Delilah berjalan cepat dan menggerutu tentang tingkah laku laki-laki yang baru saja ditemuinya di halaman belakang sekolah. Ia melirik kebelakang, memastikan lelaki bernama Keenan itu tidak mengikutinya.
“DORRR!!”
“ALLAHUAKBAR!!” Delilah berteriak kaget.
Fabian tertawa puas melihat wajah Delilah yang nampak konyol karena terkejut.
“Fabian!!!” Delilah gemas dengan lelaki itu, memukul keras pundak tegap Fabian.
“Ampunnn.. ampunn.. sorry deh!” ujar Fabian sambil menghindari pukulan Delilah.
“Lagian! Bener-bener deh ya, Lo itu kenapa sih?! Kalau gue jantungan gimana?!” kesal Delilah, benar-benar merasa geram dengan kekonyolan Fabian.
“Enggak bakal. Udah deh maafin gue ya? Makan yuk! Biar gak marah lagi, gimana?” Tanya Fabian, Ia menaik-turunkan alisnya membujuk gadis merajuk di depannya.
Delilah mendengus kesal dan berjalan mendahului Fabian menuju kantin. Fabian mengulum senyum geli, kemudian berjalan menyusul Delilah yang sudah beberapa langkah di depannya.
Delilah menatap suasana kantin yang ramai dengan malas. Ia hendak berbalik, namun lelaki dengan senyum menjengkelkan menahannya. Delilah membenci keramaian, sebisa mungkin Ia akan menghindari keramaian tersebut. Fabian yang tahu isi pikiran gadis di sampingnya memegang pundak gadis itu dan menepuknya lembut.
“Udah ayo masuk. Ada gue, lo Cuma duduk temenin gue makan, gue yang pesen dan bawain buat lo.” Ajak Fabian sambil mendorong tubuh Delilah masuk ke dalam kantin dan mencari tempat duduk yang membuat gadis itu nyaman.
“Mau makan apa?” Fabian bertanya setelah mereka duduk di meja yang terletak di sudut ruangan.
“Soto Ayam.” Sahut Delilah. Fabian segera melenggang pergi menuju penjual soto ayam. Delilah termenung menatap kotak kacamatanya. Ia tak menyangka, Keenan yang menyimpan kotak kacamata miliknya.
“Keenan Athaya… Dia anggota The Boys! Kenapa gue bisa lupa?! Binee, kenapa lo bisa lupa?! Muka dia tuh familiar banget!!”ujar Delilah sambil memukul kepalanya, menggelengkan dan membuang napas gusar mengingat kebodohannya. Orang-orang seperti Keenan, termasuk ke dalam daftar orang-orang yang sangat dihindari Delilah.
Fabian membawa 2 mangkuk bergambar ayam jago dengan nampan, Ia berjalan cepat saat melihat Delilah beberapa kali memukul kepalanya. Lelaki hitam manis itu meletakkan soto ayam yang dibawanya dengan kasar ke atas meja. Lelaki itu menangkap kedua tangan Delilah, lalu berujar “Bine.. Hei.. Hei.. tenang Bine!” ujar Fabian tenang, Delilah mendengus kesal, Ia sadar perilakunya membuat Fabian panic dan berpikir yang tidak-tidak tentang dirinya.
“Gue gak papa, Bee!” ucap Delilah sebal. Fabian melepas tangannya yang memegang tangan Delilah dan menghembuskan napas lega.
“Jangan suka aneh-aneh makanya! Lo tau sendiri gue gak bisa liat lo kenapa-napa!” sembur Fabian jengkel, sebisa mungkin menahan kekesalannya agar tidak membentak gadis di depannya.
Delilah diam, kemudian tangannya mengambil mangkuk soto ayam dan mulai makan dalam diam. Fabian menghela napas dan mengambil soto ayam miliknya, menambahkan perasan jeruk nipis dan 1 sendok sambal ke dalam sotonya dan mulai memakannya. Fabian mengambil botol kecap dari meja diseberang mereka, lalu meletakkan botol kecap itu kehadapan Delilah, gadis itu tidak bisa memakan soto tanpa kecap.
