Seperti biasa, Yura duduk di kursi depan rumah dengan pakaian yang sudah siap kencan. Jeans abu-abu dengan kaus putih lengan pendek yang dipadukan jaket jeans berwaran biru agak tua. Gadis itu mengikat rambutnya yang sebahu. Kakinya dibalut sneaker berwarna putih dan kaus kaki se-mata kaki berwana abu-abu. Wajahnya hanya diberi bedak tipis dan lipbalm untuk melembabkan bibirnya yang pucat. Dia benar-benar siap, namun sejak tadi Hara belum datang. Membuat Yura merasa jengkel.
“Oi, Sayur!” panggil laki-laki itu dari luar. Helmnya masih terpasang dan senyumnya terlihat di balik kaca helmnya. Dengan segera Yura pun berjalan keluar pagar rumahnya, kemudian menguncinya. Tadi pagi Ibunya kembali berangkat kerja, meninggalkan Yura sendiri di rumah.
Setelah motor itu kembali melaju, Yura baru bertanya. “Kita makan siang dulu, Har?”
Hara membelokkan motornya saat di pertigaan menuju sekolah. Jika sekolah mereka tinggal lurus mengikuti jalan, arah mal di mana teater bioskop berada dan satu tujuan Hara berada itu harus belok ke kiri. “Nggak, lah. Kita nonton voli bentar,” kata lelaki itu lugas, santai, sama sekali tidak merasa terganggu dari tatapan kaget gadisnya. “Kenapa? Belum makan lu? Kan kemarin udah gue bilang, kita nonton voli dulu,” tanya Hara sembari melirik Yura dari kaca spion.
Yura mendengus, sebal sendiri. Dia berpikir seharusnya tadi dia masak mie instan dulu sebelum berangkat. Sial sekali karena dia lupa bahwa kencan mereka akan selalu berbau voli dan semacamnya. Dia mulai bosan.
“Iyalah, ogeb. Lo jadi cowok pekaan dikit kek, Ra,” keluhnya pada Hara yang terkikik geli melihat wajah sebal dari gadisnya.
“Iya, maap deh,” ucapnya. “Yaudah nanti beli pempek dulu di depan lapangan. Pempeknya enak, tau,” kata Hara, berusaha membujuk Yura agar tidak marah padanya.
Sekali lagi Yura mendengus. Percuma jika ia masih mengharapkan Hara akan berbaik hati pada dirinya untuk berbuat romantis. Hara bukan tipikal laki-laki seperti itu, dia lebih misterius. Lebih aneh. Yura yakin dalam kamus cowok itu, Hara nggak pernah berprilaku romantis pada siapapun.
Sesampainya di lapangan voli daerah Senayan, Yura turun dan mengamati sekitar. Untungnya tempat ini tidak terlalu ramai. Terakhir kali Yura ke sini, tempat ini lebih penuh oleh lautan remaja yang ingin menonton. Yura harus menahan sesaknya antusiasme dari para penonton. Padahal yang mereka tonton cuman pertandingan voli! Bukan konser Korea kesukaan Nita atau setidaknya konser Shawn Mendes!
“Ra,” Hara memanggil gadis itu, menyadarkannya dari lamunan. “Ayok, kita beli pempek sama minuman dingin sebelum masuk,” katanya sembari menggenggam tangan gadis itu, menghantarkan gelanyar aneh pada wajah Yura. Astaga, gadis itu tersipu! Catat, Yura tersipu karena Hara menggenggam tangannya.
Habis membeli pempek beserta minuman, Hara kembali menarik kekasihnya untuk segera masuk dan menaiki tribun paling atas. Dari sini, Yura dapat melihat laki-laki berbeda seragam tengah memulai pertandingan dengan melempar koin. Permulaan yang klasik. Gadis itu mulai memakan pempeknya ketika pertandingan dimulai.
