Seandainya Damar seperti Rama pasti tidak akan ada airmata yang jatuh diwajah Reina. Namun bukankah setiap orang berbeda. Rama bukan Damar dan Damar bukan Rama. Mereka sangat berbeda. Rama adalah mimpi sempurna yang Reina takut untuk wujudkan, Sedangkan Damar adalah mimpi sederhana yang berhasil merasuki hati dan pikirannya. Mungkin terdengar aneh, namun begitulah kenyataannya. Jika menyangkut hati, kita tidak akan berpikir tentang kesempurnaan atau kekurangan. Kita memilih karena yakin, karena percaya dan karena dia unik, berbeda dari yang lain. Seperti itulah Damar.
Damar bukanlah pria yang dikenal Reina sehari atau dua hari. Bukan juga pria yang dia kenal lewat sosia media. Sebab jika demikian pasti Damar tidakkan berhasil masuk ke hatinya. Bahkan pasti takkan ada kisah Reina dan Damar.
***
Reina tengah menyantap makanannya, ditemani hemburan ombak pantai dan pria dingin dihadapannya. Setelah berpisah empat tahun ini pertama kalinya mereka kembali duduk berhadapan, rasanya aneh, canggung. Benar-benar tak bisa digambarkan. Apalagi sembari tadi Rama tidak ada berkata sepatah kapapun. Setelah selesai sholat, ia terus saja mengetik ponselnya. Mengirim pesan entah kepada siapa, membuat Reina kian merasa tak di anggap. Dan sebenarnya menyesal ikut Rama dan ingin pulang saja.
“ Kenapa Rei?” ujar Rama memerhatikan Reina yang diam-diam melihat ke arahnya
“ Engga apa-apa”
“ Kangen?” ujar Rama tanpa berdosa
“ Ram sadar “
“ Sadar kok daritadi” ujar Rama yang membuat Reina hanya mampu melongo
“ Daripada ngeladenin kamu, bagusan aku makan semua makanan ini”
“ Yauda makan semuanya”
“ Kamu? Engga makan?”
“ Aku kenyang ngelihat kamu makan Rei”
Praaakkk !
“ Kan jatuh sendoknya, jangan liatin aku terus mangkaya Rei”
Reina hanya mendesis pelan. Ia menundukkan kepalanya lalu mengambil sendoknya yang jatuh
“ Jangan diambil” ujar Rama mencegah tangan Reina yang sedikit lagi mencapai sendok tersebut
“ Haa kenapa?” ujar Reina bingung
Rama lalu meletakkan sendoknya ke piring Reina, sambil tersenyum merekah “ Pakai punyaku aja, belum dipake kok. Insha allah engga ada virus dan bakterinya. Jangan takut. Beneran belum aku pake” ujar Rama menyakinkan
Reina pun mengangguk dan memegang sendok yang Rama kasih
“ Ram, terus sendoknya yang dibawah?”
Tiba-tiba saja Rama langsung jongkok ke bawah dan mengambil sendok tersebut, “ ini udah aku ambil. Aku kasih ke pelayan dulu biar mereka ganti. Kamu makan aja disini dengan tenang. Aku pergi bentar ya” ujar Rama
Reina pun kembali mengangguk dan mulai memakan makanannya.
“ Rei, jangan kangen” ujar Rama tiba-tiba
“ Haa “ ujar Reina melongon tak percaya
Rama hanya tersenyum dan melangkah pergi meninggalkan Reina. Gadis itu sendiri seolah tak mau pusing memikirkan perkataan Rama dan memakan makanannya dengan tenang. Semua menu yang ada di atas meja ia cicipi. Syukurnya saat itu Rama tidak ada sehingga Reina tidak perlu malu memakan makanan itu dengan gayanya yang asal. Kalau ada Rama pasti dia akan marah dan mengeluarkan buku tata cara makan seorang wanita yang benar.
“ Rei lo harus tanya gimana cara buat makanan ini sama ibu itu. Manatau entar di Medan lo bisa buat kafe online dan jual ini ” batin Reina
Rama sudah kembali, ia lalu duduk dan mulai menyantap makanan yang masih ada di atas meja. Reina sudah menghabiskan setengah makanannya. Rama menggaruk kepalanya yang tak gatal dan hanya mampu tersenyum melihat sikap Reina yang seolah-seolah tak memerhatikan kedatangannya.
