Suatu hari di malam kelima belas,
Datanglah seorang bersorban dan berjubah putih di Lede Ae. Wajahnya teduh dan pandangannya menentramkan. Ia memperkenalkan diri dengan santun.
Tidak seperti pendatang lain, ia juga tidak meminta apapun, hanya menyampaikan tujuannya dengan tegas kepada Mone Ama (kepala suku) Bahwa ia membawa ajaran rohmatan lil alamin, Islam. Itu tahun 1886, entah pada bulan apa. Yang jelas, bulan turut menyambutnya hangat, warnanya putih cerah.
Sejak itu Islam memasuki daerah dalam Nusa tenggara. Berselang bulan, baru kami tahu.
Rupanya ia murid KH Agung Beluk di Jawa Tengah yang sedang menyebarkan Islam di Tanah air.
Sang guru, Ama dan Ina beserta seluruh penduduk memanggilnya demikian. Mendengar ceritanya, tidak mengherankan memang, pembaruan sistem ladang, cocok tanam, bahkan perairan, beliau yang mengajarkan.
Malam ketujuh belas, dua bulan berikutnya adalah hari istimewa. Biasanya dihari seperti inilah banyak upacara adat diberlangsungkan. Namun, lagi, sang guru memberi petuah. Demikian itu tidak benar.
Syirik, menyekutukan Tuhan.
Warga awalnya ricuh, cuaca di Lede Ae buruk. Angin seperti menghantam atap daun nyiur milik para ternak. Jiwa Ko’o Ma mengamuk. Kata mereka.
“Saudara sekalian..” bujuk Sang guru
“..bagaimanakah sebuah gunung terbentuk?” lanjutnya, kata Ina, kalau sang guru mengakhiri kata dengan senyum. Orang lain akan turut menyimak. Hebat sekali.
“..tentu tidak terbentuk dengan sendirinya, bukan? Bukit Ko’o Ma ini, dibentuk, seperti kita semua di sini, begitu pula dengan angin, sungai, dan hutan”
Walau tidak ada disana, aku tahu bagaimana penduduk sungkan pada sang guru.
“Tidak ada yang perlu ditakutkan, semua hari itu baik, sama aja. Tidak ada kutukan. Itu tidak benar, maka dari itu tidak perlu ada ritual adat. Jika ritualnya membagikan kebahagian berupa makanan kepada penduduk desa, itu boleh, namanya mengucap terima kasih”
Ah, sang guru. Rasanya baru kemarin, padahal kali terakhir aku melihatnya saat baru saja belajar mengeja.
Malam tujuh belas, malam dimana angin begitu ricuh. Serusuh Ama, juga para tetua desa lain. Macam-macam mereka baca. Sesuai panutan sang guru.
Padahal yang diurus hanya seorang wanita, Ina, Ibuku.
Oh ya, malam itu, aku lahir.
Aku Khodijah Waru Ai, anak perempuan satu-satunya Do Kepai desa Lede Ae. Tentu saja diambil dari Khodijah yang itu, yang begitu dikagumi umat Islam. Isteri baginda Rasulullah.
Nama pemberian sang guru.
Sedangkan kedua orangtuaku, melekatkan jati diriku, Waru, sang mata air yang sejuk. Walau begitu tahu wicara, aku lebih suka salju ketimbang mata air, dan Ina pasti akan mengomel panjang.
Menyenangkan sekali masa itu.
Masa laluku.
Ah, seandainya mereka tahu kehidupanku saat ini. Akankah mereka kecewa padaku? Anak yang susah payah namanya mereka pikirkan siang malam. Berharap nama itu dapat menyejukkan tiap hati didekatnya. Malah hidup sekeruh ini.
Lelaki dihadapanku membaca koran, teh yang diminumnya kemerahan. Impor, pasti. Lalu, ia menatapku, sepersekian detik memastikan apa yang ada dipangkuanku hanya sebuah album foto.
Aku merangkai senyum. Ia membuang tatap.
Sudah biasa.
“berhentilah menatap foto orang mati” katanya kemudian
“Maaf?”
Ia berdengus “Kubilang, berhentilah melihat foto orang yang sudah mati. Itu, lelaki itu. Yang berbaju kepanjangan dengan celana bertambal”
Aku memperhatikan telunjuknya.
Ia menunjuk foto sang guru.
Dia pikir aku bodoh? aku bahkan bisa membaca artikel di bagian koran yang disisihkan olehnya. Bahasa belanda. Mana mungkin ia bisa.
Dia pikir aku bodoh?
Dia pikir aku tidak tahu siapa yang membunuh sang guru?
Lelaki itu menoleh lagi, melipat koran, beranjak ke pekarangan belakang.
“Ayo” Ajaknya
Aku bangkit, “baiklah” dengan seulas senyuman termanis yang kumiliki.