Bagian Satu
Setelah menyelesaikan urusan dengan si bandit berotot, aku berjalan
mendekati kedua korban. Pasti mereka sangat takut, aku tidak terkejut jika mereka sampai mendapat trauma tapi kuharap itu tidak akan mempengaruhi kehidupannya.
"Apa kalian baik-baik?"
"I-Ibuku, tolong selamatkan ibuku."
Yah, itu reaksi yang wajar jika gadis ini panik. Wanita paruh baya yang mungkin orang tua gadis ini tak sadarkan diri setelah menerima begitu banyak pukulan.
Aku berjongkok dan memeriksanya. Ada beberapa luka, tapi untunglah itu tidak serius. Denyut nadinya sedikit kencang, tapi itu bukan masalah.
"Dia tidak apa-apa."
"Benarkah?"
"Ya, dia hanya pingsan karena syok. Sebentar lagi pasti siuman."
Wajah gadis itu mulai berseri, seakan terlepas dari rantai keputusasaan.
Aku mengambil beberapa perban yang kubawa dari desa, setelah lukanya kubersihkan aku membalutnya. Tapi, sebenarnya mereka dari mana. Kenapa mereka repot-repot mengambil jalan yang berbahaya dengan membawa kereta kuda. Hmm ... aroma ini, kalau tidak salah ....
"Jalanan disini berbahaya dan tidak bagus untuk kereta pengangkut barang lewat sini. Setelah ibumu siuman, sebaiknya kalian putar balik dan mengambil jalur jalan utama. Itu lebih aman."
"Tidak, itu ... ada alasan khusus untuk ini."
"Dengan persiapan yang kurang dan hanya mengandalkan keberuntungan. Itu tidak berguna, kalian akan mati."
Aku mengatakannya, lagi pula semua itu bukan urusanku. Hanya saja, karena aku telah menyelamatkan mereka, aku tidak bisa membiarkan mereka mati setelah aku bersusah payah dengan membunuh para bandit itu bukan.
Tunggu, kau bilang aku hanya tak mau bicara terus terang? Jangan bodoh!
Gadis itu menunduk dan tampak kesal dengan perkataanku. Kau boleh kesal, tidak apa-apa, itu terlihat jelas dari ekspresi wajah yang kau buat. Ah ... aku bisa dengan mudah menebak karakter gadis ini. Orang keras kepala dan tidak suka menerima kritik.
"Jadi, alasan khusus apa?"
"Kalau itu ...."
Sebenarnya aku sudah tahu alasan kenapa mereka lewat jalan pintas ini. Aku menyadarinya, meski tidak tahu detilnya, tapi aku tahu garis besar alasan mereka.
Aroma yang kucium tadi berasal dari gerobak mereka dan aku juga mencium aroma yang sama pada pakaian mereka. Itu tidak salah lagi.
"Tanaman obat, benarkan?"
"He ... Kenapa kau bisa tahu."
Sudah kuduga, jangan meremehkan penciuman hunter.
Harga tanaman obat sangat mahal, bahkan ketika sebuah kota perdagangan seperti Levida memiliki banyak stok. Memang harga setiap toko berbeda, namun tidak terlalu jauh. Tapi pajak yang harus dibayar tetaplah sama.
Itu semua adalah peraturan dari bangsawan pemilik daerah Levida. Setiap pintu masuk kota terdapat prajurit penjaga dan setiap pedagang yang masuk akan dikenakan biaya tergantung jenis dan seberapa banyak barang bawaan mereka. Tanaman obat memiliki biaya masuk yang tinggi.
"Kau benar, tapi bukan itu saja alasan ...."
"Baiklah, sudah selesai."
"He, ah terimakasih."
Aku tak tahu kenapa mereka susah-susah memilih jalur yang memutar dan berbahaya hanya untuk diserang perampok. Masalah tanaman obat, jika mereka ingin menghindari pembayaran pajak bukannya masalah yang harus mereka hadapi ada di gerbang masuk kota? Menggunakan jalur utama tidak akan masalah. Tapi, itu bukan masalahku sih.
Aku selesai membalut semua luka ibunya, mungkin sebentar lagi dia akan siuman. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan kecuali keadaan mentalnya. Dari pada itu, aku harus segera pergi.