“ Sekarang kamu jago makan ya Rei” ujar Rama
“ Engga kok “
“ Iya engga”
“ Rei”
“ Iyaa”
“ Kamu ngambil makanan ini semua pakai sendok kan?” ujar Rama lagi
“ Ya iyalah”
“ Alhamdulillah kirain kamu comotin satu-satu pake tangan”
“ Engga Ram. Enggak “ ujar Reina menghentikan makannya
“ Kamu marah?”
“ Enggak”
“ Masa”
“ Hmm”
“ Rei bilang A”
“ Buat apa?”
“ Kalau memang engga marah bilang A”
“ A…. “ dengan sigap Rama langsung menyuapkan makanan ke mulut Reina.
“ Kamu ngerjain aku ya Ram?”
“ Hust jangan banyak ngomong Rei, pantang. Habisin dulu baru ngomong” ujar Rama
Reina pun diam dan menguyah makanan dimulutnya sebanyak 20 kali. Maaf Reina enggak kuat kalau harus nguyah 32 kali. Setelah menelan makananya Reina kembali menatap kearah Rama.
“ Kenapa? Kangen lagi?” ujar Rama
“ Engga kok “ ujar Reina menelan ludahnya
Rama kembali makan, begitu juga dengan Reina. Tak beberapa lama semua makanan di atas meja mereka pun habis tanpa sisa.
.
“Alhamdulillah “ ujar keduanya bersamaan
“ Enak ya Ram makanannya?”
“ Lebih enak kalau kamu yang masakin aku”
“ Nanti deh kapan-kapan”
“ Kapan? “
“ Ya kapan-kapan”
“ Kalau aku kapan-kapan kalo si itu cepat cepat dibuatin “ ujar Rama pelan
“ Si itu siapa?”
“ Engga, bukan siapa-siapa” ujar Rama. Rama tidak mengerti mengapa tiba-tiba ia menyangkutkan Damar dalam sorenya dengan Reina. Sejujurnya Rama justru ingin menjauhkan Reina dari Damar, sejauh-jauhnya. Hingga Reina tidak akan pernah memikirkannya walaupun hanya sekejap. Setidaknya dengan begitu, maka hujan tidak akan singgah di wajah Reina. Namun, Rama justru tanpa sengaja menggali kenangan Reina tentang Damar sore ini. Membuat Reina berhenti menegak teh di tangannya.
Reina memandang lurus ke depan pantai. Pikirannya terbang jauh, menyelusuri setiap air-air tenang yang diikuti deburan ombak. Langit biru yang dihiasi ratusan burung menerbangkan pikirannya kepada sebuah nama yang ingin ia lupakan namun belum berhasil. Bahkan setelah meninggalkan kota itu, tetap saja melupakan tak pernah sesederhana yang ia bayangkan. Tidak seperti tulisan-tulisan di novel ataupun quotes yang sering ia baca di instagram.
“ Ram, kira-kira Damar lagi apa ya sekarang? Dia udah dapat pekerjaan belum? “ ujar Reina tanpa sadar
Mendengar itu, Rama seketika menatap dalam-dalam ke mata Reina. Ia kemudian menarik nafas, dan menyandarkan tubuhnya ke bangku. “ Aku engga tahu Rei, aku kan engga kenal Damar. Mungkin dia lagi nonton tivi atau jalan-jalan ke mall. Semoga Dia udah dapat pekerjaan yang bagus ya” Ujar Rama
“ Damar engga suka nonton tivi Ram. Dia sukanya nonton film barat di bioskop, sendiri pun jadi. Iya semoga Dia uda dapat pekerjaan ya. “
“ Seriusan sendiri?”
“ Iyaa”
Sejujurnya batin Rama ingin menjerit setiap kali mendengar Reina menyebut nama Damar. Apalagi Rama mampu melihat setiap ketulusan dalam suara Reina. Sebelumnya , Rama tidak pernah melihat Reina seperti ini, begitu tulus. Siapa Damar? Pertanyaan itu tiba-tiba saja terbesit dalam benaknya. Membuat Rama semakin penasaran dengan sosok seorang Damar, pria yang berhasil mengisi ruang dihati Reina.
