Loading...
Logo TinLit
Read Story - Bintang Biru
MENU
About Us  

Hari Senin pukul 07.00 WIB. Akira kini sedang berada pada ruangan dengan banyak kursi di dalamnya. Berulang kali ia lihat kertas kecil yang dibawa. Akira mendapatkan kertas itu saat membuka pintu ruangan ini, kertasnya diberikan oleh petugas yang berdiri didekat pintu.

Nomor A064. Nomor itu berartikan nomor antrian yang kini ia dapatkan. Sekarang, gadis itu sedang menunggu gilirannya untuk mengambil NIM dan almamater kampus yang sudah sah sebagai wadah untuk ia belajar dalam kurun 4 tahun kedepan.

Merasa hanya diam dan sepi, Akira akhirnya memberanikan diri untuk mengajak gadis di sebelahnya berbicara.

"Hai." Ucap Akira canggung.

"Oh halo." Gadis yang langsung menyambut Akira dengan senyuman itu membalas perkataannya.

"Jurusan apa?" Tanya Akira lagi.

"Aku Biologi."

"Oh FMIPA ya."

"Iya nih, hehe."

Hening.

Akira kembali menatapi kertas kecil dalam telapak tangannya. Mengapa ia harus berada dalam situasi seperti ini lagi? Ia sungguh sangat membenci harus berlama-lama diam seorang diri.

Gadis di sebelah Akira tetiba mengudarakan suaranya kembali, "Kamu jurusan apa?"

"Oh, aku? Ilmu Komunikasi."

Gadis itu menyelipkan surai sebahu miliknya yang sedikit menutupi wajah. Dengan gerakan lembut dan juga anggun gadis disebelah Akira terlihat begitu cantik.

"Kamu antrian nomor berapa?" Ucapnya. Akira melihat kertas yang ia pegang, "A064."

"Wah kebetulan aku, A065."

"Oh ya? Kita deketan berarti." Setelah itu, Akira melihat layar monitor besar yang berada tak jauh dari tempat duduknya, monitor itu menampakkan nomor yang saat ini sudah terpanggil.

Menyadari sesuatu yang janggal, Akira segera menoleh, "Eh kita belum kenalan."

"Hehe oh iya." Gadis disebelah mengulurkan tangannya yang langsung disabut oleh Akira.

"Akira."

"Senja."

Mereka berdua saling tersenyum ramah dan kembali sibuk dengan pemikiran masing-masing.

"Kamu asal mana?"

"Aku orang sini." Jawab Akira.

"Serius? Asli Jogja?"

"Iya, kalo kamu?"

"Aku dari Tangerang." Senja menyunggingkan cengiran khas miliknya, deretan giginya terlihat setelahnya.

"Oh kamu anak rantau ya berarti, terus disini kos?"

"Iya, sama Adara."

"Adara?"

"Ohaha, Adara temen se-kos ku. Kita berdua baru kenal pas daftar ulang kemarin, eh taunya sama-sama dari Tangerang, terus iseng cari kosan bareng."

"Aku minta kontak kalian ya? Aku belum ada temen di sini.. ada sih beberapa temen SMA, cuma gak terlalu akrab." Akira menjelaskan seraya menyuguhkan senyuman canggung.

Senja tertawa, "Haha, boleh kok. Kamu kalo mau ke kosan aku juga boleh banget."

"Eh beneran?"

"Iya, nih ya ku tulis nomorku sama nomor Dara." Senja menulis rentetan nomor yang berawalkan 081 di atas kertas yang ia sobek dari buku yang sebelumnya berada dalam tas miliknya.

Akira menerima kertas pemberian Senja dengan senang hati. Setelahnya mereka berdua sama-sama mendatangi loket dengan nomor yang berbeda. Akira loket 1 dan Senja loket 2.

Tak berlangsung lama, Akira yang memang berniat menunggu Senja selesai, berdiri di pintu keluar ruang kemahasiswaan sesudah ia menyelesaikan urusannya sendiri.

"Eh Akira masih disini?" Sosok gadis yang ditunggu Akira sejak tadi, keluar bersama almamater pada genggaman.

Akira mengulaskan senyumnya, "Aku boleh ikut ke kosan kamu?"

Senja sedikit terkejut mendengar perkataan Akira yang menurutnya sungguh mendadak, "Kamu mau hari ini juga?"