Yura dapat melihat tatapan serius lelaki di sampingnya. Dari tampilan dan postur tubuh, sepertinya kali ini adalah pertandingan tim voli antar universitas. “Mereka dari univ mana aja?” tanya Yura langsung, tanpa bertanya apakah mereka dari SD. SMP, SMA, atau Mahasiswa.
Hara melirik sekilas, sebelum kembali fokus menonton. “Anak UP sama UNJ,” katanya. Matanya sama sekali tidak bisa setidaknya melirik Yura lebih. Bagi Hara, bola voli seperti kekasih utamanya. Yura adalah selingkuhan. Tapi, bukankah itu terdengar tidak masuk akal?
Pertandingan pun dimenangkan oleh tim hitam. Yura tidak tahu yang mana UP, yang mana UNJ. Tapi bila diliat dari warna seragam, sudah pasti bahwa tim hitam adalah UP. Sedangkan yang hijau tua adalah UNJ. Yura menenggak sisa minumannya sebelum ikut bangkit mengikuti Hara. Lagi-lagi cowok itu menggenggam tangannya, tidak memperdulikan tatapan sekitar yang melihat mereka aneh.
Setelah keluar dan mereka sudah berada di parkiran, Yura merasa sedikit lega. Setidaknya habis ini mereka nonton, dan itu lebih baik dibandingan harus berlama-lama di sini.
“Loh, bocah kecil?”
Yura terdiam, dia menoleh dan menemukan sosok laki-laki tinggi yang tampan. Yura kenal cowok itu. Dia adalah Fandi, senior Kemal semasa SMP.
Hara melihat Fandi dengan tatapan sebal. “Jangan panggil gua bocah kecil, elah. Mentang-mentang tinggi. Nggak adil,” balasnya.
Yura terkekeh. Ternyata Hara bisa selucu ini.
Fandi tertawa lalu melirik Yura dengan tatapan menilai, senyumnya mengembang kemudian melihat Hara kembali. “Ternyata walaupun masih kecil selera lo hebat juga,” katanya lalu pergi meninggalkan Hara yang sudah menghardik cowok itu dengan umpatan kasar.
Yura tidak bisa menyembunyikan pipinya yang bersemu. Gadis itu menatap Hara yang juga menatapnya, kemudian Hara memberikan helm dan menaiki motor. Gadis itu tidak mengerti mengapa Hara menjadi sensi seperti ini. Tapi satu hal yang pasti, Hara akan selalu menggemaskan!
***
Semakin sore, mal yang Yura dan Hara datangi semakin ramai. Selepas menunggu Hara salat, keduanya pun berjalan ke arah teater film karena lima belas menit lagi film tersebut dimulai. Yura menunggu Hara yang sedang membeli pop corn dan minuman untuk mereka, kemudian keduanya memasuki teater 2 yang akan menayangkan film tersebut.
Benar yang dikatakan Ayah Hara, film ini sepertinya sangat menarik penonton karena sudah ramai bahkan Yura dapat menemukan kursi mereka dengan mudah karena tinggal dua kursi tersebut yang kosong di barisan mereka.
“Sayur,” Hara berbisik. “Kok gua mulai merinding, ya?” kata cowok itu, membuat Yura merasa geli dan sebal.
“Ya lagian, kenapa lo malah terima aje sih,” balas gadis itu sebal. “Mending nonton film yang lain,” katanya.
Hara menegakkan tubuhnya ketika lampu teater mulai dimatikan, kemudian layar di hadapan mereka mulai menyala. Meskipun masih iklan, tetap saja Hara merasa agak takut. Tapi, Hara nggak boleh terlihat benar-benar takut. Dia harus bisa sedikit jaga image di depan kekasihnya.
Film pun dimulai penuh dengan ketegangan. Suara musik yang keras dan menakutkan membuat Yura berkali-kali memakan pop cornnya dengan tidak sabar. Kadang, gadis itu menutup mata, menarik Hara untuk melindunginya, atau meremas tangan cowok itu karena takut.
