2# Protektorat
“kita akan kemana?” tanyaku
Daleen beringsut tidak nyaman, “sejak kapan kau berani berbicara sebelum kuajak?” tanyanya, mendominasi.
Aku benci nada bicaranya, “kita sudah bergerak selama dua jam..”
Pemandangan diluar benar-benar memikat. Seakan memanggilku untuk turun. Aku tidak pernah melihat pertokoan sebanyak ini. Rempah, pakaian, ikan, sepatu dan entah apa lagi. Semua diangkut dalam box besar. Indischie. Dengan lebel merah menyala.
“..aku hanya penasaran. Aku belum pernah kemari” Aku berkelit.
“memang belum, sayang” balas Daleen. Lalu ia diam. Dari rautnya saja aku tahu pikirannya. Tidak ada gunanya berbicara pada wanita yang tidak tahu apa-apa. Kereta kuda kami melambat, kurasa kami sudah sampai.
Sensasi ini,
Angin semilir yang memainkan anakan rambutku
Baunya membawa ketenangan
Tempatku berpijak tampak kokoh, paving merah, daerah kekuasaan para Monarach. Beberapa lelaki kumal lalu lalang, diangkatnya karung dan kotak besar yang—pasti—sangat berat. Mereka tampak kepayahan. Tubuh mereka juga kurus. Para buruh.
Daleen sudah berjalan menjauh. Aku sampai payah mengikuti. Gaun bodoh yang dia pilihkan membuatku sulit berjalan.
“Lama tidak jumpa!” suara Daleen terdengar hangat. Ia aktor terbaik di dunia. Lawan bicaranya pasti tertipu, ia tampil sangat menawan. Berbicara mengenai tipuan. Kurasa tuan bertopi hitam dengan bulu hijau mencolok itu juga memilikinya.
Biasanya, Daleen berurusan dengan pria usia setengah abad lebih. Entah perdagangan atau bisnis apa. Aku tidak peduli. Tetapi kali ini berbeda.
“Kau tampak berubah, Daleen” Sebuah senyum terukir alami.
Tubuhnya tegap, mirip para militer, sedang wajahnya tampak sangat bersahabat. Kurasa ia berusia sepuluh tahun lebih muda dari Daleen, seusiaku, mungkin, atau sedikit lebih tua. Rahangnya yang tegas dengan kumis tipis yang makin membuatnya tampak muda. Aku mungkin tertipu penampilannya.
“..kau tampak, hmm, berkelas” lanjutnya terdengar hati-hati memilih kata.
Demi tuhan aku menahan tawa. Tidak ada kata yang tepat selain norak untuk setelan yang Daleen kenakan saat ini. Dia memilih koleksi dengan teliti sepanjang hari sebelum memilih mengenakan setelan hijau garis itu. Aku tahu si tuan topi juga sependapat. Nadanya sangat dipaksakan. Pujian wajar demi sopan santun, bukan?
“terimakasih” balas Daleen, dengan kebanggaan berlebih.
“Kau belum memperkenalkan nona yang berdiri di belakangmu, Daleen..”
“Oh” Daleen pura-pura terkejut. Ia selalu menanti momen ini. Memperkenalkanku, tidak, maksudku memamerkan diriku dengan orang lain.
“Kemarilah, Sayang..” Aku maju selangkah mendekat
“..Ia isteriku, Deije”
Aku merasakan tatapan tuan topi menembusku. Tatapannya membius.
Ia sedikit… familiar.
“Sangat cantik, kau luar biasa Daleen” pujinya lalu beranjak. Entah mengapa, kurasa ia mengatakannya dengan tulus.
Tapi hei, bukankah itu sebabnya aku berada di sisi lelaki itu sekarang.
Pajangan hidup milik tuan Daleen.
Mungkin dia sama saja dengan jutaan kenalan Daleen lainnya. Tuan topi pasti juga begitu.
Aku melirik Daleen. Senyumannya membuatku bergidik.