"Kalo kamu gak keberatan." Akira menggaruk tengkuknya yang serasa tak gatal.

"Oh oke sebentar aku telfon Dara dulu."

Akira mengangguk paham sambil memandangi gadis yang berupaya memanggil sosok dengan sebutan Dara tersebut.

Senja men-scroll layar ponselnya lalu meletakkan benda pintar itu pada telinga.

"Halo Dar?"

"..."

"Gue ketemu temen baru di kampus. Lo dimana?"

"..."

"Oh yaudah gue langsung balik kalo gitu, dia katanya mau main ke kosan ketemu lo juga."

"..."

"Iyalah, ya kali gua boong."

"..."

"Pintu jangan di kunci."

Senja kembali menatap layar ponsel setelah selesai dengan panggilannya. Kemudian sesegera mungkin, ia menaruh telepon genggam miliknya ke dalam tas kecil yang di selempangkannya pada bahu.

Akira menatap Senja dalam kebisuan. Dengan apa yang baru Senja bicarakan bersama seseorang di sebrang sana, ia sudah paham betul dengan apa yang akan terjadi kedepannya.

"Ayo Ra, kita jalan kaki ga papa kan? Kosanku deket soalnya."

"Aku udah biasa jalan kok Senja, tenang aja hehe."

Senja terlihat kembali mengulaskan senyum, kemudian mereka berdua pergi meninggalkan kampus yang salah satunya ber-label Negeri di Kota Jogja tersebut.

Perjalanan tak lebih dari 10 menit dengan berjalan kaki, Senja dan Akira tiba di depan bangunan yang terlihat minimalis dari luar, bangunan itu juga berhiaskan pagar besi berwarnakan hitam.

Akira masuk ke dalam bangunan yang ternyata jika sudah masuk terdapat banyak kamar di dalamnya, dengan rasa canggung yang menghampiri, ia terlihat mengekori Senja dari belakang takut-takut hal yang seharusnya tak terjadi akan terjadi.

"Kamu kenapa gitu deh Ra?"

"Eh enggak kok, gak apa-apa."

Senja terlihat berjalan menuju kamar dengan pintu bernomorkan 9 yang berada di ujung.

"Ini kamarku Ra." Ia berbicara lagi sebelum tangannya mengetuk pintu dua kali dan menyebutkan nama seseorang.

Toktok.

"Dar? Ini gue."

Lalu.

Klek.

Pintu terbuka dan sosok yang sejak tadi sudah membuat Akira penasaran bukan main tlah terlihat jelas ada di dalam kamar tersebut.

"Halo.. lo temen baru Senja ya pasti? Gue Adara Ulani, jurusan Ilmu Komunikasi."

Adara langsung mengulurkan tangannya semangat ke hadapan tubuh Akira.

Akira yang jika boleh jujur sedikit terkejut mendengar jurusan apa yang Adara anut, ikut menyambut uluran tangan gadis tersebut dengan senyum yang tak kalah merekah.

"Halo, aku Akira Bintang Aulia, Ilmu Komunikasi juga."

Sekejap, kedua mata Adara membelak sempurna. "Seriusaaan? Lo FISIP juga? Asli akhirnya nemu yang sejurusan."

Akira mematung seraya tersenyum.

"Jangan alay ngapa Dar. Seengganya biarin Akira masuk dulu elah."

Entah sejak kapan, namun Akira tersadar bahwa hanya dirinya kini yang berada di ambang pintu bersama Adara. Senja tahu-tahu sudah berada di dalam dan duduk di atas kasur berukuran minimalis yang ada disana.

"Hehehe iya lupa. Ayo masuk Ra."

Lalu setelahnya mereka betiga berbincang-bincang layaknya teman lama yang tlah dipertemukan kembali. Mereka berasa langsung akrab antar satu dengan lainnya.

"Ra, gue bahasanya gue-elo gini gak apa-apa kan?"

Akira tertawa mendengar pertanyaan Adara seusai gadis itu menyeruput teh manis dalam botolan plastik, "Santai aja Dar, kamu bebas mau pake bahasa apa juga. Asal jangan pake bahasa alien ya, hahaha."