Selama satu jam tiga puluh menit Yura menyiksa cowok itu, kadang saat Yura hampir berteriak, Hara akan menyumpal mulut gadisnya dengan pop corn rasa asin yang dia beli. Yura benar-benar penakut dengan film ini, dan sebenarnya Hara lebih takut jika kalian bertanya.
“Gila dah, sumpah demi apapun gila!” sembur gadis itu ketika film telah usai. Yura menatap Hara yang berjalan santai di sampingnya. “Sumpah ya, Bapak lo bisa aja milih filmnya,” ujar gadis itu.
Hara mengangguk. “Hm.”
Yura melirik cowok itu, merasa aneh. “Kenapa? Kok balesannya singkat?” jarang sekali Hara mengabaikan kalimatnya. Biasanya juga Hara akan bawel atau mengusilinya. Tapi selesai dari menonton film, cowok itu seperti menutup diri dari keramaian bioskop.
Hara melirik Yura, mukanya seperti menunjukkan bahwa dia tengah menahan sesuatu. “Eum, itu.. gimana ya,” dia melirik kanan dan menemukan sesuatu yang sejak penayangan film tadi dia tunggu-tunggu. “Aku kebelet, Ra. Serius, dah,” katanya lalu berlari ke kamar mandi. Meninggalkan Yura yang sudah tertawa geli tanpa memperdulikan tatapan aneh dari para pengunjung bioskop yang tengah menunggu dibukanya teater.
***
Sesampainya di rumah, gadis itu segera membersihkan diri sebelum kembali duduk di kursi belajarnya. Dia punya satu niat terpendam, yang selama ini hanya dapat Yura diamkan tanpa berkeinginan untuk melanjutkan niatnya tersebut. Gadis itu duduk kemudian membuka laptopnya, mencari file lama kemudian meng-kliknya, membuat file tersebut terbuka. Menampilkan sederet kisah yang telah lama terhenti, bisa dibilang belum dilanjutkan kembali.
Baru saja Yura hendak membaca karya lama tersebut, teleponnya berdering. Nama Nita tercetak jelas di sana, membuat dahi Yura berkerut dalam kemudian mengangkat telepon tersebut.
“Kenapa?” Yura langsung menyembur Nita dengan pertanyaan tanpa menunggu gadis itu mengatakan keinginannya.
Nita mendengus. “Buka pc napa, Yur,” katanya. “Gue udah di mcd deket rumah lo. Gece ke sini, Ra. Ada yang mau gue omongin,” ucap gadis itu mendiktaktor Yura agar segera menemuinya di McDonald dekat rumah gadis itu.
Yura tersedak air liurnya sendiri. Dia menatap teleponnya yang masih tersambung dengan Nita, kemudian mendekatkannya lagi ke telinga kiri. “What? Seriously? Lo gila, apa?!” tanyanya.
Nita tertawa. “Gua nggak gila, anjir. Udah sih, siniii. Gua mau curhat!”
“Curhat apaan?” Yura bertanya sembari bangkit dan mengambil jaket jeans yang sebelumnya ia kenakan saat kencan dengan Hara. Dengan celana training dan hanya mengenakan sandal jepit, gadis itu keluar rumahnya. Masih dengan menelepon Nita.
“Curhat tentang Taka. Penting!”
Tapi bagi Yura, sama sekali tidak penting![]
a.n
Akhirnya bisa update. Muehehehe. Soalnya kemarin ku sibuk latihan buat menyambut maba-maba wkwkwkwk, jadinya udah keburu capek karena jalan dari lapangan rektorat ke venue yang paling jauhhh itu melelahkan sekali :(( eh udah ya curhatnya, semoga kalian puas dengan chapter 7 ini. Eheheheh
Greget sama Hara. Btw itu kenapa namanya ngga Rezky aja ya :D
Comment on chapter 2. Percakapan Aneh Kemal