"Kau tidak perlu khawatir, ibumu akan segera siuman. Karena aku ada urusan, aku akan pergi dahulu."
Aku tidak ingin sampai tersusul oleh pengejarku. Jadi aku berdiri dan hendak menaiki kuda sebelum tanganku merasakan suatu sentuhan. Gadis itu menggenggam tanganku begitu kuat.
"Tu-Tunggu, apa aku boleh tahu namamu? Akan tidak sopan jika aku tidak berterimakasih dengan benar. Aku Elise."
Gadis itu berkata dengan gugup dan wajahnya merona merah.
Aku tahu, aku tahu itu. Aku bukan tipe pria bermuka tebal atau tidak peka. Aku sepenuhnya paham tapi aku memutuskan untuk tidak menyadari.
Aku dapat memakluminya, setelah dia aku selamatkan dari keadaan seperti itu. Aku layaknya seorang pahlawan baginya 'kan. Banyak kisah cinta seperti itu didunia ini, tapi alasanku menyelamatkanya bukan karena hal seperti itu, sungguh.
Yah ... sebenarnya aku secara pribadi tidak akan menolak, dia punya wajah yang manis, peduli terhadap keluarga dan sopan. Meski dia keras kepala itu bukan masalah, tidak ... apa yang kupikirkan, aku harus segera pergi.
"Cazador."
Aku jawab singkat.
"Terimaksih atas pertolonganmu, Cazador."
Woi woi woi, apa-apaan itu tadi. Apa itu sebuah serangan mental. Aku tidak bisa menahannya, aku merasa ada sesuatu yang salah. Aku harus pergi sebelum aku lepas kendali karena senyumannya. Itu benar, ini keadaan genting.
Aku menarik tanganku, menaiki kuda dan bergegas pergi.
***
Bagian Dua
Sial, aku tidak mengira ketika namaku dipanggil oleh seorang gadis akan begitu memalukan. Ah ... apa wajahku memerah, apa ekspresi canggungku begitu terlihat, aku tidak melakukan hal yang memalukan bukan.
Aku ingin merobek wajahku sendiri ....
Apa ini yang mereka sebut dengan 'wanita adalah satu dari tiga pembawa bencana'. Aku pernah dengar dulu ada dua kerajaan besar yang hancur hanya karena raja mereka merebutkan seorang wanita.
Sial. Perempuan itu menakutkan.
Kota Perdagangan, Levida. Sebuah kota yang terletak di pesisir laut selatan dari Kerajaan Salvillage. Berbatasan langsung dengan kerajaan tetangga, Edelstein. Kota Perdagangan Levida juga dikenal dengan Kota Pelabuhan. Dinding tinggi menjulang mengitari kota yang berfungsi sebagai benteng pertahanan. Terdapat tiga gerbang sebagai jalan keluar masuk kota yang setiap hari dijaga ketat.
Di setiap gerbang juga ditempatkan pos inspeksi untuk pemeriksaan. Pedagang yang masuk kota akan dikenakan pembayaran dan pengecekan barang, sedangkan untuk seorang pengembara sepertiku dikenakan biaya jauh lebih murah. Hanya saja pengecekan kartu identitas dilakukan begitu ketat untuk mengurangi potensi seorang mata-mata.
Aku berhasil masuk setelah membayar sejumlah uang dan melewati rangkaian pemeriksaan yang begitu ketat. Meski semua senjata beserta kuda yang kugunakan menjadi barang sitaan, tapi itu bukan masalah. Lagipula itu bukan barang yang mahal.
Menyusuri jalanan utama kota, seperti yang diharapkan dari kota perdagangan. Banyak kios penjual dan toko yang berjejer rapi. Aku sempat melihat beberapa toko perlengkapan dan mencoba memasukinya.
"Selamat Datang."
Saat aku membuka pintu toko ditemani suara lonceng bel yang berbunyi, paman penjaga toko menyapaku. Tentunya sebagai pelanggan.
Aku mengangguk pelan untuk meresponnya.
Aku terkejut, itu adalah toko yang kecil tapi memiliki barang yang berkualitas. Mulai dari pisau sampai sebuah busur yang begitu indah. Tapi barang yang bagus membawa harga yang tinggi pula.
Hmm, aku menemukan hal yang bagus.
"Dagger ini, ini sungguh indah. Tidak terlalu tebal dan memiliki keseimbangan yang bagus."