Senja yang sejak tadi menyimak tertawa keras, "Hahaha, bahasa alien jagonya dia tuh Ra, kalo mau ngobrol pake bahasa itu kudu nyatuin jari telunjuk dulu."

Adara menatap sebal Senja yang jelas-jelas mengejeknya di depan mata kepala sendiri, "Lo pikir gue yang kaya di film E.T." Ungkapnya sambil melayangkan tatapan sinis.

Setelahnya, ruangan berukuran kecil tersebut serasa penuh dengan tawa yang berasal dari Senja juga Akira. Kini Akira tersadar betul, bahwa hanya beberapa jam ia baru mengenal kedua gadis itu, ia sudah dibuat nyaman dengan mereka. Semoga, mereka bertiga bisa berteman selalu kedepannya, harap Akira di dalam hati.

*

Kegiatan di kampus dan juga bertemu dengan teman barunya sudah ia laksanakan hari ini. Kini, Akira langsung pulang diantar kendaraan umum menuju rumahnya, sampai di depan gang, ia turun dan membayar ongkos dengan uang pas.

Gadis yang masih setia dengan rambut hitam kepang kebelakangnya itu, berjalan sambil membawa beberapa berkas juga almamaternya pada dekapan. Ketika dirinya hanya berjarak beberapa kon-blok untuk sampai ke rumah, suara seseorang sudah mengudara masuk dalam telinga.

"Ciee anak kuliahan."

Akira yang semula melamun, menolehkan kepala dan langsung mendapati seorang laki-laki yang kini sedang berjongkok menghadap sebuah motor matic berwarna biru.

"Eh, Mas Biru."

Biru orang itu, dengan kain kanebo yang berada di sebelah tangan, ia berupaya menghampiri Akira dan beranjak dari posisinya yang semula.

"Gimana tadi di kampus? Ada kendala?" Tanyanya langsung.

Akira belum bergerak dari tempat pemberhentiannya, ia tatap kedua mata Biru kemudian tersenyum sekilas, "Alhamdulillah Mas, minggu depan aku Ospek."

Biru yang saat ini hanya menggunakan kaus marun polos juga celana warna dongker selutut menyunggingkan deretan giginya, "Wah... sekarang udah jadi calon Jurnalis ya."

Seraya membenahi letak berkas juga almamater yang dibawa, Akira tersenyum dengan pipi yang sekiranya kini sudah mulai berubah warna.

"Jurnalis apa si Mas, orang Ospek aja belum."

Biru tertawa pada jarak yang terlampau 3 meter dari Akira, "Sekarang sibuk dong? Gak ada waktu main sama Saya lagi...."

Ukiran senyum milik gadis yang diajaknya bicara terlihat samar, "Kalo sekarang masih belum, Mas Biru mau main kemana lagi memang?"

Wajah Biru terlihat sedang berpikir, sebelum menjawab, ia betulkan frame kacamata yang ia pakai, "Agenda kamu malam ini apa?"

Akira mengingat-ingat apa yang harus dilakukannya, dengan satu helaan nafas, ia menjawab, "Aku ... tidur paling Mas, hehe."

Gurat kekecewaan terpancar jelas dari raut wajah Daniswara Biru, "Yah, kamu capek banget memang hari ini?"

"Iya Mas...."

Biru kembali diam seraya berpikir dalam keheningan.

Namun tak lama, suaranya terdengar kembali, "Yaudah istirahat ya Bintang ... Saya."

Deg.

Akira yang semula selalu menatap mata Biru tanpa ada rasa gugup sedikitpun, kini terlihat sebaliknya.

Menyadari tingkah gadis di depannya berubah, juga rona di wajahnya-pun begitu, Biru mengucapkan kata terakhir sebagai penutup perbincangannya kali ini.

"Udah sana masuk, jangan kebanyakan mikir, kasihan otak kamu."

*

Malam harinya, Akira menemani Ibu menonton TV di ruang tengah. Tanpa diduga, sebuah dering telepon yang berasal dari balik ponsel Ibu terdengar nyaring.

Karena ponsel tersebut tepat berada pada meja di sebelah Akira, Ibu pun meminta tolong lepada Akira untuk membawakan ponsel hitam miliknya.

Akira mengambil benda itu sekaligus melihat dengan jelas nama siapa yang tertera di layarnya.

"Ibu, Om Danis yang telepon."