“ Kamu kenal Damar dimana Rei, kalau aku boleh tau?” ujar Rama ragu
“ Damar itu teman kuliah aku Ram. Kami satu kampus, satu jurusan. Lebih tepatnya lagi kami satu kelas “ ujar Reina
“ Jadi kalian satu kelas? “ujar Rama tak percaya dengan pengakuan Reina
“ Iya Ram” ujar Reina jujur
“ Ceritain aku tentang sosok Damar Rei?” tanya Rama sembari menguatkan hatinya
“ Damar adalah seorang pria yang baik dan sangat manis. Hanya saja karena dimasa kecil ia pernah mengalami masa sulit ketika ayahnya menikah lagi dengan wanita lain membuatnya menjadi seseorang yang egois dan tidak peduli dengan orang lain. Tapi sebenarnya dia baik dan penyanyang, apalagi kepada Ibu dan adik perempuannya. Aku bisa melihat itu dalam sorotan matanya setiap kali ia menceritakan tentang dua wanita itu. Ram, aku engga tahu harus gimana ceritain kamu tentang Damar. Aku hanya bisa bilang jika dia adalah pria dengan wajah mungil, rahang naik, kumis tipis dan sangat manis. “ ujar Reina yang tanpa sadar membiarkan wajah Damar tercipta di benaknya
Reina kemudian memalingkan wajahnya dari pantai dan melihat ke arah Rama “ Jangan pernah lakuin apa yang pernah Damar lakuin ke aku ya Ram. Aku engga mau kehilangan sahabat sebaik kamu” ujar Reina
Rama tersenyum dan mengeluarkan sebungkus tisu dari saku kemejanya. “ Hapus ini airmata kamu, Aku engga suka ada yang nangis saat sama ku.”
“ Kamu apa-apaan sih, siapa yang nangis? “ ujar Reina menyeka airmatanya yang sudah diujung
“ Kamulah Rei”
“ Engga kok”
“ Iya enggak, yaudah aku balik badan nih biar kamu bisa hapus airmata kamu tanpa malu” ujar Rama. Ia lalu membalik badannya dan Reina langsung menghapus airmatanya dengan cepat setelah itu Reina merapikan jilbabnya dan mengambil tasnya. “ Ram udah dihapus” ujarnya
Rama membalik badannya dan memerhatikan mata Reina yang telah bersih dari airmata. “ Anak pintar, gitu dong harus dengerin pak dokternya. Jangan nakal-nakal”
“ Pergi darisini yok” ujar Reina berdiri dari bangkunya
“ Yaudah yok” ujar Rama
***
Reina telah sampai di rumah, setelah berdebat panjang dimobil dengan Rama. Akhirnya ia berhasil menjadi pemenang dan membuat Rama tidak mampu berkutip sepatah katapun. Ia bahkan berhasil memfoto wajah Rama yang kalah dari dirinya tadi. Kini, Reina tengah menatap foto itu dilayar ponselnya.
“ Drdtt Drdttt Drdttt “ Ponsel Reina berdering
“ Assalamualaikum” ujar Reina mengangkat ponselnya
“ Waalakaikumsalam” jawab seseorang dari ujung sana
“ Ada apa Ram, ada yang ketinggalan?”
“ Hmm, ada”
“ Apaa?”
“ Kamu”
“ Serius, aku tutup ini ya”
“ Aku serius Rei. Aku tebak pasti kamu sekarang lagi ngelihatin foto aku kan”
“ Apaan sih” ujar Reina mengelak
“ Jangan bohong” ujar Rama
“ Kamu engga ada pasien mangkaya bisa nelpon aku?”
“ Ada kok, yaudah aku tutup. Rawat pasien-pasien kamu. Jadilah dokter yang baik “
“ Iya, aku tutup ya Rei. Jangan marah. Jangan lupa sholat, udah adzan ashar nih.
Assalamualaikum “ ujar Rama mematikan ponselnya
Reina hanya mematung mendengar perkataan Rama. Ia mengotak-atik otaknya.
“Jadi Rama nelpon untuk ingetin aku sholat” batinnya.
Sebuah senyum tiba-tiba saja muncul di bibir kecilnya yang merah. Ia lalu bangkit dari dipan dan berlari menuju kamar mandi untuk mengambil wudhu.
***
Dirumah sakit , Rama baru saja selesai sholat dengan Nugraha. Wajahnya yang sudah cakep maksimal kini terlihat makin capek karena terkena air wudhu. Nugraha menggaruk-garuk kepalanya yang tak gantal
“ Bagi-bagi kenapa sih Ram”
“ Apanya?”
