali sebelum melepaskan rangkulanku dan menatap ke samping. Dapat kulihat dari ekor mataku jika Esti tengah menahan tawanya.
“Kita ke sana, yuk?” Ajak Esti sambil menunjuk kepada tempat penuh permainan anak-anak.
Kulihat Ayu menganggukkan kepalanya dan menghampiri Esti. Aku menghela napas lega saat mereka berdua berjalan di depan lebih dulu, jika beriringan bisa mati malu aku.
Aku berjalan mengekori mereka. Terlihat beberapa kali mereka tertawa bersama, entah apa yang mereka bicarakan berdua tapi yang pasti aku tahu jika esti tidak akan membiarkan Ayu kembali murung.
Saat kami sampai di tempat yang tadi, kami disambut dengan banyaknya anak-anak yang hilir mudik kesana kemari.
“Ayu mau main ayunan,” Ucap Ayu sambil menunjuk ke arah ayunan dan menatap ke arahku.
Aku menata ke arah ayunan yang Ayu maksud, dan mengangguk. Ayu segera menyeret Esti menuju ayunan tersebut. Aku menatap sekitar dan menemukan sebuah bangku taman. Aku duduk di bangku taman tersebut dan mengawasi Ayu dari sini.
Ayu tengah tertawa bersama dengan Esti. Aku sengaja tidak ikut dengan Ayu, karena pada akhirnya aku juga akan didiamkan oleh mereka berdua yang asik mengobrol tentang masalah wanita.
Aku menyandarkan punggungku pada kepala kursi dan memejamkan mataku. Dua hari ini rencana cukup berhasil. Dan tinggal lima hari lagi, atau lebih tepatnya, tiga puluh jam lagi rencana ini akan berakhir. Bisa saja waktu yang digunakan lebih dari itu jika saja bunda tidak memberi batas waktu. Bunda mengatakan jika kami harus sudah berada di rumah sebelum jam enam dan lagi keluarga Ayu akan menjemputnya minggu sore.
Aku membuka mataku saat ada yang menggoyang-goyangkan kakiku. Kulihat beberapa anak kecil sudah mengerubuniku. Aku mencondongkan tubuhku kepada mereka. “Ada apa?”
Dengan kompak mereka menunjuk ke arah Esti dan Ayu berada. Kulihat Esti mengayun-ayunkan tangannya, mengisyaratkan agar aku menghampiri mereka. “Terima kasih,” Ucapku pada anak-anak tersebut dan segera bangkit menghampiri Esti dan Ayu.
Kulihat jika Ayu tengah duduk di atas pasir bersama beberapa anak perempuan yang tengah membuat sesuatu dengan pasir. Jarang sekali Ayu dapat berinteraksi dengan anak kecil. Aku berhenti tepat di samping Esti.
“Gue hebat, kan?” Bisik Esti. Tentu saja aku mengerti apa maksudnya. Aku mengangguk pelan sebagai jawabannya. Esti menepuk tangannya girang.
“Sini biar kakak bantu,” Ayu bergerak mendekati anak perempuan yang kesulitan mengeluarkan pasir dari sepatu yang dikenakannya.
Ayu meraih anak perempuan ini dan mendudukannya di atas pangkuannya. Dengan perlahan ia membuka sepatu anak itu dan mengeluarkan pasirnya. Setelah selesai ayu memakaikan kembali sepatu itu. “Selesai.”
“Makasih, kak,” Ucap anak perempuan itu, yang kemudian bangkit dan berlari ke arah ibunya menunggu.
Kutatap anak perempuan itu yang dituntun ibunya keluar dari taman. Beberapa orang mulai meninggalkan taman ini. kulihat jam tangan yang melingkar di tanganku. Sudah jam setengah enam sore.
“Ayu?” Panggilku. Ayu menatap kepadaku. “Yuk, pulang. Udah jam setengah enam.”
Ayu mengangguk lesu dan bangkit. Ia membersihkan rok dan kakinya dari pasir yang menempel.
“Esti, Ayu sama Farhan pulang dulu, ya? Makasih udah ngajak Ayu ke sini,” Ayu memeluk Esti. Dalam pelukan Ayu, Esti mengangguk.
“Hati-hati di jalan,” Ucap Esti saat Ayu melepaskan pelukannya.
“Esti juga hati-hati.”
Ayu menghampiriku. Aku tersenyum padanya. “Kita balik, ya? Makasih.”
Aku meraih tangan Ayu dan menggandengnya menjauhi taman. Kurasakan Ayu yang melangkah dengan lesu, sepertinya dia masih ingin bermain di sini. Tanganku beralih mengusap kepalanya dan merangkulnya.
“Udah jangan cemberut. Nanti kita ke sini lagi,” Hiburku.
“Janji?”
“Hm.”
Kami berhenti di pinggir trotoar, menatap kanan kiri menunggu sebuah angkutan umum melewat. Saat ada sebuah taksi yang menghampiri, aku segera mengulurkan tanganku memberi isyarat agar taksi itu menepi. Taksi menepi, aku dan Ayu segera masuk ke dalam taksi. Taksi mulai berjalan meninggalkan taman.
“Langitnya gelap banget,” Ucap Ayu seraya melihat langit mendung di luar sana.
“Hm.”
“Farhan, bunda beneran gak bakalan marah kita pulang telat?”
Aku menatap Ayu. Memberi senyuman kecil padanya. “Bunda gak bakal marah kok. Farhan udah izin ke bunda kalo hari ini dan tiga hari seterusnya kita bakalan pulang telat.”
Ayu mengerutkan keningnya. Sepertinya dia bingung dengan apa yang aku katakana. “Tiga hari?”
Wajahku berubah tegang. Aku salah berucap. “E..e..ee...maksudku mungkin beberapa hari ke depan kita bakalan pulang telat,” Ucapku gelagapan.
“Emang nanti kita bakalan kemana sampe pulang telat?”
“Em..itu..anu,” Aku melirik sekitar, tak berani menatap Ayu. “Karena sekarangkan lagi musim hujan. Terus yang lain suka ngajak kita main mulu,” Semoga jawaban ini bisa memuaskan Ayu.
Ayu semakin dalam mengerutkan keningnya. “Kalo gitu besok kita gak usah main aja. Kasian bunda, pasti sekarang bunda lagi khawatr kita pulang telat. Walaupun bunda udah ngasih izin.”
“O..oke,” jawab Aku dengan sedikit kaku.
Oleh Luthfita