Mendengarkannya, sikap yang ditampilkan Ibu mendadak berubah. "Sini nak, kasih ibu."

"Assalamualaikum, Halo Om."

Tanpa menggubris kata Ibu, Akira langsung menggeser tombol warna hijau yang tertera, setelahnya langsung ia tempelkan benda itu pada telinga.

Ibu Akira memandang wajah anaknya dengan tak biasa.

"Waalaikumsalam, sayang... ini Kira ya?"

Mendengar suara merdu milik pria separuh baya di sebrang sana, Akira tersenyum, "Hehe iya Om Danis, ini Kira.. Om ada perlu sama Ibu?"

"Iya nak, eum sebenernya.. minggu depan Om mau pulang ke Jogja."

Akira terkejut bukan main mengetahuinya. Sontak saja, kedua mata gadis itu berubah menjadi bulat, "Beneran Om?! Kerjaan Om di Palangkaraya udah selesai?"

Mendengar ucapan yang diucapkan anak gadisnya, Ibu Akira ikut terkejut. Tanpa disadari, TV yang sedari tadi mereka tonton sudah tak lagi menarik tampilannya. Secercah senyuman mengambang pada bibir wanita separuh baya tersebut.

Kemudian jauh disebrang sana, Laki-laki yang dipanggil Akira dengan sebutan Om itu tertawa, "Belum sih, ya cuman Om kangen sama kalian yang di Jogja. Jadi Om ambil cuti."

"Mas Biru udah tau Om mau pulang?" Akira bertanya kembali, sebab tiba-tiba mengingat laki-laki penghuni rumah di sebrang.

"Belum, baru habis ini Om mau telfon Biru."

Akira melengos, "Loh loh, kok bukannya telepon anaknya langsung, Om malah telepon Ibuku dulu?"

Hening.

Atmosfer yang datang seakan-akan berubah keadaannya. Akira masih menunggu jawaban milik lelaki yang kini masih berada di sebrang pulau tersebut. Akan tetapi, dengan gerakan cepat kedua tangan milik wanita yang sejak tadi masih diam merebut ponsel kepunyaan yang semula masih ada dalam genggaman tangan anaknya.

"Loh bu? Aku kan lagi nanya Om Danis...."

Sosok yang disebut Akira dengan panggilan Ibu itu menghela nafas berat, "Udah, kamu sana gih kasih tahu Biru dulu."

Sejenak Akira masih merasa tak terima. Namun, pemikiran dan kata hatinya yang lain, menyuruhnya menuruti kata-kata Ibu.

"Yaudah, bilang Om Danis ya bu kalo Mas Biru aku aja yang ngasih tau."

Akira beranjak dari tempatnya sambil mengambil benda pintar di atas meja yang ia punya.

Lalu dengan segera, ia lenggangkan kakinya menuju pintu dan menutupnya kemudian.

Sementara setelah dipastikan Akira benar-benar pergi, panggilan berbeda pulau tersebut masih saling terhubung.

"Halo Mas?"

"Bagaimana keadaannya dan sebesar apa ia sekarang?"

Tiba-tiba nada kerinduan yang tak biasa tercipta antara sambungan tersebut.

"Siapa yang kamu maksud?"

Sunyi.

Laki-laki pada panggilan terdengar menghela nafasnya yang serasa sangatlah berat.

"Mereka berdua."

Sebelum menjawab, Ibu menarik nafasnya panjang sebelum berbicara, "Masih sama, tak ada yang tahu tentang bagaimana yang terjadi di masa lalu."

Tetiba mereka berdua hanyut akan kejadian masa lalu yang hingga kini masih mereka simpan dalam lubuk paling dalam. Menyebut dan mengingatnya membuat dada sakit sebab rasa bersalah itu belum sepenuhnya terbayarkan. Sampai kapan Biru dan Akira tak tau akan satu sama lain? Apa selamanya? Atau ... tak lama lagi?

