Ada lebih dari 17.850 buah pulau di Indonesia, 17.850 jenis keragaman hidup dan budaya, serta 17.850 cerita dan kisah berbeda yang menakjubkan.
Keindahan negeri katulistiwa memang luar biasa, pantainya, gunungnya bahkan ladangnya pun menawan.
Tetapi cerita ini bukan mengenai itu semua, bukan tentang tempat-tempat wisata yang terkenal hingga pelosok dunia.
Cerita ini akan singkat saja,
juga akan sederhana saja,
sebab berlangsung dimana bulan tersenyum sederhana di atas wajah air.
Di sebuah pulau bernama Rai Hawu.
Pernah mendengarnya? Kurasa tidak.
Rai Hawu berada di tanah Mahara, di barat tanah Haba dan timuran tanah Liae. Tepatnya 121o45-122o41 belahan timur dan 10o27-10o38 lingkar selatan Indonesia. Penduduk luar pulau menyebutnya Pulau Sawu.
Pulau Sawu memiliki dusun-dusun indah di perbukitan Ko’o Ma dan lerengnya, mayoritas penduduknya bekerja sebagai petani, seperti keluargaku.
Kami tinggal di desa tertinggi, Lede Ae.
Lede ae sangat menakjubkan, begitu langit gelap, bulan seakan hanya milik kami, begitu besar dan dekat sepanjang tahunnya. pepohonan mahoni dan pohon kapuk tumbuh bagai rimba, tidak disemai, murni milik Lede Ae. Jika angina berhembus kencang, kapuknya berjatuhan menari. Ia membuat desa terpencil ini, bagai turun salju.
Salju.
Diluar rintik mengetuk jendelaku.
Sial, aku bosan menangis.
Mataku beralih menatap jari manis yang tersemat sebuah cincin perak. Permatanya entah apa, berwarna seperti hatiku. Kelabu. Dingin. Juga sunyi.
Tok, tok, tok.
Seharusnya aku membeli rantai, pintu itu semakin lama semakin berisik.
“Sayang, kau sedang apa?
Hening sejenak.
“sayang, keluarlah, kau tahu aku menunggumu”
Ah, air mataku menetes lagi.
Mendengarnya saja, sudah mencipta luka.
***