Ronan mengerutkan keningnya saat melihat Keenan yang terus menatap ke arah kotak kacamata yang kemarin Keenan temukan, sudah 1 jam pelajaran berlangsung dan hampir 30 menit teman sebangkunya sama sekali tidak mengalihkan pandangannya, seakan kotak kacamata itu sangat menarik dibandingkan materi pelakaran yang yang sedang dijelaskan oleh Bu Rahmi selaku guru mata pelajaran Akuntansi di depan kelas.
Ronan memukul punggung Keenan keras hingga menimbulkan suara yang di susul pekikan tertahan Keenan. “Oh masih napak di bumi ternyata, padahal gue berharap lo teriak terus diusir Bu Rahmi deh,” sindir Ronan tanpa rasa bersalah yang dihadiahi lirikan tajan dan desisan kesal Keenan.
“Ken, kita udah kelas 12 loh! Gue tahu lo pinter. Tapi kalau sampe Bu Rahmi tau lo gak perhatiin dia, lewat lo Ken.. lewat!” bisik Ronan.
“Iya.” Balas Keenan kalem. Ronan menganga mendengar suara kalem Keenan yang telah lama menghilang.
“Kok lo serem sih Ken, kenapa tiba-tiba jadi kalem gini.” Keenan hanya memberi senyuman miring mengejek Ronan. Ronan mendengus jengkel, Ia kembali memberi perhatian pada guru yang sedang menjelaskan di depan kelas.
Bel istirahat berbunyi nyaring, anak-anak kelas 12 IPS-1 menghela napas lega dan bersorak tertahan karena akhirnya terlepas dari pelajaran Akuntansi yang menguras otak untuk terus fokus dan teliti dalam mengerjakan soal-soal yang diberikan Bu Rahmi.
Keenan tersenyum lebar berdiri dan merenggangkan otot-ototnya yang terasa kaku, menyambar kotak kacamata yang menjadi pusat perhatiannya sejak kemarin lalu berlalu cepat meninggalkan kelas, Bu Rahmi menggelengkan kepala melihat Keenan yang melengos pergi cepat sedangkan Ronan menatap tidak percaya pada Keenan yang mulai hilang dari pandangannya.
“Baik anak-anak sampai ketemu saat pendalaman materi hari sabtu, selamat istirahat!” Bu Rahmi meninggalkan kelas dan seketika kelas menjadi ramai.
“Tuh anak awas aja ya, gue ditinggalin!” gerutu Ronan sambil keluar kelas berjalan menuju kantin sekolah yang mulai padat.
Keenan berjalan cepat menuju halaman belakang sekolah yang selalu sepi, entah karena di sekolahnya tidak ada siswa nakal yang rajin membolos atau memang tidak ada yang tahu mengenai halaman belakang sekolah ini, halaman ini selalu sepi seakan tidak terjamah. Padahal kalau dilihat halaman belakang sekolah ini cukup nyaman dan sangat asri untuk bermalas-malasan atau mengerjakan tugas dan membaca buku.
Keenan berjalan menuju pohon tempatnya sering duduk malas-malasan di bawahnya, matanya berbinar saat melihat gadis yang kemarin ditemuinya sedang berjalan menelusuri rerumputan seperti mencari sesuatu. “Pasti dia cari ini” gumam Keenan sambil melihat kotak kacamata yang ada di tangan kanannya, senyumnya melebar. Keenan mempercepat langkahnya namun berusaha untuk tidak mengejutkan gadis itu, “Kok gak ada ya, gue yakin banget kok kemarin bawa kacamata ke sini,” gumam Delilah saat tidak menemukan kotak kacamatanya.
“Kamu cari ini?” ujar Keenan sambil mengulurkan kotak kacamata tepat di depan wajah Delilah. Delilah terlonjak kaget hampir memekik kencang, Ia mundur beberapa langkah berusaha membuat jarak dengan Keenan, dan Keenan menyadari hal itu. Lelaki itu tersenyum kecil, “Sorry udah buat kamu terkejut,” ujar Keenan sambil terkekeh kecil. Delilah hanya mengangguk dengan wajah kaku.
“Ini kamu bisa ambil. Kemarin tertinggal, pasti tadi waktu belajar agak susah karena kacamata kamu sama aku, aku mau balikin ini ke kamu tadi pagi tapi aku gak tau di mana kelas kamu, jadi aku coba ke sini, dan ternyata kamu memang sedang mencari ini.” Jelas Keenan lembut, tersenyum tulus.
Delilah mengambil kotak itu dengan gugup, keringat dingin mulai bermunculan di dahinya. “Ini cewek segitu gugupnya ya ketemu sama gue, muka gue tampang penjahat banget apa.” Batin Keenan yang melihat dengan jelas gadis di depannya tidak nyaman dengan kehadirannya.
“Makasih Kak.” Ucap Delilah singkat dengan senyum kaku. Keenan terkesima mendengar suara gadis itu, “Gila dia senyum gitu doang gue udah melting, gimana kalau liat dia senyum lebar.” Pikiran Keenan bersuara
“Sama-sama.” Balas Keenan kalem. Ia berani bertaruh, kalau Ronan dan teman-temannya yang lain melihat dia seperti ini, bisa jadi bahan ejekan satu bulan penuh.
Delilah berbalik dan berjalan meninggalkan Keenan, “Delilah!” seru Keenan memanggil, Delilah menghentikan langkahnya dan terdiam kaku. Keenan berjalan cepat menghampiri Delilah yang diam.