“kita harus bergerak cepat, mari mencari tempat berbincang. Pelabuhan Belawan berkembang sangat mengerikan, kapalku hampir salah berlabuh” Tuan topi memimpin jalan kami.
Rumah makan yang kami masuki terlampau berkelas. Kursi-kursinya seperti dibuat untuk raja. Tempatnya stategis mengadap laut Malaka. Wanginya juga nyaman sekali. Wisteria ungu Asia. Daleen dan rekannya sudah duduk nyaman menyeruput teh. Perbincangan mereka mengerikan.
Mereka mencanangkan kekuasaan raksasa. Pembelian besar-besaran. Protektorat. Dasar pecundang. Sudah kuduga ia sama saja dengan Daleen. Parahnya, aku harus duduk disini bersama mereka. Merangkai senyum palsu dan tertawa anggun menanggapi candaan garing mereka. Aku sama sekali berusaha tidak mendengarkan, membuang pandang kea rah jendela. Melihat laut malaka. Juga burung laut yang terbang bebas.
Hidup bebas, ya?
Hidup yang seperti mimpi itu, kan?
Aku benci para ningrat. Seluruh hidup mereka palsu. Mereka bertindak seenaknya. Hidup semaunya. Bisanya aku begini, mencaci hidup orang lain seakan hidupku ini baik-baik saja. Daleen bahkan mengganti semua arsip hidupku. Ia telah merenggut masa laluku.
Ah, aku tidak bisa menyerah begitu saja. Semua takdir hanya mendewasakan diri. Aku akan baik saja.
“Aku harus ke kamar kecil” Suara kursi berderit ketika Daleen berdiri. Pasti kursi itu juga tidak suka padanya. Aku tersenyum sebentar padanya.
Pemandangan luar jendela kembali menyita perhatianku. Sebuah kapal besar baru saja berlabuh, kudengar para kelasi berteriak dalam bahasa Belanda, mungkin kapal itu akan bepergian jauh sekali menuju asalnya.
Namun yang naik bukan sekedar buruh angkut. Para orangtua berjanggut putih, yang jalan beserta iring-iring tangis penduduk tampak berjalan mengisi geladak. Wajah mereka memancarkan kesedihan tak berperi. Mereka digiring pasukan senjata.
Tunggu,
Aku tahu mereka, para tokoh agama, guru serta pembesar kelompok tani pribumi! Mereka akan dibawa kemana?! Akan diapakan mereka?!
“Mereka akan di asingkan, Nona”
Aku hampir terperanjat. Sedari tadi aku hampir melupakan kehadiran si tuan topi. Aku saja tidak tahu Daleen memanggilnya dengan gelar macam apa.
“Maaf, tuan” Tetapi soal di asingkan, Daleen tidak pernah absen menyebutkan kalimat itu jika mengancamku. Tentu saja aku tahu pengasingan.
Ia tersenyum, rautnya memaklumi. Aku heran, jika benar kepribadian orang ini sejenis dengan Daleen, mengapa wajahnya bisa menenangkan seperti itu? Ia sangat rupawan “..Tidak apa, kau terus menatap ke luar jendela dari tadi”
Orang itu malah mengikuti apa yang kuperhatikan sejak tadi. Air wajahnya memancarkan sesuatu yang kuharap itu dusta. Belas kasih. Padahal aku mendengar sendiri percakapannya tadi. Ia juga diktator.
“Padahal mereka hanya mengajarkan ilmu kepada pribumi, mereka tidak seharusnya di asingkan..” Ujarnya
“..benar begitu, nona?”
Mustahil ada ningrat yang berpikiran sepertinya.
“kau..sedang mencoba berbohong padaku, kan?”
Lagi, ratapan sendu itu lagi. Daleen sudah kembali dari dan berjarak beberapa langkah dari meja kami. Tidak! Tunggu. Matanya itu.. Tidak mungkin.
“aku kaget kau sama sekali tidak mengingatku, Khodijah”
Protektorat di Pelabuhan Belawan, akan dimulai.
___