Bandung, Indonesia.
"Bermimpilah, terkadang bermimpi juga bagus untuk dirimu. Ia dapat memuaskan hasratmu meskipun itu hanya sebuah angan."
"Rose!! Ini udah jam berapa? Kamu gak bakal sekolah apa?" teriak Ibu Rose di pagi hari. Rose menarik kembali selimutnya yang telah ditarik oleh ibunya. Ibunya mendengus kesal dan pergi meninggalkan kamar Rose. Rose mengintip dari balik selimutnya itu, ia menghela nafas pelan. "Syukurlah Mommy sudah pergi. Sudah tau mimpinya lagi bagus." gerutunya. Tiba-tiba ibunya kembali dengan membawa satu ember yang berisikan air, dan tentu saja ibunya langsung mengguyur anaknya itu dengan air. Rose langsung terbangun dan berteriak, " Mom!! Kenapa aku diguyur? Nanti juga aku bangun!!", Ibunya membalas, "Coba Mommy tanya, kapan mau bangunnya? Liat, kakak kamu yang kuliahnya Siang aja udah bangun sepagi ini. Masa kamu gadis susah banget bangunnya? Mau sampe kapan kayak gini Rose? Mau sampe nikah? Kamu itu udah mau SMA, ayo dong berubah. Malu tau sama orang lain."
"Hm, ceramah di pagi hari." batin Rose dengan kesal. Ia merapihkan rambutnya, "Sampe ada seorang pangeran yang jemput Rose, Rose bakal berhenti kayak gini." ucap Rose dengan aksen centil lalu pergi meninggalkan ibunya, "Pangeran? Dia pikir ini dunia dongeng apa." gerutu ibunya sembari membersihkan kamar Rose.
Sekarang Rose sudah menginjakkan kaki di kelas 9 SMP, ia jadi suka tidur. Dia juga sering kali berbicara sendiri, seolah-olah seperti ada teman bicaranya yang bersifat khayal. Ketika ditanya siapa yang ia ajak bicara, ia pasti akan mengatakan jika ada seorang pangeran dan ajudannya yang berjanji akan menikahinya kelak. Siapa yang tidak tertawa dengan perkataannya itu? Semakin besar bukannya bertambah teman, justru Rose semakin dikucilkan karena imajinasi gilanya itu. Tapi ada satu orang teman yang setia dengannya hingga saat ini. Ia bernama Gilang. Meskipun Gilang merupakan teman terbaik Rose, tetap saja terkadang Gilang merasa jijik dengan imajinasinya Rose. Pernah suatu saat mereka bertengkar hanya karena imajinasinya Rose yang menggangu Gilang, tapi pada akhirnya mereka kembali berteman.
Setelah meninggalkan kamarnya, Rose pergi ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Ia bernyanyi sambil membersihkan badannya. Ia menyanyikan lagu A Dream is A Wish Your Heart Makes yang dipopulerkan oleh Lily James.
"A dream is a wish your heart makes
When you're fast asleep
In dreams you will lose your heartaches
Whatever you wish for, you keep
Have faith in your dreams and someday
Your rainbow will come smiling through
No matter how your heart is grieving
If you keep on believing
The dream that you wish will come true"
Lagu itu bisa dibilang merupakan lagu kebangsaannya Rose. Ia selalu menyanyikan lagu itu, karena bisa dibilang lagu itu benar-benar mewakili seluruh perasaan hati Rose, ia suka bermimpi/berimajinasi dan ia juga selalu berharap jika mimpinya itu akan menjadi kenyataan suatu saat nanti, seperti menikahi seorang pangeran yang tampan.
Rose meninggalkan kamar mandi itu dan bergegas mengenakan pakaian seragamnya. Jam menunjukkan pukul 6 pagi sedangkan jam masuk sekolah Rose jam 8. Rose pun melangkahkan kakinya menuju meja makan. Disana terdapat ayah dan kakaknya yang sedang bersenda gurau, ibunya sedang sibuk menyiapkan sarapan untuk mereka berempat. Rose duduk di hadapan kakaknya, ia menatap kakaknya begitu lekat.
"Aku harap pangeran yang akan menikahiku setampan kakakku." ucapnya dalam hati.
Tiba-tiba kakaknya menatap ke arah adiknya itu.
