“ Udah ah Ram, aku capek lari-lari ngejar kamu”
“ Baru juga sekali ngejar aku udah capek, gimana aku yang bertahun-tahun ngejar kamu Rei” ujar Rama
Keduanya lalu duduk di sebuah bangku panjang yang terdapat di taman rumah sakit. Ditemani semilir angin sore yang berlalu lalang. Rama menatap Reina yang tengah terdiam cukup lama di bangku tersebut. Dilihatnya wajah yang penuh ceria itu dengan seksama. Rasanya sudah lama sekali, Rama tidak melihat wajah itu. Melihat senyum dan tawa yang dulu tak pernah lepas dari wajah Reina. Mendengarkan cerita demi cerita yang dulu selalu keluar tanpa henti dari bibir Reina. Bahkan menyaksikan sikap kekanak-kanakkan Reina yang selalu membuat Rama kualahan.
Terakhir kali mereka berjumpa, Rama justru harus menatap airmata yang turun tanpa henti di wajah Reina. Mendengarkannya menyebut nama orang lain, seseorang yang berhasil mengisi ruang hatinya. Dia yang mampu membuat Reinanya menangis dan merasakan “patah hati”
“Kamu tau Re, bagiku cukup melihat kamu bahagia dan tersenyum maka hariku akan sempurna. Seandainya kamu tahu itu. Seandainya aku punya ruang yang berarti seperti Dia di hatimu. Seandainya waktu dan jarak tak pernah memisahkan kita. Maka mungkin hanya aku yang ada dihatimu, bukan Dia” Batin Rama
Tiba-tiba seorang pelayan menghampiri mereka, “Dokter Rama” ujarnya. Rama menoleh begitu juga Reina. “Ini pesanannya” ujarnya lagi sambil memberikan pesanan. Rama pun mengambil pesanan tersebut. “Terimakasih” ujar Rama. Pelayan tersebut lalu tersenyum dan pergi meninggalkan mereka. Reina menatap pesanan yang kini tengah ada di pangkuan Rama. Matanya terbelalak tak percaya, dingatnya berulang-ulang pesanan yang tadi dia pesan. “Seharusnya tidak sebanyak ini yang datang” batinnya
“ Dia engga salah kasih pesanan Ram?”
“ Engga kok”
“ Makan nih” ujar Rama menyodorkan sebuah burger ke tangan Reina
“ Aku gak pesan ini”
“ Tapi kamu suka ini kan, aku ingat dulu pas SMA kamu selalu pesan ini. Semoga setelah pisah 4 tahun kesukaan kamu engga berubah ya Re. Biar aku engga perlu berjuang terlalu keras “
“ Masih sama kok” ujar Reina tersenyum
*****
Masa putih abu-abu adalah masa yang paling indah. Persahabatan, cinta, perjuangan, semua akan ditemukan dimasa ini. Begitupula dengan Rama. Ia tidak tahu sejak kapan Reina menempati hatinya. Anak perempuan yang dulu rambutnya selalu dikucir satu ini seolah tidak pernah berhenti menganggu dan merepotkan dirinya. Reina terlalu cerewet, terlalu suka berbicara, terlalu suka tertawa, terlalu manja. Namun semua sifat-sifat buruk Reina di masa itu justru adalah sesuatu yang berhasil menghiasi hari-hari Rama. Membuat masa abu-abunya menjadi penuh warna dan tantangan.
Pelajaran kimia baru saja dimulai, Rama yang biasanya duduk di bangku paling belakang kali ini justru tengah duduk dibangku nomor dua bersama Reina. Kebetulan pada hari itu, Angel teman sebangku Reina tidak masuk sekolah karena sakit. Sesekali keduanya tertawa pelan lalu menulis beberapa kata dibelakang buku polio mereka dan kembali tertawa.
“ Kamu pindah kesini, aku jadi malas belajar kan Ram”
“ Jelas jelas yang mulai duluan itu kamu Rei”
“ Udah ah, aku mau belajar. Biar pande”
“ Oke, aku diam. Selamat belajar”
“ Hmm, iya”
Keduanya pun mendengarkan penjelasan guru. Rama mulai memasang wajah seriusnya. Mendengarkan setiap penjelasan guru di depan dan menuliskannya ke buku. Begitu juga Reina. Meskipun tidak mengerti, ia tetap mencatat semua yang dijelaska guru di bukunya. Setidaknya saat ujian nanti ada yang bisa dibacanya.Reina memang tidak begitu menyukai kimia. Menurutnya kimia adalah pelajaran tersulit. Selain karena unsur-unsur kimia nya yang sangat banyak (bisa lihat di sistem periodic unsur) juga karena perhitungannya yang rumit. Meskipun begitu nilai ulangan kimia nya selalu dapat angka 80. Bebeda dengan Rama, yang seolah telah diciptakan dengan kepintaran luar biasa. Ia bisa semua mata pelajaran fisika, kimia, matematika semua soalnya dapat ia taklukan. Reina sendiri tidak mengerti makanan apa yang telah membuatnya sepintar itu.