"Kau memiliki mata yang bagus bocah. Ini disebut Dagger of Origin. Dibuat dari logam hitam murni yang diimpor langsung dari Eisland. Senjata ini sangat ringan, tipis namun kuat."
Logam hitam ya, aku ingin tahu siapa pembuatnya. Pasti dia seorang blacksmith yang handal.
"Kalau boleh tahu, siapa pembuatnya?"
"Ah yah, itu masalahnya. Sebenarnya kami menerima senjata ini dari kurir. Saat kami bertanya padanya dia tidak mau memberitahu kami dengan alasan permintaan klien, jadi kami menyerah. Bahkan uang pembelian senjata ini juga kami serahkan pada kurir itu."
Dengan kata lain pembuat senjata ini masih tidak diketahui. Tapi ini benar-benar senjata yang bagus. Ditempa dengan sepenuh hati, aku bisa merasakan jiwa pembuatnya di dalam senjata ini. Baiklah, aku akan membelinya.
Itulah yang kupikirkan tapi tidak berhasil. Aku mencoba menawarnya tapi paman penjaga toko itu tidak bergeming. Jadi aku meninggalkan toko.
Baiklah, lagi pula aku datang kesini bukan untuk berbelanja. Aku akan belajar ilmu blacksmith untuk mendukungku sebagai seorang hunter.
Tapi ini aneh, aku belum juga menemui toko pandai besi. Haaah ... jika tahu akan seperti ini, seharusnya aku tadi bertanya pada paman penjaga toko. Kukira akan gampang menemukan pandai besi di kota besar seperti Levida.
Hari mulai sore dan perutku sudah keroncongan sedari tadi. Sepertinya hari ini aku akan menyerah.
Aku mencari penginapan dan menemukan satu diujung jalan. Baiklah, aku akan menginap untuk beberapa hari, mungkin seminggu aku susah menemukan pekerjaan. Dengan uang hasil dari mengurus kuda, aku menyewa kamar.
Aku mendatangi meja resepsionis untuk memesan.
"Satu kamar dengan satu tempat tidur dan makan untuk seminggu."
Aku meletakkan kantong uangku di meja dan resepsionis mulai menghitungnya. Hmmm ... aku tahu, aku tahu. Kau pasti terkejut karena orang berpenampilan miskin sepertiku memiliki uang begitu banyakan.
Selain uang dari mengurus kuda, aku juga mengambil uang milik bandit yang aku bunuh. Ini bukan mencuri, sebut saja sebagai barang rampasan perang.
Baiklah nona resepsionis, kau boleh terkejut semaumu.
"Maaf, tapi ini tidak cukup untuk menyewa kamar selama seminggu, bahkan semalampun tidak cukup."
A-Apa? Woi woi kau bercandakan? Bukan nona resepsionis yang terkejut tapi aku.
"Kau bohongkan?"
"Kalau tidak punya uang silahkan pergi. Kau mengganggu pekerjaanku."
Dia mengusirku. Dia mengusirku sambil menahan tawa. Apa dia meremehkanku. Bukankah seharusnya resepsionis bersikap sopan pada pelanggan. Apa-apaan sikapnya barusan itu, apa karena aku tak punya cukup uang dan itu mengganggumu. Sial, akan kutuntut kau. Baiklah, itu bukan masalah. Aku hanya sedikit terkejut.
"Kalau segini, apa cukup."
Aku memberikan semua uang yang kupunya dan sepertinya itu cukup untuk seminggu. Karena itu juga termasuk makanan, aku tidak perlu khawatir selama aku cepat mendapat pekerjaan besok. Mungkin aku harus menyusuri daerah kumuh besok.
"Terimakasih, Tuan ...."
"Cazador."
"Terimaksih Tuan Cazador. Satu kamar dengan satu tempat tidur dan makanan ..."
Nona resepsionis menulis sesuatu di sebuah buku tamu.
" ... untuk semalam."
Ha, tunggu ... apa aku tidak salah dengar. Itu semua yang aku punya, hanya untuk satu malam? Apa kau bercanda, kau mempermainkan aku ya. Kenapa kau malah tersenyum manis seperti itu.
Sial.
@Earthquake masih lanjut kaka, ditunggu ya!
Comment on chapter Prolog