“ Cakepnya”
“ Operasi gih, ntar aku yang jadi dokternya” ujar Rama ngasal
“ Jangan-jangan kamu cakep karena operasi” ujar Nugraha tanpa berdosa
“ Kalo iri jangan sampai nyebar fitnah Nug. Dosanya besar. Gue udah cakep dari
lahir”
“ Cakep tapi kok engga punya cewek selama dua puluh tiga tahun”
“ Hmm, gue nyarik yang pas buat dihalalin. Langsung jadi isteri” ujar Rama yang membuat wanita-wanita yang lewat dihadapan mereka langsung senyum sumringan.
“ Kayak gitu kalo cari suami” ujar Wanita-wanita tersebut
Nugraha menelan ludah medengar ucapan sahabatnya tersebut. Nug lalu menyentuh layar diponselnya dan memberikannya kepada Rama
“ Nih “ ujar Nugraha
“ Buat apa? Ponsel gue masih bagus dan lebih mahal” ujar Rama menunjukkan ponselnya, sebuah ponsel keluran terbaru
“ Kasih gue nomor Reina”
“ Buat apa?” ujar Rama tak ramah
Nugraha hanya senyum dan menepuk pundak Rama beberapa kali. Ia lalu berbisik ke telinga Rama dengan suara yang cukup besar, “ Mau nanya dia udah punya pacar belum? Kalo belum gue mau daftar”
Seketika Rama langsung menurunkan tangan Nugraha dari pundaknya dan berjalan menjauh meninggalkannya. Nugraha pun berlari mengejar Rama. Ia masih belum puas menggoda sahabatnya itu. Untuk pertama kalinya, Nugraha melihat sosok Rama yang cemburuan seperti ini. Biasanya dia selalu acuh, bahkan dideketin sama Siti, dokter koas yang kulitnya putih dan cantik pun ia engga pernah peduli.
“ Lo mau kemana Ram?” ujar Nugraha yang telah berjalan disampingnya
“ Mau periksa pasien” ujar Rama
“ Kasih nomor Reina dulu”
Rama menghentikan kakinya, menatap Nugraha cukup lama. Pandangannya jelas menunjukkan tak suka.
“ Ram minta nomor Reina “ ujar Nugraha lagi
“ Mana ponsel lo?” ujar Rama
Nugraha pun memberikan ponselnya. Rama segera meraihnya dan menekan beberapa nomor disana.
“ Nah , jangan ganggu gue” ujar Rama berlalu
“ Lo beneran ngasih nomor Reina ke gue ? Lo engga takut cinta pertama lo itu gue
ambil ? Ram, jangan nyesel ya. Jangan nangis” teriak Nugraha yang hanya mampu melihat pundak Rama dari belakang
Nugraha lalu melihat ke ponselnya, deretan angka yang berjumlah dua belas terlihat jelas disana. Nugaraha yang tak mampu menyembunyikan kebahagiannya pun langsung menghubungi nomor tersebut.
***
Reina tengah merapikan mukenahnya. Menggantungnya di hanger lalu meletakannya kembali di balik pintu. Ia kemudian berjalan menuju teras kamarnya. Saat itu langit biru begitu cerah. Udaranya pun sejuk, mungkin karena disini masih banyak pepohonan rindang. Selama di Jogja Reina tinggal dengan adik dosennya saat sarjana dulu. Adik dosennya begitu baik hingga Reina tidak pernah kekurangan apapun selama disini. Sebaliknya Reina justru sudah dianggap seperti saudara mereka sendiri.
Ponsel Reina bergetar dengan keras.
“ Nomor siapa ini?’” ujar Reina sambil merapikan jilbab dikepalanya
“ Halo Assalamualaikum “ sahut Reina kepada orang yang nelpon
“ Waalaikumsalam,ini nomor Reina bukan?” ujar pria diujung telepon tersebut
“ Iya, ini siapa?”
“ Sial, Rama beneran ngasih nomor Reina ke gue. Itu orang memang udah engga suka atau apa?” ujar pria tersebut pelan
“ Kamu bilang apa?” ujar Reina
“ Rei ini aku Nugraha” ujar Nugraha
“ Nugraha?”
“ Iya teman Rama, yang kemarin jumpa di masjid rumah sakit “ jelas Nugraha
“ Oiya Reina ingat. Ada apa Nug ? Rama engga apa-apa kan?”