“Makasih Bee.” Lirih Delilah, Fabian bergumam membalas lirihan Delilah.
Suasana kantin yang ramai sedikit mengurangi kecanggungan yang terjalin diantara dua anak manusia yang sedang asik dengan mangkuk sotonya masing-masing. Fabian menyudahi makannya dan meneguk air mineral botol yang dibelinya hingga setengah, tak lupa Ia membukakan untuk Delilah dan memberikannya pada gadis itu.
Delilah mengambil air mineral yang disodorkan padanya lalu meneguknya sedikit, mata cokelat yang teduh itu menangkap sosok yang beberapa menit lalu dihindarinya. Keenan sedang berdiri di depan pintu masuk kantin dan berhadapan dengan 3 orang wanita, keadaan kantin sedikit senyap. Dapat dipastikan kesenyapan itu diakibatkan oleh Keenan dan para gadis yang entah membicarakan apa, karena posisi Delilah yang jauh dari pintu masuk membuatnya tidak tahu pembicaraan apa yang mereka lakukan.
Fabian merasa Delilah terpaku melihat sesuatu pun menoleh, melihat kearah mana pandangan gadis itu dan melihat apa yang terjadi di depan pintu kantin.
“Oh.. salah satu anggota The Boys. Gila ya, eksistensi mereka gak perlu diragukan lagi. Dimana-mana selalu jadi pusat perhatian, gue mah apah atuh Cuma remahan kerupuk bubur ayam.” ujar Fabian terkekeh kecil. Delilah tergelak mendengar kalimat Fabian.
“Lo mah daun seledri yang selalu nyempil di gigi setiap makan bubur ayam.” Balas Delilah sambil tertawa kecil, menanggapi becandaan lelaki di depannya.
“Yee seneng lo ya bisa ngeledek gue?” sahut Fabian tertawa lebar.
Mata cokelat gelap Fabian menangkap kotak kacamata gadis di depannya dengan bingung.
“Bine! Itu kotak kacamata ketemu dimana?” tanya Fabian penasaran.
“Ah? Hmmm.. itu.. anu.. apa.. ketemu di taman belakang.” Jawab Delilah gugup.
“Seriusan? Tadi pagi gue cari gak ketemu, gue sampai cari ke bawah pohon langganan lo duduk, tapi gak ada. Kok bisa?” Delilah mengangguk kaku, kaget dengan pernyataan Fabian.
“Itu.. itu. Hmmm.. ada.. ada yang menemukan. Jadi..jadi.. pas tadi gue ke sana tiba-tiba ada yang kasih,” jawab Delilah dengan berat.
“Ada yang kasih? Cewek atau cowok?” tanya Fabian dengan pandangan menelisik. Delilah menautkan jemarinya gugup.
“Kepo nih!!” ujar Delilah, Ia gugup dan takut salah menjawab di depan lelaki yang kini masih menatapnya curiga.
“Ahh!! Cowok ya? Iya kan?” tanyanya dengan wajah mengejek.
“Gak tahu ah! Udah bye!” jawab Delilah gusar dan meninggalkan Fabian yang tertawa lebar.
“Bine.. bine. Gitu aja panic. Apa kabar gue yang bisa kapan aja jantungan kalo sampai gagal jagain lo,” gumam Fabian tertawa miris. Ia bangkit dan berjalan menyusul gadis yang sudah berjalan jauh di depannya.
Delilah menggerutu sepanjang jalan merasa kesal dikerjai Fabian, sesekali Ia menengkok ke belakang melihat Fabian yang masih tertawa. Delilah berbelok melewati tiang beton dan menghentikan langkahny saat melihat Keenan yang hanya berjarak 3 langkah di depannya sedang berbicara dengan seorang lelaki.