“ Ram, kamu dulu pas kecil makan apa?” ujar Reina pelan
“ Makan nasi lah Rei, jadi makan apa? “
“ Nasi putih? Lauknya apa? “
“ Yaiyalah nasi putih, pake ikan. Ngapain sih kamu nanyak begituan? Mau masakin aku makanan. “
“ Terus kok bisa pintar? Kamu ada minum obat pintar ya?”
“ Entah engga tahu, takdir kali. Soalnya pas di dalam perut, aku suka minta ke Allah agar diberikan kepintaran “ ujar Rama sambil menahan tawanya
“ Di dalam perut, kamu berdoa? Kok bisa”
“ Bisalah, kamu pasti di dalam perut tidur aja kan. Yauda sekarang kamu kan udah keluar dari perut. Jadi sekarang berdoa ya biar pintar. Wajib rajin belajar juga” ujar Rama menahan tawanya yang sudah diujung
Reina hanya diam, dan kembali memikirkan perkataan Rama. Di dalam perut bisa berdoa? Kok Aku baru dengar. Gimana cara berdoa ya? Kan masih kecil. Terus apa semua anak yang pintar itu karena mereka berdoa pas di dalam perut ya? pertanyaan-pertanyaan itu terus berlalu lalang dalam benak Reina.
Pelajaran kimia masih terus berlanjut. Papan tulis yang semula putih bersih kini telah di penuhi dengan unsur-unsur kimia, seperti: CaCl (calcium clorida), H20 (air), Be (OH)2 (berilium dioksida) dan sebagainya. Siang itu jam menunjukkan pukul 12 lewat 10 menit, jam dimana orang-orang tengah malas-malasnya. Termasuk juga Reina, yang daritadi bersikap seperti cacing kepanasan. Entah apa saja yang dikerjakannya, dari membolak-balik lembaran bukunya, memainkan pensil mekaniknya bahkan menghembus poni di rambutnya. Namun semakin lama justru kebosanannya kian menjadi-jadi. Ia lalu melirik ke samping, dilihatnya Rama yang tengah duduk dengan tenang mendengarkan penjelasan guru dan mencatat beberapa tulisan di buku polionya. Reina kemudian membaca tulisan-tulisan tersebut dan menulisnya ulang ke buku miliknya.
“ Kamu ngapain Rei? Nyontek ya? Aku aduhin sama pak guru ya” ujar Rama seketika
Reina yang kala itu kaget pun, langsung menjatuhkan pena nya dan mencubit tangan Rama
“ Ini bukan ujian jadi gimana bisa disebut menyontek” ujar Reina kesal
“ Pokoknya menurutku itu namamnya mencontek “
“ Bodo amat” ujar Reina yang kembali menulis ke bukunya
Rama yang kala itu tidak mau berdebat pun hanya diam dan kembali memerhatikan penjelasan guru. Reina masih terus menyalin tulisan di buku Rama ke bukunya. Hingga akhirnya matanya tiba-tiba mengarah ke wajah Rama. Dilihatnya wajah yang cerah dan bersih itu. Saat SMA dulu, Rama belum memiliki berowok di wajahnya. Tidak seperti sekarang.
“ Kamu sekarang ngapain lagi sih Rei? “
“ Engga ada kok, uda kamu lihat ke depan aja” ujar Reina
“ Tadi katanya mau belajar, sekarang main-main”
“ Aku engga lagi main-main Ram, beneran. Cuman lagi gambar wajah kamu aja nih” ujar Reina sambil melengkungkan senyum terbaiknya
“ Belajar gih, ntar kalau ujian engga bisa baru deh nyesal”
“ Kan ada kamu Ram, nyontek lah”
“ Aku duduk di belakang, kamu lihat disamping pria perfeksionis itu” ujar Rama menunjuk bangkunya yang tengah kosong, disamping seorang pria yang berbadan cukup besar dengan wajah muram
“ Ngelihat nando buat aku ngantuk “ujar Reina
“ Engga pernah semangat wajahnya kan” Sahut Rama
“ Banyak beban hidupnya. Seperti bilangan oksidasi”
“ Lelah dia harus menghafal periodic unsur”
“ Begadang dia, anaknya nangis tadi malam”
“ Anak apaan? Nikah aja belum dia. Yang ada nonton bola dia itu”
“ Kan ecek-eceknya”
“ Udah belajar lagi kita yok”
“ Iyaa “ ujar Reina
***
Reina masih memakan lahap burger ditangannya. Rasanya begitu bahagia ketika melihat Reina makan burger tersebut. Rama mampu melihat wajahnya dengan sempurna kini. Seorang Reina yang cantik apa adanya, yang makan tinggal makan, tidak ribet minta garpu, sendok, pisau atau semacamnya. Reina sudah berubah. Reina yang sekarang bukan lagi Reina yang tujuh tahun lalu dikenal Rama, anak perempuan manja yang tidak bisa melakukan apa apa sendiri. Sekarang Reina benar-benar lebih dewasa, entah itu dari segi pemikiran maupun sikap.