Tut… Tut… Tut telepon terputus
Nugraha menatap ponselnya yang mati. Dalam hati ia ingin sekali mengutuk benda persegi panjang ditangannya itu. Seandainya saja uangnya banyak pasti Nugraha sudah membeli ponsel baru dan meninggalkan ponsel ditangannya ini. Namun apalah daya, uang jajannya kini terus mengalami penyusutan sejak IPK ya turun, yang membuat Nugraha hanya mampu menahan diri dari segala godaan duniawi.
Ditempat lain Reina justru bingung melihat teleponnya yang tiba-tiba terputus. Reina pun merasa kuatir, takut jika sesuatu terjadi kepada Rama. Meski ia sendiri tahu jika Rama bukanlah pria ceroboh. Rama selalu mengerjakan setiap hal dengan teliti. Namun tetap saja, ia merasa sangat cemas saat ini. Manatau setelah pisah empat tahun setiap hal berubah
Drdttt… Drdtttt… Drdtttt… (ponsel Rama berdering)
“ Assalamualaikum Ram” ujar Reina dari ujung telepon
“ Jangan banyak pikiran ya bu. Ibu pasti sembuh, yang penting minum obatnya yang
teratur. Jangan banyak pikiran ya” ujar Rama dengan lembut kepada pasiennya
Reina yang tanpa sengaja mendengar itu pun seketika tersenyum sumringah. Ia tidak tahu jika Rama, pria dingin yang lebih dingin dari es batu itu bisa selembut dan sehangat itu kepada pasein.
“ Walaikumsalam Rei, ada apa?” ujar Rama yang kini sudah keluar dari kamar pasiennya
“ Kamu sehat-sehat aja kan Ram?” tanya Reina tanpa berpikir panjang
“ Haa?” ujar Rama bingung
Reina langsung menutup mulutnya. Ia merasa sangat malu. Apa yang sudah ia tanyakan, jelas-jelas tadi dia dengar Rama berbicara dengan pasiennya. Berarti Rama sehat dong. Berarti dia engga apa-apa dong. Terus kenapa Nugaraha nelpon dirinya” kalimat tersebut beruntun muncul di benaknya
“ Rei” ujar Rama yang masih bingung
“ Tadi Nugraha nelpon. Kirain Rama kenapa-kenapa. Soalnya kan engga biasanya Nugraha nelpon. “ ujar Reina jujur
“ Hahaa” tawa Rama
“ Kok Rama ketawa?”
“ Nugraha bilang apa memang ?”
“ Engga ada. Tiba-tiba saja panggilannya terputus” ujar Reina dengan polosnya
“ Oh, baguslah. Aku engga akan apa-apa, selama kamu baik-baik aja disana. Yaudah
aku tutup dulu ya. Assalamualaikum “
“ Iyaa Ram, waalaikumsalam “ ujar Reina lega
***
Nugraha tengah mencharge handphonenya, berharap baterainya akan segera penuh dan dia bisa kembali menghubungi Reina. Entah kenapa semenjak pertemuan kemarin di Masjid, Nugraha tidak bisa menghilangankan Reina dari benaknya. Wajah Reina yang putih dengan senyum dibibir merahnya masih terngenang cukup jelas dalam benaknya. Apalagi Rama sepertinya sudah tidak memiliki perasaan apapun dengan Reina. Sehingga Nugraha bisa berjalan lancar mendekati Reina tanpa halangan.
“ Woy “ teriak Rama yang tiba-tiba muncul dari balik pintu
“ Lo ngapain kesini?”
“ Harusnya gue yang bilang, ngapain lo disini. Pasien banyak dan lo malah berdiri santai “ ujar Rama
“ Berdiri santai? Gue lagi ngecharge handphone.” Ujar Nugraha kesal
“ Makasiya “ ujar Rama tersenyun
“ Buat apa?”
“ Karena lo udah buat gue ngerain gimana di kuatiran sama Reina setelah sekian
lama. Makasiya. Gue pamit dulu, banyak pasien” ujar Rama yang berlalu meninggalkan Nugraha
Nugraha menelan ludahnya. Ia merasa hatinya telah hancur tanpa sisa. Ia tidak menyangka jika perkataan Rama akan membuatnya sepatah hati ini. Ia mengelus dadanya berulang-ulang. Merasakan setia keping-keping luka yang telah ditimbulkan sahabatnya tersebut. “ Apa hati ini aku jual saja di tokopedia?” pikir Nugraha ngaco.