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Angkara
999      591     1     
Inspirational
Semua orang memanggilnya Angka. Kalkulator berjalan yang benci matematika. Angka. Dibanding berkutat dengan kembaran namanya, dia lebih menyukai frasa. Kahlil Gibran adalah idolanya.
AraBella [COMPLETED]
34832      3426     13     
Mystery
Mengapa hidupku seperti ini, dibenci oleh orang terdekatku sendiri? Ara, seorang gadis berusia 14 tahun yang mengalami kelas akselerasi sebanyak dua kali oleh kedua orangtuanya dan adik kembarnya sendiri, Bella. Entah apa sebabnya, dia tidak tahu. Rasa penasaran selalu mnghampirinya. Suatu hari, saat dia sedang dihukum membersihkan gudang, dia menemukan sebuah hal mengejutkan. Dia dan sahabat...
Monday
289      226     0     
Romance
Apa salah Refaya sehingga dia harus berada dalam satu kelas yang sama dengan mantan pacar satu-satunya, bahkan duduk bersebelahan? Apakah memang Tuhan memberikan jalan untuk memperbaiki hubungan? Ah, sepertinya malah memperparah keadaan. Hari Senin selalu menjadi awal dari cerita Refaya.
Dua Sisi
7887      1795     1     
Romance
Terkadang melihat dari segala sisi itu penting, karena jika hanya melihat dari satu sisi bisa saja timbul salah paham. Seperti mereka. Mereka memilih saling menyakiti satu sama lain. -Dua Sisi- "Ketika cinta dilihat dari dua sisi berbeda"
AUNTUMN GARDENIA
138      120     1     
Romance
Tahun ini, dia tidak datang lagi. Apa yang sedang dia lakukan? Apa yang sedang dia pikirkan? Apakah dia sedang kesulitan? Sweater hangat berwarna coklat muda bermotif rusa putih yang Eliza Vjeshte kenakan tidak mampu menahan dinginnya sore hari ini. Dengan tampang putus asa ia mengeluarkan kamera polaroid yang ada di dalam tasnya, kemudian menaiki jembatan Triste di atas kolam ikan berukura...
Drapetomania
10457      2437     7     
Action
Si mantan petinju, Theo Asimov demi hutangnya lunas rela menjadi gladiator bayaran di bawah kaki Gideon, laki tua yang punya banyak bisnis ilegal. Lelah, Theo mencoba kabur dengan bantuan Darius, dokter disana sekaligus partner in crime dadakan Theo. Ia berhasil kabur dan tidak sengaja bertemu Sara, wanita yang tak ia kira sangat tangguh dan wanita independensi. Bertemu dengan wanita itu hidupnya...
The Wire
9460      1946     3     
Fantasy
Vampire, witch, werewolf, dan guardian, keempat kaun hidup sebagai bayangan di antara manusia. Para guardian mengisi peran sebagai penjaga keseimbangan dunia. Hingga lahir anak yang memiliki kemampuan untuk mengendalikan hidup dan mati. Mereka menyebutnya-THE WIRE
Frekuensi Cinta
275      230     0     
Romance
Sejak awal mengenalnya, cinta adalah perjuangan yang pelik untuk mencapai keselarasan. Bukan hanya satu hati, tapi dua hati. Yang harus memiliki frekuensi getaran sama besar dan tentu membutuhkan waktu yang lama. Frekuensi cinta itu hadir, bergelombang naik-turun begitu lama, se-lama kisahku yang tak pernah ku andai-andai sebelumnya, sejak pertama jumpa dengannya.
Ansos and Kokuhaku
3285      1032     9     
Romance
Kehidupan ansos, ketika seorang ditanyai bagaimana kehidupan seorang ansos, pasti akan menjawab; Suram, tak memiliki teman, sangat menyedihkan, dan lain-lain. Tentu saja kata-kata itu sering kali di dengar dari mulut masyarakat, ya kan. Bukankah itu sangat membosankan. Kalau begitu, pernah kah kalian mendengar kehidupan ansos yang satu ini... Kiki yang seorang remaja laki-laki, yang belu...
Romantice And Yearn
4747      1598     3     
Romance
Seorang gadis yang dulunya bersekolah di SMA Garuda Jakarta, kini telah menjadi mahasiswa di Universitas Indonesia. Banyak kenangan yang ia jalani di masa SMA. Mulai awal ia masuk dan bertemu dengan lelaki yang bernama Ray. Hari-harinya selalu di warnai dengan kehadiran Ray yang selalu memberikan kejutan yang tak terduga hingga akhirnya jatuh hati juga pada Ray. Namun tak ada suatu hubungan yang ...