Matahari belum menampakkan dirinya. Namun, Sabina sudah bersiap berangkat ke sekolah mengingat ia berangkat dari panti sosial. Sebenarnya ia malas pergi kesekolah hari ini. Entah mengapa ia merasa tidak nyaman sejak semalam, ada sesuatu yang membuatnya tidak tenang. Ia berpikir mungkin karena ia akan bertemu dengan Danu lagi hari ini, gadis itu merasa tidak sanggup berhadapan dengan cowok yang sudah membuatnya terluka. Meskipun perasaan itu masih ada. Sabina memilih menguburnya dalam-dalam.
Gadis itu melihat gelang biru yang ada di dalam tasnya, kenangan itu muncul lagi, kenangan bersama Danu yang membuatnya bahagia. Danu begitu baik padanya selama ini. Seutas senyum sempat terukir meskipun hanya sepersekian detik, ia menghela napas lalu menggeleng pelan.
Nggak, Bi! Semua cowok itu berengsek!
Sabina mengecek lagi buku-buku pelajarannya, takut ada yang tertinggal hingga tatapannya jatuh pada hp yang terselip di antara buku-bukunya. Ia sama sekali tidak membuka hp-nya sejak kemarin. Gadis itu menyalakannya dan melihat pemberitahuan puluhan panggilan tak terjawab juga beberapa pesan. Namun, ia tak ingin membukanya karena ia tahu itu dari Danu.
Sudah cukup, ia tidak ingin berhubungan dengan Danu atau pria manapun. Ia bahkan berencana mengembalikan hp itu pada Danu.
Sabina melangkah keluar kamar dan berpamitan dengan Mamanya, juga penghuni panti yang lainnya.
Sesampainya di sekolah, ia langsung melangkah cepat menuju kelasnya. Beberapa siswa menatapnya sambil berbisik.
Kok aneh gini sih auranya?
Sabina memilih tak acuh dan terus melangkah, setelah ia melewati tangga ia melihat Gisel, Andre, Doni juga Galih yang tengah membicarakan sesuatu yang serius. Gadis itu terus melangkah seolah tak peduli.
Hingga ia mendengar Gisel berteriak memanggil namanya lalu berlari kearahnya diikuti ketiga cowok di belakangnya.
Sabina mengernyit bingung. Namun, ia masih berusaha berwajah datar.
"Astaga, Bi. Lo kemana aja? Kita nyariin elo sejak semalem," ujar Gisel gusar. Wajahnya tampak pucat begitupun ketiga cowok di belakangnya, membuat Sabina bertanya-tanya.
"Danu, Bi,-"
"Nggak ada lagi urusan sama dia." Sabina menyela Galih datar ia berniat pergi tapi Gisel membuatnya diam di tempat dengan memegang kedua bahunya.
"Ada!" Gisel memberi jeda sejenak, "Danu, masuk rumah sakit, dia kecelakaan semalam. Kecelakaannya parah, dia kritis dan belum sadar sampai sekarang," jelas Gisel langsung membuat Sabina syok. Gadis itu melebarkan matanya tidak percaya.
Seperti disambar petir, Sabina mematung di tempat. Mata nanarnya digenangi air mata, sedetik kemudian ia menggeleng sambil melangkah mundur.
"Danu butuh elo, Bi," tambah Andre.
"Danu," desahnya hampir tak bersuara, "Nggak, ini nggak mungkin. Di rumah sakit mana?!"
Sabina berlari menjauh setelah Galih memberitahu di mana Danu dirawat. Nyatanya ia masih peduli pada cowok itu.
"Sabina!" teriak Gisel mengikutinya lalu menarik tangan Sabina hingga membuatnya berhenti.
Tangis gadis itu sudah pecah, "Aku harus kesana sekarang," isaknya sambil menarik tangannya dari genggaman Gisel. Beberapa murid melihat mereka bingung dan bertanya-tanya.
"Kita anter, oke?" tawar Gisel khawatir.
Sabina menutup wajahnya yang basah karena air mata. Tidak percaya dengan apa yang terjadi.
Seberapa parah Danu?
Mengapa bisa seperti itu?
"Galih, Andre anterin kita. Dan elo Doni, izinin kita hari ini. Ntar lo nyusul," tutur Gisel.
Ketiganya mengangguk paham.
Mereka berempat langsung berlari menuju parkiran sekolah.
"Ndre, lo bawa mobil gue." Gisel melempar kuncinya pada Andre lalu mereka masuk ke dalam mobil. Sabina dan Gisel di belakang sementara Galih di depan. Sabina terus menangis memikirkan hal buruk yang mungkin saja terjadi.
Setengah berlari mereka menyusuri koridor rumah sakit agar tidak mengganggu pasien lainnya. Sabina melihat Mama Danu yang baru saja berdiri dari duduknya ketika melihat kedatangannya. Ada perasaan canggung yang dirasakan Sabina ketika bertatap muka dengan wanita itu. Namun, Sabina memilih menundukkan kepala singkat sebagai rasa segan lalu menuju pintu ruangan di mana Danu dirawat. Tak ada senyum antara keduanya yang ada hanya tatapan sendu.
Sabina menyentuh kaca di depannya dan melihat Danu dari sana, cowok itu terlelap dengan alat bantu pernapasan dihidungnya. Tanpa di minta, air matanya kembali mengalir.
"Danu mengalami pendarahan di paru-parunya karena terkena patahan tulang rusuk, juga gegar otak karena benturan yang sangat keras, beruntung saat itu dia pake helm," jelas Galih gusar membuat Sabina semakin berlinang air mata. Gisel merangkul bahu Sabina yang bergetar mencoba menenangkannya.
