Sambil membuka buku cetak Biologi, gadis itu memikirkan banyak hal yang seharusnya tidak melekat di pikirannya. Dia menopang dagu, menggigit ujung pensil mekaniknya sebelum mulai mengisi jawaban di latihan soal buku Biologinya. Dia mendesah kecil, membuka halaman materi untuk mencari jawaban kemudian kembali ke lembar soal. Kini otaknya buntu, dia benci pikiran tentang Hara dengan semangatnya yang tak pernah habis terus menghantuinya.
Kring..
Deringan telepon mengagetkan gadis itu dari lamunan tidak pentingnya. Nama Hara dengan simbol anjing terpampang di layar ponselnya yang bergetar. Dia mengernyit, tumben. Biasanya di jam segini dia masih di lapangan belakang rumahnya, apalagi kalau bukan latihan voli. Gadis itu menggeser tombol hijau ke kanan, meletakkan ponselnya di telinga kiri.
“Halo? Lagi apa?” suara Hara menyambut telinga gadis itu, lembut dan ringan. Yura selalu suka obrolan mereka tiap malam, Hara apalagi. Katanya, obrolan singkat dan tidak jelas mereka tiap malam adalah aktivitas favorit Hara selain berlatih.
Yura memutar kursinya sehingga membelakangi meja belajarnya, tersenyum. “Belajar.”
“Kirain lagi mikirin gue,” balas Hara asal. Cowok itu tertawa karena dia membayangkan wajah memerah Yura dengan senyum kecut. “Gimana nih? Bukannya lusa pengumpulan puisi?” Cowok itu memperbaiki duduknya, memantulkan bola volinya pelan-pelan.
Yura menegak, senyumnya perlahan pudar. Dia nggak yakin, sebenarnya. Apa ini adalah pilihannya yang tepat? Dia takut dia kalah lagi. “Hm,” gadis itu berdeham, kembali memutar kursi menghadap meja belajar. Menjawab soal Biologi yang ternyata lebih mengasyikkan dari nulis puisi.
“Kok jawabnya lemes?”
“Emang kenapa?” Yura malah balik bertanya, menatap pensil mekaniknya seakan benda tersebut adalah Hara. Dia ingin sekali mematahkannya, membuat cowok itu merasakan apa yang selama ini ia rasakan, tapi... kenapa? Kenapa Yura sepengecut ini?
Hara berdeham, senyumnya mengembang. “Kita harus semangat, Ra. Nggak peduli sebanyak apapun kita kalah, yang penting semangat kita gak boleh menipis!” kata laki-laki itu dengan menggebu. “Btw, minggu ini tim gue udah mulai tanding loh dibabak penyisihan,” ia berhenti sejenak dengan Yura yang menunggu kelanjutannya. “Nanti dateng, ya!”
Senyum yang tadi hilang dari wajahnya kini terbit, entah untuk alasan apa tapi serius Yura jadi pengin senyum. Bahkan lebih lebar. “Oke!”
Lalu sambungan telepon putus, dengan Yura yang kembali mengerjakan soal Biologi yang kini lebih terlihat mudah. Entah untuk alasan apa.
***
Pagi itu, Yura bisa datang tepat waktu. Benar-benar tepat waktu dan ini karena Hara! Bayangin aja, deh. Biasanya mereka bakalan sampai di sekolah lima menit atau tepat di bel masuk, tapi kini keduanya datang di waktu tiga puluh menit sebelum bel masuk! Benar-benar di luar dugaan.
Hara menyombongkan diri di sepanjang jalan mereka, sedangkan Yura mencibir tapi tidak dapat menyembunyikan tawa kecilnya. Sesampainya di kelas, Yura dapat melihat Nita yang tengah mendengarkan musik sembari memilih barang di toko online. Selain hobi menyontek di pagi hari, Nita juga hobi belanja online padahal cuman liat-liat selama menunggu bel masuk, dan ujung-ujungnya cuman beli satu barang. Padahal yang diliat adalah jenis barang yang berbeda.
“Pagi, Nitaku!” seru Yura, mengagetkan Nita yang tengah serius berbelanja.