“Benarkan nama kamu Delilah. Kemarin aku dengar ada yang memanggil kamu dengan nama itu.” Ujar Keenan. Delilah menghela napas lega Ia mengira bahwa lelaki yang sepertinya kakak kelasnya itu tidak mencari tahu tentang dirinya.
“Iya Kak.” Jawab Delilah singkat.
“Aku seserem apa sih, kok kamu kayaknya takut gitu?” tanya Keenan to the point.
“Eh?” Delilah kaget mendengar pertanyaan Keenan dan membalikkan badannya menghadap Keenan. “Ma..maaf, saya gak maksud gitu. Sa..saya gak biasa dekat dengan orang baru.” Jawab Delilah tergagap dan merasa tidak enak dengan lelaki yang sudah baik padanya.
Keenan mengangguk memahami, “Oke. Gak papa. Tapi nanti kamu jangan kaget ya.” Balas Keenan.
Delilah mengernyitkan dahi, bingung. “Kenapa?” tanya Delilah.
“Karena, nanti aku akan selalu ada disekitar kamu.” Jawab Keenan spontan dengan wajah polos dan kalem.
“Hah?!” Delilah kaget mendengar jawaban Keenan, wajahnya terasa memanas tanpa pamit Ia langsung berjalan cepat meninggalkan Keenan.
“Sinting kali itu kakak kelas, Ya Tuhan!!” gumam Delilah saat merasa sudah berjalan jauh meninggalkan halaman belakang sekolah.
Sedangkan Keenan tergugu dan menyadari kalau Ia sudah terlalu blak-blakan dengan gadis itu.
“Fix. Gue malu-maluin banget tadi. JAWABAN MACAM APA ITU!!” teriak Keenan menyadari kebodohannya.
Keenan berjalan menuju kantin sambil menggerutu, malu karena sudah berbicara sefrontal itu pada gadis unik yang selalu gugup jika berdekatan dengan dirinya. Belum habis kesal karena kebodohannya, Keenan mendengus sebal saat melihat Claudie sedang berjalan ke arahnya dengan senyum lebar yang semakin memancing kekesalan yang sudah menumpuk di hati Keenan.
“Hai pacar!” sapa Claudie tersenyum manis, Keenan berdecak sebal menatap malas kearah Claudie.
“Gak usah ngaku-ngaku masih jadi pacar gue, kan udah gue putusin kemarin!” balas Keenan dingin dengan suara yang sedikit keras, sengaja untuk memancing reaksi orang-orang disekitarnya, dan berhasil. Meskipun kenyataannya tidak seperti yang diucapkan barusan, namun Keenan ingin membalas rasa kesalnya pada gadis ular di depannya yang membuat Ia dan Tante Rahayu perang dingin.
Kedua tangan Claudie terkepal dengan erat menahan kesal, namun wajahnya masih tersenyum yang sedikit sendu, “Aku tau kok kamu masih marah sama aku, Keen. Tapi kamu jangan suka ngomong gitu deh, Keen. Gak baik sayang,” ujar Claudie lembut.
Keenan memutar bola mata malas, “Udah ah, basi gaya lo. Gak seru!” balas Keenan acuh dan berlalu begitu saja meninggalkan Claudie yang bahkan tidak menoleh lagi kearah Keenan, Ia menatap sekitar dan sangat malu saat hampir seluruh mata menatap kearahnya dengan pandangan iba.
“Keenan, brengsek!! Sialan udah buat gue malu!!” geram Claudie, menahan amarah yang tertahan. Claudie menatap tajam kearah orang-orang yang melihatnya, kemudian berlalu pergi menuju ke gerombolan teman-temannya yang menunggu diujung lorong.
“Gimana Odie? Berhasil kali ini buat Keenan luluh?” tanya Zee, teman Claudie yang memiliki rambut sebahu. Claudie menggelengkan kepala sambil mendengus kesal.
Gea tertawa meremehkan melihat Claudie, “Udah gue tebak sih, Keenan tuh kayak kutub utara, gue sih males banget harus berhadapan sama dia.” Ujar Gea, gadis berambut panjang yang ikal.
“Lo ngapain sih Odie, ngejar-ngejar Keenan? Cuma bikin sakit hati aja.” Kata Zee.
“Dengerin nih ya. Pertama Keenan itu most wanted, cool, dan yang penting dia itu kaya. Perusahaan Papa gue sama keluarga dia kerjasama, dan ini bisa memberikan keuntungan buat perusahaan kami. Tapi dasar si Keenan aja tuh yang keras kepala.” Balas Claudie.
“Tapi nih ya Odie, menurut gue Ronan itu lebih-lebih, yang paling penting dia gak sedingin calon tunangan lo.” Sahut Gea.
“Lo tau kan gimana Papa gue? So, udah tau jawabannya apa?!” Claudie memasang wajah murung. Gea dan Zee mendesah, tentu mereka tahu sekeras apa Ayah Claudie.
“Oke. Mending sekarang kita balik ke kelas aja yuk!” ajak Zee.
Mereka bertiga berlalu meninggalkan lorong yang masih ramai. Ronan keluar dari persembunyiannya, kemudian tersenyum miring dan pergi, berlalu menyusul Keenan yang nampak senewen sejak kembali yang entah kemana lelaki itu pergi.
^^^^^^^^^^^
fresh story, good job author
Comment on chapter Bab 1 : Skyscraper