"Kenapa bisa kecelakaan? Mau kemana sih malem-malem gitu?" tanya Sabina terisak.
"Jadi semalem pas gue mau tidur, Danu nelpon gue. Pas gue angkat ternyata orang lain. Dia ngasih tau kalo yang punya hp itu kecelakaan," tutur Galih sambil sesekali menoleh kebelakang. "Gue langsung telpon ke rumahnya buat mastiin, dan Bi Sumi bilang kalo Danu emang pergi dari rumah setelah berantem sama Mamanya. Akhirnya gue cabut ke rumah sakit habis ngasih tau mereka, gue juga nyuruh Andre sama Doni dateng ke Rumah sakit. Sampai di sana, Danu udah kritis. Gue sempat lihat dia kejang nggak bisa napas dan terus ngeluarin darah dari mulutnya." Mata Galih berkaca-kaca saat menceritakan bagaimana kondisi Danu semalam.
"Pas semua udah dateng, bi Sumi cerita ke gue semuanya sementara Galih nemenin tante Sandra yang terus menangis." Andre melanjutkan. Ia memberi jeda sejenak untuk melirik ke arah Sabina juga Gisel dari kaca spion. "Bi Sumi bilang kalo semalem Danu ngacauin acara makan malam sama keluarganya Clara dengan mengatakan kalo Danu itu ... bukan anak kandung keluarga Atmadja."
Sabina mengernyit bingung mengetahui fakta itu. "Bukan anak kandung?"
"Ya, trus tante Sandra marah besar pas sampai rumah mereka bertengkar hebat sampai-sampai tante Sandra bilang kalo Danu itu penyembab Papanya meninggal."
"Apa?" sentak Sabina tidak percaya.
"Gue awalnya nggak percaya, tapi bi Sumi bilang itu bener. Waktu itu Danu ngerengek minta mainanan pas di dalem mobil. Dia narik-narik tangan Papanya yang lagi nyetir sampe kecelakaan itu terjadi dan Papanya meninggal."
Sabina menjauhkan tangannya, ia melangkah ke arah kursi di sebelah kanan pintu ia menangis sambil menutup wajahnya. Sandra yang berdiri di sebelah kiri pintu kembali menangis karena melihat Sabina. Perasaan bersalah menghantuinya, seharusnya ini tak perlu terjadi. Gisel kebingungan harus menenangkan siapa dan ia memutuskan duduk menjauh, memberi mereka waktu sendiri meskipun ia tidak memungkiri jika air matanya ikut mengalir. Sementara Galih dan Andre mereka tidak tahu harus berbuat apa, mereka begitu terlihat frustrasi hingga beberapa kali mengumpat kesal.
Sabina teringat akan hp-nya, ia langsung mengambilnya. Gadis itu melihat puluhan panggilan tak terjawab dari Danu juga keempat temannya. Ia membuka pesan Danu yang dikirim pagi tadi dengan terisak lalu mendengarkan pesan suara yang merupakan pesan terakhir dari Danu.
"Bi ...," Sandra menoleh ke arah Sabina ketika mendengar suara itu, begitupun ketiga temannya. "Bi, kamu di mana? Aku butuh kamu, Bi. Aku nggak tau harus ngapain sekarang. Aku bener-bener butuh kamu."
Suara Danu terdengar lirih sarat akan luka, isakan cowok itu membuat Sabina merasa tersayat dan perih. Tangis Sabina kembali pecah, ia menunduk sambil mendekap erat hp itu di dadanya.
Seharusnya aku lihat hp semalem.
Sandra membekap mulutnya, ia menangis mendengar suara Danu. Namun, ia tak bersuara yang mana itu membuatnya semakin sesak. Ia menyesal. Sementara ketiga temannya ikut berlinang air mata. Gisel memilih pergi ke toilet karena tidak tahan dengan situasi ini.
Dering hp milik Sandra menginterupsi tangisnya, ia menghapus air matanya sebelum mengangkat telpon itu.
"Selamat pagi, Bu Sandra."
"Pagi, Pak Ridwan."
"Tentang gadis itu ... semua dugaan ibu benar."
Sandra terdiam sejenak, lalu melihat Sabina yang masih menangis.
"Baik, terima kasih pak Ridwan," balasnya singkat.
Sandra melangkah pelan ke arah Sabina lalu duduk di sampingnya. Ia menatap Sabina yang sesenggukan. Apa yang menjadi dugaannya selama ini adalah benar adanya.
"Maafin Sabina, Tante," isak Sabina masih sambil menunduk. "Seharusnya Sabina lihat hp semalem. Kalau saja Sabina mau nurunin ego dikit, Danu nggak akan seperti ini," lanjutnya.
Sandra membelai rambut Sabina pelan membuat Sabina menoleh kearahnya karena merasa aneh.
Sandra menggeleng cepat, "Bukan salah kamu, ini semua salah Tante," ucap Sandra lirih, mencoba menahan tangisnya ia memeluk Sabina erat sementara Sabina hanya terdiam kebingungan dalam pelukan wanita yang sedang terisak itu.
"Kamu ... mirip sama Mama kamu, ya?"
Sabina mengernyit, pasalnya ia yakin jika Sandra belum pernah bertemu dengan Mamanya.
Sandra melepas pelukannya lalu menatap Sabina. Ia menghapus air mata yang mengalir di pipi gadis itu.
"Kamu cantik seperti Mama mu dulu."
Aku bayangin si sabina ini rambutnya kalo d sekolah digerai terus agak nutupin wajah hahaha kalo d tmpt kerja diikat hehehe
Comment on chapter Rasa 2