“Waktu benar-benar telah berubah dan semoga aku masih memiliki waktu untuk bisa menetap dihatimu dan membuatmu melupakan Dia, seutuhnya. Jika tidak bisa, tak apa. Asalkan bersama denganmu, maka aku rela menjadi pilihan kedua. Yang penting bisa terus mendengar tawamu dan melihat wajahmu yang memerah setiap kali tersipu malu” batin Rama
“ Enak engga burgernya?” ujar Rama yang masih memerhatikan Reina makan dengan lahapnya
“ Enak banget Ram” ujar Reina setelah berhasil menelan makanannya tersebut
“ Kalau udah habis, makan yang ini juga” ujar Rama menyodorkan beberapa makanan ke pangkuan Reina
“ Kamu mau buat aku gemuk Ram. Entar aku pulang dari jogja bisa macam boboho”
“ Biar aja kan lucu”
“ Tapi aku kan Rapunzel enggak boleh gemuk, mana ada princess yang gemuk”
“ Ada, kamu”
“ Aku engga mau temenan sama kamu lagi”
“ Yah engga apa-apa sih kalo enggak mau, palingan enggak akan aku temenin buat daftar ujian di kampus “
“ Aku berani kok sendiri” ujar Reina kesal
Reina lalu mengubah posisi duduknya, membelakangi Rama. Dengan wajah yang kesal, Reina memakan satu per satu makanan di pangkuannya. Hingga tanpa sadar, semuanya habis hanya dalam beberapa menit. Melihat itu Rama segera menyabitkan senyum di bibirnya dan kembali menggoda Reina
“ Ternyata benar ya kata orang, kalo lagi kesal pasti lapar. Ini buktinya“
“Aku mau pulang aja” ujar Reina setelah selesai melahap habis semua makanan di tangannya
“ smp banget sih Rei, siap makan pulang”
“ Biar”
“ Nanti aku antar, tunggu urusanku di rumah sakit siap dulu. Mau ya”
“ Males. Aku berani kok pulang sendiri”
“ Iya tahu kalo kamu berani pulang sendiri, kamu kan udah besar sekarang bukan anak-anak sma lagi. Tapi aku pingin antar kamu “
“ Supaya apa?”
“ Supaya bisa terus gangguin kamu dan buat wajah kamu berwarna. Sesuatu yang engga pernah bisa aku lakukan selama empat tahun belakangan ini. Aku ingin menembus itu sekarang.”
“ Gombalan kayak gitu udah enggak mempan Ram”
“ Aku engga lagi gombal Rei, daripada gombal aku lebih suka menyebut namamu kepada Tuhan diantara sujud ku”
Reina terdiam, matanya berkaca-kaca. Ia tidak tahu pria macam apa yang ada dihadapannya ini. Rama terlalu sempurna, terlalu baik. Selain kelak ia akan menjadi seorang dokter. Rama juga adalah pria yang masuk dalam kategori cakep maksimal. Wajahnya seperti orang arab, hidungnya mancung, di sepanjang dagunya terdapat bulu-bulu halus, kacamata diwajahnya menunjukkan jika ia adalah seorang pria yang berilmu, senyumnya yang manis membuat siapapun akan langsung terpesona di pandangan pertama. Rama bisa mendapatkan wanita manapun untuk menjadi teman hidupnya. Tidak harus Reina. Reina memiliki banyak kekurangan. Dia juga bukan seorang dokter dan takkan pernah menjadi dokter.
“ Semesta seandainya waktu dan jarak tak pernah memisahkan mereka. Mungkin Reina tidak akan terluka karena “cinta”. Tidak akan merasakan bagaimana “patah”. Namun semesta terlalu senang bermain dengannya. Contohnya saja dengan menghadirkan Damar saat ia terpisah dari Rama. Menjadikan Damar sebagai sahabatnya lalu pelan-pelan membuka hatinya. Dan setelah Reina percaya, Damar malah pergi dan mematahkan hatinya sejadi-jadinya. “