"Ada apa kau menatapku? Kau terpesona?" ujar kakaknya sembari tersenyum usil. Rose membuang muka dari kakaknya itu.
"Siapa juga yang terpesona? Jangan harap! Lagipula pangeranku lebih tampan daripada kakak." ucap Rose lalu cemberut. Ayahnya tertawa karena tingkah Rose yang kekanak-kanakan begitu.
"Rose, boleh Daddy lihat pangeranmu? Daddy penasaran dengan bentuk wajahnya." pinta Ayahnya, Rose tau ini hanya sebuah candaan, tapi Rose tersinggung. Rose langsung menatap Daddynya dengan tajam, "Apa Daddy tidak merestui hubunganku dengan pangeran? Ia baik, ia juga tampan. Tapi sayangnya aku belum bisa menunjukkannya pada Daddy sekarang." tutur Rose dengan manja. Ayahnya yang duduk di samping Rose mencubit pipi Rose dengan gemas. Kakaknya tertawa seraya berkata, "Haduh, kenapa coba gue punya adik kayak gini."
Rose mamanyunkan bibirnya, "Oh jadi kakak malu punya adik secantik aku ini?" ucap Rose, kakaknya menatap geli. "Kalau kamu gak imajinatif gitu sih gue juga biasa aja." ujarnya. Ibunya datang sembari membawa rendang kesukaan ayahnya dan nasi goreng kesukaan kakaknya. "Sudah sudah, makanan udah siap, cepet makan, jangan banyak bicara, kalau dingin gak enak." kata Ibu. "Loh apel mana Mom? Aku kan gak bisa makan kalau gak ada apel." ucap Rose panik. " Mommy belum belanja lagi, udah paksain aja. Lagian juga emang kenapa sih kalau gak ada apel." gerutu ibunya kesal. Rose memasang raut sedih dan berkata, "Padahal aku suka banget sama apel tau Mom.", "Buat apa sih apel terus? Gak bosen? Apa jangan-jangan kamu mau kayak Snow White? Habis makan apel dia keracunin terus dia ketemu sama pangeran, gitu?" celetuk kakaknya, Rose langsung memakan makanan yang telah dihidangkan oleh ibunya dengan terpaksa.
"Hati-hati ya kamu di sekolah, jangan macam-macam. Awas aja kalau kamu macam-macam." ancam Ibunya seraya memberikan Rose uang saku. "Segitu cukup?" tanya Ibunya. Rose mengangguk lalu mencium tangan ibu, ayah, dan kakaknya secara cepat. Kalau soal uang Rose tidak terlalu memasalahkannya, karena yang terpenting bagi Rose bukanlah uang, tetapi PANGERANNYA. Rose pun pergi ke sekolah bersama dengan Gilang, rumah Gilang tidak jauh dari rumah Rose, sehingga mereka sering pulang pergi bersama.
"Gimana sama pangerannya? Udah nikah?" tanya Gilang membuka percakapan. Rose menoleh, "Belum." jawabnya. "Kenapa?" tanya Gilang lagi, "Aku kan udah sering bilang ke kamu, kalau aku bakal nikah sama pangeran aku di kehidupan nyata!!" jawab Rose emosi, Gilang tersenyum, "Kalau gak bisa?". "Yaudah aku nanti tinggal nikah di kehidupan dia aja." jawab Rose sembari menatap rumah-rumah yang sedang mereka lewati.
"Terus nanti anak kamu? Karir kamu? Keluarga kamu gimana?" tanya Gilang. Rose menatapnya dengan melotot, "Penasaran banget sih kamu! Diem aja deh, hidup-hidup aku ini." jawab Rose seperti orang naik darah, Gilang pun diam. Mereka berdua berjalan ke sekolah dengan suasana hening. Gilang tidak berani bertanya apapun jika kondisi hati Rose sedang tidak baik, apalagi jika itu karena ulahnya.
Setelah sampai di sekolah, mereka berdua memasuki kelas dan duduk di bangkunya. Mereka ini sudah satu sekolah, satu kelas, satu kompleks, satu bangku lagi. Pokoknya mereka benar-benar seperti lem dan kertas, tidak bisa dipisahkan.