Nita menegakkan tubuhnya kemudian menatap sahabatnya penuh minat. Minat banget, minta diulek sampe alus kayak sambal. “Ganggu, deh!” sungut gadis itu, kembali melihat layar ponselnya yang menampilkan berbagai macam tas wanita.”Eh, eh, Ra. Menurut lo, bagusan yang merah atau yang item?” Nita bertanya sembari menunjukkan layar ponselnya pada Yura.
Yura memperhatikan tas tersebut, model sama tapi warnanya berbeda. Jika disandingkan dengan Nita yang genit dan juga sungguh perempuan penuh semangat (Semangat dalam mendekati cowok, maksudnya), Nita sepertinya sangat cocok dengan tas warna merah. “Merah, Nit. Itu cocok buat lo,” katanya, kemudian membuka novel yang baru dia baca di chapter awal.
Nita tersenyum senang, kemudian kembali melihat-lihat tas-tas yang ada di web tersebut. Tidak benar-benar membelinya. Yura sudah terbiasa akan hal itu. Baru beberapa detik dia fokus dengan novelnya, suara yang tidak menyenangkan terdengar lagi. Kali ini datang dari cowok yang sempat menyombongkan diri karena berhasil tidak datang telat.
“Sayuraaa! Woi, Sayur! Eh, Yura deng,” cowok itu duduk dengan senyum yang sangat lebar. “Tadi gue liat pengumumannya di mading. Katanya, pengumpulan dimajuin hari ini,” kata cowok itu, sangat up to date dibandingkan dirinya yang kadang, malas membaca mading. Soalnya pengumuman di sana sangat banyak dan menumpuk. Yura gumoh.
“Hah?!” Gadis itu menggebrak mejanya, mengagetkan seluruh penghuni kelas. “Demi apa?!” teriak Yura kemudian berlari keluar menuju mading terdekat. Letaknya di antara X IPA 5 dan IPA 4. Ketika melihat pengumuman itu, mata Yura membulat sempurna. Masalahnya, dia pikir pengumpulannya besok sesuai jadwal yang ada di instagram OSIS dan Sekolah, juga mading dua Minggu lalu.
“Kenapa emang? Belum selesai?” Hara bertanya khawatir, menatap gadisnya penuh penasaran.
Yura mendongak, kemudian menggeleng. “Nggak, gue cuman masih... nggak yakin? Lo tau, ini pertama kalinya semenjak dua tahun lalu gue milih berhenti ikut lomba yang gak guna karena gue selalu kalah. Terus kalian maksa gue, buat gue mau ikutan lomba tersebut dan sekarang? Gue takut,” katanya dengan suara sedikit parau, Yura menahan sesak di dadanya.
Senyum Hara terbit, dia mencubit kedua pipi gadisnya. “Haduh, kalo lo nggak yakin terus, kapan yakinnya? Udah sih, kalah menang udah biasa. Toh, yang penting lo harus selalu berusaha dan berdoa, pasti semua cita-cita lo bakal tercapai kalo lo yakin dan percaya,” laki-laki itu berkata dengan tenang, dengan tatapan lembut. Beda dari Hara yang kekanakan, usil, dan tidak pekaan.
Karena lo udah sering menang, kan, Har? Makanya lo berkata kayak gini.
Ingin sekali kalimat itu meluncur dengan lancar di mulutnya, tapi ia tahan. Dia merasa bahwa kalimat tersebut tidak pantas muncul. Namun, kenapa hatinya menginginkan itu?
Akhirnya Yura memilih mengangguk. “Iya, gue yakin.” Tapi dia sama sekali nggak menyangkal bahwa dia ragu dengan semua tindakan yang dia lakukan.
a.n
Haloo semunyaaa. Maaf banget aku ngilang beberapa minggu ini karena sibuk kuliah, nugas, dan kepanitiaan huhuhu. Novel ini juga belum lanjut lanjut karena masih stuck di chapter 16 (kalo gak salah wkwkwkwk) semoga chapter 10 ini bisa menghapus segala rindu kalian pada Hara yaaa. See ya!
@[plutowati wahh emang ku buat manis manis biar abis itu kalian aku kasih pait paitnya dari cerita ini :v
Comment on chapter Prolog