Delilah berbalik arah, Ia malas harus bertemu dengan lelaki itu. Namun karena tidak memperhatikan jalannya, seseorang yang membawa segelas plastic minuman menabarak Delilah, hingga isi minuman itu kini berpindah membasahi baju, rok, dan sepatu Delilah.
Delilah diam, menatap baju, rok, dan sepatunya dengan pandangan kosong.
“Ya ampun! Sorry ya, gue gak sengaja” ujar seorang perempuan menyesal dengan kecerobohannya. Ia mengambil tisu dari dalam saku roknya, kemudian mencoba melap pakaian Delilah, namun gadis berkerudung itu tergugu, telinganya mulai berdengung keras.
Keenan menolehkan kepalanya ke belakang, dan terkejut melihat gadis yang tadi ditemuinya kini dalam keadaan kacau dengan baju yang nampak kotor. Keenan menghampiri lalu menepuk bahu Delilah lembut, Delilah tersentak kaget dan menatap Keenan dengan pandangan ketakutan sambil menggelengkan kepalanya.
“Hei.. Delilah, are you okay?” tanya Keenan bingung, Ia bingung dengan tatapan ketakutan yang ditunjukkan Delilah.
Delilah menjatuhkan kotak kacamata yang dipegangnya, lalu menutup telinganya yang semakin berdengung.
“Bukan aku. Bukan salahku. Bukan. Bukan aku.” Gumam Delilah lirih, Keenan dan gadis yang sedang membersihkan baju Delilah menatap Delilah dengan kerutan di dahinya.
“Iya ini bukan salah lo kok, ini salah gue, sorry ya! Kita ke kamar mandi yuk bersihin ini.” Sahut gadis itu.
“Del.. ka..mu kenapa?” tanya Keenan kembali. Ia memegang bahu gadis itu, namun Delilah langsung menarik diri menjauh dan nyaris berteriak jika Fabian tidak mendekap gadis itu dalam pelukannya.
“Bine. Bine. It’s me Fabian. Everything oke.”bisik Fabian.
Keenan menatap dalam lelaki yang mendekap Delilah, Ia merasa tidak asing dengan sosok itu. Lalu netra hitam pekatnya melihat wajah Delilah yang pucat pasi dan air mata yang menggenang dipelupuk mata.
Delilah mulai memberontak dalam dekapan Fabian, Fabian pun mengeratkan dekapannya. Ia menoleh melihat gadis yang tadi membersihkan baju Delilah.
“Makasih ya Sarah,” ucap Fabian yang dibalas anggukan kaku Sarah, bingung dengan reaksi Delilah. Fabian membawa Delilah keluar dari kantin, Ia tidak mau menarik perhatian lebih jauh lagi dengan Delilah yang bisa kapan saja kehilangan kendalinya.
Keenan menatap Fabian dengan tajam, namun perhatian Fabian tersedot sepenuhnya pada Delilah. Ia tidak memperdulikan sekitanya lagi jika sudah berurusan dengan keadaan Delilah yang genting.
Mata hitam pekat itu menatap sesuatu yang berkilau, lalu Ia meraihnya.
Senyuman lirih mencul, “Kita berjodoh banget ya! Semoga aku berjodoh dengan pemilikmu juga.” Keenan menatap kotak kacamata digenggamannya dengan senyum miring.
Ia pun berjalan keluar kantin, menyusul Delilah dan lelaki yang entah siapa namanya.
Fabian membawa Delilah menuju ruang kesehatan yang tidak jauh dari kantin. Salah seorang petugas kesehatan menghampiri keduanya, dan bertanya “Apakah ada yang sakit?” tanya petugas dengan name tag Lusi itu sambil tersenyum lembut.
Fabian tersenyum, “Saya bisa meminjam ruangan ini kan, Dok?” tanya Fabian tanpa menjawab pertanyaan petugas kesehatan itu. Petugas kesehatan itu menatap bingung dengan pertanyaan Fabian.