"Hey Halu, udah ngerjain pr belum?" celetuk Ryan. Halu itu merupakan nama panggilan Rose di sekolah, bukan hanya di satu kelas. Gilang menatap Ryan dengan penuh emosi, "Heh, gak usah pake panggilan Halu juga bisa kali. Kamu pikir nama Rose itu Halu apa?" bela Gilang. Rose memukul dada Gilang, "diamlah." bisiknya. "Udah kok Ryan, mau lihat?" tawar Rose. Gilang menarik nafas kasar, ia berpikir bagaimana bisa Rose menerima panggilan ejekan itu? Sudah mengejek lalu meminta tolong, dasar orang tidak tau malu.
Rose menghampiri Ryan seraya memberikan buku prnya itu dan kembali ke bangkunya. "Kenapa kamu mau-mau aja sih disuruh mereka? Mereka tuh udah ngejek kamu tau." ucap Gilang kesal, Rose menjawabnya tanpa menoleh ke arah Gilang, "Terus aku harus apa? Membalasnya dengan ejekan juga?" Gilang terdiam, seakan-akan ia kehabisan kata-kata untuk membalas ucapan Rose itu.
"Kenapa diam?" tanya Rose lalu menengok sebentar. "Kenapa sih kamu itu kadang baik kadang nyebelin?" gerutu Gilang, Rose tersenyum karena ekspresi Gilang yang menggemaskan itu. "Pangeran aku pernah bilang, kalau ada orang yang ngelakuin hal jahat kekita jangan dibalas dengan kejahatan." ucap Rose sembari tersenyum. Gilang hanya bisa membuang nafas pelan, ia kesal karena apa-apa selalu dihubungkan dengan pangeran khayalannya itu.
"Rose." panggil Gilang pelan.
"Kenapa?" tanya Rose lalu menoleh.
"Kalau kamu gak nikah sama pangeran kamu itu gimana?" , Rose mendelik tidak suka. Ia mencubit lengan Gilang sangat keras hingga ia merintih kesakitan. "Dengar ya, aku sama pangeran aku itu udah pasti bakal nikah! Bahkan kita udah nulis surat perjanjian buat nikah nanti!" ujar Rose. Gilang menatap Rose datar, "Aku bingung, kamu ini anak indigo atau anak imajinatif. Benar-benar aneh." ucap Gilang geleng-geleng kepala. Rose tidak mendengarkan ucapan Gilang, ia malah bernyanyi sambil menutup telinganya. "Dasar aneh." gerutu Gilang.
Ibu Retna, guru Bahasa Indonesia memasuki kelas mereka. Mereka semua langsung menyiapkan alat untuk menulis, tapi tidak dengan Rose. Rose hanya menyenderkan kepalanya di meja dan bersenandung kecil. Tiba-tiba Ibu Retna menghampiri Rose.
"Kamu sakit?" tanya Ibu Retna. Rose sontak terbangun karena mendengar suara Ibu Retna yang sangat jelas itu. Ibu Retna menatapnya tajam. Rose hanya bisa nyengir.
"Rose, udah berapa kali saya bilang. JANGAN TIDUR DI JAM PELAJARAN SAYA!!." ucap Ibu Retna penuh penekanan. Rose hanya menunduk, ia berpura-pura menyesal atas perbuatannya, padahal ia tidak peduli.
"Dia gak tidur bu tadi." bela Gilang. Ibu Retna melotot ke arah Gilang, Gilang langsung garuk-garuk lehernya yang tidak gatal itu. Ia mendadak gugup.
"Wah, kamu mau jadi pahlawan kesiangan apa? Gak usah ngebela atau menghindar, saya jelas-jelas tau kalau dia tidur. Bukannya itu kebiasaan dia?" ucap Ibu Retna marah, sekelas menjadi hening dan menatap ke arah mereka dengan kesal. Mungkin salah satu di antara teman sekelasnya ada yang mengumpat.
"Aku emang tidur bu, maaf." ucap Rose.
"Kenapa dia harus bohong sih." batin Gilang.
"Nah kan, saya bilang juga apa? Dasar kamu ini, kamu mau nuduh ibu ngebohong ya Gilang?" ujar Ibu Retna. Rose langsung mengangkat kepalanya. "Gilang gak salah bu, mungkin tadi dia liat aku pas belum tidur bu." ucap Rose mengelak. Ibu Retna mengerlingkan matanya lalu pergi meninggalkan mereka berdua.
"Baik anak-anak, saya mohon jangan ada anak murid kayak Rose lagi ya. Saya gak suka ada murid kayak gitu. Kalau ada yang mau nyusul boleh acungkan tangan. Ada yang mau kayak gitu?" tanya Ibu Retna setelah ia berdiri di depan kelas. Rose menggeram, ia seperti ingin berteriak sekencang mungkin. Awalnya ia tidak terlalu menghiraukan Ibu Retna, tapi entahlah sekarang ia jadi mempedulikan ucapan Ibu Retna.
"Hey, kenapa kamu gak jujur aja sih?" tanya Gilang berbisik. Rose hanya membolak-balikan bukunya dengan kesal. "Hey, kenapa diam?" ucap Gilang kembali dengan berbisik. Rose akhirnya menjawab, "Lagian kalau aku jujur juga dia gak bakal percaya.", "Rose, aku bingung. Kamu ini suka berimajinasi kalau kamu itu seorang putri yang akan menikahi pangeran. Tapi kenapa perilaku kamu kayak gitu? Emangnya Snow White, Cinderella, Aurora, Ariel, atau siapapun itu selalu tertidur?" keluh Gilang pelan. "Snow White juga tidur terus." ucap Rose mengelak. "Apa Snow White tertidur tanpa alasan? Dia juga tertidur karena apel yang beracun itu kan? Alasan kamu selalu tertidur itu gak logis banget." ujar Gilang kesal. Rose memanyunkan bibirnya, "Kenapa kamu bisa tau cerita Snow White? Emang salah ya kalau aku suka tidur untuk berimajinasi? Lagian itu hak aku." ucap Rose. Gilang menggeleng-gelengkan kepalanya karena heran. "Ck ck...lihat, bahkan kamu lupa kalau kamu itu selalu cerita tentang putri-putri itu. Makanya aku hafal semua cerita putri-putri khayalan itu. Kamu itu jadi kayak orang gila hanya karena khayalan bodoh itu! Ayolah, berubah. Gak semua orang bisa sesabar kayak aku buat adaptasi sama orang kayak kamu." gerutu Gilang dengan menaikkan suaranya.
Ibu Retna menoleh ke arah mereka dan berteriak, " Gilang, Rose!! Keluar!! Saya lama kelamaan kesal dengan kalian. Jangan ikuti pelajaran saya selama satu bulan! Cepat keluar!!"
Mereka berdua pun keluar dan berdiri di depan kelas.
"Wah, aku gak percaya. Aku yang berusaha buat jadi anak baik malah jadi kayak gini gara-gara kamu." ucap Gilang, Rose menatapnya tajam.
"Maksud mu apa? Aku gak pernah minta kamu buat ngebela aku." ujar Rose marah.
"Hey, aku itu berusaha biar kamu gak terlihat terlalu buruk di depan teman-teman. Aku kasihan, teman kamu itu cuma aku. Apa kamu gak sedih karena tidak punya teman?" tanya Gilang seperti orang naik darah. Rose berkacak pinggang, ia tersinggung.
"Gak. Aku sama sekali gak keberatan aku gak punya teman." jawab Rose emosi.
"Kamu bilang gitu karena kamu punya aku kan? Coba kalau gak ada aku, kamu pasti kesepian." ucap Gilang percaya diri.
"Jangan kepedean deh, aku gini-gini juga punya temen, bukan cuma kamu doang." ujar Rose.
"Siapa? Temen khayalan kamu itu? Pangeran sama ajudan? Paling semuanya khayalan." ucap Gilang berteriak. Rose menampar Gilang, ia menggigit bibirnya untuk menahan tangisnya.
"Memang kenapa? Itu semua kan kehidupan aku! Bukan kamu! Kenapa kamu jahat Gilang!!" isak Rose, ia tidak bisa menahan tangisnya dan menutup wajahnya dengan kedua tangan. Gilang hanya diam. Gilang pun pergi meninggalkan Rose, ia berjalan menyusuri koridor sekolah. Jika mereka berdua bertengkar, itulah yang akan Gilang lakukan. Berdiri di tempat sepi dan berpikir kesalahannya. Sedangkan Rose hanya bisa diam dan menangis. Tapi pada akhirnya mereka akan baikan kembali, cepat atau lambat.