“Dok saya mohon, saya butuh ruangan tenang untuk menenangkan teman saya. Ia punya trauma dan baru saja sesuatu mengusiknya dan membuatnya kembali trauma.” Jawab Fabian, Dokter Lusi pun mengangguk dan segera menutup pintu ruang kesehatan.
Fabian memusatkan perhatiannya kembali pada Delilah yang tengah memejamkan matanya, keringat sebesar biji jagung mulai muncul.
“Bine. Gue mohon, kembali sekarang. Jangan pergi kesana! Buka mata lo dan lihat gue!” ujar Fabian sambil mengguncang bahu Delilah, Ia mau gadis itu membuka matanya dan melihat dirinya, agar tidak terjebak pada masa lalu.
“Tolong!! Tolong! Jangan menyiramku. Bukan aku yang salah! Bukan aku!” lirih Delilah dengan wajah ketakutan, badannya mulai menggigil.
“Please, buka mata! Bine buka mata!! Lihat gue! Lo cukup lihat gue!!” pinta Fabian nelangsa. Ia meraih wajah Delilah, memaksa gadis itu membuka matanya.
Dokter Lusi mendekat, Ia duduk di samping Delilah lalu menggenggam tangan gadis itu yang mulai dingin dan menggosoknya perlahan membuat tangan itu hangat.
Fabian merogoh saku celana dan mengambil ponselnya, Ia menekan panggilan cepat mencoba menghubungi Devan. Setelah menunggu pada deringan ketiga, Devan menyahut dari ujung sana.
“Bang! Bawa baju ganti dan obat Bine. Ini genting! Sekarang! Gue tunggu di Ruang Kesehatan!” Fabian memutus panggilan tanpa menunggu balasan Devan, Ia yakin Devan mengerti perkataannya.
“Bine.. ini Bee, lo gak salah. Please, buka mata lo!” bisik Fabian, Delilah tersentak dan membuka matanya, Ia menatap takut keseluruh ruangan.
“Hei.. hei.. lihat sini! Ini gue Fabian.” Fabian meraih wajah Delilah, mencoba menarik fokus gadis itu. Delilah menatap Fabian dengan napas memburu, kemudian Ia memejamkan mata dan jatuh lemas.
Fabian menghela napas lega. Delilah pingsan kelelahan. Ia menggendong Delilah menuju bangkar dan menidurkan gadis itu di atas sana.
Dokter Lusi mengeluarkan stetoskop dan melakukan pengecekan pada organ vital. Fabian mundur dan menjatuhkan dirinya pada kursi yang ada.
“Tekanan darahnya agak tinggi, dan denyut nadinya lemah. Sebaiknya Ia istirahat yang cukup.” Ujar dokter Lusi menjelaskan. Fabian mengangguk paham dan menggumamkan terimakasih.
“Sejak kapan Ia seperti ini, kalau saya boleh tahu?”tanya dokter Lusi hati-hati.
“8 bulan yang lalu, sahabat saya ini mengalami kejadian yang menyakitkan. Dan sampai sekarang Ia masih trauma dengan kejadian itu.” Balas Fabian, menatap sedih wajah damai Delilah.
“Apa sudah mencoba terapi?”
Fabian mengangguk, “Sudah. Tapi pihak keluarga tidak sanggup melihatnya menangis dan histeris setiap terapi.” Dokter Lusi mengangguk mengerti, Ia pun berlalu dan duduk dimeja kerjanya, dan menulis catatan medis Delilah.
Keenan termenung di depan pintu ruang kesehatan, mencoba mencerna semua ucapan lelaki yang membawa Delilah dan seorang wanita yang Ia duga petugas kesehatan.
"Hal apa yang membuat kamu seperti ini, Delilah?" lirih Keenan.
fresh story, good job author
Comment on chapter Bab 1 : Skyscraper